Minggu, 05 September 2010

Orang asli Papua: Sebuah refleksi eksistensialis

Orang asli Papua adalah kelompok minoritas di Indonesia. Nasib orang asli Papua sangat tergantung kepada kemampuan penalaran, skill, dan manajemen orang asli Papua sendiri, tapi sayang sekali sampai dengan saat ini, Orang asli Papua mengalami krisis kebudayaan. Hal ini disebabkan kebudayaannya dibiarkan merana, tidak terawat, dan tidak dikembangkan oleh pihak-pihak yang berkompeten, terutama para elite anak orang asli Papua, yang duduk di lembaga eksekutif dan legislatif. Bahkan Kebudayaan orang asli Papua terkesan dibiarkan mati merana digerilya oleh kebudayaan “asing”, terutama dari pulau Jawa dan Sulawesi, serta tumbuh subur pelbagai stereotip atau stigma tentang watak-watak negatip yang diletakkan pada diri orang asli Papua, seperti munafik, jorok, kotor, malas, tidak suka bertanggung jawab, suka gengsi, dan tidak suka bisnis. “lebih aman jadi pegawai”, ungkap sebagian anak muda orang asli Papua.



Itulah wilayah Papua kini, yang menjadi korban dari ajang pertempuran antara Militer Indonesia dan Polisi Indonesia, antara kaum kristen dan kaum Islam, antara modernitas dan kekolotan tradisi, dan antara elite Papua dan elite non Papua, serta orang asli Papua yang kalah dari gempuran kaum kapitalis. Singkatnya, wajah orang asli Papua adalah wajah kaum yang sedang ditindas dan tertindas oleh gurita tiga ‘M’ (baca: militer, modal dan milisi).

Sehingga, kemunduran kebudayaan orang Papua asli sangat terasa sekali. Terpaan berbagai krisis yang tak pernah selesai dialami.
Hal ini tidak lepas dari dosa kolonial Indonesia. Strategi Indonesia untuk mengeksploitasi kekayaan alam di tanah Papua melalui politik memecah belah. Militerisme, kebijakan investasi dan trasmigrasi, wajahnya.

Gerilya Kebudayaan

Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi di dunia harus berjuang sekuat tenaga dengan cara apapun untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi demi meningkatkan kesejahteraan warganya. Mengingat daerah-daerah penghasil, seperti Pulau Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi hampir selesai digarap. Begitu para investor mendapat angin dari regim Orde Baru dan kini resim Cikeas, Papua lalu bagaikan diterpa badai gurun Sahara yang panas!

Pemanfaatan strategi politisasi suku dan sedikit agama untuk mendominasi dan menisbikan kebudayaan Papua mendapatkan angin bagus. Ini berlangsung dengan begitu kuat dan begitu vulgarnya.

Gerilya kebudayaan “asing” lewat politisasi suku begitu gencarnya, terutama lewat media televisi, majalah, buku dan radio. Gerilya kebudayaan melalui TV ini sungguh secara halus-nyamar-tak kentara. Orang awam pasti sulit mencernanya!

Dalam pemberitaan di mass media Indonesia, hal-hal yang berbau mistik, jorok dan yang negatip sering dikonotasikan dengan manusia yang mengenakan pakaian adat orang asli Papua seperti koteka. Kemudian hal-hal yang berkenaan dengan kebaikan dan kesucian dihubungkan dengan pakaian keagamaan dari Timur Tengah atau Arab.
Sekarang generasi Papua dibiasakan oleh para gerilyawan kebudayaan dengan istilah-istilah “asing” dari luar Papua, misalnya, mekar sari, brawijayah, para komando, amal maruh nahi mungkar, saleh dan soleha, dan seterusnya. Untuk memperkuat gerilya kebudayaan, semua hal yang berhubungan dengan orang asli Papua dikonotasikan pada kata atau kalimat, seperti kete, pemabuk, pencuri, suka “main” perempuan dan lain-lain. Hal ini semakin terkondisikan dengan gerilya lewat pendidikan yang gencar, pendidikan berbasis rumah adat yang nasionalis, pluralis dan menjujung tinggi kebudayaan Papua secara lambat namun pasti juga digerilya dan digeser oleh sekolah impres, madrasah-madrasah/pesantren-pesantren yang menerapkan kurikulum Jakarta. Padahal sekolah dalam rumah adat adalah asli produk perjuangan dan merupakan kebanggaan orang asli Papua. UU Sisdiknas juga merupakan gerilya yang luar biasa berhasilnya.

Dengan halus, licik tapi mengena, mass media, terutama TV milik elite Papua dan Radio Republik Indonesia, telah digunakan untuk membunuh karakater (character assasination) budaya orang asli Papua dan meninggikan karakter budaya Indonesia! Para gerilyawan juga menyelipkan filosofis yang amat sangat cerdik, yaitu kebudayaan Indonesia itu bagian dari kebudayaan orang asli Papua. Ini harus ditentang karena tidak sesuai!

Gerilya yang cerdik dan rapi juga adalah melalui peraturan negara seperti undang-undang, misalnya UU Anti Pornografi dan Pornoaksi, UU Kehutanan, UU Agraria.
Puncak gerilya kebudayaan adalah tidak diberikannya tempat untuk kepercayaan asli Papua. Kepercayaan asli adalah harta warisan nenek moyang, yang kaya akan nilai: pluralisme, humanisme, harmoni, dan religius. Kepercayaan asli ternyata tidak hanya digerilya, melainkan dibunuh dan dimatikan secara perlahan! Sungguh sangat disayangkan! Sungguh sangat sadis para gerilyawan kebudayaan ini!
Gerilya kebudayaan juga telah mempengaruhi perilaku orang asli Papua. Orang asli Papua yang dahulu dikenal cerdas, dan harmoni; namun sekarang sudah terbalik: suka kerusuhan dan kekerasan, suka menentang harmoni. Bayangkan saja, Pulau Kimaam yang dulu terkenal dengan budaya ndambu yang mengutamakan kerja sama, ketrampilan dan harmoni digerilya menjadi daerah yang penuh dengan konflik. Berbagai kebijakan pemerintah Indonesia menjungkirbalikan harmoni dan gotong royong orang asli Papua!
Hal ini telah melahirkan arabisasi kebudayaan. Kepentingan kolonial Indonesia untuk menguasai bumi dan alam Papua yang kaya raya dan indah sungguh riil dan kuat sekali. Kalau Negara modern memakai teknologi tinggi dan jasa keuangan untuk menaklukan daerah jajahan, Negara Indonesia memakai politisasi agama beserta kebudayaannya. Saat ini, Papua sedang menjadi ajang pertempuran antara dua ideologi besar dunia: Barat lawan Timur Tengah, antara kaum sekuler dan kaum Islam, antara modernitas dan kekolotan agama. Clash of civilization antar dua ideologi besar di dunia ini, yang sudah diramalkan oleh sejarahwan kelas dunia – Samuel Hutington dan Francis Fukuyama. Hidup tanpa nalar disertai menjiplak budaya Indonesia mengakibatkan kemunduran budaya lokal orang asli Papua sendiri! Maka bijaksana, kritis, dan cerdik sangat diperlukan dalam kehidupan.

Sintesa Budaya

Untuk mencapai kesadaran kritis mengenai kenyataan bahwa sangat penting artinya untuk menjadi “pemilik dari karya sendiri”, bahwa karya merupakan bagian dari pribadi orang asli Papua, dan bahwa “orang asli Papua tidak dapat dijual atau menjual dirinya sendiri”, berarti harus maju selangkah keluar dari khayalan penyelesaian semu. Melakukan perubahan sejatih atas realitas, dengan memanusiakan realitas hidup.

Sintesa budaya merupakan suatu cara bertindak untuk menghadapi kebudayaan itu sendiri, sebagai penjaga dari struktur-struktur yang membentuk dirinya. Aksi kebudayaan, sebagai aksi sejarah, adalah sarana untuk menggeser kebudayaan kaum penguhasa yang terasing serta mengasingkan. Dalam arti inilah, setiap revolusi sejati merupakan revolusi kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar