PASIFIKASI, DEMI PEMBANGUNAN TERUSAN KRA?
oleh Dr. George J. Aditjondro
Gelombang-Gelombang Perlawanan Bangsa
Patani:
= Tahun 1901, Raja Patani, Tengku
Abdul Kadir Qamaruddin, mengirim surat kepada Gubernur Straits Settlements Inggris di Singapura, meminta intervensi
Inggris terhadap Raja Siam, Chulalongkorn (Rama V), untuk mengatasi penderitaan
rakyatnya. Namun sang gubernur diam saja, sebab buat Inggris, persahabatan
dengan Siam sangat diperlukan, sebagai buffer state (negara tameng) antara jajahan Perancis di
daratan Asia Tenggara(French Indo-China) dan jajahan Inggris di Asia
Selatan dan Tenggara (British India). Gagal mendapat dukungan Inggris,
Tengku Abdul Kadir Qamaruddin mencoba mengorganisir satu gerakan, yang dapat
memancing penindasan yang lebih keras oleh penguasa di Bangkok, yang pada
gilirannya dapat memicu perlawanan menentang reorganisasi ketujuh provinsi itu,
di mana penguasa local (chaomuang) digantikan oleh birokrat-birokrat
Thai yang beragama Buddhis. Walhasil, serangkaian perlawanan kolektif dimulai,
ketika raja-raja Melayu menolak melepaskan kekuasaan mereka sebagai chaomuang
ke tujuh provinsi wilayah Selatan
itu, yakni Patani, Nhongchik, Eaman, Ra-ngae (Legeh), Saiburi, Yala, dan Yaring
(Che Man 1990: 35, 62).
Perlawanan para bangsawan itu
didukung oleh para pemimpin agama, yang percaya bahwa tunduk tanpa perlawanan
kepada sebuah rezim non-Islam, dilarang oleh agama Islam. Di provinsi Saiburi,
misalnya, para ulama mendukung sikap Raja Saiburi, Tengku Abdul Kadir Nilebai
(Phraya Suriyasunthornbowornphakdi), yang menolak pembentukan pengadilan agama
Buddhis oleh pemerintah Thai di provinsi itu. Sedangkan di Raman, para hakim
agama Islam dan kepala-kepala desa meletakkan jabatan sebagai protes terhadap
campur tangan Bangkok dalam peradilan agama Islam di sana. Pemerintah Thai
sampai harus menggunakan kekerasan untuk mengatasi perlawanan itu (Che Man
1990: 62-3).
Perlawanan Bangsa Patani terhadap
integrasi wilayah mereka ke dalam struktur Kerajaan Siam terus berjalan,
walaupun terus menghadapi represi aparat kerajaan. Tahun 1901, Raja Legeh, Tuan
Tengah Shamsuddin, dicopot dari posisinya dan dibuang ke Songkhla. Pencopotan
raja-raja yang lain menyusul setahun berikut, namun mereka tetap diberi pensiun
sebagai kompensasi. Secara sistematis, semua fungsionaris di tujuh provinsi
Selatan itu diganti dengan birokrat Thai. Pembayaran Bunga Mas oleh raja-raja Melayu itu ke Raja Siam yang
dulunya 2 ½ tahun sekali dihapuskan, sebab kesatuan-kesatuan politik di Selatan
itu tidak lagi dianggap jajahan, melainkan bagian integral dari Kerajaan Siam,
dan ketujuh provinsi itu dilebur menjadi empat provinsi yang lebih besar, yakni
Patani, Bangnara, Saiburi, dan Yala (Che Man 1990: 35, 63).
= Di masa pemerintahan Raja Siam
Vajiravudh (1910-25), gerakan perlawanan Bangsa Patani meningkat, seiring
dengan meningkatnya usaha Kerajaan Thai untuk menguasai masyarakat Melayu di
Selatan. Sebagian besar kerusuhan itu berlatarbelakan keinginan masyarakat
Melayu untuk mengatur diri mereka sendiri. Memang, sejak awal inkorporasi
Patani ke dalam Kerajaan Muangthai tahun 1902, perlawanan Bangsa Patani
mengambil bentuk politis dan religius. Keterlibatan para pemimpin agama dalam
perlawanan itu didorong oleh keinginan untuk merebut kekuasaan politik kembali
dari para bangsawan. Misalnya, pemberontakan yang dipimpin oleh
pemimpin-pemimpin agama yang kharismatik, To’ Tae di tahun 1910 dan Haji Bula
tahun berikutnya (Che Man 1990: 63).
= Tahun 1915, mantan Raja Patani,
Tengku Abdul Kadir Qamaruddin, yang pernah ditahan oleh penguasa Muangthai
tahun 1903 dan dipenjara di Provinsi Phitsanulok selama 33 bulan, sebelum
dibebaskan dengan janji tidak akan terjun ke bidang politik, hijrah ke Kelantan,
yang waktu itu masih di bawah kekuasaan Inggris. Dari sana ia terus memimpin
gerakan perlawanan Bangsa Patani, dengan dukungan Sultan Kelantan, Sultan
Muhammad IV. Perlawanan paling serius yang diilhami Tengku Abdul Kadir
Qamaruddin terjadi tahun 1922, ketika pemerintah Thai mengambil satu langkah
lagi untuk mengintegrasikan masyarakat Melayu Patani ke dalam negara Thai,
dengan Undang-Undang Pendidikan Dasar Wajib tahun 1921, yang mengharuskan semua
anak Melayu Muslim mengikuti sekolah dasar Thai yang berbahasa Thai. Masyarakat
Melayu Muslim melihat ini sebagai langkah baru lagi demi ‘Siamifikasi’ rakyat
Patani, dan mengikis agama dan budaya mereka dari anak-anak mereka. Salah satu
bentuk perlawanan para pemuka agama dan bangsawan Patani adalah memerintahkan
rakyat pedesaan Patani menolak membayar pajak dan sewa tanah milik pemerintah
Thai. Tahun 1922, pemerintah Thai menurunkan pasukan polisi dan tentara yang
bentrok dengan rakyat, serta menahan dan mengeksekusi sejumlah tokoh masyarakat
Melayu Muslim. Tahun berikutnya, Bangkok dituduh oleh rakyat Patani, menutup
sekolah-sekolah berbahasa Melayu dan sekolah-sekolah pengajian Al-Qur’an, yang
memicu gelombang protes baru lagi, yang hanya dapat dipadamkan dengan kekerasan
aparat lagi (Che Man 1990: 63-4).
= Boleh dikata, perlawanan Bangsa
Patani berbanding lurus dengan usaha-usaha Siamifikasi mereka oleh Kerajaan
Thai. Selama 15 tahun (1923-38), ketika represi terhadap rakyat Patani oleh
Bangkok berkurang, di Selatan juga tidak banyak perlawanan. Namun di bawah
pemerintahan Raja Phibun Songkhram yang sangat ultra-nasionalis, dari tahun
1938 sampai 1944, berakhirlah masa damai di Selatan. Soalnya, busana Melayu
dilarang, begitu pula penggunaan bahasa Melayu dan beberapa praktek agama
Islam. Bahkan ada kasus, di mana orang Muslim dipaksa menyembah ikon-ikon
Buddhis. Asimilasi yang dipaksanakan oleh Phibun membuat ribuan orang
Melayu-Muslim hijrah ke Semenanjung Malaya dan Arab Saudi. Di Malaya, Tengku
Mahmud Mahyuddin, anak bungsu mantan Raja Patani, Tengku Abdul Jalal bin Tengku
Abdul Muttalib, anak mendiang Raja Saiburi, dan sejumlah pemimpin Muslim lain
membentuk Gabungan Melayu Patani Raya (GAMPAR), sementara di Patani, Haji
Sulong bin Abdul Kadir bin Muhammad Al-Fatani, seorang ulama terkenal dan ketua
Majelis Agama Islam Provinsi Patani, mendirikan PPM (Patani People’s
Movement) yang berafiliasi ke GAMPAR. Mereka beraliansi dengan tentara
Inggris dan gerilyawan Melayu anti-Jepang, dengan harapan Inggris mendukung
cita-cita mereka untuk melepaskan Patani Raya dari jajahan Muangthai, dan
bersatu dengan saudara-saudara mereka di Semenanjung. Namun setelah Inggris
menolak gagasan itu, Haji Sulong dibunuh oleh polisi Thai tahun 1954, serta GAMPAR
dan PPM bubar, sirna pulalah harapan untuk bergabungnya sesama Melayu di
Semenanjung (Che Man 1990: 64-6; May 1991: 313).
= Sesudah bubarnya GAMPAR dan PPM,
muncul tiga front perlawanan Bangsa Patani, yakni BNPP, BRN, dan PULO. Tahun
1959, Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP) didirikan oleh Tengku Abdul
Jalal (Adul Na Saiburi), mantan wakil ketua GAMPAR serta sejumlah ulama, dengan
dukungan yang kuat dari mahasiswa Melayu Patani yang kuliah di Arab Saudi,
Mesir, dan Pakistan, dan bertujuan menegakkan kembali kemerdekaan Bangsa Patani
berbasis Islam orthodoks, melalui perjuangan politik maupun perang gerilya,
yang di kemudian hari dilancarkan oleh Tentara Pembebasan Nasional Bangsa
Patani. Front kedua, Barisan Revolusi Nasional (BRN), didirikan di tahun 1968 oleh
Ustaz Abdul Karim Hasan, seorang pengagum Bung Karno, serta sekelompok generasi
muda Patani dan bergerak melalui jaringan pondok, dan bertujuan mendirikan
Republik Patani yang berideologi ‘sosialisme Islam’. Sedangkan front ketiga, Patani
United Liberation Front atau PULO, didirikan
tahun 1968 di India oleh Tengku Bira Kotanila (Kabir Abdul Rahman), yang baru
saja selesai studi S1 Ilmu Politik di Aligarg Musliom University serta
sekelompok mahasiswa Melayu Patani di universitas yang sama. Segera sesudah
pembentukan PULO, Tengku Bira pindah ke Mekkah dan berusaha merekrut anggota di
antara orang-orang muda Muslim Patani di sana, dan menekankan bahwa PULO berideologi
nasionalisme yang sekuler, berbeda dengan ideology BNPP yang Islam orthodoks
dan BRN yang berideologi sosialisme Islam. Suasana politik Patani antara
1958-1960 ditandai dengan tuntutan ke arah kemerdekaan penuh bagi Bangsa
Patani, tanpa bergabung dengan Malaysia, dengan mengacu kepada kebesaran
Kerajaan Patani di masa lalu, didasarkan pada ajaran Islam. Cita-cita itu
diperkuat dengan penerbitan dan peredaran buku History of the Malay Kingdom
of Patani karangan Ibrahim Shukri,
dan buku Light of Security karangan Haji Sulong (Che Man 1990: 70, 98-100;
May 1991: 313).
=
Sejak akhir 1960an, muncul pergantian kepemimpinan serta perpecahan dari
kelompok-kelompok utama tadi. Tahun 1985, Barisan Bersatu Mujahideen Patani (United
Front of Patani Fighters) atau BBMP, memisahkan diri dari BNPP, dipelopori
oleh Wahyuddin Muhammad, mantan wakil ketua BNPP. Waktu itu, sudah terjadi
pergantian pimpinan BNPP, setelah meninggalnya ketuanya yang pertama, Tengku
Abdul Jalal, di bulan September 1977, sehingga Komite Sentral BNPP memilih
Badri Hamdan sebagai ketua. Ia berusaha menarik lulusan-lulusan universitas di
Timur Tengah untuk menciptakan kader-kader Islam yang agresif, yang dapat
merembes memasuki sekolah-sekolah Islam untuk membangun basis populer yang
luas. Tahun 1985, ada 18 sekolah Islam yang sudah dikuasai oleh BNPP. Sementara
itu, BRN telah pecah tiga. Perpecahan-perpecahan itu mengikuti garis pribadi,
ideologis, dan kelas. Seperti pada gerakan pembebasan Bangsa Moro, usaha-usaha
rekonsiliasi telah dilakukan, sehingga di awal 1988 terjadi suatu ‘aliansi
longgar’ antara BRN dan PULO. Sejak medio 1970an, kegiatan gerilya di pedesaan
agak berkurang, bergeser ke gerilya di kota oleh kelompok Sabil-illah (Jalan
Allah) yang muncul di Provinsi Patani, berbasis di kota, dan berhaluan
fundamentalis. Namun pada umumnya perjuangan gerakan pembebasan Bangsa Patani
lebih diarahkan untuk mendapatkan dukungan internasional, walaupun mereka tidak
begitu berhasil seperti Bangsa Moro. Ketiga kelompok tersebut di atas – BPNN,
BRN, dan PULO – mendapat dukungan dari kelompok-kelompok di Malaysia dan Timur
Tengah, namun di awal 1990-an,Arab Saudi menutup kantor PULO di Jeddah (Che Man
1990: 100-13; May 1991: 313).
= Walaupun berbeda dari sudut
ideologi, ketiga front itu sama-sama setuju perlunya berjuangan bersenjata.
Sejak awal 1970an, mereka menjalankan perang gerilya di provinsi-provinsi di
mana merekia paling kuat. Di puncak perang gerilya (1970-5), istilah
‘pemerintah bayangan’ digunakan oleh penduduk pedesaan yang Muslim, sedangkan
provinsi Patani, Yala, dan Narathiwat kadang-kadang disebut “daerah bebas”.
BNPP, BRN, dan PULO sering menghadang pasukan pemerintah dan sering menyerang checkpoints
polisi dan instalasi-instalasi pemerintah Thai. Pemerasan, terutama
terhadap pemilik perkebunan karet dan kelapa, serta penculikan-untuk-pemerasan,
sering dilakukan. Pengusaha-pengusaha Thai sering harus membayar “uang
keamanan” kalau tidak mau diganggu.
Sering juga, aksi-aksi teror dilancarkan untuk mengingatkan pemerintah
Thai maupun rakyat pedesaan Patani bahwa ketiga front itu masih beroperasi (Che
Man 1990: 100).
Antara
1968 sampai 1975, pemerintah Thai melancarkan serangkaian operasi militer
melawan aksi-aksi bersenjata Muslim itu, yang diberi nama sandi “Operasi Khusus
di Empat Provinsi Perbatasan”, “Operasi Ramkamhaeng”, dan “Kampanye Khusus Anti
Teror di Tiga Provinsi Perbatasan”. Operasi-operasi ini melibatkan Pasukan
Khusus Polisi (semacam Brimob) dari Zone ke IX, dengan merekrut banyak relawan
Buddhis maupun Muslim, dan diintegrasikan dalam satuan-satuan militer dan
polisi organik di daerah Selatan. Hasil kampanye selama tujuh tahun ini: 385
bentrokan bersenjata dengan para pejuang Muslim; 329 pejuang Muslim gugur; 165
pejuang Muslim menyerah pada aparat Thai; 1,208 pejuang ditahan; serta
perampasan 1451 pucuk senjata dari berbagai jenis, 27.538 butir peluru, dan 95
buah granat’; serta penghancuran 250 kamp gerilyawan. Komentar Kapten Polisi
Megarat, salah seorang komandan operasi gabungan militer dan polisi Thai waktu
itu: “Melihat statistik ini, kami ingin percaya bahwa operasi kami telah berhasil
menumpas seluruh kekuatan para teroris. Kenyataannya, malah sebaliknya.
Sejumlah teroris tetap aktif. Pemimpin-pemimpin baru yang kami belum kenal,
telah muncul. Padahal, kita telah berperang dengan mereka sejak 1905, tapi
mereka tetap exist” (Che Man 1990: 100-1).
Memang
begitulah, gerakan pembebasan Muslim Patani tetap beroperasi, dan
konflik-konflik yang terjadi semakin mendalam dan meningkat. Pembunuhan lima
orang pemuda Muslim, konon oleh prajurit Thai, di bulan Desember 1975, telah
memicu demonstrasi terbesar dalam sejarah Patani. Ribuan orang berkumpul di
Mesjid Raya Patani setiap hari selama 45 hari berturut-turut. Selama periode
itu, sekurang-kurangnya 25 orang Muslim terbunuh lagi dan 40 orang terluka,
konon oleh angkatan bersenjata Thai. Selain karena militasi Bangsa Patani
sendiri, demonstrasi ini dapat juga dipandang sebagai produk peningkatan
kesadaran politik akibat tiga tahun (1973-6) kebangkitan demokrasi di Muangthai.
Selama periode itu, perjuangan untuk mendapatkan pengakuan internasional terus
dilangsungkan, namun gerilya bersenjata tetap juga dilancarkan oleh ketiga
front itu. Walhasil, antara November 1978 dan Oktober 1979, sejumlah 161
konflik bersenjata antara para pejuang dan aparat Thai berlangsung di ketiga
provinsi Patani, Yala, dan Narathiwat (Che Man 1990: 101).
Perjuangan
untuk mendapatkan perhatian luar negeri, yang dilakukan oleh para mahasiswa dan
pekerja Patani di Malaysia, Arab Saudi, Mesir, dan Pakistan, mulai menunjukkan
hasil, ketika sejumlah media cetak berbahasa Arab di Timur Tengah mulai
membeberkan perjuangan Bangsa Muslim Patani di Muangthai Selatan. Dari bulan
Juli s/d Agustus 1976, Al-Jihad, salah satu harian terbesar di Lybia, menerbitkan
liputan bersambung selama 43 hari tentang suka-suka para gerilyawan Patani.
Buku-buku berbahasa Arab tentang gerakan pembebasan Patani juga telah terbit,
seperti Patani: A Difficult and Concealed Revolutionary Movement
karangan Muhammad Warieth, dan Islamic Government in Patani karangan Rauf Saliby. Jurnalis dan pejabat
Muslim juga mulai berkunjung ke daerah Patani, untuk mendapatkan informasi
tangan pertama. Semuanya ini memperbesar kesadaran dan simpati Arab bagi
pergumulan orang Muslim Patani (Che Man 1990: 101-2).
= Seperti juga perkembangan pada
gerakan pembebasan Moro, varian terbaru dalam gerakan pembebasan Patani adalah
terbentuknya kelompok-kelompok Muslim militan. Di antara kelompok-kelompok itu,
yang sangat terkenal adalah Sabilillah dan Grekkan Islam Patani (GIP). Sabilillah
(Jalan Allah) dibentuk dalam bulan Desember 1975 di Provinsi Patani, saat
sedang berlangsung demonstrasi besar di Patani, memprotes kekejaman pasukan
marinir Thai, seperti dilukiskan di atas. Mereka menempuh jalan kekerasan untuk
melawan control pemerintah atas daerah Melayu. Serangan paling besar yang
pernah dilancarkan adalah pemboman terhadap Bandar Udara Internasional Don
Muang, Bangkok, tanggal 4 Juni 1977. Sejak itu kelompok tersebut mengaku
bertanggungjawab atas banyak serangan bom terhadap stasiun-stasiun kereta api
dan instalasi-instalasi resmi lain (Pitsuwan 1989: 196-7).
Gerakan
Islam Patani (GIP) merupakan organisasi militant yang lebih muda, dan dibentuk
di Kota Bharu, Kelantan. Menurut pemerintah Thai, gerakan yang mengaku
progresif itu berada di bawah patronase sejumlah orang Melayu Kelantan. Yang
tidak begitu dikenal, adalah kelompok Desember Hitam (1902).Nama itu
diambil dari peristiwa historis, yakni dimasukkannya secara final daerah Patani
Raya ke dalam Kerajaan Thai oleh Raja Chulalongkorn, dengan Dekrit 20 Desember
1902. Kelompok yang aktif di provinsi Yala ini mengaku bertanggungjawab atas
peledakan bom pada saat Raja Muangthai berkunjung ke Yala, 22 September 1978
(Pitsuwan 1989: 197).
= Gerilyawan Patani ada juga yang melakukan
persekutuan taktis dengan gerilyawan Komunis di kawasan perbatasan Muangthai
dan Malaysia, maupun dengan gerakan pembebasan Acheh di seberang Selat Malaka.
Dari ketiga front tersebut di atas, BRN yang ditengarai punya hubungan yang
akrab dengan gerilyawan Partai Komunis Malaya (CPM, Communist Party of
Malaya) dan Partai Komunis Thai (CPT). Tanggal 7 Agustus 1977, dibentuk
Tentara Pembebasan Rakyat Muslim untuk bertempur bersama gerilyawan Partai
Komunis Thai (Pitsuwan 1989: 172, 178).
= Adanya dua gerakan pembebasan yang
beroperasi di wilayah perbatasan Muangthai dan Malaysia, membuat daerah itu
menjadi sumber penyelundupan senjata dan amunisi bagi gerakan pembebasan di
Acheh. Menurut sumber intelijen Indonesia, PULO telah memasok senapan mesin AK-47
bagi Gerakan Acheh Merdeka (GAM). Ini juga dibenarkan oleh polisi Thai, yang
selama tahun 2001 sampai 2002, berhasil menyita pengapalan-pengapalan senjata
dan amunisi ke Acheh, yang berisi senapan mesin, amunisi, granat, ranjau darat,
dan bahan peledak TNT (Djalal & Djalal 2006: 36).
=
Memasuki abad ke-21, aksi-aksi kekerasan di antara pejuang kemerdekaan Patani
dan aparat negara Muangthai, semakin bergejolak. Pada April 2004, 30 pemuda
Muslim ditembak oleh tentara di masjid Kru Se. Masjid ini sangat bersejarah
karena didirikan pada abad 15, masjid tertua di Muangthai. Satu periode dengan
masa kejayaan Islam pada Khalifah Abbasiyah. Peristiwa kedua adalah pada
Oktober 2004, sekitar 175 orang Muslim Takbai meninggal di perjalanan, setelah
mereka demonstrasi kepada pemerintah dan dimasukkan dalam truk dalam kondisi tangan
terikat di belakang. Sejak peristiwa Kruse dan Takbai yang menewaskan sekitar
200 orang Melayu-Muslim, kekerasan di wilayah Patani Raya semakin meningkat.
Hampir tiap minggu ada ledakan bom, penembakan, dan aksi kekerasan lain.
Sasarannya pegawai pemerintah, tentara, polisi, orang Tionghoa dan orang Buddha
(Sholeh t.t.).
Dalam satu minggu menjelang dan
setelah tahun baru Buddhis, Songkran, yang dirayakan selama lima hari
sejak Jum’at, 13 April 2007, berbagai peristiwa pemboman dan penembakan
terjadi. Pada hari Selasa, 10 April bom meledak di depan Cineplex Ratchayothin,
Bangkok. Tidak ada korban, sebab diduga bom ini hanya untuk memberi nuansa rasa
takut menjelang tahun baru Buddha. Pada tempat yang sama, menjelang tahun baru
2007, bom meledak yang menewaskan tiga orang dan puluhan luka-luka, dilanjutkan
dengan ledakan di Muangthai Selatan, yang menewaskan sembilan orang. Menjelang tahun
baru Buddhis ini, penembakan dan pemboman juga terjadi di Yala, Pattani dan
Narathiwat. Lebih dari lima orang meninggal, dan puluhan luka-luka (idem).
= Hari Rabu, 12 Agustus, sebuah bom
meletus di pintu gerbang sekolah desa Rusa Milae di distrik Muang, Provinsi
Patani, yang mencederai dua orang sipil. Polisi kontan menuding gerakan
pembebasan Patani berada di belakang aksi pemboman itu. Penyelidikan awal yang
dilakukan oleh polisi Tjai dan tim forensik menemukan sebuah bom yang
dikendalikan dari jauh, disembunyikan dalam kotak logam di tiang listrik di
seberang sekolah.
Pada hari yang sama, sebuah bom
mencederai seorang ranger paramiliter ketika ia menyelidiki sebuah benda yang
mencurigakan di distrik Kapho di provinsi yang sama. Lagi-lagi penguasa
setempat menuding para pejuang kemerdekaan Patani berada di balik insiden itu.
Masih pada hari yang sama, dua orang
terbunuh dan empat luka-luka, ketika sekelompok penyerang yang terdiri dari
sedikitnya lima orang menembak ke tengah-tengah pengunjung warung the di
Songkhla.
Secara menyeluruh, modus operandi
para pejuang kemerdekaan di provinsi-provinsi Selatan yang bergolak itu tetap
sama, yakni peledakan bom dan penembakan dari atas kendaraan yang
melaju. Begitu menurut laporan mingguan, 10-16 Agustus 2009 dari International
Centre for Political Violence and Terrorism Research, dari S. Rajaratnam
School for International Studies di Singapura. Menurut lembaga riset
terorisme itu, korbannya tidak terbatas pada
satuan-satuan militer dan polisi, tapi juga orang-orang sipil. Namun peledakan
bom di distrik Muang di provinsi Patani menunjukkan kemampuan membuat bom yang
lebih canggih, yakni yang dapat diledakkan dari jarak jauh. Ini menunjukkan
bahwa para pejuang kemerdekaan semakin canggih kemampuannya, begitu menurut
lembaga riset terorisme di Singapura itu. Namun lembaga itu masih
mempertanyakan, apakah ini akan semakin meningkatkan konflik di wilayah
Muangthai Selatan.
Lembaga itu juga mengakui, bahwa belum
ada yang menyatakan bertanggungjawab atas aksi-aksi kekerasan itu. Ke-anonim-an
serangan-serangan itu semakin menyulitkan pemerintah Muangthai untuk menangani
masalah-masalah itu, serta menjawab tuntutan politis dari kelompok atau
kelompok-kelompok yang bertanggungjawab. Ini bertentangan dengan keterangan
dalam laporan mingguan lembaga riset itu, yang menggarisbawahi tuduhan penguasa
setempat, bahwa kelompok pejuang kemerdekaan Patani bertanggungjawab atas
aksi-aksi bom di Patani dan Songkhla itu.
Kepala Polisi Muangthai, Jenderal
Polisi Phatcharawat Wongsuwon berangkat ke provinsi-provinsi Selatan pada Kamis
pagi, 13 Agustus, untuk menindaklanjuti pengusutan pembantaian pada hari Senin,
8 Juni, di Mesjid Al-Furqon di Desa I Payae, Distrik Joh-Irong, Provinsi
Narathiwat. Sebelum berangkat ke Selatan, ia membantah dugaan bahwa ada perwira
polisi yang menyogok untuk naik pangkat, dengan menegaskan bahwa selama 30
tahun menjadi polisi, ia belum pernah mendengar hal itu terjadi. Ia juga
menyangkal telah mendiskusikan daftar reshuffle perwira-perwira polisi
dengan pejabat Kepala Polisi Jenderal (Pol) Wichien Pojphosri. Begitu menurut
laporan mingguan lembaga riset Singapura itu.
= Last but certainly not least,
seperti yang telah disinggung beberapa kali, konflik antara Bangsa Patani dan
Kerajaan Thai juga menyentuh ranah agama dan simbol-simbolnya, yang paling
menonjol di lembaga pendidikan. Di awal 1988, kontroversi meledak seputar
larangan penggunaan jilbab (hijab). Ini didahului dua tahun sebelumnya,
ketika seorang guru perempuan di sekolah di Nonthaburi karena datang mengawasi
ujian akhir sekolah dengan memakai busana Muslimah. Hal serupa terjadi tanggal
2 Juni 1986 di Patani, ketika seorang PNS
perempuan datang bekerja dengan menggunakan jilbab. Selanjutnya, tanggal
11 Desember 1987, sekelompok mahasiswi Muslimah di IKIP di Yala memutuskan
untuk masuk kuliah dengan menggunakan jilbab, yang kemudian diikuti oleh selusin
mahasiswi Muslim lain. Tampaknya, larangan-larangan jilbab yang dikeluarkan di
berbagai sekolah dan kantor pemerintah di wilayah Selatan, diwarnai oleh
ketakutan aparat pemerintah Thai, terhadap aksi kekerasan kelompok Muslim
Patani terhadap masyarakat Thai Buddhis di wilayah Selatan. Peristiwa yang
melandasi ketakutan itu adalah ditemukannya bom berkekuatan 30 pound TNT di
sebuah patung Buddha besar di Narathiwat pada tanggal 24 Maret 1987. Bom itu
berhasil dijinakkan hanya tiga menit sebelum meledak (Satha-Anand 1994: 283-6).
Siapa itu bangsa Patani?
= Secara etno-linguistik, Bangsa Patani
(orang Thai menyebutnya, Pattani, dengan ‘t’ ganda) adalah Orang Melayu, yang
beragama Islam, berbeda dari Bangsa Thai, yang beragama Buddha. Walaupun mereka
hanya meliputi sekitar 3 % dari seluruh penduduk Muangthai yang berjumlah 50
juta jiwa (1990), mereka merupakan mayoritas penduduk empat provinsi terselatan
negara itu, yakni Pattani, Narathiwat, Yala dan Satun, dan dulu dikenal sebagai
‘Pattani Raya’ (Che Man 1990: 32-3).
Apakah mereka punya, atau pernah
punya suatu bentuk negara sendiri?
= Antara abad pertama dan ketujuh
Masehi, ada sebuah kerajaan Melayu di leher antara Muanghtai dan Malaysia
sekarang, bernama Langkasuka (orang Tionghoa menyebutnya, ‘Lang-ya-shiu’).
Kerajaan ini terbentang antara Pattani di Muanghtai Selatan dan negara bagian
Kedah sekarang. Pattani menjadi tempat persinggahan pelaut-pelaut yang berlayar
dari ujung selatan Vietnam mengitari Teluk Siam. Kemudian, di masa puncak
kejayaan Sriwijaya, antara 685 dan 689 Masehi kerajaan Langkasuka menjadi
bagian dari Sriwijaya. Dengan demikian, Kedah menjadi bandar utama Sriwijaya di
Semenanjung Melayu. Baru antara 1295-1296 Masehi, Langkasuka ditaklukkan dan
diserap oleh Kerajaan Siam (Munoz 2006: 85, 115, 130, 173-4; Che Man 1990: 32).
Menurut Hikayat Morong Mahawangsa,
yang juga dikenal sebagai Kedah Annals, Patani didirikan oleh orang Kedah. Sementara Phongsawadan
Muang Patani, atau Chronicles of
Patani, menyebut pendiri kerajaan itu adalah seorang penguasa Kota
Mahligai, yang mengubah sebuah desa pantai menjadi bandar yang ramai, sehingga
ibukota dipindahkan dari Kota Mahligai ke kota baru itu, yang dinamakan Patani.
Tidak jelas kapan kejadian itu. Namun Tome Pires, penjelajah bangsa Portugis
yang singgah di Malaka tahun 1511, menulis bahwa Patani sudah ada sebelum 1370.
Di fihak lain, para pelaut Tiongkok di saat ekspedisi Laksamana Cheng Ho yang
terkenal di tahun 1403, masih menyebut kerajaan itu Langkasuka (Che Man 1990:
32).
Patani juga salah satu pusat
penyebaran Islam yang pertama di Asia Tenggara, berkat sentuhan pelaut-pelaut
Arab yang berdagang dengan Tiongkok. Di akhir abad ke-12, pedagang-pedagang
Arab dan India yang menetap di Patani telah menikahi perempuan-perempuan
setempat, sehingga menjadi inti masyarakat Muslim di sana. Tiga abad kemudian,
para bangsawan Patani pun memeluk agama Islam, dan tahun 1457, Kerajaan Patani
secara resmi menyatakan diri sebagai kerajaan Islam. Ada beberapa faktor yang
mendorong adopsi Islam sebagai agama resmi kerajaan Patani. Pertama, faktor-faktor
pribadi. Ada seorang Raja Patani berhasil disembuhkan dari penyakitnya oleh
seorang juru dakwah Islam, Sheikh Said atau Safi-uddin, yang kemudian
meng-Islam-kan sang raja. Selain itu, adopsi Islam Kedua, faktor-faktor ekonomi
dan politik. Islam memudahkan orang Patani mendapatkan kemudahan dagang dengan
pedagang-pedagang Gujarati, Arab, Persia dan Turki, yang menguasai perdagangan
dengan negeri-negeri Barat di abad ke 14 dan 15. Islam juga menjadi instrumen
bagi raja-raja pesisir dan keluarga-keluarga bangsawan untuk merebut
kemerdekaan dari dominasi Majapahit (Che Man 1990: 32, 34).
Kerajaan
Patani terus berkembang penduduk dan kemakmurannya, dan pernah menjadi negara
Melayu yang terbesar dan terbanyak penduduknya di Semenanjung Melayu, dan jadi
pusat perdagangan bagi pedagang-pedagang Asia dan Eropa. Namun kelemahan
internalnya adalah, kerajaan itu dikuasai oleh dua dinasti raja-raja Muslim:
dinasti Patani (sampai 1688) dan dinasti Kelantan (1688-1729). Tahun 1729,
pecah perang saudara di antara kedua dinasti itu. Sultan Alung Yunus terbunuh.
Perang saudara masih berkelanjutan, sampai seorang bangsawan dari Dawai, Mayo,
berhasil mempersatukan Patani dan mengangkat dirinya menjadi Sultan Muhammad,
yang memerintah Patani sampai dicaplok oleh Kerajaan Siam tahun 1786. Semenjak
saat itu, semua sultan dan sultana Patani harus membayar Bunga Mas, semacam upeti ke Bangkok, dan bila diminta,
harus menyediakan tenaga untuk bertempur dalam pasukan Muangthai (Che Man 1990:
34).
Patani
berulangkali memberontak terhadap penjajahan Siam. Pertama kali, antara tahun
1630 dan 1633 di masa pemerintahan Raja Prasat Thong. Kemudian, tahun 1786,
ketika Siam sedang ditaklukkan oleh Burma, lalu terjadi serangkaian perlawanan
Patani melawan Siam antara 1798 dan 1791. Setelah pemimpin Patani, Tengku
Lamidin ditangkap, seorang tokoh Melayu yang disegani, Dato Pengkalan, diangkat
oleh penguasa Siam untuk menggantikan Tengku Lamidin, namun ia pun memberontak
di tahun 1808 (Che Man 1990: 35).
Menghadapi
pemberontakan yang berulang-ulang dari Bangsa Patani, tahun 1816, Siam membagi
wilayah Patani menjadi tujuh provinsi, yakni Patani, Nhongchik, Eaman, Ra-ngae,
Saiburi, Yala, dan Yaring. Namun terdorong oleh keresahan di Kedah, yang waktu
itu masih merupakan jajahan Siam, tahun 1832 pemimpin-pemimpin Bangsa Patani
memberontak lagi, dikalahkan, tapi enam tahun kemudian memberontak lagi. Tahun
1906, ketujuh provinsi kecil itu digabung ke dalam satu lingkaran (monthon),
yang disebut Monthon Patani, dan dibagi ke dalam keempat provinsi yang
lebih besar: Patani, Bangnara, Saiburi, dan Yala. Sementara itu, Kedah telah
dilepas ke Inggris, bersama-sama tiga daerah Melayu yang juga eks jajahan
Muangthai, yakni Perlis, Kelantan, dan Trengganu, dalam Perjanjian Inggris-Siam
yang ditandatangani bulan Maret 1909 (idem).
Apa yang merupakan pemicu kebangkitan
atau gerakan mereka?
= politik Siamifikasi pemerintah
Muangthai, yang memaksa Bangsa Patani memakai bahasa dan tulisan Thai, dan berusaha
menutup sekolah-sekolah pengajian yang berbasis agama Islam dengan tulisan
“Melayu” (tulisan Arab tanpa tanda-tanda baca, alias Arab gundul), serta
larangan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah di
wilayah Selatan;
= penempatan pejabat-pejabat
Thai-Buddhis yang tidak berusaha memahami budaya orang Melayu-Muslim,
mengepalai birokrasi provinsi-provinsi di Selatan;
= pelanggaran-pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh aparat bersenjata (tentara dan polisi) Thai.
Siapa yang berusaha mendukung?
= OKI
(Organisasi Konferensi Islam), yang bermarkas di Arab Saudi dan beranggotakan
57 negara Islam. Makanya pada hari Minggu, 9 Agustus yang lalu, Menlu
Muangthai, Kasit Piromya, memimpin delegasi 42 orang Dubes dari negara-negara
anggota OKI berkunjung selama dua hari ke provinsi-provinsi Yala, Patani, dan
Narathiwat.
=
kelompok-kelompok Melayu di negara bagian Kelantan, yang selama puluhan tahun
menjadi tempat hijrah pengungsi Patani.
Siapa yang berusaha menghalangi?
= aparat bersenjata dan aparat
pendidikan pemerintah Muangthai. Juga aparat bersenjata di Malaysia, yang
mengkhawatirkan ada “pembonceng gelap” pada gerilyawan Patani ke daerah
Malaysia, yakni gerilyawan CPM.
Apa peranan agama (Islam) dalam
gerakan ini?
= Islam =
ideologi dan identitas pemersatu berbagai kelompok etno-linguistik, yang
melihat agama mereka merupakan pembeda dengan kelompok mayoritas Thai yang Buddhis.
= Islam = alat
pendorong solidaritas internasional, menghadapi sebuah rezim yang didominasi
oleh pemeluk agama Buddhis.
Bagaimana ke-Islam-an mereka dilihat
oleh orang-orang di luar gerakan ini?
= masih perlu diteliti secara mendalam.
Bagaimana media nasional dan media
internasional menggambarkan gerakan ini?
= media nasional Muangthai, sangat
kurang bersimpati dengan gerakan ini, jadi mudah menggunakan cap “teroris”;
memuat tulisan yang menggambarkan kekerasan yang dilakukan para pejuang
kemerdekaan Patani terhadap orang-orang Budhis.
= media Indonesia, lebih bersimpati
dengan gerakan ini, lebih-lebih setelah seorang cendekiawan Muslim Patani,
Surin Pitsuwan, yang bukunya telah diterbitkan di Indonesia (LP3ES, 1989),
diangkat menjadi Menlu Muangthai dan kemudian terpilih menjadi Sekjen ASEAN;
= media Blok Barat, kurang bersimpati
dengan gerakan ini, terutama setelah terjadi eskalasi aksi-aksi kekerasan
belakangan ini.
Apakah ada sumberdaya alam strategis
di habitat gerakan ini?
= Sumber daya alam, belum jelas, tapi
posisi geo-strategis sangat bagus, khususnya untuk pembangunan Terusan Kra,
yang akan memungkinkan kapal-kapal besar berlayar langsung dari Samudera Hindia
ke Laut Tiongkok Selatan, tanpa melalui Selat Malaka yang semakin ramai dan
dangkal. Menurut Wikipedia, 22 Agustus 2009:
In the 20th century the idea resurfaced several
times again, now changing the preferred route to somewhere in Southern
Thailand, to connect the Bandon Bay near Surat Thani with Phangnga. A Japanese plan for a canal in
1985 would have used over twenty nuclear devices each roughly twice the
explosive energy of the bomb dropped on Hiroshima. The latest proposed site is
across Nakhon Si
Thammarat and Trang provinces. If finished, it is
believed that the canal would bring an economic boost to the nearby area and
the whole country. The canal would compete directly with ports in the Strait of Malacca
area, including Port Klang and Singapore.
As a substitute the construction of a land bridge
was started in 1993, however as the location of the harbors wasn't fixed, highway 44
as the only finished part of the project now does not end at the sea yet. The
two lanes were built 150 m apart to leave space for a railroad and eventually
also a pipeline. Right now the project is stalled due to environmental
concerns.
This is also a reason for recent interest in the
canal. The Strait of Malacca, just under 1000
kilometers long, is narrow, less than 2.5 kilometers at the narrowest, and just
25 meters deep at its shallowest point. It is heavily used by oil tankers and
bulk carriers. Some 80 percent of Japan's oil supplies pass through the
Straits. Any planned canal in Thailand would mean that large ships could travel
through the region from India and on to China and Japan without passing through
the pirate-infested Strait of Malacca.
In 2005
an internal report prepared for U.S. Secretary of
Defense Donald Rumsfeld
was leaked to The Washington Times,
spelling out China's strategy of underwriting construction of the canal across
the Kra Isthmus complete with Chinese port facilities and refineries, as part
of its "string of pearls" strategy of forward bases and energy security.The Chinese plan called for
construction over ten years employing roughly 30,000 workers and costing
between 20 and 25 billion American dollars.
Kebutuhan RRT akan minyak bumi telah membuat pembangunan Terusan Kra semakin
menguntungkan, menurut Franz Schurmann, dalam tulisan berikut:
China's Demand for Oil May Make Thailand Canal a
Reality
Pacific News Service, News Analysis, Franz Schurmann, Posted:
Jul 22, 2003
As maritime traffic snarls in a narrow waterway between
Malaysia and Indonesia and nearby Islamic fundamentalism looms, giant China
wants to build a canal through Thailand as an alternate way to ship oil. It's a
development with huge implications for the economies of the region.
The mother of all maritime traffic jams is looming in Asia. Currently 50,000 ships, many of them giant oil tankers, traverse the Malacca Straits between Malaysia and Indonesia each year. Since the 17th century, visionaries have dreamed about finding a shorter route by building a canal through Thailand's narrow-necked Kra isthmus. Now Malacca traffic snarls, changing geopolitics and China's burgeoning thirst for oil might finally make that dream a reality.
Naval experts call the 621-mile Malacca Straits, as narrow as 1.5 miles in some parts, the world's foremost choke-point. With half of its 1.3 billion people now living in industrialized cities and towns, China's need for Middle Eastern oil could clog the straits by adding thousands of tankers to the traffic. Already, 80 percent of the oil that fuels economic superpower Japan comes through the Malacca Straits.
What has moved the Chinese into shooting for the Kra canal are their dashed hopes for getting Russian and Central Asian oil and natural gas through a multi-billion dollar pipeline. China and Russia are good friends, but both the Chinese government and some big American oil companies tripped up on Russian corruption and in-house rivalries. The Enron-like mess of the Russian energy industry threw a monkey wrench into Chinese economic expansion. Now they are looking southward instead.
Articles have already appeared in China with headings entitled "Abandon the Malacca Straits and build the Thai Kra Canal." And a subtitle says, "This is shaking Southern Asia." Southern Asia, in Chinese eyes, includes all the countries from Southeast Asia through South Asia and Southwest Asia (aka the Middle East). Countries along the Malacca Straits like Singapore and Indonesia are understandably nervous that if the Kra canal becomes the shortest route from Europe and the Middle East to North Asia, their economies will be devastated.
These Chinese analysts as well as others point out that a shorter route will save time and money. But an unspoken reason for the bypass is that Indonesia's turbulent Aceh region has long shores along the Malacca Straits. And the turbulence has roots in Islamic fundamentalism. If the Aceh fundamentalists should gain power, then the whole Malacca Straits could be too risky as the sole lifeline to East Asia's economic powerhouses.
No wonder the Kra canal is a hot topic within ASEAN, or the Association of South East Asian Nations. ASEAN was formed in 1962 as a bulwark against Communist expansionism, especially by China and North Vietnam. Now Communist Vietnam is a full member. And Communist China along with Japan, South Korea and the United States are members of two auxiliary groups of "advisers."
ASEAN+1 (U.S.A) provides the military backup that is now focused on the War on Terror. ASEAN+3 (China, Japan and South Korea) provides the economic backup. On the War on Terror front, ASEAN has already pitched in with Japan, sending a thousand troops to Iraq. On the economic side, the Kra canal will be a monumental undertaking.
The powers that hold the keys as to whether this canal will see the light of day or not are the United States, Japan and China. And if they agree to go ahead, the actual builder will be China.
Chinese analysts have already calculated that the project could begin in 2005 and be completed 10 years later. It would employ a work force of 30,000. The rock-bottom cost will at least be US$20-$25 billion.
As the world's greatest builder of huge water works, China is well qualified to embark on a mammoth project like the Kra canal. The Three Gorges dam is now operational. China is also building the world's longest bridge, connecting Shanghai over a hundred miles of water with rapidly developing Ningbo. China has been carrying out construction projects in Eastern Africa, especially the Sudan, where they have been building oil infrastructure that American corporations will use when they finally swarm in.
The Kra canal, if it comes into being, will be a technological marvel like its sisters, the Suez and Panama canals. Ancient Romans had already envisaged the Suez Canal, which finally came into being in the 19th century. Europeans and Americans planned for the Panama Canal, which came about early in the 20th century. As early as the 17th century, Thai rulers brought in French experts to see whether it was possible to build a canal between the Gulf of Siam and the Andaman Sea, going through the Kra Isthmus.
What might finally make the canal real is the thirst for a dependable oil supply in one of the world's most booming economies.
PNS Editor Franz Schurmann (fschurmann@pacificnews.org) is emeritus professor of history and sociology at U.C. Berkeley and author of numerous books.
The mother of all maritime traffic jams is looming in Asia. Currently 50,000 ships, many of them giant oil tankers, traverse the Malacca Straits between Malaysia and Indonesia each year. Since the 17th century, visionaries have dreamed about finding a shorter route by building a canal through Thailand's narrow-necked Kra isthmus. Now Malacca traffic snarls, changing geopolitics and China's burgeoning thirst for oil might finally make that dream a reality.
Naval experts call the 621-mile Malacca Straits, as narrow as 1.5 miles in some parts, the world's foremost choke-point. With half of its 1.3 billion people now living in industrialized cities and towns, China's need for Middle Eastern oil could clog the straits by adding thousands of tankers to the traffic. Already, 80 percent of the oil that fuels economic superpower Japan comes through the Malacca Straits.
What has moved the Chinese into shooting for the Kra canal are their dashed hopes for getting Russian and Central Asian oil and natural gas through a multi-billion dollar pipeline. China and Russia are good friends, but both the Chinese government and some big American oil companies tripped up on Russian corruption and in-house rivalries. The Enron-like mess of the Russian energy industry threw a monkey wrench into Chinese economic expansion. Now they are looking southward instead.
Articles have already appeared in China with headings entitled "Abandon the Malacca Straits and build the Thai Kra Canal." And a subtitle says, "This is shaking Southern Asia." Southern Asia, in Chinese eyes, includes all the countries from Southeast Asia through South Asia and Southwest Asia (aka the Middle East). Countries along the Malacca Straits like Singapore and Indonesia are understandably nervous that if the Kra canal becomes the shortest route from Europe and the Middle East to North Asia, their economies will be devastated.
These Chinese analysts as well as others point out that a shorter route will save time and money. But an unspoken reason for the bypass is that Indonesia's turbulent Aceh region has long shores along the Malacca Straits. And the turbulence has roots in Islamic fundamentalism. If the Aceh fundamentalists should gain power, then the whole Malacca Straits could be too risky as the sole lifeline to East Asia's economic powerhouses.
No wonder the Kra canal is a hot topic within ASEAN, or the Association of South East Asian Nations. ASEAN was formed in 1962 as a bulwark against Communist expansionism, especially by China and North Vietnam. Now Communist Vietnam is a full member. And Communist China along with Japan, South Korea and the United States are members of two auxiliary groups of "advisers."
ASEAN+1 (U.S.A) provides the military backup that is now focused on the War on Terror. ASEAN+3 (China, Japan and South Korea) provides the economic backup. On the War on Terror front, ASEAN has already pitched in with Japan, sending a thousand troops to Iraq. On the economic side, the Kra canal will be a monumental undertaking.
The powers that hold the keys as to whether this canal will see the light of day or not are the United States, Japan and China. And if they agree to go ahead, the actual builder will be China.
Chinese analysts have already calculated that the project could begin in 2005 and be completed 10 years later. It would employ a work force of 30,000. The rock-bottom cost will at least be US$20-$25 billion.
As the world's greatest builder of huge water works, China is well qualified to embark on a mammoth project like the Kra canal. The Three Gorges dam is now operational. China is also building the world's longest bridge, connecting Shanghai over a hundred miles of water with rapidly developing Ningbo. China has been carrying out construction projects in Eastern Africa, especially the Sudan, where they have been building oil infrastructure that American corporations will use when they finally swarm in.
The Kra canal, if it comes into being, will be a technological marvel like its sisters, the Suez and Panama canals. Ancient Romans had already envisaged the Suez Canal, which finally came into being in the 19th century. Europeans and Americans planned for the Panama Canal, which came about early in the 20th century. As early as the 17th century, Thai rulers brought in French experts to see whether it was possible to build a canal between the Gulf of Siam and the Andaman Sea, going through the Kra Isthmus.
What might finally make the canal real is the thirst for a dependable oil supply in one of the world's most booming economies.
PNS Editor Franz Schurmann (fschurmann@pacificnews.org) is emeritus professor of history and sociology at U.C. Berkeley and author of numerous books.
Namun terlepas dari jadi tidaknya
pembangunan Terusan Kra, kawasan Muangthai Selatan dewasa ini merupakan salah
satu daerah pertumbuhan ekonomi yang pesat, yang merupakan wilayah Muangthai
yang paling kaya sumber-sumber daya alamnya. Pantainya, telah dikuasai oleh
pertambakan udang, ke pedalaman sedikit, perkebunan karet, kelapa, kelapa
sawit, serta pertambangan timah putih. Industri menjamur di seputar
ibukota-ibukota provinsi. Sedangkan pariwisata, berkembang pesat di Phuket dan
Pulau Langkawi. Namun di berbagai bidang usaha itu, yang berkuasa adalah
pendatang dari Utara, sedangkan petani padi Muangthai Selatan – yang merupakan
pemberi nama daerah itu, yakni “petani” – nasibnya semakin terpuruk oleh polusi
industri dan ekspansi perkebunan karet dan usaha-usaha lain (Ekachai 1991,
Bagian 2: ‘Plunder of the South’, hal. 81-122).
Apakah sudah tampak ada konvergensi
agenda perjuangan gerakan ini dengan agenda kekuatan-kekuatan ekonomi politik
global yang beroperasi di habitat gerakan ini?
= Ada tidaknya konvergensi antara
agenda perjuangan gerakan pembebasan Patani, dengan agenda kekuatan-kekuatan
ekonomi politik global, masih perlu diteliti dengan mendalam. Namun sepintas
lalu mudah diduga, kalau toh Terusan Kra mau dibangun, demi memperlancar
pasokan minyak bumi dan gas alam untuk mendukung perkembangan industri di
Tiongkok Selatan, kawasan Patani Raya perlu diamankan dulu. Selain itu, terusan
yang bakal menjadi sumber pungutan dana dari lalu-lintas kapal barang, kapal
penumpang, dan tanker, akan merupakan sumber devisa yang luar biasa, seperti
Terusan Panama di benua Amerika dan Terusan Suez yang membatasi benua Asia dan
Afrika. Sehingga makin kecil kemungkinan Muangthai akan melepaskan kawasan
Selatannya. Kendati demikian, keamanan yang diperlukan untuk pembangunan
terusan itu, dan juga keamanan yang diperlukan untuk mengoperasikan terusan
itu, hanya dapat tercapai apabila Bangsa Patani mendapat bagian yang adil dari
pemasukan dari Terusan itu.
Yogyakarta,
5 Oktober 2007.
Bahan Bacaan:
Che Man, W.K. (1990). Muslim
Separatism: The Moros of Southern Philippines and the Malays of Southern
Thailand. Manila: Ateneo de Manila University Press.
Christie, Clive J. (1996).
“Ethnicity, Islam and Irredentism: The Malays of Patani.” Dalam Clive J.
Christie, A Modern History of Southeast Asia: Decolonization, Nationalism
and Separatism. London: Tauris Academic Studies, hal. 173-210.
Djalal, Hasjim & Dini Sari Djalal
(2006). Seeking Lasting Peace in Aceh. Jakarta: Centre for Strategic and
International Studies (CSIS).
Dulyakasem, Utai (1984).
“Muslim-Malay Separatism in Southern Thailand: Factors Underlying the Political
Revolt.” Dalam Lim & Vani S. (eds), op. cit., hal. 217-33.
Ekachai, Sanitsuda (1991). Behind
the Smile: Voices of Thailand. Bangkok: Thai Development Support Committee.
Farouk, Omar (1984). “The Historical
and Transnational Dimensions of Malay-Muslim Separatism in Southern Thailand.”
Dalam Lim Joo-Jock & Vani S. (eds). Armed Separatism in Southeast Asia.
Singapore: ISEAS (Institute of Southeast Asian Studies), hal. 234-60.
May, R.J. (1991). ‘The Religious
Factor in Three Minority Movements: The Moro of the Philippines, the Malays of
Thailand and Indonesia’s West Papuans.” Journal [of the] Insitute of Muslim
Minority Affairs, No. 2/Vol. XII, hal. 307-20.
Munoz, Paul Michel (2006). Early
Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore:
Editions Didiers Millet.
Pitsuwan, Surin (1989). Islam di
Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani. Jakarta: LP3ES.
Satha-anand, Chaiwat (1994). “Hijab
and Moments of Legitimation: Islamic Resurgence in Thai Society,” dalam Charles
F. Keyes, Laurel Kendall & Helen Hardacre (eds). Asian Visions of
Authority: Religion and the Modern States of East and Southeast Asia.
Honolulu: University of Hawaii Press, hal. 279-300.
Sholeh, Badrus (t.t.). Minoritas
Muslim, Konflik dan Rekonsiliasi di Thailand Selatan. Tanpa penerbit,
diakses dari internet.
Sumantri, Anton (2009). Gejolak Pattani di Mata Cendikiawan
Malaysia. Tanpa penerbit, diakses dari internet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar