Rabu, 09 Mei 2012

Menjadi Orang Indonesia


Menjadi orang Indonesia: Pemindahan anak dari Timor Timur[1]
Oleh Dr Helene van Klinken

Biliki
Ketika pemboman oleh tentara Indonesia diintensifikasikan pada tanun 1977, Biliki bersama keluarganya dan penduduk desa yang lain mengungsi ke hutan. Setahun kemudian rakyat dipaksa menyerah. Mereka ditempatkan di kamp konsentrasi di Ainaro. Di situlah seorang perwira Kopassus melihat Biliki dan memutuskan untuk membawa dia ke Indonesia. Tentara itu memberi Biliki makanan dan pakaian. Dia memberitahu orangtua Biliki bahwa dia akan membawa anaknya ke Indonesia dan mendidik dia di situ. Seperti tentara yang lain, dia hampir pasti mengatakan kepada orangtua Biliki bahwa mereka tidak akan mampu mendidik dan merawat anaknya dengan baik, dan menyinggung kepada hal bahwa akibat dari perlawanan mereka terhadap Indonesia akan menyulitkan masa depan anaknya dan kemungkinannya mendapatkan pendidikan. Tentara itu memberi orangtuanya Biliki seekor kuda, sekantong beras dan sedikit uang (Rp60,000). Sebelum berangkat dia memberi tugas menjaga Biliki kepada seorang anggota Hansip, dan orangtua Biliki takut mengambil Biliki atau minta dia dikebalikan. Ketika masa tugasnya selesai tentara itu membawa Biliki dari Ainaro dengan helikopter. Biliki masih ingat bagaimana dia dan anggota keluarga yang lain berteriak dan menanggis pada saat dia dimasukkan helikopter. Biliki pada saat itu kira-kira berumur tujuh tahun.


Tentara Indonesia ini memberi Biliki kepada keluarga tentara yang lain. Saya tidak tahu kalau dia dibayar. Setahun kemudian Biliki pindah dan tinggal dengan keluarga militer yang lain. Dia dibesarkan oleh keluarga ketiga ini di kompleks Kopassus di Cijantung, Jakarta. Dengan keluarga yang ini Biliki merasa aman dan senang. Dia diberi nama yang lain. Dia bersekolah dan setelah dewasa, menikah, dan memiliki tiga orang anak. Sesudah Orde Baru berakhir, Biliki ingin melacak keluarganya di Timor Timur. Dia merasa itu sangat penting mengetahuinya asal-berasalnya.

Tahun 2004 Biliki minta batuan dari CAVR (Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi di Timor-Leste) dan ceriteranya di siarkan pada radio CAVR (Dalan ba Dame). Biliki hanya ingat nama lima orang, termasuk nama Timornya sendiri (Biliki) dan pada waktu dibawa dia berada di Ainaro. Ketika keluarganya mendengar program radio mereka merasa bahwa Biliki adalah anak mereka yang sudah lama hilang. Beberapa bulan kemudian, Biliki diundang ke Timor Leste dan diantar oleh staf CAVR bertemu dengan orangtuanya. Walaupun senang menemuakan kembali keluarganya, Biliki sadar bahwa masa depannya berada di Indonesia dengan tiga anaknya. Dia kehilangan identitas Timor Timurnya. Dia telah menjadi orang Indonesia.

Biliki adalah salah satu dari 4-5,000 anak-anak, di bawah kira-kira duabelas tahun, yang dipindahkan ke Indonesia tahun 1975 sampai dengan 1999 dan beberapa waktu sesudahnya. Di lain tempat di Indonesia di mana ada konflik, seperti di Aceh dan Papua, ada juga pemindahan anak-anak, tetapi sama sekali tidak pada skala yang sama seperti terjadi di Timor Timur. 

Anak-anak itu dipindahkan perorangan, terutama oleh tentara, dan sering anak-anak ini diangkat dan tinggal bersama keluarga orang yang mengangkat mereka. Mereka juga dipindahkan oleh lembaga-lembaga permerintah maupun agama. Banyak anak juga pergi ke Indonesia secara sukarela, untuk belajar dan mendapat training dan pekerjaan. Mereka rata-rata lebih tua, dan tidak termasuk jumlah  yang  disebut di atas. Sejumlah anak yang dipindahkan diambil dari keluarganya secara paksa, seperti Biliki. Ada juga banyak yang diperkerjakan oleh orang yang membawa mereka. Kira-kira separuh jumlah 4-5,000 itu dipindahkan perorangan, separuh yang lain lewat lembaga-lembaga.

Maksud saya di dalam tesis saya adalah menguraikan sejarah anak-anak yang dipindahkan ke Indonesia. Saya mulai tertarik pada topik ini karena saya pernah mendengar langung dari orang Timor Timur sendiri pengalaman pemindahan mereka, pada waktu saya tinggal di Indonesia. Tahun 2003 saya bekerja secara sukarela di CAVR dan menemuakan banyak kasus pemindahan. Saya sendiri sudah lama berminat pada pemindahan anak-anak suku Aborijin (orang asli) Australia, yang sering diambil secara paksa dari keluarga mereka (disebutkan “Stolen Generation”). Saya melihat ada persamaan antara pemindahan anak-anak Australia itu dan anak-anak Timor Timur.

Sebagai sejarahwan kami juga harus menjamin bahwa pengalaman orang paling lemah tidak diabaikan. Perhatian sejarahwan terhadap pendudukan Indonesia di Timor Timur rata-rata berfokus kepada isu-isu “besar” seperti politik, hubungan internasional, pelangaran HAM dan militer Indonesia. Tulisan saya menulis sejarah dari segi orang yang tertindas dan lemah, “dari bawah”.  Pengalaman perempuan telah mulai menerima perhatian; pengalaman anak juga harus didengar. NGO-NGO internasional dan dari Indonesia semasa pendudukan memperhatikan keadaan orang yang melawan Indonesia. Tetapi tidak ada tulisan yang berfocus kepada mereka yang tidak melawan, malah tidak mungkin bisa melawan, seperti anak-anak lemah—mereka yang dibawah ke Indonesia dan dibesarkan sebagai orang Indonesia. Untuk menulis tesis saya, hamper tidak ada bahan tertulis. Saya mewawancarai banyak orang, dengan memakai pendekatan, “sejarah lisan”.

Permindahan-pemindahan ini menggarisbawahi nuansa dan kemenduaan dalam hubungan-hubungan kolonial. Kolonialisme tidak bisa dipandang hanya hitam putih. Orang Indonesia mau membantu, dengan membangun dan mendidik, walaupun juga ada alasan-alasan lain yang juga mendorong mereka; dan sering pendekatan dan cara penyampaian pembangunan, seperti pemindahan anak-anak, sering melanggar hak orang Timor Timur. Saya menguraikan sejarah pemindahan anak-anak, yang bisa menjadi sebuah lensa memandang sejarah pendudukan Indonesia di Tmor Timur. 

Selama pendudukan Indonesia, Timor Timur adalah daerah perang dan konflik. Tahun 1975 sampai dengan awal tahun 1980an ada perang. Tetapi selama pendudukan konflik tidak pernah berakhir. Tahun-tahun awal tentara memindahkan anak-anak, dan ketika tidak lagi perang, tentara mendukung pemindahan oleh lembaga-lembaga. Tentara selalu terlibat dalam proses pemindahan anak-anak.

Pengangkatan oleh tentara

Mungkin lebih dari 2,000 anak Timor Timur dibawa ke Indonesia oleh tentara Indonesia. Perwira maupun prajurit biasa membawa anak-anak. Ada anak-anak yang diselamatkan di medan perang. Anak-anak itu tertinggal atau terpisah. Anak-anak juga diambil dari kamp konsentrasi, seperti Biliki. Kelompok yang paling mudah dibawa adalah anak-anak TBO (tenaga bantuan operasi). Mereka terpaksa membantu tentara dengan tugas membersihkan dan memasak tetapi juga masuk daerah perang yang amat berbahaya. Setelah masa tugas selesai, tentara sering membawa anak-anak TBO mereka pulang ke Indonesia. Sering ada rasa kasih sayang dan hubungan erat yang menyambung tentara dengan TBOnya.  (Mungkin TBO Timor Timur yang paling terkenal adalah Alfredo Alves Reinado yang dibunuh pada waktu Presiden Timor Leste, Jose Ramos-Horta, diserang di Februari 2008.)

Kalau ditanya, tentara selalu mengatakan bahwa mereka membawa anak ke Indonesia untuk mendidik dan membantu mereka. Tentara ingin membantu dengan membangun Timor Timur. Studi saya menunjukkan bahwa hampir semua tentara mencoba mendidik anak-anak yang mereka membawa ke Indonesia. Banyak anak diperlakukan dengan baik, seperti Biliki. Tetapi ada yang lain yang diperbudakkan dan dianiaya oleh pengasuh, seperti Reinado. Orang Timor Timur diperlakukan sebagai lawan yang dikalahkan, dan anak-anak Timor Timur diperlakukan bagaikan barang milik yang dapat dibawa begitu saja. Banyak juga diambil paksa, seperti Biliki. Ada yang diselundupkan supaya dapat dibawa dengan barang atas kapal sewaktu tentara pulang ke Indonesia. Itu pengalaman TBO Reinado, ketika dia dibawa ke Sulawesi tanpa izin dia sendiri ataupun orangtuanya.  

Contohnya Suharto

Antara tahun 1976 dan 1979 enampuluh satu anak Timor Timur dipindahkan ke panti asuhan dan lembaga lain di Jawa oleh Presiden Suharto. Mereka diatur lewat yayasan yang didirikan presiden, bernama Dharmais. Keberangkatan mereka dari Timor Timur diatur oleh militer, yang berkuasai pada saat itu, belum ada pemerintahan sipil. Sebagian dari anak itu berasal dari keluarga di mana ayahnya dibunuh Fretilin karena mereka mendukung integrasi. Sebagian yang lain dari keluarga Fretilin. Presiden Suharto memperhatikan pendidkan, dan ingin membantu Timor Timur membangun. Meskipun dia mau membantu anak-anak ini, ada yang di antara mereka yang dikirim ke Jawa tanpa restu orangtuanya. 

Dua pulah dari anak-anak ini diperagakan di muka umum di media di Istana Presiden, rupanya dengan maksud untuk memperbaiki pandangan umum tentang Timor Timur. Anak-anak ini dianggap mewakili orang Timor Timur yang ingin berintigrasi dengan Indonesia. Mereka juga dianggap menunjukkan manfaat bergabung dengan Indonesia. Di pers anak-anak digambarkan dilayani oleh presiden dan isterinya, dengan maksud menunjukkan kebaikan Indonesia terhadap orang Timor Timur. Jadi anak-anak ini, yang dibawa jauh dari rumah mereka tanpa restu orangtuanya, dipergunakan mendukung maksud politik dan ideologis rezim Order Baru.

Menurut tafsiran saya, pemindahan ini oleh Suharto memberi contoh kepada orang pribadi dan yayasan-yayasan dan membantu menciptakan suasana bahwa pemindahan anak kecil, untuk dididik, diterima dan direstui oleh mereka yang berkuasa.

Pemindahan oleh lembaga keagamaan

Lembaga keagamaan dari semua agama di Timor Timur memindahkan anak–anak dari Timor Timur. Tetapi paling banyak anak dikirim ke Indonesia oleh lembaga Islam, paling tidak 1,000 anak-anak asli Timor Timur dikirim ke berbagai panti asuhan dan pesantren tersebar di seluruh Indonesia. Pemindahan ini diatur oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, orang keturunan Arab di Dili dan tentara Indonesia.  Yayasan Yakin di Kuluhun, Dili Timor, mengatur pengirimin anak-anak itu.

Pendiri-pendiri Yayasan Yakin ini, seperti orang Indonesia yang lain, ingin mendukung pembangunan dan pendidikan di Timor Timur. Lagi pula, banyak pendatang yang beragama Islam bekerja di Timor Timur supaya integrasi akan lancar. Mereka butuh  tempat ibadah dan sekolah untuk anak-anak mereka. Pembangunan sekolah dan mesjid di Timor Timur sering dilawan oleh kaum Katolik, khusus anak-anak muda, dan perlawanan itu meningkat pada pertengahan tahun 1990an. Jadi perkembangan Islam di Timor Timur mengalami hambatan. Ada dua kubu dalam pemerintahan berkaitan dengan pendekatan terhadap gereja Katolik di Timor Timur. Di satu segi ada yang beranggapan bahwa gereja Katolik harus didukung karena dia akan mendukung integrasi. Di lain pihak ada anggapan bahwa Islam harus bebas untuk bekembang di Timor Timur karena Timor Timur adalah bagian dari Indonesia, dan Pancasila menjamin keberadaan semua agama. Program pemindahan anak-anak untuk dididik secara Islam di Indonesia diadakan supaya ada orang asli Timor Timur yang menganut agama Islam, dengan harapan nanti mereka akan mendukung berdirinya mesjid dan lembaga-lembaga Islam yang lain di Timor Timur. 

Anak-anak yang dipindahkan kadang kala di bawah sepulah tahun. Mereka sering anak-anak  yatim-piatu, anak-anak seorang janda dan anak-anak orang miskin dari daerah terpencil. Orangtua ini kadang-kadang terdorong menerima tawaran gratis untuk pendidikan anak-anak mereka karena keadaan miskin. Mereka juga merasa takut tidak menaati usulan-usulan tentara yang sering membantu Yayasan Yakin mengupulkan anak-anak di Dili untuk dikirim ke Indonesia.

Di Indonesia anak-anak sering tidak diawasi dengan baik. Mereka pindah lembaga tanpa ketahuan Yayasan Yakin, dan Yayasan ini tidak melapor kepada orangtua keberadaan anak-anak mereka secara teliti, malah kadang kala tidak dengan jujur melapor keadaan anaknya kepada orangtua anak.

Pemindahan 1999 dan sesudahnya

Tindaklaku TNI dan milisi sesudah  jajak pendapat Agustus 1999 menunjukkan sifat kolonial pendudukan Indonesia di Timor Timur: 70% pembangunan oleh Indonesia dimusnahkan, lebih dari 1,000 pendukung kemerdekaan dibunuh dan 250,000 orang dipindahkan paksa ke Indonesia. Selama dan sesaat sesudah jajak pendapat lebih dari 1,000 anak-anak dipisahkan dari orangtuanya. 

Anak-anak sekali lagi dipergunakan mendukung aspirasi orang yang kecewa dengan hasil jajak pendapat. Mereka orang Timor Timur yang juga dulu dipindahkan dari Timor Timur pada usia muda untuk dididik. Awalnya mereka didukung oleh aparat keamanan yang juga kecewa dengan kehilangan Timor Timur. Orang Timor Timur ini ingin menuntut kembalinya Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia. Mereka ingin mendidik anak-anak yang hidup sengsara di kamp-kamp, khususnya di Timor Barat, tetapi mereka juga mau mendidik anak-anak dengan harapan dan aspirasi mereka bergabung kembali dengan Indonesia. Mereka menguasi anak-anak untuk meneruskan perjuangan mereka agar Timor Timur tetap berintegrasi dengan Indonesia. Tindakan-tindakan yayasan-yayasan ini sering masuk media masa pada tahun 1999 dan beberapa tahun kemudian, misalnya Yayasan Hati yang dikelola oleh keluarga gubernur terakhir, Abilio Soares. Yayasan Hati membawa anak-anak ke Jawa Tengah.

Penyeberang prebatasan

Anak-anak kecil tidak memilih sendiri menyeberang perbatasan kolonial dan menjadi orang Indonesia. Mereka belajar bahasa Indonesia, kebudayaan Indonesia, ideologi Indonesia dan untuk mendukung integrasi. Mereka sering diberi nama dan identitas baru. Mereka tidak didukung menjalin hubungan dengan keluarga dan kebudayaan di Timor Timur. 

Ada banyak yang telah kembali ke Timor Timur. Sejak 1999 mulai lebih mudah melacak anggota keluarganya, diumpamakan oleh pengalaman Biliki. Bagaimanapun, banyak di antara mereka masih terpisah dan ingin melacak anggota keluarga yang hilang.  Harus diharapkan bahwa arsip-arsip pemerintah dan militer akan disediakan, termasuk informasi-informasi pribadi, yang akan membantu mereka di dalam pengejaran mereka.

Memahami pemindahan yang telah diuraikan secara sangat singkat di sini akan membantu pemahaman tentang nuansa yang termuat di hubungan-hubungan colonial. Uraian ini juga akan memperkayakan pemahaman kita tentang hubungan-hubungan baru yang sedang dan akan muncul melintasi sebuah perbatasan yang berbeda dan serba baru, antara Indonesia yang baru demokratis dan Timor Timur yang baru merdeka.



[1]              Making them Indonesians: Child transfers out of East Timor, PhD Thesis, University of Queensland, 2009.
                Email: helenevk@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar