Rabu, 25 Agustus 2010

Bartol Yolmen telah “pergi”



Siang itu (14/5/2010) di tengah hiruk pikuknya kota Merauke, saya bertemu dengan Bartol Yolmen, 29 tahun, di rumahnya, Jalan Mangga Dua Kimaan, Kota Merauke. Ayah dari seorang anak bernama Felix Yolmen, 3 tahun, yang menjadi korban kekerasan aparat TNI-AD Kostrad 643/WNS Kalimantan pada tahun 2005 silam. Ia sedang sakit. Badannya kurus dan agak bongkok, tapi dengan antusias menyambut kedatangan saya.

Tanpa peduli dengan situasi sekitarnya,ia serius menceritakan kisah hidupnya. Istrinya, Jemitri Gebze, tampak duduk di samping menemaninya. “Sejak dipukul oleh prajurit TNI-AD Kostrad 643/WNS, saya sakit sampai hari ini,” ungkapnya.


***

Waktu itu, rabu malam (27/4/2005), pukul 20.00, aparat gabungan TNI dan Polisi menjemput Bartol Yolmen di rumahnya, setelah mendengar kesaksian dari kawannya, Rafael Kapura.

Rafael Kapura, seorang sarjana Ilmu Pemerintahan dari Universitas Sam Ratulangi Manado, ditahan oleh prajurit TNI-AD Kostrad 643/WNS di Bupul 12, Distik Eligobel, Kabupaten Merauke. Rafael Kapura dicurigai terlibat dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM).

“Saya terpaksa harus mengalikan perhatian anggota TNI/Polri dengan menyebutkan senjata yang saya ada simpan di rumah Bartol Yolmen. Saya terpaksa, karena saya sudah disiksa selama seminggu dan akan dibunuh,” ungkap Rafael Kapura.


***

Pada saat prajurit TNI dan Polisi tiba, Bartol Yolmen sedang tidur di kamar tamu rumahnya. Bartol Yolmen sudah punya firasat. Ketika tiba di rumahnya, anggota Kostrad bertemu adiknya.
“Bartol Yolmen, ada?”
“Ada di dalam.”
Para prajurit itu langsung masuk kamar. Bartol Yolmen kaget dengan kehadiran banyak aparat bersenjata.
“Bapa dorang (kamu) mau apa?”
Pada saat yang sama, Pak Meto, saudara Bartol Yolmen, berkunjung ke rumahnya. Ia pun kaget dengan kehadiran banyak aparat TNI dan Polisi. Seorang prajurit bertanya kepada Pak Meto:
“Kamu ini siapa?”
“Saya anggota TNI dari Kodim. Bapa dalam rangka apa ke sini?” Ungkap Pak Meto.
Perdebatan pun terjadi antara beberapa anggota Polisi dengan Pak Meto.
Setelah terjadi perdebatan, para prajurit itu membawa Bartol Yolmen ke Pos TNI-AD Kostrad 643/WNS di Jln. Nawari, kota Merauke. Sesampai di Pos, seorang prajurit langsung bertanya kepada Bartol Yolmen:
“Apakah kamu anggota Yustus Wali?”
“Tidak, Bapa”.
“Kamu simpan senjata di rumah?”
Bartol Yolmen menjadi kaget dan bingung dengan pertanyaan prajurit itu.

“Bapa, saya tidak tahu”.

“Kamu jangan bohong. Kamu simpan senjata di rumah? Cepat beritahu, kalau tidak mau mati!”

“Bapa, saya tidak tahu apa-apa.”

Maka terjadi sedikit perdebatan soal keberadaan senjata antara prajurit TNI dengan Bartol Yolmen.
Bartol diberi waktu tiga hari untuk membawa senjata ke Pos TNI-AD Kostrad 643/WNS.

Bartol Yolmen untuk sementara dilepas dan dijadikan umpan untuk mengungkap keberadaan senjata. Pukul 23.00, beberapa prajurit kontrad 643/WNS membawa pulang Bartol ke rumahnya. Dalam perjalanan, para prajurit meminta Bartol Yolmen untuk menunjukkan rumah Yustus Wali.

***

Beragam reaksi mulai muncul. Ada yang diam, ketika ditanya tentang persoalan Bartol Yolmen. Tapi, ada yang mulai mencari cara untuk menyelesaikan persoalan ini. Informasi mulai disebarkan ke mana-mana. Banyak warga di Merauke dan beberapa tempat lain di Propinsi Papua mulai mengetahui persoalan yang sedang dialami Bartol Yolmen. Keluarga besar Bartol Yolmen menjadi ketakutan.

Pada Kamis, 28 April 2005, Bartol bertemu dengan Bapak Ireneus Yoma dan ia disuruh telpon ke Jayapura.

Minggu, 1 Mei 2005, Empat anggota Polisi datang ke rumahnya tapi Bartol tidak berada di rumahnya. Pukul 19.00, Saat makan malam, empat orang aparat TNI datang menjemput Bartol Yolmen di rumahnya. Bartol Yolmen dibawa ke rumah intel Kodim di Jln. Aru, kompleks perumahan Kodim dan dibawa ke Pos Kostrad. Bartol masih ditanya tentang senjata.
Pada saat itu, Bartol dipertemukan dengan Rafael Kapura.
“Kamu kenal dia kah?”

“Ia saya kenal.”

Tapi, Bartol Yolmen menjadi bingung dengan Rafael Kapura. Bartol semakin bingung ketika Rafael Kapura menyatakan bahwa Bartol Yolmen menyimpan senjata pada hari Senin. Rafael Kapura disuruh menggambar senjata. Rafael Kapura menggambar senjata laras panjang popor kayu sementara jenis senjata yang disebut adalah Sten, popor besi yang bisa dilipat. Bartol Yolmen menyangkal pernyataan Rafael Kapura dan sempat terjadi pertengkaran Rafael Kapura dan Bartol Yolmen. Bartol Yolmen sama sekali menyangkal menyimpan senjata. Sesaat kemudian Bartol tersadar dengan situasi yang ada. Temannya Rafael dalam keadaan terancam, perlu bantuan, karena itu perlu ada tindakan penyelamatan. Seorang anggota Intel Kodim menarik Bartol Yolmen dan berkata:

“saya sudah lihat kamu tidak bawa senjata, karena itu mari kita kerjasama. Sekarang saya kasih kamu Telepon Satelit biar kita saling kontak.”

Saat itu, situasi semakin tidak terkendali, masing-masing intel dari kesatuan Kostrad, Kodim, Kopasus, Brimob saling berebutan bertanya dan sama-sama berambisi mendapatkan informasi tentang senjata. Dalam keadaan yang tidak terkendali Bartol Yolmen semakin takut dengan keselamatannya dan keselamatan Rafael Kapura. Maka, Bartol Yolmen sengaja menyatakan kepada aparat yang lagi gemas dan penuh amarah:

“Senjata ada di rumah!”

Setelah mendengar pernyataan itu, seluruh anggota dari masing-masing kesatuan mengambil posisi sigap dengan kode A1. Wajah para anggota prajurit kelihatan bangga dan senang.

Sesaat kemudian mereka bersiap naik mobil. Badan Bartol Yolmen dibungkus dengan jacket hitam. Kedua tangannya diborgol. Tubuhnya terbungkus rapi tapi tak berdaya. Ia dinaikan ke atas truk milik kostrad 643/WNS. Pengawalan ketat dari anggota TNI dan Polisi. Mereka bersenjata lengkap. Beberapa memegang sekop dan cangkul.

Selama dalam perjalanan, beberapa anggota Konstrad 643/WNS selalu bertanya tentang siapa-siapa yang pegang senjata. Sesekali, kata-kata makian dilontarkan kepadanya. Ia ingin sekali berontak tapi tak bisa. Ia hanya terdiam. “Mengapa saya diperlakukan begini? Saya salah apa kha”, keluhnya dalam hati.

“Tuhan tolong saya kha.”

Ketika mendekati rumahnya, anggota TNI-Polisi, kurang lebih dua puluh orang, terlihat siaga.

Truk itu berhenti agak jauh dari rumahnya. Bartol Yolmen dibawa melewati bagian belakang rumah tetangga, dan masuk melalui dapur rumahnya. Dua anggota Kostrad 643/WNS menyuruh Bartol Yolmen menampakkan wajah kepada istrinya, Jemitri Gebze. Istrinya hanya duduk terdiam. Takut!

***

Sementara itu, tak jauh dari rumahnya, ada pertemuan keluarganya di rumah Pak Atanasius di Mangga 2 Kimaam. Bartol Yolmen menendang seorang anggota TNI yang ada di belakangnya dan lari menyerobot masuk ke rumah pak Atanasius. Anggota TNI-Polisi segera mengambil sikap menyerang dan menyerobot masuk menangkap Bartol Yolmen di rumah itu. Terjadi keributan di rumah Pak Atanasius.

“Mereka mau bunuh saya……! Mereka mau bunuh saya...mereka mau bunuh saya...tolong...tolong....tolong saya.”

Jacket yang dipakai Bartol Yolmen terangkat ke atas sehingga menutup wajahnya. Borgol yang mengikat tangannya terlihat. Dalam keadaan tak berdaya, penyiksaan terhadapnya terjadi dan disaksikan oleh anggota keluarga terutama isterinya, Jemitri Gebze. “Hatiku sakit menyaksikan suamiku disiksa seperti binatang.”

Aparat menyeret Bartol Yolmen ke luar rumah. Tubuhnya ditendang dari segala arah. Ia terjatuh. Terguling-guling, setiap tendangan dan pukulan. Prajurit-prajurit TNI dan Polisi terus menyiksa Bartol. Borgol yang dikenakan pada pergelangan tangannya semakin kencang mengikat. Bartol ditarik. Ia diseret ke Jalan beraspal. Wajahnya mencium aspal. Mukanya berlumuran darah. Pingsan. Tubuh Bartol diangkat ke dalam truk. Anggota TNI-Polisi pergi membawanya. Tubuhnya terus diinjak, disepakoleh aparat negara itu.

Istrinya hanya bisa menangis. “Waktu itu, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Mau minta tolong, tapi kepada siapa. Kami semua ketakutan. Saya hanya bisa menangis.”

Sesampai di Pos Kostrad 643/WNS, tubuh Bartol dilempar ke tanah. Pada saat tergeletak, tubuhnya ditentang oleh aparat gabungan yang kecewa. Tubuhnya semakin berdarah. Banyak darah yang menetis ke tanah. Bartol Yolmen tak berdaya ketika popor senjata diayunkan dan mengena rahang kanan. Rahang kanangnya remuk dan patah. Wajah tak berbentuk, pelipis membengkak demikian juga dagu dan seluruh wajah dilumuri darah. Saat itu situasi sekali lagi tidak terkendali karena masing-masing kesatuan mengambil tindakan penyiksaan di luar batas kemanusiaan.

***

Senin, 2 Mei 2005, pukul 02.00, Bartol Yolmen dan Rafael Kapura dibawa ke Pos Kostrat 643/WNS di Kali Wanggo. Tubuh Bartol dilempar begitu saja ke atas mobil truck kostrat. Rafael dipaksa naik ke mobil. Sepanjang perjalanan, Rafael Kapura tidak memperhatikan Bartol karena sangat gelap.

Bartol Yolmen mengigil. Tubunya bergetar semuanya. “Saya merasakan semua badan saya sakit. Rasa dingin mulai naik dari kaki. Saya lemas. Saya tidak mampu lagi”.
Pkl. 06.00, truk yang membawa mereka berhenti tepat di depan Pos Kostrad 643/WNS, Kali Wanggo. Rafael dan Bartol tetap diborgol. Bartol diborgol dan diarahkan ke pohon bambu, sedangkan Rafael di tempat duduk bagian belakang. Mereka berdua tidak perna luput dari penyiksaan, baik itu secara mental maupun fisik. “Kami dianggap sampah”, ungkap Rafael Kapura.

Penyiksaan terus dialami!

Kamis (5/5), di saat umat Kristiani merayakan Pesta Kenaikan Tuhan Yesus, Pak Andi menemui Bartol dan Rafael di Pos Kostrad 643/WNS, Kali Wanggo. Mereka banyak bercerita tentang keadaan mereka. Takut mati dan ingin tetap hidup adalah perasaan yang paling dominan.

“Rafael jangan takut, kamu akan kembali dalam keadaan selamat dan saya jamin itu. Nanti kalau saya sampai di Merauke, saya langsung ketemu Pastor Jus Mewengkang, MSC dan Bapak Uskup.” Ungkap Pak Andi.
Setelah berbicara banyak hal dengan Rafael dan Bartol, Pak Andi pamit dan kembali ke kota Merauke.

Sesaat Pak Andi berpisah dari mereka, seorang anggota Kostrad mendekati mereka dan berkata: “Kalian tenang-tenang saja”. Saat itu, Rafael sempat katakan bahwa dia tidak takut lagi, sebab Pastor Jus Mewengkang, MSC., dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAM), sudah titip pesan kepada Pak Andi bahwa dia dan Bartol jangan diapa-apakan. Wah, gawat! Mendengar kata SKP, anggota Kostrad itu langsung marah. Ia memukul Rafael dan berkata:
“Jadi kamu mau diselamatkan oleh LSM? LSM apa? Jawab cepat..cepat jawab!”

Beberapa anggota kostrad mendekat dengan memberikan reaksi marah. “Kamu ini siapa ah...sudah tidak berdaya masih saja lawan. Hei, kalau sampai kamu lapor ke pihak LSM, kami akan bunuh kamu.”

Malam harinya, dua orang utusan dari Komando Daerah Militer (KODAM) Jayapura bertemu mereka. Kedua orang tersebut didesak oleh Mahasiswa dan anggota DPR Propinsi, Komisi A DPRP yang menangani Hukum dan HAM. Kedua orang utusan dari KODAM sangat fleksibel, relax namun serius dengan mengajukan pertanyaan. Suasana Pos Kali Wanggo berubah, aparat tidak kelihatan kasar, borgol yang mengikat kedua tangan Rafael dan Bartol dilepas. Ada sedikit kebebasan.

***

Jumat (6/5), matahari hampir menghilang di ufuk barat, dikalah itu, aparat Kostrad 643/WNS Kali Wanggo mengantar Bartol dan Rafael ke Merauke. Kira-kira pkl. 18.00, rombongan tiba di Pos Induk Kostrad 643/WNS di Jl. Nowari, Kota Merauke.

Tanpa istirahat, Bartol dan Rafael diperintakan untuk mandi. Sabun lifeboy diberikan oleh seorang prajurit Kostrad. Ketika kena air, luka-luka di tubuh Bartol dan Rafael akibat penyiksaan para prajurit TNI terasa sangat sakit. Ada luka yang sudah bernana. Rahang Bartol terasa sakit sekali. Darah campur nana keluar tanpa henti dari rahangnya. Bartol tak bisa telan air liur. Mulutnya mengeluarkan bau tak sedap.

Sementara itu, pada pkl. 20.00, beberapa anggota Kostrad dan Kepolisian pergi ke rumah Bartol di Mangga Dua Kimaam. Tujuan kunjungan ini masih tetap sama, yakni mencari senjata di kamar Bartol berdasarkan dena yang telah dibuatnya di Kaliwanggo. Aparat keamanan membongkar lantai papan, kemudian mulai menggali tanah sampai beberapa meter. Ternyata senjata tidak ditemukan. Aparat hanya menemukan buku tulis. Pada halaman pertama buku itu terdapat catatan isterinya untuknya.
Beberapa saat kemudian, istrinya tersentak kaget. Tiba-tiba saja aparat keamanan mengeluarkan bendera Bintang Kejora dan kemudian memotret di kamar Bartol. Bendera itu terlipat rapih dan bersih. “Bendera ini dari mana. Siapa yang bawa. Selama ini tidak ada, tapi sekarang ada,” tanya istrinya dalam hati.
Hingga kini, pertanyaan yang sulit dijawab oleh aparat keamanan yang temukan bendera itu adalah “Dari mana dan siapa yang membawa bendera tersebut?”

Tapi,

“Akibat dari keinginan yang begitu besar untukmendapatkan senjata demi kenaikan pangkat dan karir di institusi, para prajurit TNI telah melakukan penyiksaan melewati batas-batas kemanusiaan. Ini sebuah pelanggaran hak asasi manusia,” ungkap Pastor Jus Mewengkang.

***

Kurang lebih, pkl. 23.00, mereka tiba di Mapolres Merauke dan pihak Mapolres Merauke menolak menerima kehadiran dua korban yang sudah babak belur. Pihak Mapolres tidak mau ambil resiko. Kondisi Bartol dan Rafael sangat parah. Sehingga, pihak Mapolres menyarankan agar mereka diterima asal sudah di visum oleh dokter.

Sabtu, 7 Mei 2005, Pkl. 9.30 mereka diantar ke Mapolres. Sekali lagi pihak Mapolres masih keberatan menerima kedua korban tersebut. Pastor Jus Mewengkang, MSC dari SKP-KAM, dan Guntur Ohoiwutun, SH. seorang pengacara, pergi mengunjungi kedua korban di Mapolres.

“Kami langsung bertemu Rafael dan Bartol. Saat itu mereka berdua memang tak berdaya dan sangat trauma dengan perlakuan penyiksaan. Kami diberi tahu oleh pihak Mapolres bahwa pihak Mapolres tidak punya kewenangan untuk menahan mereka karena barang bukti yang diajukan tidak mendukung dan tidak sesuai prosedur”, ungkap Pastor Jus Mewengkang, MSC.

Saat itu, Pastor Jus Mewengkang, MSC dan Guntur Ohoiwutun menyatakan siap menjadi jaminan, asalkan mereka dibebaskan dulu demi pemulihan dari trauma dan kesehatan. Jaminan hukum dan keamanan! Pihak Mapolres mendukung. Bartol dan Rafael harus dirawat! Pkl. 12.00, Bartol dan rafael dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Merauke (RSUD Merauke) untuk diperiksa. Saat itu, pihak Rumah Sakit belum siap untuk visum. Bartol dan Rafael hanya diberikan obat. Setelah pemeriksaan di RSUD Merauke, kira-kira pkl. 15.30, PAstor Jus Mewengkang MSC, Guntur Ohoiwutun, SH serta Br. Sam menjemput Bartol dan Rafael, dan langsung dibawa ke Rumah Biara MSC Merauke di Jalan Raya mandala, agar mereka mendapatkan ketenangan dan setiap saat bisa diperhatikan kondisi kesehatannya. Tapi,

“Pkl. 20.00, kami diminta oleh Pihak Mapolres agar kedua korban di antar ke Mapolres untuk kepentingan pemeriksaan. Pkl. 10.15 kami diminta untuk menjemput kembali dan kami langsung mengistirahatkan mereka di Rumah Biara MSC Merauke”, kisah Pastor Jus Mewengkang, MSC.

Bartol dan Rafael tinggal di rumah Biara MSC Merauke. Anggota keluarga sering mengunjungi mereka. Kondisi mereka semakin membaik, tapi trauma penyiksaan sering menghantui perasaan mereka. Bartol masih mengalami kesakitan di rahang kanan bagian bawa. Sesuai hasil rontgen di RSUD Merauke, rahang kanan bawa bartol patah dan tulang belakangnya retak.

Senin, 9 Mei 2005, pkl. 08.30, kembali Bartol dan Rafael diantar ke Mapolres. Ternyata pihak Mapolres belum siap dengan kedatangan keduanya. Mereka diminta untuk kembali besok hari!

Setelah menjalani beberapa kali pemeriksaan dari pihak Mapolres, Bartol dan Rafael dinyatakan tidak bersalah! Mereka bebas, tapi harus menjalani perawatan medis.

***

Setelah dirawat dan merasa sembuh, Bartol Yolmen pulang ke rumahnya. Sementara Rafael kembali ke Manado untuk melanjutkan kuliahnya di Universitas Sam Ratulangi, Manado. Bartol Yolmen merasa tidak aman. Setiap saat ia didatangi oleh intel TNI dan Polisi. Merasa tidak aman, Bartol Yolmen pergi ke kampungnya, Wanam.

Di Kampung Wanam, Bartol Yolmen bekerja di perusahan ikan PT. Djarma Aru.

Pada tahun 2008, Bartol Yolmen jatuh sakit. Rahang kanan bawa mengeluarkan nana dan darah segar. Rupanya infeksi. Bukan saja itu, tulang belakangnnya sakit. Badannya jadi bongkok. Ia mengalami lumpuh. Bernafas terasa sangat sulit. Ia dirawat di rumah sakit milik perusahan PT. Djarma Aru di Wanam Camp, tapi tidak sembuh. Ia kembali ke Merauke untuk berobat, tapi ia tidak punya uang. Untuk makan saja sulit, apalagi untuk berobat! Ia dan keluarganya sangat menderita.

Istrinya, Jemirty Gebze, bekerja sebagai tukang cuci pakaian. Setiap pagi, istrinya pergi meninggalkan rumah. Nanti malam baru pulang. Bartol tinggal di rumah. Anak mereka menemaninya.

Kurang lebih setahun kerja sebagai tukang cuci pakaian, Jemitry Gebze terserang sakit TBC (tubercolosa) paru-paru. Ia harus istrirahat total dan berobat secara rutin. Sebagai kepala keluarga, Bartol kebingungan. Kini yang sakit bukan hanya dirinya, tapi juga istrinya.

Hari-hari hidupnya dilewati dengan sangat berat.

Akhirnya, akhir Juli 2010, Bartol Yolmen “pergi” meninggalkan istri dan anaknya. Meninggalkan para sahabatnya. Meninggalkan orang yang dicintainya untuk selamanya. Ia meninggal dunia! Mungkin ini adalah cara terbaik untuk mengakhiri penderitaan fisiknya, tapi tidak untuk batinnya. Ia masih mencintai istri dan anaknya.

Selamat jalan kawan!

***

Kehadiran banyak tentara di Papua, telah, sedang dan akan menciptakan luka, duka dan dendam di hati kita, bangsa Papua barat! Semoga kemerdekaan segera menghampiri dan duka segera lenyap! Amin....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar