Senin, 30 Agustus 2010

Mezak Moyuwen dari Bu-Epe

Siang itu, 19 September 2009, kira-kira pukul 12.00 siang, udara terasa sangat panas. Kedua telapak tangan Mezak Moyuwen, Ketua Adat di dusun Bu-Epe, yang terletak di pinggir kali Mbayan, Distrik Kaptel, Kabupaten Merauke, Papua, berkali-kali menyeka keringat yang mengalir di wajahnya. Sesekali matanya terpejam rapat, menghindari sinar matahari yang terasa menyengat dan debu yang dikeluarkan oleh truk-truk pengangkut kayu milik PT. Medcopapua Industri Lestari yang melintas. Hutan seluas 2.800 m² yang sedang dibabat oleh alat-alat berat milik PT. Medcopapua Industri Lestari itu adalah sumber kehidupannya.


“Dulu, hutan di dusun Bu-Epe banyak pohonnya”, ungkap Mezak Moyuwen.

Ada banyak kali kecil yang jadi sumber air minum. Udara terasa sejuk. Ada beberapa jenis binatang, seperti rusa, kasuari, kanguru, dan beberapa jenis burung yang dijadikan sumber mata pencaharian. Warga dusun Bu-Epe dengan sangat mudah mendapat binatang untuk dijual dan dimakan. Sumber air bersih untuk air minum berlimpah. Tetapi, sejak Bupati Kabupaten Merauke mengeluarkan surat keputusan dengan nomor 205 Tahun 2007 tentang pemberian ijin lokasi tanah seluas 2.800 m² kepada PT. Medcopapua Industri Lestari untuk keperluan pembangunan industri kayu serpih dan pulp beserta fasilitas pendukungnya di Distrik Kaptel, Kabupaten Merauke, hutan di dusun Bu-Epe dibabat. Kayu-kayu telah diambil oleh para pekerja PT. Medcopapua Industri Lestari untuk dijadikan chips, yang akan diekspor keluar negeri. “Warga yang dulunya kaya, sekarang miskin,” kata Mezak Moyuwen sambil menunjuk hutan yang telah dibabat dan diambil kayunya. Tangan Mesak menunjuk ke arah barat, “Di sana, di lokasi penebangan itu, kami punya tempat berburuh binatang. Sekarang, kami tidak punya tempat berburu lagi, karena hutan sudah tidak ada. Binatang sudah lari. Kalau kami mau berburu, kami harus berjalan kaki sejauh 8 km,” kenang Mesak. Selain itu, warga dusun Bu-Epe dengan busur dan anak panah harus bersaing berburu binatang dengan petugas sekuriti PT. Medcopapua Industri Lestari yang memiliki senjata api mesin. Kenyataan ini semakin mempersulit warga, ketika ada larangan dari pihak PT. Medcopapua Industri Lestari untuk warga dusun Bu-Epe tidak boleh menjual binatang hasil buruannya ke camp-camp karyawan.

Dulu kami bebas dan bahagia tapi kini dapat kartu

Sejak dahulu, dusun Bu-Epe dikenal sebagai sumber kehidupan yang sangat kaya dengan sumber daya alam. Hal ini memberikan harapan tersendiri terhadap Mezak Moyuwen dan keluarganya untuk menggapai masa depan yang lebih baik. Pada tahun 1997, setelah kematian ayahnya, Yusuf Moyuwen, Mesak Moyuwen memboyong anak dan istrinya keluar dari Kampung Kwemsit dan membangun rumah untuk tinggal di dusun Bu-Epe. Kemudian, beberapa keluarga dari kampung Kwemsit datang dan membangun pondok di dusun Bu-Epe yang masih hutan belukar. Di dusun Bu-Epe, binatang bisa didapat dengan mudah dan dijual ke pendatang yang datang ke dusun Bu-Epe, atau dijual ke penada yang tinggal di muara Kali Mbyan. Mezak Moyuwen dan keluarganya serta keluarga yang lain terlihat sangat bahagia, karena baik binatang buruan atau kebutuhan pokok, seperti beras, sagu, gula, kopi dan lain-lainnya dapat diperoleh dengan mudah. “Warga bebas berburu. Hari ini kami pergi ke hutan, hari ini juga kami bisa bawa 4 ekor rusa untuk dimakan dan dijual. Kami senang,” ungkap Tinus Moyuwen, anak pertama Mesak Moyuwen. Kini, ketika hendak bepergian keluar dusun Bu-Epe, entah untuk berburu atau pangkur sagu, atau pergi ke muara Kali Mbayan bahkan ke Kota Merauke, warga dusun Bu-Epe harus melapor ke pos sekuriti PT. Medcopapua Industri Lestari dan mendapat kartu. Menurut seorang petugas sekuriti yang tidak mau disebut namanya bahwa kartu yang diberikan kepada warga dusun Bu-Epe itu bertujuan untuk mempermudah warga dalam memanfaatkan fasilitas PT. Medcopapua Industri Lestari.

Konflik “ehyon”

Keluarga Mezak Moyuwen, satu dari 57 keluarga yang tinggal di dusun Bu-Epe, kini hidup di tengah-tengah areal konsesi PT. Medcopapua Industri Lestari. Di dusun Bu-Epe, dia tinggal di rumah panggung berdinding papan, berlantai papan dan beratapkan daun rumbia. Rumah ini dibangun pada 2009 dengan mencuri papan milik PT. Medcopapua. Keluarga Moyuwen tengah menunggu untuk direlokasi ke dusun Mewi atau Ndamun yang direncanakan awal tahun 2008, namun belum direalisasi hingga hari ini. Ini disebabkan oleh masih ada konflik seputar “ehyon” (baca: batas) hak ulayat antara warga dusun Bu-Epe, dengan warga Kampung Sanggase. Menurut Mesak Moyuwen, tanah 2.800 m² yang sedang digarap oleh PT. Medcopapua Industri Lestari adalah miliknya. Tetapi beberapa warga kampung Sanggase menegaskan bahwa tanah itu milik warga kampung Sanggase. Warga dusun Bu-Epe hanya memiliki hak pakai. Persoalan lebih jauh lagi adalah penegasan tentang “ehyon” antara “timan anem” (“orang bagian darat”; ini sebutan untuk warga dusun Bu-Epe) dan “duhanem” (“orang bagian laut” adalah sebutan untuk warga kampung Sanggase). Hal ini menimbulkan konflik horizontal antara warga dusun Bu-Epe dan warga Kampung Sanggase hingga kini.

Bukan untung tapi buntung

Persoalan ganti untung yang diharapkan dapat diterima oleh warga pemilik hak ulayat dusun Bu-Epe tidak terjadi, sebaliknya warga pemilik hanya memperoleh ganti rugi dari pihak PT. Medcopapua Industri Lestari, berupa pembelian dua unit Yamaha Outboard motor (YOM) sesuai DO: 02.07.12C.802 pada tanggal 29 Desember 2007 sebesar Rp 38.000.000 dan dua unit sepeda motor Honda Megapro Bintang sebesar Rp 57.300.000 serta sejumlah uang yang akan dipakai untuk merelokasi warga dusun Bu-Epe ke dusun Mewi atau Ndamun. Sementara PT. Medcopapua Industri Lestari juga memberikan uang kompensasi kepada pemilik dua marga, yakni marga Moyuwen (berjumlah Rp. 500.000 per bulan) dan marga Balagaize (sebesar Rp. 500.000 per bulan). Menurut Mezak Moyuwen, ganti rugi yang diberikan oleh PT. Medcopapua Industri Lestari ini tidak membuat mereka sejaterah. Padahal dalam pertemuan awal dengan pihak PT. Medcopapua Industri Lestari dan Pemda Kab. Merauke, warga pemilik hak ulayat dijanjikan untuk diperhatikan.

Sementara warga masyarakat pemilik hak ulayat belum sejahtera dan banyak persoalan belum terselesaikan, PT. Medcopapua Industri Lestari telah melakukan dua kali ekspor chips ke luar negeri. Ekspor yang kedua menggunakan kapal Condor (kapal asal Yunani). Inilah potret warga Papua yang hilang masa depannya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar