Oleh George Junus Aditjondro
(Dosen Ilmu, Religi &
Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)
Tujuan Menulis
Dua Buku Terakhir:
Tujuan penulisan dua buku saya tentang korupsi
kepresidenan SBY, Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank
Century,
dan Cikeas Kian Menggurita , yang akan diterbitkan
oleh Galangpress, ada dua. Pertama, memberikan pendidikan politik tentang
hak-hak warga negara untuk mencegah akumulasi kekuasaan ekonomi dan politik
penguasa di seputar Kepala Negara. Termasuk di situ adalah pendidikan politik untuk
tidak hanya terpaku pada figur, melainkan konfigurasi
politik yang mempengaruhi pergantian
pucuk pimpinan politik di negara kita.
Kedua, meletakkan dasar untuk spesialisasi
sosiologi korupsi, khususnya korupsi kepresidenan, yang penulis rintis sejak menulis
buku tentang akumulasi kekayaan keluarga Soeharto dan Habibie (
2003), disusul dengan Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga, Istana, Tangsi,
dan Partai Penguasa (LkiS, 2006).
Mengapa
Menggunakan Metafora “Gurita”?
Metafora biasa
digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat unik manusia,
karena metafora adalah media ekspresi yang sangat kuat
untuk menggambarkan hal-hal yang disenangi maupun tidak disenanginya. Manfaat
metafora, yang memadu kapasitas otak kiri (otak
matematis, rasional) dengan otak kanannya (otak seni), secara
etimologis, dilukiskan oleh Nick Smith (1981: 52) sebagai berikut:
A
metaphor, as commonly defined, is a figure of speech in which the meaning of a
term or phrase is transferred from the object it ordinarily designates to
another object so as to provide new insight or perspectiv on the latter. In a
broader sense, the term metaphor may also designate a process whereby the
meanings and relationships of one theory o model may suggest meanings or
relationships in another area.
Begitu teorinya.
Sekarang aplikasinya. Dalam menggambarkan koruptor, orang paling sering
menggunakan metafora tikus, karena
tikus kerjanya menggerogoti segala apa yang disukai
oleh manusia, mulai dari makanan s/d lemari. Belakangan ini, kecoak mulai mendapat
kehormatan untuk melambangkan koruptor. Lihat saja gambar sampul majalah Tempo, edisi 9 s/d 15 Mei 2011, dengan
Laporan Utama tentang kasus korupsi proyek perumahan atlet Sea Games di
Palembang, yang melibatkan beberapa orang petinggi Partai Demokrat.
Kedua
binatang itu, tikus dan kecoak, adalah binatang yang berada satu habitat dengan manusia, namun tidak disenangi
banyak orang karena biasa berada di tempat-tempat kotor, di mana
aliran air mampet, di bak sampah, dan di tempat penyimpanan
makanan. Tapi keduanya lebih merupakan personifikasi koruptor, bukan sistem,
atau konfigurasi yang ditandai oleh relasi-relasi yang bersifat korup.
Untuk
menggambarkan konfigurasi yang korup, lebih tepat kita gunakan metafora
“gurita”, misalnya dalam istilah “gurita Cikeas”, seperti yang digunakan dalam
judul kedua buku ini. "Gurita" di sini merupakan metafora pengganti istilah "oligarki", yang sudah lama dikenal dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi.
Istilah "oligarki"
ini pertama kali
digunakan oleh filsuf Yunani, Plato (427-347 Sebelum Masehi), dalam karyanya, Republic,
untuk menggambarkan sistem masyarakat, yang dikuasai oleh segelintir orang kaya. Menurut Plato, oligarki adalah "suatu bentuk
masyarakat di mana kekayaan yang menentukan kekuasaan, di mana kekuasaan
politik berada di tangan orang-orang kaya sementara orang miskin tidak punya
kekuasaan apa-apa" (A society where it is wealth that counts, and in
which political power is in the hands of the rich and the poor have no share of
it) (Aditjondro 2004: xii).
Metafora gurita, sudah sering
digunakan dalam literatur populer tentang dunia bisnis, untuk mengacu ke
bentuk-bentuk monopoli bisnis, baik oligopoly
(penguasaan komoditi oleh beberapa orang produsen), maupun oligopsony (penguasaan komoditi oleh beberapa orang pembeli). Namun
dalam dunia politik, penggunaan istilah “gurita” masih jarang.
Barangkali,
judul kedua buku di atas
merupakan terobosan – atau “gebrakan”,
seperti
diharapkan dari seminar ini -- untuk penggunaan istilah
“gurita”, yang kini mulai sering digunakan oleh literatur lain. Misalnya, istilah
“gurita poros Palembang,” yang digunakan
oleh majalah Mimbar Politik, edisi 8-15
Januari, untuk menggambarkan dominasi segelintir politisi asal Sumatera Selatan, seperti M. Hatta Rajasa, calon besan SBY, Marzuki Alie, dan Taufik
Kiemas.
Selain “gurita poros Palembang”, ada buku baru karangan Sumbu Gesang Revolusi
(2010), berjudul Mengusut Gurita Istana yang menyoroti “gurita istana” di Indonesia
dan Filipina.
Di tanah
kelahiran SBY sendiri, Pacitan, telah muncul peneliti-peneliti muda yang telah
meneliti berbagai jenis perselingkuhan antara birokrasi kabupaten itu dengan
perusahaan-perusahaan tambang dari Tiongkok yang mulai masuk ke sana, setelah
SBY terpilih jadi Presiden. Selain itu, dalam buku berjudul Gurita Pacitan: Membongkar Tuntas Jaringan
Tersembunyi Mafia Koruptor, bidang-bidang
korupsi yang lain di kabupaten itu, seperti korupsi buku-buku ajar, juga
disorot.
Di luar ranah
korupsi, metafor “gurita” telah digunakan oleh sebuah buku tentang pornografi.
Berjudul Gurita Pornografi Membelit Remaja, buku itu ditulis oleh Badiatul Muchlisin Asti (Oase Qalbu,
Yogyakarta, n.d.).
Selain dalam
bahasa Indonesia, metafora “gurita” juga dikenal dalam beberapa bahasa
suku-suku bangsa di Teluk Cenderawasih dan Kepulauan Raja
Ampat di Tanah Papua. Di sana, istilah kombrof (bahasa Biak), nomio (bahasa Waropen), atau aria
(bahasa Moor-Mamboor) untuk “gurita”, digunakan untuk menggambarkan orang yang rakus,
dilambangkan oleh delapan lengan gurita yang dapat digerakkan secara simultan untuk mengambil apa saja.
Tapi gurita juga licik, sebab kalau dikejar, gurita akan menyemprotkan tinta untuk
mengaburkan penglihatan pengejarnya, supaya binatang itu bisa lolos dari
kejaran[1].
Selain licik,
orang Biak juga menganggap kombrof oportunis. Binatang ini sudah korbankan satu
lengannya digigit sampai putus oleh belut laut, karabas dalam bahasa Biak, doisuno
dalam bahasa Waropen, atau manggoati dan wara
dalam bahasa Moor-Maboor.[2])
Dengan “mengumpankan” salah satu lengannya, gurita berusaha menyeret belut laut
ke luar dari lubang, lalu merampas lubangnya itu. Itu sebabnya, menurut orang
Biak, satu di antara delapan lengan gurita, lebih pendek dari pada yang lain, bekas
digigit oleh karabas.
Ringkasnya, sifat
gurita suka beradaptasi dengan lingkungannya, dengan memanfaatkan warna, dan
siap menyerang mangsa yang lewat, tapi takut berhadapan face to face dengan mangsa atau musuhnya. Sifat itu merupakan
kompensasi bagi badannya yang lemah, dan habitatnya di batu-batu dasar laut.
Gurita juga tidak bernilai ekonomis
tinggi, dan biasanya ditangkap oleh perempuan dari suku-suku pesisir
di Papua, bukan oleh laki-laki. Makanya,
metafora “gurita” memang pantas digunakan untuk sebuah rezim, yang selalu
melemparkan isyu-isyu pengalih perhatian publik, apabila kelemahan atau kesalahannya disorot oleh masyarakat.[3]
)
Namun istilah
“gurita Cikeas”, atau “Cikeas yang menggurita” tidak dimaksudkan mengacu ke
satu orang, melainkan ke satu sistem, di mana tokoh sentralnya, kebetulan bertempat
tinggal di kompleks perumahan mewah Cikeas Indah di Kecamatan Gunung Putri,
Kabupaten Bogor. Penggunaan istilah “Cikeas” di sini, sama seperti penggunaan
istilah “Cendana” semasa hidup mantan jenderal yang lain, yakni Soeharto.
Jadinya,
istilah “Cikeas” penulis gunakan, tidak mengacu ke rakyat kecil di daerah itu,
yang hidup dari bertani dan merakit bambu untuk dihanyutkan ke Jakarta, tapi
mengacu ke keluarga besar dan kroni-kroni SBY. Terutama para purnawirawan
perwira tinggi yang tinggal di kompleks perumahan mewah itu, seperti Marsekal Madya
(Purn.) Suratto Siswodihardjo (developer
kompleks Puri Cikeas Indah), Marsekal TNI/AU (Purn.) Djoko Suyanto, Jenderal
TNI/AD (Purn) Subagyo Hadi Siswoyo, dan Letjen
TNI/AD (Purn) Agus Widjojo.
Berbeda
dengan istilah “keluarga besar SBY”, istilah “gurita Cikeas” tidak hanya
mengacu kepada keluarga besar SBY secara genealogis, tapi mengacu pada seluruh satuan
sosial yang bagaikan “lengan-lengan gurita” memperkuat kedudukan ekonomi dan
politik keluarga besar SBY. Lengan-lengan gurita itu meliputi
perkumpulan-perkumpulan, seperti GPS (Gerakan Pro-SBY) yang diprakarsai oleh
Suratto Siswodihardjo; yayasan-yayasan, seperti Yayasan Puri Cikeas yang digerakkan
oleh Suratto Siswodihardjo bersama anak (Anton Sukartono) dan menantunya
(Zuwanna Corna Gumanti); badan-badan usaha, seperti PT Media Nusa Pradana, yang
menerbitkan grup koran Jurnas, serta
perusahaan -perusahaan raksasa penyumbang kampanye SBY-Boediono, seperti tambang
batubara Adaro, kelompok CCM, kelompok Artha Graha, kelompok Maspion, dan konglomerat-konglomerat lain.
Banyak
informasi baru muncul, sesudah terbitnya buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century. Ada yang terbit
secara terbuka, seperti ceritera tentang bisnis pembalakan (logging ) kakak ipar SBY yang tertua,
yang akrab dipanggil Wiwiek (lihat Matrix Dinasti Sarwo Edhie Wibowo). Ada juga
informasi yang hanya beredar di kalangan terbatas, seperti bisnis pertambangan
nikel Ibas di Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara, serta klinik spesialis Hadi
Utomo, Kerta Medika di kawasan
Bintaro, Jakarta Selatan.
Triangulasi
berbagai teknik riset
Bicara
soal sumber informasi, berarti bicara soal metodologi riset diterapkan
dalam kedua buku ini. Ada kritikus yang anggap buku pertama hanya rangkaian kliping
koran. Boleh saja anggap demikian, kalau terlalu malas untuk perhatikan cara
penulis mengolah informasi dari kliping -kliping
itu. Kritikus itu juga tidak membaca berbagai informasi yang dirujuk di daftar
referensi.
Secara
umum dapat dikatakan, penulis melakukan triangulasi dari berbagai metode riset
(Taylor & Bogdan 2004: 68), yakni (a) studi kepustakaan, untuk
menemukan literatur, termasuk kliping-kliping koran yang relevan; (b) surfing di internet, untuk menemukan
berita-berita lama maupun berita-berita terbaru tentang topik yang diteliti;
(c) wawancara dengan pakar-pakar dan informan lainnya tentang topik yang
mau diteliti, termasuk (d) wawancara mendalam dengan narasumber yang menyaksikan dan merasakan dampak dari kegiatan perusahaan milik keluarga besar SBY, misalnya pembalakan oleh perusahaan milik Wiwiek, kakak
tertua Ani Yudhoyono, dan suaminya di
Pulau Yamdena, Tanimbar, Maluku; (e)
observasi lapangan, yang dipadu dengan wawancara di lapangan dengan
sumber-sumber yang menerima bantuan uang atau materi dari caleg-caleg Demokrat, seperti yang penulis lakukan di Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten
Humbang Hasundutan (Humbahas); serta (f)
pengamatan terlibat ke klinik spesialis yang menurut seorang informan,
milik Hadi Utomo, di mana dikabarkan seorang dokter pernah menjalankan
malpraktek. Pada kesempatan itu penulis
“memanfaatkan” penyakit migrain yang
sedang dideritanya, untuk menyelidiki
identitas pemilik klinik dan apotik Kerta
Medika di Bintaro itu. Hasil pengamatan ini diperkuat dengan surfing terhadap kasus itu di internet.
Wawancara-wawancara
kebanyakan bersifat snowballing, seperti gelindingan bola salju. Si A
mengusulkan si B untuk diwawancari lebih lanjut, dan si B mengusulkan si C,
sehingga bisa diperoleh gambaran yang lebih lengkap.
Berbicara
soal wawancara mendalam, identitas interviewees tidak dibeberkan di buku ini. Barang siapa
yang menganggap buku ini tidak ilmiah, karena tidak membeberkan identitas para
narasumber, jelas tidak berpengalaman dalam penelitian lapangan. Atau lebih
parah lagi, tidak tahu kode etik peneliti, khususnya kewajiban peneliti
melindungi privacy dan keamanan para
informannya.
Buku
ini juga tidak selalu mencatat tempat dan waktu wawancara, apalagi bila
wawancara dilakukan dengan narasumber-narasumber tertentu berulangkali, demi
menjamin konsistensi jawaban dan juga sesuai dengan pertumbuhan pengetahuan dan
pengertian peneliti. Selain itu kerahasiaan para narasumber juga dijaga dengan tidak menyebutkan nama,
tempat wawancara, dan saat wawancara, karena buku ini tidak dimaksudkan sebagai
tesis atau disertasi, melainkan lebih dimaksudkan untuk pendidikan politik bagi
publik.
Seluruh
proses penelitian itu dibarengi pendalaman terhadap silsilah keluarga besar
SBY-Sarwo Edhie Wibowo, yang sudah dimulai di buku Membongkar Gurita Cikeas:Di Balik Skandal Bank Century. Dalam buku
ini silsilah SBY diperlebar dengan pengumpulan data tentang silsilah calon
besan SBY yang kedua, yakni Hatta Rajasa, setelah anak perempuannya, Alya, bertunangan dengan
putra bungsu SBY, Ibas. Kinship algebra, atau
“aljabar perkerabatan”, begitu sering dikatakan oleh alm. Milton Barnett, dosen antropologi terapan penulis di Cornell
University.
Aljabar
perkerabatan itu melengkapi analisisku tentang korupsi kepresidenan, yang telah
kujadikan spesialisasiku, sejak mulai
menulis buku tentang akumulasi kekayaan Soeharto dan Habibie. Mengapa? Karena
begitu banyak sosiologi, ekonom, dan ahli hukum Indonesia tidak mau atau tidak
berani mengkhususkan diri di bidang itu. Kekurangan itu bukan sekedar soal
ketakutan menyentuh hal-hal yang sensitif, tapi juga mencerminkan kelemahan
dalam sistem pendidikan, di mana ilmuwan kita kurang didorong untuk menjadi
ilmuwan paripurna, melainkan hanya menjadi spesialis, bahkan mungkin
superspesialis. Latar belakang pribadiku yang sudah menyeberang bolak-balik di
antara berbagai disiplin, memudahkan penulis untuk menyoroti korupsi
kepresidenan secara lebih wholistic dan eclectic.
Karena
kemenangan Partai Demokrat dan jagoannya yang begitu fantastis dalam Pemilu
2009 sering dikaitkan dengan skandal Bank Century, maka mau tidak mau, penulis
juga harus mendalami skandal itu. Untuk bisa menggali lebih jauh lebar dan lebih mendalam
skandal ini, penulis beruntung dapat memanfaatkan literatur tentang skandal itu
yang sudah membanjir ke tengah-tengah publik, setelah Pansus Bank Century mulai
mengusut skandal itu. Misalnya, buku Bambang Soesatyo (2010), Aloysius
Soni BL de Rosari (2010), serta M. Mufti Mubarok dan Sri Gayatri (2010).
Selain
buku-buku tentang skandal Bank Century, buku-buku yang mencoba membongkar latar
belakang perkara pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen, yang dituduhkan terhadap
Antasari Azhar (Anang 2010), juga membantu penulis. Ternyata, ada satu
“mutiara” dalam penggalian manipulasi-manipulasi pemilu 2009, serta bagaimana Ketua
KPK waktu itu, dijebak. Mutiara itu adalah rencana investigasinya terhadap
korupsi fasilitas TI Komisi Pemilihan Umum, yang ternyata menyinggung
“orang-orang penting” dalam kepengurusan Partai Demokrat. Kasus dugaan korupsi
TI KPU sudah menarik perhatian para pengamat independen, yang berusaha
meneliti, mengapa pemilu 2009 begitu amburadul penyelenggaraannya dibandingkan
dengan pemilu 2004.
Berbagai
langkah penelitian terhadap hutan rimba itu, sangat terbantu oleh tiga jenis
data. Pertama, tulisan-tulisan yang tidak – atau belum – diterbitkan tentang
pemilu 2009, mulai dari pemilu legislatif s/d pilpres. Kedua, buku-buku
“ringan” tentang sisi lain SBY dalam tetralogi yang ditulis wartawan Kompas, Wisnu Nugroho, yang menyoroti mobil-mobil
mewah yang masuk ke luar Istana, lengkap dengan foto Rolls-Roycenya, membantu “membongkar”
kedekatan hubungan milyarder tembakau, Boedi Sampoerna, dengan SBY.
Tulisan-tulisan dan foto-foto Wisnu juga membantu membeberkan kedekatan Tomy
Winata (“TW”) dengan SBY, yang disoroti oleh WikiLeaks tapi dibantah oleh TW.
Jenis
data ketiga diambil dari direktori-direktori bisnis, mulai dari direktori umum,
direktori agribisnis, direktori pertambangan, direktori bank, dan direktori
asuransi, yang membantu membedah perusahaan -perusahaan yang mendukung biaya
kampanye SBY-Boediono, deposan-deposan Bank Century, dan penerima dana talangan
LPS secara tidak sah.
Tentu
saja saya sendiri tidak mungkin dapat
mengumpulkan sendiri data yang begitu kaya. Ada dua kelompok pendukung
yang ikut memasok data buat penulis. Kelompok pertama adalah kelompok-kelompok
serta lembaga-lembaga yang punya kepedulian yang sama untuk mewujudkan
pemerintah bersih di Indonesia, seperti Indonesian Corruption Watch (ICW) di
Jakarta. Kelompok kedua adalah jurnalis-jurnalis yang mendapat tugas dari
medianya untuk melakukan investigasi terhadap akumulasi kekayaan tokoh-tokoh
penguasa, yang dikaitkan dengan skandal Bank Century. Didukung oleh perusahaan
persnya, jurnalis-jurnalis muda itu bisa dengan mudah mendapatkan
lembaran-lembaran negara yang memuat akte-akte notaris dari
perusahaan-perusahaan yang membiayai kampanye Pilpres SBY-Boediono, atau ikut
dalam penyebaran pesan-pesan kampanye, serta perusahaan-perusahaan yang diduga
ikut “kecipratan” dana talangan LPS[4].
Seluruh
data yang terkumpul dengan metodologi penelitian yang diuraikan di atas,
penulis susun dalam enam bab, termasuk Kesimpulan dan Bab So What.
Kepengecutan Segelintir
Toko Buku Besar, melahirkan Semangat Pembajakan Puluhan Pedagang Buku
Penerbit
buku kedua tentang “gurita Cikeas” ini berusaha mencegah terulangnya nasib buku
pertama, yang dibajak habis-habisan. Menurut survei Galangpress, penerbit kedua
buku saya, tempo hari sempat beredar 13 versi bajakan dari
buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik
Skandal Bank Century. Sehingga ribuan eksemplar buku itu hanya dikembalikan
oleh para distributor, setelah pasar jenuh dengan bajakan buku saya.
Sesungguhnya,
ini pengalaman keduaku merasakan bagaimana bukuku dibajak habis-habisan. Ketika
Soeharto baru saja lengser, dan tongkat kepresidenan baru dioperkan ke B. J.
Habibie, atas permintaan kawan-kawan di Pijar Indonesia saya menulis buku
berjudul, Dari Soeharto ke Habibie: Guru
Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme Rezim Orde Baru (2003). Buku itupun dibajak habis-habisan,
sehingga penerbitnya, sebuah ornop yang miskin, tidak mendapat modalnya
kembali, sehingga tidak bisa mencetak ulang bukuku itu.
Ada
dua akar praktek pembajakan itu. Pertama, apa sih di Indonesia yang tidak
dibajak? Terus terang, ini bukan hanya karena nafsu para pembajak untuk
mendapat keuntungan sebesar-besarnya dengan mengeluarkan biaya
sekecil-kecilnya, tapi juga karena konsumen kita tidak malu-malu membeli barang
bajakan. Apalagi kalau lebih murah dari pada barang aslinya. Lihat saja berapa
banyak mahasiswa dan aktivis ornop yang gunakan program-program komputer
bajakan atau cd musik bajakan.
Tapi
dalam kasus buku saya, buku bajakan saya tidak lebih murah harganya ketimbang
harga dari penerbit, yakni Rp 36 ribu per eksemplar, tapi malah lebih mahal.
Minimal Rp 50 ribu, tapi banyak juga konsumen dari luar kota dan luar Jawa,
bersedia membayar Rp 100 ribu sampai ratusan ribu untuk buku saya, yang menjadi
rezeki nomplok buat pembajak dan pengecer buku bajakan itu.
Tingginya
harga buku saya, timbul karena ada kesan, buku saya sudah dilarang oleh
penguasa. Kesan “terlarang” justru membuat banyak konsumen mencari-cari buku
saya, karena semakin ingin tahu, ada apa di dalam buku itu. Katakanlah, semacam
“psikologi buah terlarang” (the forbidden fruit psychology).
Padahal sampai
saat ini, belum ada sepucuk pun surat larangan dari instansi resmi, seperti
Kejaksaan, untuk buku saya[5].
Berbeda halnya dengan buku-buku tentang terancamnya rumpun Melanesia, karangan Socrates
Sofyan Yolman (2007) dan Sendius Wonda (2007), yang dilarang
beredar oleh Kejaksaan Tinggi D.I.Y.
Tapi,
walaupun tidak ada larangan resmi, persekongkolan antara penguasa dengan
seluruh mata rantai toko buku terbesar di Tanah Air, telah mendorong toko buku
ini untuk menyembunyikan ribuan eksemplar buku pertama tentang “gurita Cikeas” di
gudang-gudang mereka. Hanya karena SBY telah meresmikan beberapa toko buku
mereka, mereka menukar jiwa kapitalis
mereka, dengan semangat survival yang sangat menjijikkan.
Kepengecutan
toko buku besar itu, juga menyebabkan mereka tidak berani menjual buku saya
yang terdahulu, Korupsi Kepresidenan:
Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (LKiS
Press, 2006). Mungkin karena buku itu sangat ilmiah, begitupun judulnya, dan
tebalnya 400-an halaman, buku itu tidak sampai dibajak. Tapi kali ini,
kepengecutan toko buku besar itu mengobarkan semangat oportunis puluh pedagang
buku, yang dengan peralatan sederhana, mengopi sekian ribu buku Membongkar Gurita Cikeas.
Begitulah
sekelumit pengalaman saya menulis buku-buku yang kritis terhadap penguasa,
serta oposisi terhadap peredaran buku saya akibat persekongkolan antara toko buku besar dan penguasa.
Yogyakarta,
Senin, 23 Mei 2011
Referensi:
Aditjondro,
George Junus (2003). Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing
Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Rezim Orde Baru. Jakarta: Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan (MIK) & Pijar Indonesia.
-------------(2004). Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan
Ekonomi Indonesia: Investigasi Korupsi Sistemik Bagi Aktivis dan Wartawan. Jakarta: LSPP (Lembaga Studi Pers &
Pembangunan).
--------------(2006). Korupsi Kepresidenan:
Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa.
Yogyakarta: LKiS.
Anang P., E. (2010). Antasari, Hero to Zero: Membongkar
Konspirasi Hitam Menghancurkan KPK. Yogyakarta: Navila Idea.
Badiatul Muchlisin Asti (n.d.). Gurita Ponografi Membelit Remaja:
Menyelamatkan Generasi Muda Islam dari Pusaran Arus Pornografi. Grobogan: Oase Qalbu.
Johannes, R.E. (1981). Words of the Lagoon: Fishing and Marine Lore
in the Palau District of Micronesia. Berkeley: University of California Press.
Mubarok, M. Mufti & Sri Gayatri (2010). Gayatri Sayang Gayatri Malang. Surabaya:
PT Java Pustaka Media Utama.
Mukhlason, M. Ari, Aswika Budhi Arfandy
& Guntur S. Prabandaru (2011). Gurita Pacitan: Membongkar Tuntas Jaringan
Tersembunyi Mafia Koruptor. Surabaya: PT Prestasi Pustaka Publisher.
Nugroho, Wisnu (2010a). Tetralogi Sisi Lain SBY: Pak Beye dan
Politiknya. . Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
------------ (2010b). Tetralogi Sisi Lain SBY: Pak Beye dan
Kerabatnya. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
-------------(2010c). Tetralogi Sisi Lain SBY: Pak Beye dan Istananya.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Revolusi, Sumbu Gesang (2010). Mengusut Gurita Istana. Jakarta: Intellectual (Datamedia Group).
de Rosari, Aloysius Soni BL (2010). Centurygate: Mengurai Konspirasi Penguasa-Pengusaha. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Smith, Nick L. (1981). “Metaphors For Evaluation.” Dalam
Nick L. Smith (ed). Metaphors for
Evaluation: Sources of New Methods. Beverly Hills: Sage Publications, hal.
51-66.
Soesatyo, Bambang (2010). Skandal Gila Bank Century: Mengungkap yang tak Terungkap Skandal
Keuangan Terbesar Pasca-Reformasi. Jakarta: Ufuk Press.
Wonda, Sendius (2007). Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat.
Jayapura: Penerbit Deiyai.
Yoman, Socratez Sofyan (2007). Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua
Barat. Yogyakarta: Galangpress.
[1] ) Taktik pertahanan diri gurita yang lain, yang diamati di Kepulauan
Micronesia di Samudera Pasifik, ada lagi. Apabila musuhnya, seperti belut laut
atau ikan hiu berusaha menangkapnya dengan menggigit salah satu tentakelnya,
gurita itu melompati lawannya, menempel di kepala musuhnya dan menutupi kedua
mata musuhnya, dan mencengkeram kepala musuhnya dengan segenap kekuatan lengan-lengannya. Kontan
musuhnya kaget, apalagi penglihatannya untuk sementara terganggu, sehingga melepaskan
gigitannya. Kesempatan itu digunakan oleh sang gurita untuk menghindar secepat
kilat (lihat Johannes 1981: 132-3).
[2] ) Manggoati dan wara sama-sama jenis belut laut. Cuma
bedanya, manggoati bisa ditemukan di
karang-karang waktu air surut besar. Kulitnya belang-belang. Sedangkan wara berdiam di dekat tubir karang. Beda
yang lain, wara itu bisa dimakan, sedangkan manggoati tidak.
[3] ) Suku-suku di pesisir Utara Tanah Papua, sering menganalogikan sifat-sifat
manusia dengan karakteristik berbagai jenis hewan laut, seperti gurita, ikan
hiu, paus, lumba-lumba, dan penyu (Moor-Mamboor: waraa). Gurita (Biak: kombrof) adalah lambang orang yang rakus dan
suka meraup harta untuk dirinya. Pada awalnya dia tampak baik dengan cara
mengorbankan satu lengannya untuk menghadapi belut laut (karabas) yang rakus dan mudah tergoda. Setelah karabas keluar dari
lubangnya, kombrof pun bertakhta
dengan segala kerakusannya. Itu lambang orang perebutan kekuasaan dan materi. Sifat
itu ada pada orang Jawa. Ikan hiu atau gorango (Biak: romun)
itu lambang orang yang menggunakan kekuasaan dan kekerasan untuk memenuhi
kebutuhan dirinya, yang dianggapnya lebih hebat. Paus (Biak Numfor: saroy; Biak Bettew: taroi) adalah orang yang geraknya lamban dan lebih bersifat
melindungi, bukan menolong. Yang bersifat melindungi dan menolong adalah lumba-lumba
(Biak: ombon). Penyu jantan (Biak: wew) dan penyu betina (Biak: kumep) adalah lambang manusia yang lugu
dan penakut, karena tidak punya senjata. Penyu betina selalu mencari tempat yang aman
dan nyaman untuk bertelur, biasanya di pasir putih di pantai, di bawah
pepohonan. Sifat penyu ini berbeda dengan
duri babi (Biak: amfaem) dan
ubur-ubur atau papeda laut (kangkun)
adalah lambang orang yang tidak suka urus orang lain, tidakmerugikan
lingkungan, tetapi jika diganggu sangat berbahaya, karena dia memiliki jurus
membela diri, seperti sifat orang Raja Ampat. Seperti diceritakan oleh Dr.
Nommensen Mambraku, dosen Universitas Cenderawasih pendidikan budi-pekerti bagi
anak-anak pesisir Tanah Papua juga dilakukan dengan fabel-fabel. Misalnya,
fabel tentang aruken (sejenis ikan porobibi, atau ikan buntal di
Makassar, yang berduri tajam) dengan sejenis kaf (kepiting) yang disebut mangkabras.
Aruken dan mangkabras itu asalnya dua orang saudara sepupu. Satu waktu mereka
berdua melaut dari pagi hingga jam 2 siang, tanpa hasil. Karena sudah lapar,
dua bersaudara itu memutuskan untuk naik ke darat mencari kelapa. Waktu di
darat, ada sebatang pohon kelapa yang banyak buahnya. Aruken sarankan Mangkabras
yang panjat, karena dia punya jari-jari. Mangkabras
pun panjat, dan semua buah kelapa yang dijatuhkannya, ditelah habis oleh Aruken. Ketika Mangkabras minta bagiannya, Aruken
bilang, tadi ada famili perempuan lewat, dan mereka sudah bawa semua. Dalam
keadaan lapar, Mangkabras terima
alasan Aruken. Keduanya kembali ke
laut dan kebetulan ada kerang besar(ingkonbosen)
di dasar laut. Makanya terjadi tawar menawar, siapa yang akan menyelam. Mangkabras bilang, kali ini kali ini Aruken yang menyelam, dan kasih ingkonbosen jepit perutnya yang besar,
lalu dibawanya muncul ke permukaan. Ternyata sampai di dasar laut, ingkonbosen menjepit perut Aruken smpai pecah dan semua buah kelapa mengambang ke permukaan (komunikasi pribadi dengan DR. Nommensen
Mambraku, Pdt. M.I. Wanma, Pdt. Karel Phil. Erari, dan Ibu Costantina Duwiri-Wanaha,
medio Mei 2011).
[4] ) Kerjasama dengan media profesional juga telah saya lakukan waktu
meneliti penyebaran harta ilegal keluarga dan kroni-kroni Soeharto, terutama bekerjasama
dengan majalah Time edisi Asia yang
berkantor di Hong Kong serta harian The
Guardian di London.
[5] ) Walaupun tidak ada larangan resmi bagi penerbitan buku saya, Galangpress telah mengalami berbagai macam
intimidasi, baik dari aparat resmi, maupun dari orang-orang yang tidak jelas
identitasnya. Beberapa pengalaman Galangpress berkaitan dengan penerbitan buku-buku
yang kontroversial adalah:(a) paksaan penarikan dua buku tentang Papua (Yoman 2007
yang diterbitkan oleh Galangpress, dan Wonda 2007 yang hanya dicetak oleh
Galang) secara resmi oleh Kejati DIY; (b) tekanan untuk menarik buku Membongkar Supersemar: Dari CIA hingga
Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno (2008) karangan Dr. Baskoro T. Wardoyo, SY,
tapi karena tidak ada surat resmi dari Kejaksaan, akhirnya buku itu tetap
disebarkan; (c) ancaman dalam bentuk sms; (d) ancaman dlm bentuk telepon bodong
(private number) atau telepon
dengan nomor yang tidak jelas; (e) rumah dan keluarga penerbit didatangi
sekelompok orang bertubuh besar dan berambut gondrong menanyakan keperadaan Julius
Felicianus, direktur Galangpress; (f) di saat-saat tertentu kantor Galangpress pagi,
siang, sore, dan malam didatangi aparat Kejaksaan, Kepolisian, Kodim, dan Korem;
(g) kantor Galangpress didatangi
sekelompok aparat Kejati DIY saat buku dilarang terbit dan petugas serta
pimpinan perusahaan ini diinterogasi perihal naskah, jumlah cetakan, siapa penulismya,
bagaimana distribusinya serta stok buku yang
dilarang yang masih disimpan di gudang penerbit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar