Minggu, 19 September 2010

Asikie

“Memang benar, Tanah Papua merupakan tanah yang kaya akan sumber daya alam. Tetapi di atas tanah yang kaya itu kini hidup orang-orang Papua yang miskin. Mengapa? Karena selama ini rakyat tidak menikmati hasil kekayaan itu.”

Siang itu, 28 oktober 2008, kira-kira pukul 12.30 WIT, Ibu Emiliana Omba dan beberapa ibu lain tengah sibuk mengangkut pasir dari tempat galian ke atas truk pengangkut pasir. Pasir itu mereka jual seharga Rp. 1000/kg. Terlihat beberapa ibu, termasuk ibu Emiliana Omba, begitu bersemangat mengangkat karung-karung pasir ke dalam truk yang tengah diparkir.


Sinar matahari terasa sangat menyengat. Sesekali Ibu Emiliana Omba harus mengusap keringatnya dengan tangannya. Beberapa menit kemudian truk itu pergi membawa pasir, dan tampak Ibu Emiliana Omba dan ibu-ibu yang lain dengan senyum khas Papua bergegas ke tenda-tenda yang telah mereka dirikan untuk berteduh. Pemandangan ini terjadi di antara lokasi Perusahan PT. Korindo Grup dan Pasar Prabu Alaska di Asiki, Kabupaten Boven Digoel, Papua.

Dari hasil investigasi Promotor JPIC MSC dan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke(SKP-KAM) pada November 2008, tercuat bahwa Ibu Emiliana Omba dan ibu-ibu yang lain terpaksa menggali pasir di tempat penggalian pasir, karena mereka tidak bisa mendapat pekerjaan di PT. Korindo Grup yang berdiri di atas tanah milik leluhur mereka itu. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya, antara lain, tingkat pendidikan yang rendah. Menurut staf SKP-KAM, Wenda Maria Tokomonowir, kenyataan ini memperlihatkan adanya pergeseran peran yang telah dan sedang terjadi pada perempuan Papua. “Akibat dari tingkat pendidikan yang rendah, pada umumnya perempuan Papua mengalami suatu pergeseran peran dan tidak mampu bekerja sebagai pegawai di Perusahan PT. Korindo Grup”, ungkapnya.

Pengalaman yang hampir sama dialami oleh Ibu Maria, seorang buruh di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Tunas Sawa Erma (PT. Korindo Grup), Asiki. Setiap pukul 04.00 pagi, Maria sudah harus bangun dan menyiapkan makanan untuk suami dan kedua anaknya. Tepat pukul 05.30, ia sudah harus berada di lokasi perkebunan untuk memanen buah kelapa sawit. Ia bekerja sampai pukul 18.00. Tiba di rumah, perempuan itu harus menyiapkan makanan untuk suami dan anaknya. Ini keseharian Maria dan kebanyakan perempuan Papua di daerah itu. Perusahan raksasa itu ternyata hanya menindih hidup mereka. Remah-remah pun tak bisa mereka cicipi dari kehadiran perusahan itu.

Masa-masa indah

Dulu, masyarakat Asiki hidup cukup terjamin, baik secara sosial-ekonomi maupun budaya. Masyarakat senang dengan kehidupan seperti apa adanya dan yang diatur oleh adat dan alam.

Ada dua hal penting dalam hidup mereka: mereka hidup berkelompok (kolektif) dan adat menjamin kehidupan mereka. Secara bersama-sama mereka bertanggung jawab atas kehidupan bersama. Tidak ada kesengsaraan, kemiskinan, pencurian, balas dendam dan lain-lain. Kebersamaam dalam kelompok begitu kuat.

Waktu itu, gotong royong di kampung dirasa biasa-biasa saja. Ini beda dengan kehidupan sekarang, kalau mau gotong royong, orang pun bertanya, “ada uang kha?”
Sekolah berjalan dengan baik. Para guru dihormati dan dihargai masyarakat. Kepala kampung dengan gampang bisa mengatur masyarakat. Kampung-kampung terlihat bersih dan asri. Jalan antar kampung dikerjalan secara gotong royong. Mereka memang masih hidup dengan mental peramu dan mental gaib. Artinya, mereka mengumpulkan apa yang alam berikan untuk kelanjutan hidup, seperti makanan, bahan rumah dan lain-lain.
Dengan percaya kepada azimat (benda ajaib) dan matera (kata-kata gaib), mereka dapat mengatur apa saja. Hasil kebun berlimpah, hasil buruan binatang selalu diperoleh. Mereka hidup damai dan tenteram. Ini berlainan dengan mentalitas petani. Dia lebih menghargai usaha sendiri. Dia coba kerja dengan telitih dan tekun agar kebunnya bisa menghasilkan panen yang berlimpah.

Derita tiada akhir

Pada tahun 1980 situasi social, ekonomi dan budaya masyarakat adat mulai goyah dan berubah drastis. Ada beberapa penyebab. Pertama, sekitar tahun 1980 masyarakat digerakkan untuk ikut penebangan kayu mol. Sejak itu, kehidupan mereka di bidang social, ekonomi dan budaya di kampung-kampung mulai rusak. Berbulan-bulan orang-orang hidup di tempat penebangan kayu. Kampung jadi kosong, kotor dan tak terurus serta menjadi tempat bermain babi.

Sekolah juga kosong. Sekolah dan rumah guru mulai rusak karena tidak ada penghuni. Pastor mau kunjungi orang di kampung, paling banyak beberapa orang saja yang datang. Guru-guru juga tidak bertahan. Ini situasi paling buruk.

Kedua, pada 14 Mei 1984, peristiwa politik gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di daerah suku Muyu beraksi. Akibatnya, lebih dari 10.000 orang penduduk mengungsi ke Negara Papua New Guenia. Mereka fustrasi atas perlakuan para pengusaha, tender pembangunan dan urusan pembayaran proyek pembangunan yang tidak benar di Waropko dan Mindiptana, ditambah banyak hal lain yang menyakiti hati masyarakat seperti pengamilan, intimidasi, penyiksaan dan pembunuhan warga masyarakat oleh anggota TNI yang bertugas di perbatasan. Maka, terjadilah peristiwa muyu pada 14 Mei 1984 itu, yang pada gilirannya ikut menghancurkan kehidupan ekonomi, social dan budaya masyarakat adat. Peristiwa muyu waktu itu, bukan hanya masalah politik. Ada campur baur dengan corak pikir dan gerakan budaya cargo cult.

Masyarakat mengungsi ke PNG dan sesudah urusan “anak muda” mereka selesai mereka dapat keselamatan hidup: bahagia, jadi kaya, bebas, merdeka seperti orang pendatang yang ada. Beberapa bulan kemudian, yakni bulan Agustus 1984 terjadi lagi gerakan cargo cult atau sigo-sigo, mereka bersembunyi jauh di hutan, di rawa sagu duri antara sungai digoel dan kali edera, Distrik Edera, Kabupaten Mappi. Menurut Pastor Cornelis J.J. de Rooij, MSC, gerakan cargo cult ini juga terjadi karena hidup social ekonomi mereka hancur akibat penebangan kayu, yang tidak memberikan keuntungan ekonomis. Selama ini memang tidak ada pendampingan dan penyadaran langsung ke masyarakat dari pemerintah.

Jalan Trans Papua memang membuka isolasi masyarakat setempat. Pembukaan jalan trans Papua merupakan suatu kemajuan besar. Namun, bagi orang asli Papua yang hidup di sepanjang jalan trans itu, kemajuan itu tak pernah mereka rasakan. Ongkos transport teramat mahal. Harga tiket hardtop dan bus, bagi banyak orang asli Papua di Asikie, terbilang sangat mahal. Akibatnya, hasil bumi itu terpaksa mereka jual murah kepada orang lain, yang kemudian menjualnya dengan harga mahal di kota.

Pada tahun 1993, PT Korindo Group (PT. Tunas Sawa Erma dan PT. Bade Makmur Orisa) mulai beroperasi di Asikie, serentak dengan hak pemanfaatan hutan/ HPH-nya. Dan pabrik Plywood baru dibuka pada Mei 1996. Maka, sejak tahun 1993 hidup masyarakat adat sungguh digoyahkan. Ada investor besar datang dengan HPH untuk menebang kayu dan bukan pabrik plywood. Dunia mental Industri memasuki wilayah kaum peramu. Masyarakat adat, mau tidak mau, tanpa persiapan mental, harus melonjat dari dunia mental peramu dan gaib ke dunia bermental industry. Orang lain kini mengolah hutan dan alam mereka. Sementara mereka menonton saja. Masyarakat adat terpaksa menerima kenyataan pahit ini. “Bayangkan saja perasaan apa yang ada di hati mereka. Semula ada forum terbuka antara pemerintah dan institusi terkait, bersama masyarakat setempat. Saya waktu itu berani Tanya kepada team yang datang dari Merauke, apakah mereka bersedia dan siap membimbing dan menyadarkan orang asli Papua yang masih hidup mental peramu, supaya nanti bisa ikut perkembangan industry seperti ini. Ketua team dari Merauke enak saja menjawab “ itu tugas pastor-pastor kan?” Kisah Pastor Cornelis J.J. de Rooij, MSC.

Tahun 1998 di Asikie mulai dibuka lahan perkebunan kepala sawit seluas 19.000 ha dan dilanjutkan di tahun 2004/2005 di Getentiri seluas 20.000 ha. Sejak dibuka lahan itu, muncul banyak masalah. Semula belum terlalu ada masalah, karena di wilayah itu belum ada pemukiman atau kampung. Asiki hanyalah sebuah dusun sagu, tempat berburuh dan tempat sacral. Tuan tanah dengan kelompoknya dapat satu milyard rupiah, dan disimpan di Bank Pembagunan Daerah (kini Bank Papua) dengan bunga bank sampai 50%. Tiap bulan, uang itu dibagi kepada pemilik dusun. Tapi, masyarakat merasakan tidak adil. Pada tanggal 4 Desember 1999, Bapak Edowardus Kemi melaporkan dan meminta bantuan hukum kepada Lembaga Bantuan Hukum Jayapura Pos Merauke.Hingga kini, persoalan ketidakadilan yang mereka alami belum terselesaikan.

Kehadiran prajurit TNI-AD dari satuan Kopassus dan Kostrad di areal konsesi PT. Korindo Grup semakin menambah derita penderitaan masyarakat. Hasil investigasi JPIC MSC/ SKP-KAM pada November 2008 menemukan bahwa kurang lebih ada 12 pos TNI dari satuan Kostrad dan Kopassus di areal Konsesi PT. Korindo Grup. Ada 5 Pos Kopassus, yakni di mess staf PT. Korindo Grup di Asikie, di mess karyawan Camp Tunas, Camp Erma, Camp Kali Muyu dan Camp 19. Ada beberapa anggota Kopassus yang tinggal membaur dengan warga di Camp 3. Sementara, ada 6 Pos Kostrad, yakni pos induk di Asikie (samping SD Asikie), satu pos di ujung kelapa sawit (kepala Sungai Bian), satu pos di Km 35 jalan ke Camp Tunas, satu pos di Camp Kali Muyu, satu pos di Camp Tunas dan satu pos di Camp Erma dan ada Koramil di Camp 19. Hal ini memperlihatkan bahwa PT. Korindo Grup dijaga oleh para prajurit TNI-AD. Dari kenyataan ini, maka penempatan begitu banyak pasukan TNI di areal konsesi PT. Korindo Grup merupakan usaha militer untuk mempertahankan supremasi mereka sambil menyabot hegemoni polisi dalam memelihara kamtibmas. Penempatan ribuan personil militer dan polisi di areal konsesi PT. Korindo Grup yang terletak di perbatasan dan di proyek-proyek pembangunan memboroskan uang rakyat dan menambah beban masyarakat setempat dan alih-alih menciptakan keamanan, kehadiran begitu banyak pasukan di areal konsesi PT. Korindo Grup justru menciptakan rasa tidak aman karena menimbulkan penderitaan bagi rakyat setempat.

Pada tahun 2004/2005 PT Korindo Grup membuka lahan 20.000 ha lahan kelapa sawit di Getentiri. Dengan perluasan lahan kelapa sawit di Getentiri, mulai makin banyak masalah rumit. Tanah di klaim dengan suara beberapa orang yang dianggap diri perwakilan pemilik dusun. Ini sebuah kesalahan besar. Akibat masyarakat ditipu. Masalah tanah jadi tersendat-sendat dan macet. Juga kayu yang diambil dari lahan itu tidak dibayar kepada si empunya hak. Persoalan tanah tidak bisa diselesaikan. Pun tanah tidak bisa diurus oleh lembaga adat. Tiap tuan dusun harus dihargai. Pembayaran tanah dan kayu oleh perusahan mesti diatur seadil mungkin. Tak boleh lewat kepala kampong, ketua adat atau institusi lain.

Oleh karena itu, yang dibutuhkan di Papua adalah investasi yang mensejahterakan rakyat, sehingga tepatlah yang dikatakan oleh Pastor Cornelis J.J. de Rooij, MSC, “Kalau Papua mau maju, perlu ada investor-investor yang datang buka perkembangan di daerah ini. Tetapi, perhatikan supaya hak dan keselamatan manusia Papua diprioritaskan, termasuk mereka diikutsertakan dalam proses pembangunan tersebut. Mereka perlu dibimbing dan mendapat penyadaran terus menerus oleh semua instansi pemerintah, gereja dan lembaga adat, agar dunia peramu dan gaib perlahan-lahan berubah menjadi manusia pembangunan. Manusia lebih bernilai ketimbangan uang yang banyak.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar