Prolog:
24 Sept. 2011. Sejumlah mahasiswa Forum Peduli Keadilan
(FPK) mogok makan untuk mendukung perjuangan kaum tani lahan pasir Kulon Progon
melawan tambang pasir milik kongsi 70 : 30 % antara Indomines Ltd dari Australia
dengan PT Jogya Magasa Mining, di mana Gusti Kanjeng Ratu (KGR) Pembayun, putri
sulung Sri Sultan Hamengkubuwono X dan pamannya, GBPH Joyokusumo menjadi
Komisaris, sementara Direktur Utama dipegang oleh BRM Hario Seno dari Puri
Pakualaman (70% + 30%) di depan DPRD DIY.
30 Nov. 2011:
Sejumlah ornop di Yogyakarta, di antaranya CSDS (Center for Social Democratic Studies), HMI (Himpunan Mahasiswa
Islam) Komisariat Universitas Gadjah Mada (UGM), Rukun Tani Indonesia, Sekolah
Politik Bersama, Keistimewaan Demokratis menyelenggarakan seminar dengan topik
“Membedah Status SG [Sultanaat Gronden)
dan PAG (Pakualamanaat Gronden ) dalam
Keistimewaan Yogyakarta” di Auditorium
Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Seminar menampilkan tiga pembicara,
yakni Ahmad Nashih Luthfi dari STPN (Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional), M.
Widodo dari Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) dari Kulonprogo, dan George
Junus Aditjondro, dosen Program Studi Ilmu, Religi dan Budaya (IRB) Universitas
Sanata Dharma.
Sebagai pembicara ketiga, Aditjondro mengajukan sebuah paper berjudul “SG dan PAG, Penumpang Gelap RUUK Yogyakart”, sebuah artikel yang telah dimuat di harian sore Sinar Harapan, Jakarta, serta sambutan lisan yang mengacu ke reprint artikel itu, serta presentasi kedua pembicara terdahulu.
1-2 Desember 2011:
Seminar itu dilaporkan secara positif oleh Koran
Tempo (1/12/2011)dengan judul “Tanah Sultan dan Pakualaman Digugat”.
Mulainya
Sosialisasi Cuplikan Hasil Rekonstruksi:
Namun
keesokan harinya, Koran Tempo
menurunkan laporan tentang “Buntut Diskusi Tanah Keraton: George Aditjondro
Dilaporkan ke Polisi”. Di situ dilaporkan bahwa sehari sebelumnya, ada
sekelompok orang yang menamakan dirinya “Forum Masyarakat Yogya” yang
melaporkan GJA ke Polda DIY karena dinilai melecehkan Keraton Yogyakarta.
Mereka melaporkan GJA karena ucapannya dalam seminar itu “dinilai sengaja
mencemarkan nama baik Keraton Yogyakarta dengan mengatakan “Keraton adalah
akronim: kera ditonton”. Kedua berita Koran
Tempo itu ditempatkan di halaman
dalam, B2 di edisi Jawa Tengah & Yogyakarta itu.
Berbeda
dengan pemberitaan kasus itu oleh sejumlah koran terbitan Yogyakarta edisi
Jumat, 2 Desember 2011, seperti Bernas Jogja di halaman depan, dengan judul
“George Junus Lecehkan Keraton; Kedaulatan
Rakyat dengan judul “Dilaporkan ke Polda DIY, Didesak Minta Maaf:
Aditjondro Menghina Kraton”; Koran
Merapi, dengan judul “Dianggap Melecehkan Kraton Yogya: George Aditjondro
Dipolisikan”; sedangkan koran Meteor
Jogja menurunkan headline yang lebih provokatif lagi, yakni
“Kraton Itu Monyet”, dengan dua subjudul: Pernyataan Kontroversial George Junus
Aditjondro, Penulis Buku Gurita Cikeas” dan “Forum Masyarakat Jogjakarta
Muntab, Lapor Polda DIY”.
Adapun
Radar Jogja, anggota Grup Jawa Pos, pada hari yang
sama menurunkan wawancara dengan Sri Sultan HB X di halaman depan, dengan judul
“George Tak Bisa Jaga Omongan”, dengan subjudul “Reaksi Keras Sultan HB X”.
Tanggal
2 Desember 2011 itu, berbagai media di Yogya, sengaja merekonstruksi berbagai kata yang dicuplik dari
ceramah lisan GJA di auditorium Fakultas Teknologi UGM itu, yang kemudian
berulangkali direproduksi di koran-koran
Yogya. Kata-kata itu adalah:
“Keraton Yogyakarta jangan disamakan dengan Kerajaan Inggris. Keraton Yogyakarta itu hanya sekedar keraton. Keraton ini ya kera ditonton” (Kedaulatan Rakyat, Radar Jogja, Meteor Jogja, Bernas Jogja, Harian Jogya Express, 2/12/2011; Radar Jogja, 2 & 8/12/ 2011
Harian Kedaulatan Rakyat malah memperkuat kesan tulisannya dengan foto
GJA dengan ucapan itu dalam balon. Juga, bergandengan dengan foto GJA dengan
ucapan yang direkonstruksi oleh Redaksi KR, digandengkan dengan foto massa
FMY yang melaporkan kasus GJA ke Polda DIY, dengan menonjolkan poster berisi
seruan: “George Adi Tjondro, apa relevansinya ngomong SG & PAG”.
Mirip dengan manipulasi KR, ucapan
yang salah kutip itu juga dimuat ‘menemani’ headline harian Bernas Jogja (2/12/2011), dengan
penjelasan “George Junus Aditjondo dalam diskusi di Fakultas Teknik UGM, 30
November 2011”. Itupun suatu kekeliruan, sebab diskusi itu diadakan di aula
Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Bukan di Fakultas Teknik UGM.
Kembali
ke soal plesetan yang dijadikan alat provokasi publik oleh media di Yogya itu, paragraf
yang ada kata plesetan itu di bagian awal presentasi itu, lengkapnya berbunyi
sbb (diambil dari transkripsi ceramah lisan GJA di UGM, 30 Desember 2011):
“ ....membaca banyak buku dan
diskusi dengan kawan-kawan sementara yang terjadi adalah pengingkaran seorang
anak [terhadap] yang telah dirintis oleh bapaknya. Ini namanya kwalat apa nda
ya? HB IX justru tahun 84 mendukung pelaksanaan UUPA di daerah istimewa
Yogyakarta ini. Tetapi HB X kemudian ingin melegalisasi [SG & PAG] dengan
UU Keistimewaan Yogyakarta ini. Jadi di sini kita lihat perbedaan dengan sang
ayah yang berprinsip “takhta untuk rakyat” dengan sang anak yang berprinsip
“takhta untuk konglomerat. Dan konglomeratnya di sini bukan semata-mata
konglomerat luar negeri, tapi konglomerat made in Jogja. Jadi [konglomerat
milik] keraton ya. Makanya kadang-kadang keraton kalau dipelesetkan jadi tempat
kera ditonton mungkin benar”.
Sedangkan konglomerat
made in Jogja yang dimaksud oleh GJA adalah perusahaan
tambang pasir besi PT Jogja Magasa Mining (JMM) di Kulon Progo.
Adapun
rujukan ke negara Inggris baru muncul beberapa paragraf kemudian, dengan
membandingkan dinasti Ratu Inggris yang menguasai satu gugusan perusahaan
keluarga, dengan monarki Yogyakarta yang juga menguasai sejumlah perusahaan
keluarga (lihat G.J. Aditjondro, “SG dan PAG, Penumpang Gelap RUUK Yogyakarta”
(Sinar Harapan, 31/3/2011).
Makanya,
cuplikan yang dipopulerkan oleh sejumlah koran Yogyakarta telah dengan
seenaknya merakit beberapa bagian dari ceramah GJA, menjadi pernyataan
provokatif, untuk mempengaruhi publik agar membenarkan aksi massa terhadap GJA.
Sinerji
antara Keraton & Demokrat, antara Tambang Pasir Besi di Kulon Progo dan
Tanur Baja di Cilegon:
Namun
secara kontras berbeda dengan bagian ceramah GJA yang dikutip, dirakit kembali, dan direproduksi
oleh para loyalis Sultan, ada bagian dari ceramah itu yang sama sekali tidak
disentuh oleh para loyalis itu. Bagian mana? Bagian yang menekankan bahwa
pertentangan antara Sultan SBY sebenarnya hanyalah pertentangan yang semu.
Sebab apayang sedang dirintis oleh kedua aktor politik adalah satu kerjasama di
antara tambang pasir besi yang sedang
dirintis di Kulonprogo, dengan tanur baja PT Krakatau Steel di Cilegon.
Seperti
yang telah diutarakan di depan, tambang pasir besi merupakan kerjasama antara
satu perusahaan tambang Australia dengan perusahaan keluarga Sri Sultan. Di
fihak lain, dalam IPO PT Krakatau Steel yang diselenggarakan oleh PT Krakatau
Steel di Jakarta, sekitar bulan September 2010, sejumlah petinggi Partai
Demokrat ikut trlibat dalam pembelian saham petdana yang relatif sangat murah,
yakni Rp 850 per saham, yang dalam tiga hari sudah naik menjadi Rp 1280.
Penjualan
saham murah untuk petinggi-petinggi Demokrat telah diatur dalam pertemuan
tertutup antara Ketua Umum PD, Anas Urbaningrium, dengan Menteri BUMN waktu
itu, Mustafa Abubakar, dan direksi PT Krakatau Steel di Restoran Nippon Kan di
lingkungan Hotel Sultan (d/h Hotel Hilton), di awal Oktober 2010. Sutjipto,
notaris yang ikut mempersiapkan proses IPO PT Krakatau Steel tahun 2008,
kemudian terpilih menjadi anggota Komisi III DPR-RI.
Penjualan saham PT Krakatau Steel secara murah kepada
elit Partai Demokrat dibeberkan ke media massa oleh Arief Puyono, Ketua
Presidium Federasi Serikat Buruh BUMN Bersatu {FSP-BUMN) dan Wakil Ketua PAN, Dradjad Wibowo (Danish Net, 18/11/2010; VivaNews, 27/11/2010; Tribun
News, 18/11/ 2010; Rima News & primaironline, 5/12/ 2010).
Akibat terbongkarnya kongkalikong dalam IPO PT Krakatau Steel itu, delapan perusahaan efek
yang terlibat dalam pejualan saham murah
perusahaan tanur baja itu dikenakan denda total sebesar Rp 1, 35 milyar (detikfinance, 4/9/2011).
Penggrudugan Rumah GJA:
Hari Jumat Wage, 2 Desember 2011, kebebasan, kenyamanan dan keamanan Aditjondro bertempat tinggal di
Yogyakarta digoncang secara mendasar oleh aksi sekitar 40 orang anggota dua
organisasi massa yang dekat dengan Keraton Yogyakarta, yakni Paksi Keraton dan Forum Jogja Rembug (Tempo.com, 2/12/2011; Tribun
Jateng, 4/12/2011; Tribun Jogja, 5/12/ 2011).
Sekitar jam 10 pagi, mereka menggeruduk rumah kontrakan
GJA di daerah Deresan, Yogyakarta. Sambil melakukan orasi-orasi, massa
menempelkan poster-poster di kaca-kaca dan pintu depan rumah itu. Massa juga
memaksa ketua RT, Suryanto, ikut
menaburkan bunga di depan rumah itu, dan meninggalkan karcis bus Joglosemar seharga
Rp 45 ribu untuk mengfasilitasi GJA meninggalkan Yogyakarta (Tribun Jateng, 4/12/2011).
Siapakah massa yang menyerang rumah
kontrakan GJA itu, dan apa hubungannya dengan Keraton Yogyakarta? Menurut
penggalian informasi kami, Paksi Katon adalah organisasi massa di sekitar
keraton. Ketuanya bernama Suhud. Koordinator lapangannya, Totok Sudarwoto, yang
juga seorang anggota Sekber Keistimewaan
DIY (Tribun Jogja, 19 Desember 2011).
Sedangkan Forum Yogyakarta Rembug, adalah suatu organisasi kedaerahan, yang
terinspirasi oleh Forum Rembug Betawi di Jakarta. Kedua organisasi massa itu
bernaung di bawah payung Sekber Keistimewaan DIY, yang diketuai oleh Widhihasto
Wasana Putra, panggilan akrabnya, Hasto (idem).
Kedua
organisasi massa itu merupakan bagian dari Forum Masyarakat Yogyakarta (FMY),
yang telah mengadukan GJA ke Polda DIY sehari sebelumnya (Bernas Jogja, Kedaulatan Rakyat, 8/12/2011)).
Sabtu, 3 Desember lalu, giliran panitia
diskusi publik yang menghadirkan ganti mendatangi Markas Polda DIY, meminta
polisi memberi perlindungan kepada GJA yang mereka nilai mendapat tekanan dan intimidasi dari massa
yang menggrebek rumahnya di Deresan (Koran
Tempo, 5/12/2011).
Mencari
Sultan .... tapi belum berhasil jumpa:
Rabu, 7 Desember 2011: GJA mendatangi
gedung Kepatihan, kantor Sri Sultan sebagai Gubernur DIY untuk menyampaikan
permintaan maafnya atas pengucapan plesetan itu secara langsung kepada Sri
Sultan HB X, tapi tidak diterima oleh Sultan dengan alasan kepadatan jadual
Sultan (Harian Jogja, Harian Jogya
Express, Tribun Jogja, Koran Tempo, Radar Jogja, Kedaulatan Rakyat, Benas
Jogja, Seputar Indonesia, 8/12/2011).
13 Desember 2011: GJA sekali lagi
mendatangi Kepatihan dengan tujuan yang sama. Setelah dua kali gagal bertemu dengan
Sultan di Kepatihan, GJA mengirimkan surat ke Bagian Umum Kepatihan, meminta
waktu untuk sowan dengan Sultan untuk menyampaikan permintaan
maafnya. Namun, sampai saat kronologi ini disusun, belum ada jawaban dari Sri
Sultan tentang kapan Aditjondro dapat ditemui.
Pendongkrakan
Status GJA dalam sekali Interogasi di Polda:
12 Desember 2011: Direktur Direktorat
Reserse Kriminal Umum Polda DIY mengirim surat panggilan kepada GJA untuk
“memberikan keterangan kepada
Penyidik AIPDA Imam Sutrisna .... untuk didengar keterangannya sebagai saksi dalam perkara yang diduga tindak
pidana dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menyatakan
perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap sesuatu atau golongan
penduduk Indonesian dan atau pencemaran nama baik dengan pelapor a.n. Sugeng
Santoso sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 KUHP dan atau Pasal 207 KUHP dan
atau Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP.
Namun karena tidak
berada dalam keadaan sehat, yang diperkuat dengan surat keterangan Dr. Albertus
Sewianto dari RS Mitra Kemayoran, tertanggal 20 Desember 2011, GJA tidak
menjalani pemeriksaan pertama itu, yang kontan dilaporkan oleh Harian Jogja, (Rabu, 21/12/2011) dengan
judul besar di halaman depan: “George mangkir”.
Masih
di bulan Desember 2011, GJA menerima surat panggilan kedua untuk menjalani
pemeriksaan yang kedua (secara praktis, panggilan pertama) pada hari Kamis, 5
Januari 2012 di tempat yang sama dan tuduhan yang sama. Seusai pemeriksaan yang berlangsung selama tiga jam, GJA diberitahu
bahwa statusnya sudah diubah dari “saksi” menjadi “tersangka”, dan langsung
mulai diinterogasi sebagai “tersangka”. Walaupun GJA mengajukan keberatan,
interogasi dalam status sebagai “tersangka” tetap dilanjutkan, yang tidak
memakan waktu lama, sebab praktis merupakan pengulanan interogasi sebagai
saksi. Alasan sebagian anggota tim penyidik, sebelumnya sudah ada saksi-saksi
lain diinterogasi, dan hasilnya menguatkan kesimpulan bahwa sudah cukup bukti
bahwa GJA telah melanggar pasal 156 KUHP
yang disebutkan dalam surat panggilan pemeriksaan, dengan perbedaan bahwa
pasal-pasal lain yang disebutkan dalam surat panggilan itu, yakni pasal 207
KUHP, serta Pasal 310 dan 311 KUHP. Perubahan itu dibuat oleh Direktur Reskrim
Umum atas saran seorang saksi ahli. Prof. Edward Haritz, pakar hukum pidana UGM.
Sedangkan perubahan status GJA yang begitu cepat, terjadi atas perintah Kapolda
DIY, Brigjen Tjuk Basuki.
Kesimpulan:
(1).
Publikasi secara besar-besaran plesetan yang bukan bagian terpenting dari
ceramah lisan GJA di UGM, merupakan usaha pengalihan perhatian publik dari
bagian terpenting ceramah lisan itu.
(2).
Bagian terpenting ceramah itu adalah kritik GJA terhadap pengingkaran Sri
Sultan Hamengku Buwono IX terhadap amanah ayahnya, Sri Sultan Hamengku Buwono
IX, agar Undang-Undang Pokok Agraria dijalankan di DIY, yang dipertegas
lewat Keppres No. 33 Tahun 1984.
(3).
Yang sama sekali tidak diperhatikan oleh
organisasi-organisasi massa yang terhimpun dalam Forum Masyarakat Yogyakarta,
adalah sinerji antara keluarga Keraton Yogyakarta dengan elit Partai Demokrat, termasuk
putra bungsu SBY, yang menjabat sebagai Sekjen Partai itu. Fakta ini sangat
penting, karena keluarga HB X memiliki saham dalam perusahaan tambang itu, yang
di tahun 2008 berencana memasok 600 ribu ton besi untuk tanur baja PT Krakatau Steel
di Cilegon. Padahal pimpinan Partai
Demokrat sudah menguasai saham perusahaan itu lewat IPO yang tidak terbuka. Melihaf fakta ini,
perseteruan antara SBY dan Sultan HB X sesungguhnya sangat semu.
(4).
Proses pemeriksaan oleh Polda DIY terhadap GJA sangat berbau rekayasa, karena
begitu pemeriksaan GJA dalam status saksi selesai, pemeriksaan segera
dilanjutkan dalam status tersangka, atas perintah Kapolda.
Yogyakarta,
16 Januari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar