Aksi-aksi
massa seperti yang dilakukan
terhadap GJA, 2 Desember lalu, bukanlah
satu-satunya aksi premanisme yang telah terjadi di wilayah DIY tahun-tahun
belakangan ini. Aksi-aksi massa itu umumnya dilakukan terhadap fihak yang
menentang, atau dicurigai menentang kebijakan Keraton.
Cendeliawan sebagai sasaran:
Akhir
tahun 2010, tepatnya tanggal 23 Desember 2010, mantan Rektor UGM, Ichlasul Amal yang menjadi sasaran. Tanggal 23 Desember 2010, rumah Prof. Amal di
jalan Pandeansori I No. 5 di daerah Condongcatur, Depok, Sleman didemo oleh
puluhan warga yang menamakan dirinya Kawulo Ngayogyakarta. Demo itu, menurut M.
Ariesman Hendrosuseno, jurubicara kelompok itu, dilakukan karena mereka tidak
terima ucapan sang Profesor, yang mengecam cara-cara kampanye kelompok
pro-penetapan yang dianggapnya mirip cara-cara mobilisasi massa yang dulu
dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) (Tempo Interaktif, Kamis, 23 Desember 2010).
- Berbeda dengan aksi demonstrasi ke rumah-rumah disiden kelas menengah, seperti GJA dan Prof. Ichlasul Amal, serangan preman ke perkampungan petani Kulonprogo lebih destruktif. Misalnya, serangan para preman ke petani-petani Kulonprogo yang menentang penyerobotan tanah mereka untuk tambang pasir besi PT Jogja Magasa Iron (JMI) , tanggal 27 November 2008. Mereka menyerang gardu-gardu ronda para petani, serta sebagian rumah warga yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP). Kelompok penyerang itu menamakan diri mereka, Selamatkan Aset Kulonprogo (SAK).
- Akibat trauma yang disebabkan oleh para preman itu, akhir Febuari 2011 para petani di pesisir selatan Kabupaten Kulonprogo bersiaga penuh untuk mengantisipasi serangan preman (Kulonprogo News, Seputar Indonesia, 23 Febr. 2011). Apalagi setelah pernyataan Sultan bahwa sang Raja itu akan mempersiapkan preman untuk mengsukseskan pertambangan pasir besi itu, apabila Polisi tidak mampu mengamankan proyek itu (Meteor, Tempo, 21/2/2011).)
Bangsawan
sebagai Sasaran:
Seperti
yang kita ketahui, kerajaan Yogyakarta
terdiri dari
Keraton yang dipimpin oleh Sri
Sultan Hamengkubuwono X, dan
Kadipaten atau Puro Pakualaman
yang dipimpin oleh KGPAA Paku Alam
ke-IX. Ternyata, sudah ada pula tokoh dan organ Pakualaman yang menjadi sasaran
demo massa.
- Senin, 24 Desember 2011, kantor milik Anglingkusumo, Pengageng (Ketua) Paniti Kismo (kantor urusan tanah) Puro Pakualaman, yang terletak di sayap timur kompleks Puro Pakualaman, didatangi massa yang sebagian besar berseragam hitam-hitam dari Paksi Keraton, salah satu organisasi massa di bawah Sekber Keistimewaan DIY. Mereka langsung masuk ke ruang kerja Anglingkusumo dan membubarkan acara yang semula direncanakan akan membahas masalah tanah-tanah PAG (Pakualaman Gronden).
- Lebih dari setengah jam terjadi perdebatan antara massa pro-penetapan yang dipimpin Totok Sudarwoto dan M. Suhud dengan Anglingkusumo maupun kerabat Pakualaman lain. Tak lama kemudian, Totok didampingi Suhud keluar dari ruangan. Totok menjelaskan kepada massanya, bahwa pertemuan untuk membahas masalah tanah PAG yang diprakarsai oleh lembaga Paniti Kismo tak jadi dilakukan. Totok juga mengecam keabsahan lembaga yang telah mengundang sejumlah kepala desa di pesisir pantai Kulonprogo. “Paniti Kismo Pakualaman itu lembaga illegal. Lembaga Paniti Kismohanya ada di Keraton Jogjakarta”, ujar Totok di hadapan massanya. (Radar Jogja, 25 Desember 2011).
- Ia jugamengatakan, pertemuan tersebut tanpa sepengetahuan dan izin KGPAA Paku Alam IX sebagai penguasa Puro Pakualaman. Ia mengungkapkan, aksi massa itu dilakukan karena pihaknya melihat intensitas gerakan propemilihan terus meningkat. Setelah diskusi di Wisma Kagama dan Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, mereka menengarai gerakan pro-pemilihan mulai merambah ke dalam Puro Pakuaalaman. “Ada yang tidak senang dengan keistimewaan dan penetapan. Ada yang ingin mengobak-obok,” imbuh Suhud (idem).
- Dalam aksi itu, massa pro-penetapan juga bertekad siapapun yang hendak mengganggu penetapan akan dilawan. “Tak peduli pemerintah pusat, kerabat, atau sentono dalem, kalau makar kita libas”, teriak mereka (idem).
- Menanggapi aksi tersebut, Anglingkusumo didampingi kakaknya, BRAy Retno Dewayani, dan adiknya. KPH Songkokusumo, mengaku terkejut. Anglingkusumo mengaku curiga, silaturahmi yang diadakannya telah dipolitisasi fihak tertentu sehingga memancing reaksi massa Sekber Keistimewaan . Putera mendiang Paku Alam VIII itu juga membantah lembaga yang dipimpinnya ilegal. Bersama saudaranya, KPH Gondhokusumo, dirinya ditunjuk oleh Paku Alam VIII sebagai Pengageng Paniti Kismo yang mengurusi masalah tanah. “Sejak dulu Pakualaman juga punya lembaga Paniti Kismo. Sejak dulu, Pakualaman juga punya lembaga Paniti Kismo. Saya diangkat sebagai Pengageng”, katanya (idem).
- Anglingkusumo juga menegaskan, silaturahmi itu diadakan oleh ahli waris keturunan Paku Alam VIII. Sebagai ahli waris, untuk mngadakan pertemuan keluarga tidak memerlukan izin dari pihak manapun. “Sejak ayah saya dulu, nggak ada keharusan mengajukan izin. Undang-Undang mana yang mengharuskan itu”, tegasnya (idem).
Lampiran
1:
Siaga
Ancaman Preman Pasca Pengukuran Lahan (KulonprogoNews, 23/2/2011)
KULONPROGO – Ratusan petani pesisir selatan Kulonprogo, kemarin siang bersiaga penuh dengan senjata tajam. Mereka berjaga di sepanjang jalur jawa lintas selatan (JJLS), yang akan terkena proyek penambangan pasir besi. Menyusul adanya pengukuran lahan Pakualam Ground yang akan dijadikan lokasi pilot project.
Ratusan
massa ini nampak bersiaga mulai dari Desa Garongan, Panjatan. Dengan membawa
aneka senjata tajam seperti pedang, parang maupun sabit mereka berjaga di
pinggir jalan JJLS. Sebagian lainnya mmebawa tombak hingga bambu runcing.
Salah
seorang warga Sariyo mengatakan tidak pernah ada sosialisasi terhadap rencana
pengukuran tanah di wilayah Desa Karangwuni Wates, yang akan dijadikan tempat
untuk penambangan ataupun demplot pasir besi. Warga justru kaget dengan adanya pengukuran tanah yang dijaga
ketat aparat kepolisian.
Sebagai
bentuk
antisipasi, warga akan berjaga di sejumlah pos dan titik-titik yang telah
ditentukan. Setiap unit sudah dibentuk koordinatornya untuk memudahkan
koordinasi. Begitu ada upaya penambangan pasir besi, langsung akan berdatangan.
“Sepanjang jalur selatan akan kita jaga, sampai dengan rencana penambangan
dibatalkan,” jelas Sariyo.
Menurutnya,
upaya mempersenjatai diri ini bukan untuk mencari musuh. Namun lebih kepada
upaya antisipasi dan berjaga-jaga terhadap masuknya orang-orang yang
berkepentingan dalam penambangan pasir besi. Warga pesisir sudah sepakat dan
bersatu untuk melawan sampai kapanpun.
Warga,
imbuhnya menyayangkan pernyataan Sultan yang muncul di salah satu media local beberapa hari
yang lalu. Sebagai seorang raja dan gubernur, tidaklah tepat Sultan
mempersiapkan preman untuk mensukseskan penambangan. Sultan dulunya orang yang
dihargai dan disembah oleh warga pesisir. Tetapi pernyataan tersebut justru
meresahkan warga sekitar.
“Kalau
harus ada preman kan, malah membuat semakin panas,” ujarnya. Warga yang lain,
Burhan mengatakan PPLP (Paguyuban Petani Lahan Pantai) tidak pernah mengetahui
ada rencana pengukuran tanah.
Pengukuran
diketahui setelah ada salahs eorangwarga yang melihat dilakukan pengukuran.
Usut punya usut, ternyata akan dijadikan lokasi penambangan dan demplot
percontohan. Warga sendiri tidak ingin program tersebut dilanjutkan.
“Tidak
pernah ada pemberitahuan dengan rencana ini,” ujarnya. Beberapa warga yang
enggan disebutkan namanya, mengaku sudah sekitar tiga hari merasa ada teror.
Belakangan diketahui di pertigaan Pleret, ada sekelompok preman yang nongkrong.
Kendati tidak melakukan kegiatan apapun, namun kehadiran orang-orang ini
membuat warga semakin siaga untuk melawan. (fiz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar