Menjadi orang
Indonesia: Pemindahan anak dari Timor Timur[1]
Oleh Dr Helene van Klinken
Biliki
Ketika pemboman oleh tentara
Indonesia diintensifikasikan pada tanun 1977, Biliki bersama keluarganya dan
penduduk desa yang lain mengungsi ke hutan. Setahun kemudian rakyat dipaksa
menyerah. Mereka ditempatkan di kamp konsentrasi di Ainaro. Di situlah seorang
perwira Kopassus melihat Biliki dan memutuskan untuk membawa dia ke Indonesia.
Tentara itu memberi Biliki makanan dan pakaian. Dia memberitahu orangtua Biliki
bahwa dia akan membawa anaknya ke Indonesia dan mendidik dia di situ. Seperti
tentara yang lain, dia hampir pasti mengatakan kepada orangtua Biliki bahwa
mereka tidak akan mampu mendidik dan merawat anaknya dengan baik, dan
menyinggung kepada hal bahwa akibat dari perlawanan mereka terhadap Indonesia
akan menyulitkan masa depan anaknya dan kemungkinannya mendapatkan pendidikan.
Tentara itu memberi orangtuanya Biliki seekor kuda, sekantong beras dan sedikit
uang (Rp60,000). Sebelum berangkat dia memberi tugas menjaga Biliki kepada
seorang anggota Hansip, dan orangtua Biliki takut mengambil Biliki atau minta
dia dikebalikan. Ketika masa tugasnya selesai tentara itu membawa Biliki dari
Ainaro dengan helikopter. Biliki
masih ingat bagaimana dia dan anggota keluarga yang lain berteriak dan
menanggis pada saat dia dimasukkan helikopter. Biliki pada saat itu
kira-kira berumur tujuh tahun.
Tentara Indonesia ini memberi
Biliki kepada keluarga tentara yang lain. Saya tidak tahu kalau dia dibayar.
Setahun kemudian Biliki pindah dan tinggal dengan keluarga militer yang lain.
Dia dibesarkan oleh keluarga ketiga ini di kompleks Kopassus di Cijantung,
Jakarta. Dengan keluarga yang ini
Biliki merasa aman dan senang. Dia diberi nama yang lain. Dia bersekolah dan setelah
dewasa, menikah, dan memiliki tiga orang anak. Sesudah Orde Baru berakhir,
Biliki ingin melacak keluarganya di Timor Timur. Dia merasa itu sangat penting
mengetahuinya asal-berasalnya.
Tahun 2004 Biliki minta batuan dari CAVR (Komisi
Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi di Timor-Leste)
dan ceriteranya di siarkan pada radio CAVR (Dalan ba Dame). Biliki hanya ingat
nama lima orang, termasuk nama Timornya sendiri (Biliki) dan pada waktu dibawa
dia berada di Ainaro. Ketika keluarganya mendengar program radio mereka merasa
bahwa Biliki adalah anak mereka yang sudah lama hilang. Beberapa bulan
kemudian, Biliki diundang ke Timor Leste dan diantar oleh staf CAVR bertemu
dengan orangtuanya. Walaupun senang menemuakan kembali keluarganya, Biliki
sadar bahwa masa depannya berada di Indonesia dengan tiga anaknya. Dia
kehilangan identitas Timor Timurnya. Dia telah menjadi orang Indonesia.
Biliki adalah salah satu dari
4-5,000 anak-anak, di bawah kira-kira duabelas tahun, yang dipindahkan ke
Indonesia tahun 1975 sampai
dengan 1999 dan beberapa waktu sesudahnya. Di lain tempat di Indonesia
di mana ada konflik, seperti di Aceh dan Papua, ada juga pemindahan anak-anak,
tetapi sama sekali tidak pada skala yang sama seperti terjadi di Timor Timur.
Anak-anak itu dipindahkan perorangan, terutama oleh tentara, dan sering
anak-anak ini diangkat dan tinggal bersama keluarga orang yang mengangkat
mereka. Mereka juga dipindahkan oleh lembaga-lembaga permerintah maupun
agama. Banyak anak juga pergi ke
Indonesia secara sukarela, untuk belajar dan mendapat training dan pekerjaan.
Mereka rata-rata lebih tua, dan tidak termasuk jumlah yang
disebut di atas. Sejumlah anak yang dipindahkan diambil dari
keluarganya secara paksa, seperti Biliki. Ada juga banyak yang diperkerjakan
oleh orang yang membawa mereka. Kira-kira separuh jumlah 4-5,000 itu
dipindahkan perorangan, separuh yang lain lewat lembaga-lembaga.
Maksud saya di dalam tesis saya
adalah menguraikan sejarah anak-anak
yang dipindahkan ke Indonesia. Saya mulai tertarik pada topik ini karena saya
pernah mendengar langung dari orang Timor Timur sendiri pengalaman pemindahan
mereka, pada waktu saya tinggal di Indonesia. Tahun 2003 saya bekerja secara sukarela di CAVR
dan menemuakan banyak kasus pemindahan. Saya sendiri sudah lama berminat pada
pemindahan anak-anak suku Aborijin (orang asli) Australia, yang sering diambil
secara paksa dari keluarga mereka (disebutkan “Stolen Generation”). Saya
melihat ada persamaan antara pemindahan anak-anak Australia itu dan anak-anak
Timor Timur.
Sebagai sejarahwan kami juga harus menjamin bahwa pengalaman orang paling
lemah tidak diabaikan. Perhatian sejarahwan terhadap pendudukan
Indonesia di Timor Timur rata-rata berfokus kepada isu-isu “besar” seperti
politik, hubungan internasional, pelangaran HAM dan militer Indonesia. Tulisan saya menulis sejarah dari
segi orang yang tertindas dan lemah, “dari bawah”. Pengalaman perempuan telah mulai menerima
perhatian; pengalaman anak juga harus didengar. NGO-NGO internasional dan dari
Indonesia semasa pendudukan memperhatikan keadaan orang yang melawan Indonesia.
Tetapi tidak ada tulisan yang berfocus kepada mereka yang tidak melawan, malah
tidak mungkin bisa melawan, seperti anak-anak lemah—mereka yang dibawah ke
Indonesia dan dibesarkan sebagai orang Indonesia. Untuk menulis tesis
saya, hamper tidak ada bahan tertulis. Saya mewawancarai banyak orang, dengan
memakai pendekatan, “sejarah lisan”.
Permindahan-pemindahan ini menggarisbawahi
nuansa dan kemenduaan dalam hubungan-hubungan kolonial. Kolonialisme tidak
bisa dipandang hanya hitam putih. Orang Indonesia mau membantu, dengan
membangun dan mendidik, walaupun juga ada alasan-alasan lain yang juga
mendorong mereka; dan sering pendekatan dan cara penyampaian pembangunan,
seperti pemindahan anak-anak, sering melanggar hak orang Timor Timur. Saya
menguraikan sejarah pemindahan
anak-anak, yang bisa menjadi sebuah lensa memandang sejarah pendudukan Indonesia di Tmor Timur.
Selama pendudukan Indonesia, Timor Timur adalah daerah perang dan konflik. Tahun
1975 sampai dengan awal tahun
1980an ada perang. Tetapi selama pendudukan konflik tidak pernah berakhir.
Tahun-tahun awal tentara memindahkan anak-anak, dan ketika tidak lagi perang,
tentara mendukung pemindahan oleh lembaga-lembaga. Tentara selalu terlibat dalam
proses pemindahan anak-anak.
Pengangkatan oleh tentara
Mungkin lebih dari 2,000 anak Timor Timur
dibawa ke Indonesia oleh tentara Indonesia. Perwira maupun prajurit biasa
membawa anak-anak. Ada
anak-anak yang diselamatkan di medan perang. Anak-anak itu tertinggal atau
terpisah. Anak-anak juga diambil dari kamp konsentrasi, seperti Biliki.
Kelompok yang paling mudah dibawa adalah anak-anak TBO (tenaga bantuan
operasi). Mereka terpaksa membantu tentara dengan tugas membersihkan dan
memasak tetapi juga masuk daerah perang yang amat berbahaya. Setelah
masa tugas selesai, tentara sering membawa anak-anak TBO mereka pulang ke
Indonesia. Sering ada rasa kasih sayang dan hubungan erat yang menyambung
tentara dengan TBOnya. (Mungkin TBO
Timor Timur yang paling terkenal adalah Alfredo Alves Reinado yang dibunuh pada waktu Presiden Timor Leste, Jose
Ramos-Horta, diserang di Februari 2008.)
Kalau ditanya, tentara selalu
mengatakan bahwa mereka membawa anak ke Indonesia untuk mendidik dan membantu
mereka. Tentara ingin membantu
dengan membangun Timor Timur. Studi saya menunjukkan bahwa hampir semua
tentara mencoba mendidik anak-anak yang mereka membawa ke Indonesia. Banyak anak diperlakukan dengan baik,
seperti Biliki. Tetapi ada yang lain yang diperbudakkan dan dianiaya oleh pengasuh, seperti
Reinado. Orang Timor Timur
diperlakukan sebagai lawan yang dikalahkan, dan anak-anak Timor Timur
diperlakukan bagaikan barang milik yang dapat dibawa begitu saja. Banyak juga
diambil paksa, seperti Biliki. Ada yang diselundupkan supaya dapat dibawa dengan barang atas kapal
sewaktu tentara pulang ke Indonesia. Itu pengalaman TBO Reinado, ketika dia
dibawa ke Sulawesi tanpa izin dia sendiri ataupun orangtuanya.
Contohnya Suharto
Antara tahun 1976 dan 1979
enampuluh satu anak Timor Timur dipindahkan ke panti asuhan dan lembaga lain di
Jawa oleh Presiden Suharto. Mereka diatur lewat yayasan yang didirikan
presiden, bernama Dharmais. Keberangkatan mereka dari Timor Timur diatur oleh
militer, yang berkuasai pada saat itu, belum ada pemerintahan sipil. Sebagian
dari anak itu berasal dari keluarga di mana ayahnya dibunuh Fretilin karena
mereka mendukung integrasi. Sebagian yang lain dari keluarga Fretilin. Presiden
Suharto memperhatikan pendidkan, dan ingin membantu Timor Timur membangun.
Meskipun dia mau membantu anak-anak ini, ada yang di antara mereka yang dikirim
ke Jawa tanpa restu orangtuanya.
Dua pulah dari anak-anak ini
diperagakan di muka umum di media di Istana Presiden, rupanya dengan maksud
untuk memperbaiki pandangan umum tentang Timor Timur. Anak-anak ini dianggap
mewakili orang Timor Timur yang ingin berintigrasi dengan Indonesia. Mereka
juga dianggap menunjukkan manfaat bergabung dengan Indonesia. Di pers anak-anak
digambarkan dilayani oleh presiden dan isterinya, dengan maksud menunjukkan
kebaikan Indonesia terhadap orang Timor Timur. Jadi anak-anak ini, yang dibawa
jauh dari rumah mereka tanpa restu orangtuanya, dipergunakan mendukung maksud
politik dan ideologis rezim Order Baru.
Menurut tafsiran saya, pemindahan
ini oleh Suharto memberi contoh kepada orang pribadi dan yayasan-yayasan dan
membantu menciptakan suasana bahwa pemindahan anak kecil, untuk dididik,
diterima dan direstui oleh mereka yang berkuasa.
Pemindahan oleh
lembaga keagamaan
Lembaga keagamaan dari semua agama di Timor
Timur memindahkan anak–anak dari Timor Timur. Tetapi paling banyak anak dikirim
ke Indonesia oleh lembaga Islam, paling tidak 1,000 anak-anak asli Timor Timur
dikirim ke berbagai panti asuhan dan pesantren tersebar di seluruh Indonesia.
Pemindahan ini diatur oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, orang keturunan
Arab di Dili dan tentara Indonesia.
Yayasan Yakin di Kuluhun, Dili Timor, mengatur pengirimin anak-anak itu.
Pendiri-pendiri Yayasan Yakin
ini, seperti orang Indonesia yang lain, ingin mendukung pembangunan dan
pendidikan di Timor Timur. Lagi pula, banyak pendatang yang beragama Islam bekerja di Timor Timur supaya
integrasi akan lancar. Mereka
butuh tempat ibadah dan sekolah untuk
anak-anak mereka. Pembangunan sekolah dan mesjid di Timor Timur sering dilawan
oleh kaum Katolik, khusus anak-anak muda, dan perlawanan itu meningkat pada
pertengahan tahun 1990an. Jadi perkembangan Islam di Timor Timur mengalami
hambatan. Ada dua kubu dalam pemerintahan berkaitan dengan pendekatan terhadap
gereja Katolik di Timor Timur. Di satu segi ada yang beranggapan bahwa gereja
Katolik harus didukung karena dia akan mendukung integrasi. Di lain pihak ada
anggapan bahwa Islam harus bebas untuk bekembang di Timor Timur karena Timor
Timur adalah bagian dari Indonesia, dan Pancasila menjamin keberadaan semua
agama. Program pemindahan anak-anak untuk dididik secara Islam di Indonesia
diadakan supaya ada orang asli Timor Timur yang menganut agama Islam, dengan
harapan nanti mereka akan mendukung berdirinya mesjid dan lembaga-lembaga Islam
yang lain di Timor Timur.
Anak-anak yang dipindahkan kadang kala di bawah sepulah tahun. Mereka
sering anak-anak yatim-piatu, anak-anak
seorang janda dan anak-anak orang miskin dari daerah terpencil. Orangtua ini
kadang-kadang terdorong menerima tawaran gratis untuk pendidikan anak-anak
mereka karena keadaan miskin. Mereka juga merasa takut tidak menaati
usulan-usulan tentara yang sering membantu Yayasan Yakin mengupulkan anak-anak
di Dili untuk dikirim ke Indonesia.
Di Indonesia anak-anak sering tidak diawasi dengan baik. Mereka pindah
lembaga tanpa ketahuan Yayasan Yakin, dan Yayasan ini tidak melapor kepada
orangtua keberadaan anak-anak mereka secara teliti, malah kadang kala tidak
dengan jujur melapor keadaan anaknya kepada orangtua anak.
Pemindahan 1999 dan sesudahnya
Tindaklaku TNI dan milisi sesudah
jajak pendapat Agustus 1999 menunjukkan sifat kolonial pendudukan
Indonesia di Timor Timur: 70% pembangunan oleh Indonesia dimusnahkan, lebih
dari 1,000 pendukung kemerdekaan dibunuh dan 250,000 orang dipindahkan paksa ke
Indonesia. Selama dan sesaat sesudah jajak pendapat lebih dari 1,000 anak-anak
dipisahkan dari orangtuanya.
Anak-anak sekali lagi dipergunakan mendukung aspirasi orang yang kecewa
dengan hasil jajak pendapat. Mereka orang Timor Timur yang juga dulu
dipindahkan dari Timor Timur pada usia muda untuk dididik. Awalnya mereka
didukung oleh aparat keamanan yang juga kecewa dengan kehilangan Timor Timur.
Orang Timor Timur ini ingin menuntut kembalinya Timor Timur berintegrasi dengan
Indonesia. Mereka ingin mendidik anak-anak yang hidup sengsara di kamp-kamp,
khususnya di Timor Barat, tetapi mereka juga mau mendidik anak-anak dengan
harapan dan aspirasi mereka bergabung kembali dengan Indonesia. Mereka menguasi
anak-anak untuk meneruskan perjuangan mereka agar Timor Timur tetap
berintegrasi dengan Indonesia. Tindakan-tindakan yayasan-yayasan ini sering
masuk media masa pada tahun 1999 dan beberapa tahun kemudian, misalnya Yayasan
Hati yang dikelola oleh keluarga gubernur terakhir, Abilio Soares. Yayasan Hati
membawa anak-anak ke Jawa Tengah.
Penyeberang prebatasan
Anak-anak kecil tidak memilih sendiri
menyeberang perbatasan kolonial dan menjadi orang Indonesia. Mereka belajar
bahasa Indonesia, kebudayaan Indonesia, ideologi Indonesia dan untuk mendukung
integrasi. Mereka sering diberi nama dan identitas baru. Mereka tidak didukung
menjalin hubungan dengan keluarga dan kebudayaan di Timor Timur.
Ada banyak yang telah kembali ke Timor Timur.
Sejak 1999 mulai lebih mudah melacak anggota keluarganya, diumpamakan oleh
pengalaman Biliki. Bagaimanapun, banyak di antara mereka masih terpisah dan
ingin melacak anggota keluarga yang hilang.
Harus diharapkan bahwa arsip-arsip pemerintah dan militer akan
disediakan, termasuk informasi-informasi pribadi, yang akan membantu mereka di
dalam pengejaran mereka.
Memahami pemindahan yang telah diuraikan secara
sangat singkat di sini akan membantu pemahaman tentang nuansa yang termuat di
hubungan-hubungan colonial. Uraian ini juga akan memperkayakan pemahaman kita
tentang hubungan-hubungan baru yang sedang dan akan muncul melintasi sebuah
perbatasan yang berbeda dan serba baru, antara Indonesia yang baru demokratis
dan Timor Timur yang baru merdeka.
[1] Making them Indonesians: Child transfers out of East Timor, PhD Thesis,
University of Queensland, 2009.
Email:
helenevk@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar