(Potret
ketidakberdayaan perempuan Papua)
Pendahuluan
Kabupaten Merauke atau sering disebut “Tanah Malind Anim” merupakan kabupaten yang terletak di ujung paling timur Indonesia. Luas wilayah 45.071 km persegi, terletak di antara 137-141 Bujur Timur dan 5-9 Lintang Selatan. Sebelah utara, berbatasan langsung dengan Kabupaten Mappi dan Boven Digoel. Sebelah barat dan selatan, berbatasan dengan Laut Arafuru serta sebelah timur berbatasan dengan Negara Papua New Guinea (PNG). Kabupaten Merauke terbagi atas 11 distrik (kecamatan) yang terdiri dari 169 desa (kelurahan/kampung) dengan jumlah penduduk pada tahun 2006 diperkirakan 174.710 jiwa. Dari jumlah tersebut penduduk laki-laki mencapai 19.104 jiwa dan perempuan mencapai 83.606 jiwa, serta terdapat 40.618 Kepala Keluarga. Jumlah penduduk terkecil terdapat di distrik Sota mencapai 1.364 jiwa (0.78%), sedangkan jumlah penduduk terbanyak terdapat di distrik Merauke mencapai 70.002 jiwa (40.07%).
Kabupaten Merauke atau “tanah Malind-Anim” termasuk daerah berlahan
basah (Wet land) yang terdiri dari
ekosistem mangrove (bakau), savannah, rawa payau dengan rumput rawa cyperus dan hutan Monsoon pada pinggiran kali atau laut. Hal ini menjadikan Kabupaten paling timur
Indonesia ini sebagai daerah yang sangat kaya akan potensi sumber daya alam.
Berdasarkan potensi keragaman hayati, wilayah
ini memiliki nilai penting bagi jenis fauna, seperti pelbagai jenis
burung, ikan (air tawar maupun air asin), buaya, rusa dan kangguru. Wilayah
pantai dari “tanah Malind Anim” ini
merupakan habitat utama buaya muara dan buaya air tawar. Keterbukaan jaringan
hidrologi dan luasnya tumbuhan bakau pada pesisir pantai dan di sepanjang
aliran sungai menunjukkan bahwa wilayah ini sebagai habitat yang sangat baik
bagi kehidupan fauna air, terutama jenis-jenis ikan, udang dan kepiting.
Penduduk asli yang mendiami wilayah administrasi Kabupaten Merauke
adalah suku Malind atau lebih dikenal dengan nama “malind-anim”(baca: orang Malind). Suku Malind dikenal sebagai suku
yang sangat unik. Karena suku ini mendasarkan seluruh aktivitas kehidupan pada “Mayo”. Mayo adalah kepercayaan yang
berdasar pada totemisme dan menjadi suatu pandangan tentang kehidupan (= falsafa hidup). Orang yang percaya dan
mengikuti Mayo disebut Malind-anim. Hal ini yang membuat sehingga suku Malind
disebut Malind. Untuk menjadi atau diakui sebagai anggota suku Malind, setiap
anggota suku harus mengikuti upacara inisiasi yang terdiri dari empat tahap,
yakni Mayo, Imoh, Ezam dan Sosom. Setiap anggota yang belum mengikuti inisiani
ini disebut “orang Bulap” (=uninitiated). Hal ini juga berlaku untuk
orang luar.
Lebih lanjut, suku malind ini
merupakan suku yang memiliki dialek
bahasa yang beranekaragam dan kehidupan sehari-hari suku ini diwarnai oleh
pembagian dalam marga-marga yang bersifat totemistis. Demikian suatu
marga dari kelompok suku ini, dapat ditelusuri dari totem marganya. Jika totem
marganya sama, maka mereka dianggap satu
keturunan atau satu marga. Misalnya, jika pada kelompok suku Yei-nan terdapat marga Mekiw dan
mempunyai Wati (= suatu tanaman adat
yang jika diminum dapat memberi ketenangan jiwa dan relax secara fisik), maka marga ini bersaudara dengan marga Ndikend
yang terdapat di kelompok suku Malind
Muli-anim, karena totemnya sama.
Maksud saya kemukakan ini
untuk menjawab keadaan perempuan-perempuan pada suku-suku ini, dimana
kehidupan sehari-harinya berlaku menurut totemnya. Hal ini, juga karena
sebagian besar perempuan Malind berada di kampung-kampung dan kelakuan serta perlakuan
kaum perempuan malind.
Kenyataan alam dan kebudayaan “tanah Malind” ternyata tidak membawa
kesejahteraan bagi penduduk aslinya, suku Malind, khususnya kaum perempuan.
Hasil alam tersebut ternyata lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang, khususnya
kau laki-laki yang punya kekuasaan dan kekuatan. “Tanah Malind-Anim” yang
sangat kaya akan potensi sumber daya ini, kini kaum perempuannya diperhadapkan
dengan masalah dalam pelbagai aspek kehidupan. Tingkat pendidikan dan pelayanan
kesehatan yang minim serta konflik sumber daya alam yang mengancam keutuhan hidup masyarakat di wilayah pantai
selatan Pulau Papua ini. Masyarakat yang hidup di daerah yang kaya itu berada
dalam angka kemiskinan yang tinggi, tingkat buta huruf dan buta angka yang
tinggi, serta kematian ibu dan anak yang tinggi.
Pada tahun 2006, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung
Merauke (SKP-KAM) menerbitkan “Potret Kehidupan dan Konflik Sumber Daya Alam di
Pulau Kimaam” sebagai sebuah laporan tentang kehidupan masyarakat di Pulau
Kimaam, yang diperhadapkan dengan pelbagai konflik sumber daya alam. Hasil
temuan SKP-KAM menyebutkan bahwa konsep kebijakan pemerintah daerah yang keliruh terhadap
pembangunan di Pulau Kimaam telah mengakibatkan pelbagai konflik, seperti
konflik batas hak ulayat, peristiwa Maskura berdarah 2003 dan Peristiwa
Korimen-Kontura berdarah ( 2001-2003).
Pada April 2009, laporan analisis APBD Kab. Merauke yang diterbitkan
oleh SKP-KAM bekerjasama dengan JPIC MSC, Imparsial dan ICW menyebutkan bahwa
alokasi budget APBD Kab. Merauke sangat tidak berpihak terhadap kaum perempuan.
Hampir 95% anggaran dipakai untuk biaya belanja birokrasi dan 5% anggaran yang
bisa dinikmati oleh masyarakat.
Kenyataan ini tidak perlu untuk disembunyikan lagi, tapi harus diungkap
dan menjadi perhatian serius kita bersama. Mengapa kita harus peduli? Tentu
saja, jawabanya adalah bahwa telah banyak ibu dan anak-anak yang meninggal
karena terserang penyakit dan gizi buruk. Itu bukan takdir dari Sang Pencipta,
tetapi kesalahan kita yang suka menggorbankan sesama demi kepentingan kita yang
ingin hidup dalam kekayaan. Kepada Investigator SKP-KAM, Bpk. Paulus Levitar,
seorang warga pendatang asal Puau Kei di Kampung Waan berkisah, “Kalau masyarakat
sakit, entah itu sakit malarian, HIV/AIDS atau apa saja, maka pecahan botol menjadi
obatnya. Dokter dan mantri jarang berkunjung ke kampung kami, karena itu kami
terpaksa harus menggunakan pecahan botol untuk mengobati diri kami dengan
mengiris-iris badan kami supaya darah kotor keluar.” Ungkap seorang guru
sukarelawan itu di Kampung Waan, yang menggambarkan situasi kesehatan di Pantai
Selatan Pulau Kimaam, Kabupaten Merauke. Masalah kesehatan ini lebih diperparah
lagi dengan situasi pendidikan. Di Pulau Kimaam rata-rata tingkat buta uruf dan
buta angkah sangat tinggi. Hal ini disebabkan dengan para guru yang dibayar
pemerintah sering meninggalkan tempat tugas dalam waktu yang sangat lama.
Kenyataan Pulau Kimaam ini terasa semakin rumit, ketika kita mulai mendengar
kisah piluh anak gadis Malind di perbatasan. Pada November 2008, penulis
tinggal di Kampung Bupul, Muting dan beberapa Kampung lain yang terletak di
perbatasan Kabupaten Merauke, Indonesia dan Papua New Gunea, penulis mendengar
kisah pelecehan seksual yang dibuat oleh Anggota Satgas PAM Perbatasan.
Kondisi ini tentunya berdampak pada kalangan perempuan.
Bagaimana nasib perempuan Malind di tengah kemiskinan? Apa yang terjadi dengan
perempuan Malind dalam kehidupan sehari-hari? Persoalan-persoalan apa saja yang
menimpa diri mereka, baik sebagai perempuan, istri dan ibu rumah tangga? Dan
apa sumbangan teologi kristiani terhadap kaum perempuan Malind? Bagaimana kita
berteologi?
1.
Potret Perempuan Malind
1.1 Mitologi Kisah
Penciptaan: Dasar Budaya[1]
Pada waktu Ala-alawi[2],
mengutuk manusia di Balawa, dengan hukuman mati, karena mereka memperoleh
keturunan lewat persetubuhan. (tidak lewat ambun sebagaimana di-omed oleh Ala-alawi sendiri, yaitu melalui ambun
lewat puting susu, yang dalam istilah bahasa Malind disebut :
ambun.
“Kata ambun ini tidak terdapat dalam
bahasa Malayu/Indonesia maksud kata ini sbb : menetes keluar atau berbunga
keluar dari batang bukan dari pucuk, sebagaimana lazimnya. Di daerah Malind ini
terdapat banyak jenis-jenis pohon
buah-buahan yang mendapat bunga dan buahnya bukan dari pucuk tetapi lewat
batangnya : ini disebut Ambun dalam bahasa Malind. Seperti itulah kelahiran manusia menurut
yang diatur oleh Ala-alawi, jadi laki-laki maupun perempuan mendapat
anak.lewat putting susu. Jika dimaksud
berbunga dan berbuah lewat pucuk pohon, dalam bahasa Malind disebut Kum.
Kata kum
dapat diterjemahkan dengan : mengembang
dari bunga, dan berbuah; berdiri tegak, sebagaimana daun ubi jalar
atau kangung pada pagi hari kena embun sangat
segar dan tegak dan mendapat pucuk yang segar. Ini disebut kum dalam bahasa Malind. Mis .: Mangga menda kum = mangga sudah
berbunga dan berbuah.”
Sedangkan kelahiran melalui
persetubuhan dan lewat saluran kelahiran
normal disebut : lib=lahir hidup),-- Karena manusia sendiri sudah omed
(= memulainya sehingga menjadi aturan
selanjutnya). Ala-alawi sendiri
menghargai apa yang sudah di-omed oleh manusia itu maka perempuan diberi tugas
khusus. Tugas perempuan adalah sebagai : Ewah-anum atau singkatnya Ewah;
artinya ibu yang melahirkan, atau ibu yang mengembangbiakkan, dari kata
kerja Ewah= melahirkan,
mengembangbiakkan. Hingga hari ini seorang perempuan yang
subur dan mendapat banyak keturunan, sangat dihormati dalam masyarakat Malind
dan dia disebut : Ewah-anum. Panggilan untuk ibu ; An atau Ne(=bahasa
Inggris: Mummy); kata untuk ibu : Wah
( = ibu; mother ). Hukuman Ala-alawi dalam hal ini (dengan terjadinya
persetubuhan antara laki-laki dan
perempuan) ialah : Kematian. Kata untuk Hukuman dalam Bahasa Malind ialah :
enod: (dapat diterjemahkan sebagai hukuman;
kualat).
Dalam kisah penciptaan ini, yang mengajar manusia dan mengajak manusia untuk bersetubuh
adalah Tanamu Heis=Roh Purba, atau Kalel-tu Heis (=roh dengan banyak siasat). (Heis= roh; roh yang bergentayangan). (Nama sebenarnya dari Roh ini, belum
diizinkan untuk menyebutnya). Heis ini berwujud perempuan. Dalam kepercayaan Mayo, person Heis
ini dihormati, dan dalam upacara inisiasi Mayo, Heis ini juga mempunyai tempat yang diperankan
(dipersonifikaasi) oleh perempuan . Dengan kata lain, perempuan dalam
kultus asli suku Malind tidak dikucilkan
atau tidak didiskriminasikan, tetapi dia
ikut berperan serta secara aktif. dalam upacara sakral adat. Malind Mayo. Banyak peran dalam
upacara adat diperankan (is performed ) oleh perempuan, antara lain
sebagai Hanahaih (=penari-penari
sakral yang terdiri dari sekelompok perempuan saja), atau sebagai Dema-nakali( = saudara perempuan atau penolong
dari Dema). Dema-nakali ini diperankan oleh dua-tiga gadis atau lebih, (tergantung banyaknya
saudara perempuan yang dimilki Dema yang dilakonkan itu, dalam mitologi
Malind-anim) yang mengikuti seorang laki-laki yang melakonkan Dema atau Dema performer dalam tarian sakralnya. Gadis-gadis ini juga mengenakan hiasan khusus sesuai hiasan
nakali dari Dema yang dilakonkan, dan mereka ikut menari juga, di belakang atau
mengelilingi Dema performer itu. Contoh
: Dema yang disebut : Yolm/Yorm, (penguasa laut), dia mempunyai enam Nakali. Dalam lakon Dema
itu, diikuti enam orang perempuan yang ikut berperan aktif pada pertunjukan dalam upacara itu. Sedangkan Dema
yang disebut Monggumer-anem (nama sebenarnya dirahasiakan hanya orang
se-marganya dapat menyebutnya), dia mempunyai dua orang Nakali. Dalam lakonnya
diikuti oleh dua orang perempuan.
Komentar
Dalam kisah penciptaan di atas maka kedudukan dan peran perempuan
dapat diuaraikan sebagai berikut, yakni:
a. Perempuan sebagai yang
melahirkan anak, dan penolong laki-laki
pada awal keberadaan orang
Malind, perempuan dan laki-laki memiliki peran “pencipta” keturunan yang sama,
yakni sama-sama menghasilkan keturunan melalui ambun (kelahiran lewat putting susu). Akan tetapi saat kehadiran Tanamu
Heis=Roh Purba, atau Kalel-tu Heis (=roh
dengan banyak siasat). (Heis= roh;
roh yang bergentayangan) maka terjadi perubahan cara
menghasilkan keturunan, yakni bukan lagi melalui ambun tetapi lib. Akibat dari perubahan cara
melahirkan ini adalah laki-laki tidak lagi menghasilkan anak tetapi perempuan
yang menghasilkan anak lewat vaginanya. Akhirnya, melahirkan adalah tugas utama perempuan.
Selanjutnya tugas kedua perempuan adalah menjadi penolong khusus
bagi laki-laki dalam segala hal.
Dalam hal sebagai penolong ini dibedakan beberapa
tugas, yaitu perempuan sebagai penolong atau teman dari saudara laki-laki-nya,
disebut nakalu(singular)/nakali (prular)=saudara perempuan, dan perempuan sebagai isteri (=uzyum),dari suaminya dan tugas sebagai anak (wananggub=anak
(kata sifat betina/Femininum). Sebagai penolong dari saudara
laki-lakinya, dia menjadi sebagai mata-mata dalam lingkungan hidup
setempat jangan sampai membahayakan
saudara laki-lakinya. Perempuan juga dapat menjadi tumbal untuk menetraliasir, (dalam istiliah Malind
untuk itu dikatakan dengan samaran : Wad =
penampung untuk mengisi barang-barang kecil ) kalau perlu, dalam kegiatan magic yang ditujukan terhadap saudara
laki-lakinya. Sebagai Wad, perempuan mempunyai kuasa cukup besar
untuk menetralisir rencana pembunuhan saudara laki-lakinya lewat magic atau dia sendiri menjadi perantara
yang mempunyai kuasa besar untuk melakukan pembalasan lewat magic.
[3]
Dalam pembunuhan secara ritual yang disebut : Kambala/Kambara, dalam bahasa Malind, tidak dapat dilakukan
sama sekali jika tidak ada perempuan;
dan dia memegang peran cukup
menentukan. Seseorang laki-laki yang mempunyai sejumlah saudara perempuan, dia
cukup kuat dan aman, karena perempuan
adalah Wad (=dalam Bahasa Inggris “basket” ). Suku Malind mengenal
berbagai jenis Wad : Ul-wad, tempat
mengisi kurasan sagu yang akan di tokok; Banggalok-wad, untuk mengisi ubi-ubian atau ikan pada waktu
meramu; Wagatok- wad, untuk
menampung tepung sagu; Sid-wad, tempat sirih-pinang dst. Perempuan diumpamakan :
Wad. Contoh konkrit : Dalam urusan perkara
magic di Wambi, Bapak Julianus Bole Gebze sebagai
Kepala Kampung (1994-2003), sering harus
membujuk laki-laki tertentu yang mengancam orang lain di kampung atau orang dari kampung lain, dengan kata-kata
seperti : “Saya akan balas, atau saya
akan lakukan cara kambala/kambara,
terhadap si-anu-sianu. Jangan
main-main dengan saya, saya punya Wad
cukup. !!” Dengan itu dia mau katakan
bahwa dia mempunyai beberapa
saudara perempua, yang dapat berfungsi sebagai
Wad untuk melaksanakan pembunuhan
magis-ritual, yang disebut Kambala Perempuan berfungsi juga
sebagai : Sok-kagub-anim= orang pematah senjata. Dulu, di masa lalu dalam hal, pengayauan, perjanjian perdamaian
dilakukan dengan menukar memberi
perempuan kepada pihak musuh, selain dengan anak; dengan demikian “senjata
dipatahkan”, maksudnya permusuhan dihentikan atau
perempuan justru menggabung senjata dalam pengayauan/perang, sehingga
terselenggaranya ikatan perang dengan suku-suku lain. Dalam buku Van Baal ,
yang didasarkan pada laporan Gubernur Mac Gregor di PNG waktu itu, dikemukakan
bahwa terjadi serangan-serangan Suku Malind terhadap penduduk dan pos
pemerintah di pulau-pulau di selat
Torres atau penduduk di tanah besar Papua New Guinea sekarang.
Serangan-serangan ini
kadang-kadang dilakukan bersama
berbagai macam suku yang bersekutu
dengan suku Malind, yaitu Gambadi,
Keraki, suku-suku di Masinggara (suku-suku di PNG sekarang). Suku-suku
ini bersama suku Malind, membentuk pasukan besar, menyerang pos-pos Pemerintah Inggris di PNG atau di pulau-pulau
di selat Torres. Pernah menyerang pasukan polisi Inggris di suatu pos di
pinggir S. Fly (PNG). Pada tahun 1884 berhadapan dengan pasukan Inggris di
dekat S. Wasikusa (PNG sekarang). Tahun
1885-1887, menyerang penduduk di P.Saibai dan Buigu di Selat
Torres dan pulau-pulau kecil lainnya
(sekarang wilayah Australia).
Persekutuan perang seperti ini bisa terjadi karena :
Perempuan yang menjadi penengah
atau pengikat.
Dalam kehidupan berkeluarga, jika terjadi konflik diantara suami
isteri, saudara perempuan dapat menjadi pembela dan penengah bagi saudara
laki-lakinya dan jika saudara laki-lakinya itu
selaku hukuman tidak diberi makan oleh isterinya dia selalu dapat pergi
dan minta makan kepada saudara perempuannya.
Perempuan juga menjadi Kumus (=ganti tukar) dalam hal perkawinan saudara laki-lakinya. Perlu diterangkan sedikit : dalam adat Malind
dikenal kawin-tukar dalam
perkawinan exogaam. Misalnya :
seorang laki-laki dari marga Mahuze
dijodohkan dengan seorang gadis dari marga Gebze. Saudara perempuan (nakalu)
dari laki-laki yang marga Mahuze itu, harus dijodohkan kepada laki-laki yang
bermarga Gebze, (yaitu tidak lain saudara laki-laki dari perempuan yang marga
Gebze yang dijodohkan dengan
laki-laki bermarga Mahuze tadi).
Ini disebut ‘ Kumus mambali atau Yah-a-yah.= pihak sebelah-dan-pihak sebelah Perlu kami kemukakan bahwa adat kebiasaan
Malind-anim tidak mengenal : poligami.
Sebagai penolong untuk suaminya, yaitu, bekerjasama dalam hal mengurus rumah
tangga mereka, berkebun, menyediakan pangan untuk keluarga, dengan pembagian
tugas sebagai berikut: yang kecil-kecil tetapi banyak dikerjakan oleh isteri,
sedikit tetapi berat dikerjakan oleh suami. Ada
dua cara menyiapkan makanan : Wakun=bakar, yaitu api di bakar dan
ubi, sagu, ikan atau daging dibakar
dalam bara api dan seluruh
keluarga (bapa, mama dan anak-anak, tidak
ketinggalan binatang piara: anjing) mengelilingi api dimana makanan itu
dibakar dan santap langsung, masing-masing, (kecuali anjing yang terima
bagiannya disertai pukulan). Sep= bakar batu terlebih dahulu sampai
berpijar, lalu diratakan,sesaui kebutuhan,
kemudian sagu yang sudah dicampur
dengan kurasan kelapa muda dan terbungkus rapih dengan daun pisang, di taruh diatas batu pijar itu berserta ikan, daging , ubi
dll. lalu ditutup seluruhnya dengan kulit pohon Bus). Dibairkan sekitar
satu jam supaya masak semua, selanjutnya dibuka dan dihidangkan. Sep
ini adalah tugas isteri sedangan Wakun lebih merupakan tugas bersama.
Perempuan sebagai anak, merupakan tenaga bantuan untuk pekerjaan keluarga,
terutama ibu dalam menyiapkan makanan
dll. dalam bentuk belum siap dikonsumsi sampai siap dikonsumsi. Perlu
diketahui : menokok sagu adalah tugas
perempuan sedangkan menebang sagu adalah tugas laki-laki. Dalam kebiasaan
Malind-anim, tebang sagu bukan asal tebang selayaknya tebang pohon, tetapi pohon
sagu itu dibersihkan terlebih dahulu dari atas, yaitu, memotong pelepa-pelapanya, dan salah satu
atau lebih dari pelepa-pelepa itu disiapkan untuk menokok dan menyaring
tepung sagunya.
Mengerjakan tangga untuk memanjat pohon sagu , yang kadang-kadang bisa mencapai 6 meter, supaya
dapat sampai ke ujung(pucuknya) sehingga
dapat memotong pelapa lebih mudah, adalah pekerjaan laki-laki. (Tangga , yang
disebut Ndakla, itu dibuat dari satu batang bambu saja, dimana
carang-carangnya berfungsi sebagai
anak-tangga).
Dalam hal terjadi transaksi yang
menyangkut sebidang tanah, anak
perempuan dapat dijadikan jaminan, dalam hal ini akan dikawinkan kepada marga pemilik tanah yang diserahkan itu.
Dengan kata lain jika seseorang
memperoleh sebidang tanah, dia mepunyai kewajiban untuk mengawinkan anak
perempuannya kepada keluarga pemilik tanah. Misalnya, antara penduduk asli
Papua memberi tanah kepada seorang warga
transmigrasi, warga trans itu, menuru
adat Malind, seharusnya memberi anak perempuannya untuk dikawinkan kepada laki-laki anggota marga yang memberi tanah
itu.
b. Hak waris
Dalam adat Malind, walaupun diikuti, sistem patri-lineal, dalam
pewarisan, dimana warisan tanah
misalnya, jatuh seluruhnya ke tangan laki-laki. Namun dalam hal-hal tertentu,
misalnya semua dalam keturunan itu tidak ada laki-laki, maka perempuan mewarisi seluruh tanah-tanah itu. Mereka
(perempuan-perempuan itu) dalam istilah Malind disebut dengan julukan : Winde-patul
(dapat dikatakan laki-laki samaran ?). Oleh sebab kata : Winde ini tidak terdapat
dalam Kamus bahasa Malyu/Indonesia, saya
terangkan demikian : dalam hal ini perempuan itu bertindak sebagai laki-laki
dan berperan sebagai laki-laki; mungkin
lebih dekat dengan ini adalah
pengertian “gantinya laki-laki”.
Kalaupun terjadi pembagian menurut aturan patri-lineal, anak perempuan juga akan
diperhitungkan dalam hal pewarisan :
misalnya dusun sagu. Pembagian
hak waris dusun sagu diikuti ketentuan ini : Anak laki-laki yang pertama
memperoleh 2/3 dan saudara-saudara laki-laki lainnya memperoleh 1/3 bagian,
masing-masing. Dalam istilah Malind : hak waris kakak laki-laki, demikian ini dikarenakan dia berkedudukan
sebagai : Da-mahay. (Tidak ada
dalam istilah bahasa Malayu/Indonesia).
Kakak laki-laki ini, dapat memberi bagian dusun sagu kepada saudara perempuannya, untuk ini
saudara perempuan dapat memberikan seorang anaknya kepada saudara laki-lakinya
sebagai : Saw dan disegel dengan
bunuh babi. Kata Saw ini juga tidak terdapat dalam Kamus
Bahasa Malayu/Indonesia, jadi kiria-kira sama dengan ganti.
c. Perempuan Malind sebagai
ibu rumah tangga
Dalam masyarakat adat Malind, perempuan sebagai ibu rumah tangga
mempunyai kekuasaan cukup besar, apalagi dia sudah melahirkan anak-anak. Dalam
hal pembagian warisan untuk anak-anaknya
ibu mempunyai hak suara, yang
menetukan. Dalam kehidupan sehari-hari juga dia menentukan, karena dia yang
menguasai makanan, dengan kata lain ekonomi keluarga. Tergantung dari dia, Bapa dapat sajian
makanan yang sudah dimasak atau tidak.
Sebagai contoh, Menurut Bpk.
Julianus Bole Gebze, Tokoh Adat Malind,
pada zaman dahulu (Dua abad lalu), waktu suku Malind masih pergi
memenggal kepala manusia, ibu-ibu juga kadang-kadang ikut dalam
pertempuran, untuk mengadopsi bayi yang ditinggalkan oleh keluarga lawan. Dalam
hal ini ibu-ibu juga dapat memberi komentar demikian rupa sehingga, Bapa-bapa
bersama anak-anaknya laki-laki pergi
perangan/mengayau).
Dalam kehidupan sehari-hari sekarang perempuan sebagai ibu menyadari
kekuasaannya sebagai ibu rumah tangga itu, dan dia cukup bicara banyak, serta
dapat menguasai laki-laki. Oleh sebab ini ada filsafah dalam bahasa Malind
mengatakan demikian: manggat
oso ndamo kagub= usahakan patahkan
giginya/taringnya sedini mungkin.
Pengertian terjemahan bebasnya kira-kira “ ibu/perempuan itu, harus
dikendalikan, jangan terlalu diberi kebebasan, dia bisa berbahaya”.
Menurut Bpk. Julianus Bole Gebze, karena peran sebagai ibu rumah
tangga, kaum perempuan Malind juga menyadari bahwa mereka masih punya saudara
laki-laki juga, yang pada setiap saat
dapat membantu mereka. Kadang kadang bisa terjadi, jika ibu itu selalu
diperlakukan tidak baik, seperti dipukul. saudara laki-lakinya dapat menuntut suaminya
untuk mengembalikannya kepada mereka ! Hal ini kadang terjadi, biasanya dalam hal perselisihan : there
is always forgiveness antara
suami isteri, atau juga dalam hal suami
menyeleweng, karena laki-laki dipandang Nggat (= anjing yang makan kiri
kanan). Dalam hal ini yang jadi korban
adalah perempuan simpanan dari suaminya,
yang bias dihukum!
d. Perempuan Malind dan
Perkawinan
Nilai-nilai yang diuraikan di atas tadi dengan contoh-contohnya di
masa lalu, masih terlihat hingga saat
ini pada anggota suku Malind yang hidup agak jauh dari perkembangan hidup
perkotaan. Di kota
Merauke sendiri dan distrik-distrik
terjadi pembauran dengan suku-suku Papua lainnya dan suku-suku asal Malayu ( ethnic Malayan stock).
Kadang-kadang dalam hal perkawinan
campur orang Malind minta Mas Kawin. Mas kawin sebenarnya tidak pernah dikenal dalam adat kebiasaan
Malind. Hal ini sama saja kita menjual anak dengan harga yang sama sekali tidak
seimbang; misalnya: uang susu Rp.100.000,-
itulah harga anak manusia atau anak perempuan,
yang dijual itu !
Rasa keadilan pada suku Malind dalam hal ini, adalah : Yah, a yah,
(letterlijk : yah-yah=dari sebelah, dari sebelah; a= dan); jadi dari sebelah (yah) – dan
(a) – (yah) dari sebelah, maksudnya kedua belah pihak sama sama untung,
sama-sama rugi/seimbang).
e. Anak gadis.
Anak gadis dalam pandangan Malind-anim, adalah suatu kebanggaan,
suatu Mbulalo(attribut/ hiasan)
suatu pegangan dalam berbagai
transaksi (dalam hal sebidang tanah,
dalam hal diadopsikan, dalam hal pengikat keluarga marga
lain/kawin-dikawinkan, sebagai penolong dalam rumah tangga, dan seterusnya.) Oleh sebab ini , dahulu kala dijaga baik dan ketat, sehingga
anak-anak gadis itu tidak pernah diganggu. Hal ini cukup mengherankan para misionaris pertama di
masa itu. Mungkin dalam benak mereka terlintas bahwa suku Malind mempunyai gairah sex tinggi, pasti diperkosa,
tetapi nyatanya tidak terjadi. Menurut Bapak Julianus Bole Gebze, “Hal
perkosaan terhadap gadis-gadis ini baru terjadi secara besar-besaran
pada waktu adat kebiasaan dirusak degnan
kawin campur dan pembauran dengan suku-suku lain/babngsa-bangsa lain
dalam. Permulaan abad lalu”.
Dahulu diantara suku Malind sendiri, perkosaan atau pelecehan,
terhadap gadis-gadis diancam dengan hukuman
panah sampai mati. (Istilah Malind : “Bob me kimil-et= jangan sampai dia
menjadi contoh yang buruk..)
Atau perempuan itu sendiri yang dihilangkan atau dikwainkan dengan Tete
tua. Demikian ada suatu pepatah dalam Bahasa Malind : “ Kiwasom ipe sok-ti ka” = perempuan itu ada senjatanya, maksudnya dapat mengakibatkan perkelahian.
Sedikit cuilan dari mitologi Malind sendiri, yang dicatat baik
oleh Dr.Van Baal……..Yolm (penguasa laut) sebagai
seorang pemuda mengintip gadis-gadis waktu sesdang mandi, di daerah Sanggase,
ditusuk matanya sampai rusak,ditambah lagi dengan dihukum oleh tua-tua adat,
lalu dia mengadu kepada pamannya Geb
yang memberi dia hiasan dan Kandala, lalu dia membalas dendamnya terhadap penduduk Kampung Wambi dan Sanggase, sehingga merusak
kampung-kampung ini dan mengkocar-kacirkan penduduknya dengan angin topan dan
ombak besar………..
Hukuman seperti yang
dikemukakan di sini (panah sampai mati ) ancaman hukuman yang paling tinggi,
jika hal ini sudah sampai kepada sidang tua-tua adat yang disebut Yelmam mean, yang bersangkutan bisa dihukum dengan beberapa pertimbangan misalnya
dengan hukum bakar saja, tetapi bisa
juga dibunuh, secara Kambara (magias ritual).
Kenapa gadis-gadis
itu harus dijaga? Dalam pandangan orang Malind perempuan pada umumnya dalam hal pergaulannya dengan laki-laki, sangat lugu,
apalagi pada saat dia masih remaja (anak
baru gede), dalam hal dia mau
menjadi bagian dalam pergaulan itu. Dia
mau berbuat hal-hal yang juga dibuat oleh laki-laki dalam pergaulan itu,
(karena diwariskan dari masa kanak-kanaknya dimana bocah-bocah laki-laki dan perempaun bermain
bersama tanpa perbedaan.antara laki-laki dan perempuan). Tetapi dia tidak sadar, bahwa dengan demikian itu, dia membahayakan
dirinya, karena pada dirinya dia membawa sesuatu yang sangat berharga,
dinincar oleh setiap laki-laki. Di sini
laki-laki hanya tunggu kesempatan
saja ! ! ” Sebab : Birahi
laki-laki menyala terus sepanjang saat, kapan saja dimaan saja;
tetapi birahi perempuan harus
dinyalakan. Bedanya di sini. Dalam hal ini memang sudah kodratnya
demikian ini, (sifat lugu itu), kalau
tidak demikian (lugu, dan mempertahankan keperawanannya secara akali), maka tidak akan ada pengembangbiakan manusia. Jadi hendaknya hati-hati dengan sifat (lugu) perempauan itu. Harus dijaga supaya
benar-benar diatur, sehingga dia tidak
hamil dini, tetapi pada umur yang sudah cukup matang. Menurut Bapak
Julianus Bole Gebze, Kalangan Malind mengerti sekali kata-kata Bung Napi ini dalam hal perempuan :
Seorang perempuan bertemu seorang
laki-laki yang tidak dikenal, di tempat yang sepi pada siang hari berbeda,
jika laki-laki dan perempuan yang
sama itu bertemu di tempat yang sama
itu, tetapi pada malam hari. Pada siang hari laki-laki akan menyapa sopan: kemana, dik ! Mungkin ditambah lagi : Hati-hati ya ! Pada malam
hari dia tangkap !
Dalam kebiasaan suku Malind dulu, perempuan
dijodohkan/ditunangankan pada saat mereka sudah
masuk dalam kelas : Iwag. Iwag (= perawan) ini dalam
tingkat umur sekarang adalah sekitar
umur antara 18-20 tahun. [4]
1.2. Beberapa persoalan Perempuan Malind di Masa ini
1.2.1.
Masalah Pendidikan
Dalam upaya meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat
pada tahun 2007, sarana prasarana pendidikan formal yang terdapat di Kabupaten
Merauke adalah 95 Taman Kanak-kanak berstatus swasta dan 1 Taman Kanak-kanak
berstatus negeri dengan jumlah siswa 2.240 anak, 180 sekolah dasar berstatus
negeri sedangkan 11 SMP yang berstatus swasta dengan jumlah siswa 9.278 jiwa, 9
SMU yang berstatus negeri sedangkan 6 SMU yang berstatus swasta dengan jumlah
siswa 4.239 jiwa, 3 SMK berstatus swasta sedangkang 10 SMK yang berstatus
negeri dengan jumlah siswa 2.482 jiwa.
Penyelenggaraan proses belajar mengajar sekolah formal
di Kabupaten Merauke didukung oleh tenaga pengajar guru TK sebanyak 225 orang,
guru SD sebanyak 1.101 orang, guru SLTP sebanyak 405 orang, SMU sebanyak 350
orang, SMK sebanyak 265 orang.
1.2.2.
Masalah Kesehatan Perempuan
“Sejak hamil saya
sering keluar masuk rumah sakit. Tiga hari sebelum melahirkan, saya sakit
malaria. Saya kemudian dibopong ke rumah sakit. Sakitnya sih memang sakit, tapi
keluarnya gampang sekali. Mungkin karena anaknya kecil. Beratnya waktu lahir
1,1 kg”.[5]
Kondisi kesehatan perempuan di tanah malind anim sangat
memprihatinkan. Indikasi buruknya kesehatan bagi perempuan ini terungkap dalam
tingginya angka kematian ibu melahirkan di Kabupaten Merauke. Data tahun
1997 menungjukkan angkah kematian ibu
(perempuan malind) di Kabupaten Merauke adalah 1025/100.000 kelahiran hidup.
Padahal angka nasional pada tahun yang sama kurang lebih 343/100.000 kelahiran
hidup. Itu berarti bahwa tingkat kematian ibu (perempuan malind) di Kabupaten
Merauke adalah 3 kali lebih besar dibandingkan dengan rata-rata resiko kematian
ibu di Indonesia.
Fantastis tetapi sekaligus mengerikan.[6]
Kenyataan di atas ini tidak dapata ditutup-tutupi lagi,
karena pada tahun 2007 saja memeperlihatkan fasilitas kesehatan yang kurang
memadahi untuk pelayanan kesehatan pada tinggakatan masyarakat kampong. Jumlah
puskesmas di Kabupaten Merauke pada tahun 2006 mencapai 13 unit. Puskesmas
pembantu tercatat 94 unit. Puskesmas keliling roda empat sebanyak 12 unit,
puskesmas keliling long boat sebanyak
3 unit. Jumlah dokter umum pada tahun 2006 mencapai 25 orang. Jumlah tersebut
lebih kecil dibandingkan jumlah dokter pada tahun 2005 yang tercatat 27 orang.
Dokter ahli sebanyak 5 orang. Dokter gigi juga 7 orang dan perawat gigi
sebanyak 3 orang. Jumlah bidan tercatat 279 orang, perawat mencapai 294 orang.
Jumlah apoteker mencapai 7 orang dengan 4 orang asisten apoteker.
Dalam laporan
investigasi yang dilakukan oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian keuskupan
Agung Merauke (SKP-KAM) tahun 2006[7],
angkah kematian yang cukup tinggi ini tercipta karena beratnya beban kerja
perempuan Malind, kualitas gizi yang rendah serta kepedulian masyarakat yang
rendah terhadap masalah kesehatan terutama untuk ibu hamil dan ibu melahirkan.
Di kawan perkampungan Merauke, perempuan menanggung beban kerja kerja yang
berat. Selain mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti memasak,
mengasuh anak, membersihkan rumah, “menokok” sagu, dan mencari kayu bakar,
perempuan juga bertanggungjawab akan perekonomian rumah tangga.
Kondisi geografis
Papua yang terletak di 6 derajat lintang utara dan 6 derajat lingtang selatan
menjadikan daerah ini sebagai daerah endemic bagi penyakin malarian. Penyakin
yang satu ini juga yang mengakibatkan ibu hamil dan melahirkan kondisinya
menjadi lebih rawan. Banyak ibu-ibu hamil yang terkena malaria dan pada umumnya
mereka terkena malaria sebelum mengandung dan melahirkan. Selain penyakit
malarian, penyakit HIV/AIDS juga menjadi ancaman tersendiri bagi
keberlangsungan hidup perempuan Malind. Dari data yang dilaporkan oleh Dinas
Kesehatan kabupaten Merauke (per Novenber 2006) terdapat 388 perempuan yang
telah terinveksi virus HIV/AIDS ini.
1.2.3.
Kekerasan Terhadap Perempuan
Malind
Kekerasan yang dialami oleh perempuan Malind memiliki
hubungan dengan masalah adat dan militer. Kehadiran militer yang berlebihan di
tanah malind anim menjadi dampak tersendiri bagi keberadaan anak perempuan
Malind. Dari investigasi yang dilakukan oleh SKP-KAM pada bulan desember 2006
ditemukan bahwa dibeberapa kampong seperti Kampung Yanggandur, Kampung Bupul
dan Kampung Rawa Biru anak perempuan Malind menjadi korban perkosaan aparat
militer yang bertugas. Dan pada November 2008, Tim Investigator SKP-KAM dan
JPIC MSC menemukan bahwa sejak tahun 2000 hingga 2008, telah terjadi kekerasan
seksual terhadap para anak perempuan Malind hingga mengandung dan memiliki anak
di beberapa kampong perbatasan.
Tabel Korban Pelecehan Seksual oleh anggota TNI Pam
Perbatasan
No
|
Nama Kampung
|
Jumlah Korban
|
Jumlah anak yang lahir
|
Pelaku
|
1
|
Bupul
|
15 wanita
|
18 anak
|
Oknum TNI Pam Perbatasan
|
2
|
Yanggandur
|
3 wanita
|
4 anak
|
Oknum TNI Pam Perbatasan
|
3
|
Rawa Biru
|
1 wanita
|
1 anak
|
Oknum anggota TNI dari
kesatuan Yonif 312/Kala hitam
|
4
|
Sota
|
3 wanita asal Jawa
|
-
|
Oknum TNI Pam Perbatasan
|
5
|
Kuler
|
|||
6
|
Muting
|
1 wanita
|
Kapolsek Muting
|
|
7
|
Toray
|
|||
8
|
Nasem
|
|||
9
|
Ndalir
|
2 wanita
|
Oknum TNI Pam Perbatasan
|
|
10
|
Kuler
|
|||
11
|
Tomer
|
4 wanita
|
Oknum TNI Pam Perbatasan
|
|
12
|
Tomerau
|
|||
13
|
Kondo
|
Sepanjang perbatasan dari Merauke-Kondo-Asikie terdapat 33 pos TNI
Pam Perbatasan. Kenyataan ini sangat berdampak terhadap kehidupan para gadis
kampong yang dalam pengamatan investigator JPIC MSC menjadi “pelacur” untuk
para anggota TNI. Beberapa warga di Kampung Bupul memberi kesaksian bahwa kini
anak-anak gadis kampong Bupul mayoritas telah berpacaran dengan anggota TNI Pam
Perbatasan dan sebagian telah memiliki anak. Hal ini member konsekuensi pada
sikap pemuda kampong Bupul yang tidak mau mengawini para gadis kampong Bupul.
Sehingga, kini para gadis kampong Bupul yang telah memiliki anak dari anggota
TNI memilih untuk keluar dari kampong dan mencari pasangan hidupnya di Kota
Merauke. Ada beberapa gadis kampong bekas “istri” anggota TNI yang telah
menikah dengan pemuda dari kampong tetangga, tetapi keluarga pihak laki-laki
tidak mau terima gadis itu.
Dalam laporan hasil penelitian SKP-KAM pada tahun 2006[8]
ditemukan bahwa di Kampung Kimaam, Kampung Mambum, Kampung Kiworo, Kampung Deka
dan Kampung Woner ditemukan bahwa prilaku seks bebas amat sangat menonjol.
Anak-anak dibawa umur sudah tahu berhubungan seks. Pinang
adalah alat untuk transaksi seks. Ada beberapa tempat untuk melakukan transaksi
seks, diantaranya salah satu rumah petugas kesehatan di belakang Puskesmas
Kimaam.
Tabel 1: Pelacuran dibawa umur (tahun 2006)
No
|
Nama Kampung
|
Usia
|
Jumlah
|
Motivasi
|
1
|
Kiworo
|
9-12 tahun
|
5 orang
|
Ingin makan pinang &
desakan ekonomi
|
2
|
Woner
|
9-14 tahun
|
10 orang
|
Ingin makan pinang dan
seks itu nikmat, desakan ekonomi
|
3
|
Kimaam
|
9-16 tahun
|
20 orang
|
Ingin makan pinang dan
kenikmatan, desakan ekonomi
|
4
|
Mambum
|
9-12 tahun
|
4 orang
|
Ingin makan pinang &
desakan ekonomi
|
4
|
Deka
|
9-12 tahun
|
4 orang
|
Ingin makan pinang &
desakan ekonomi
|
(Data Primer yang diperoleh
di Lapangan, 2006)
Ada pengakuan dari salah seorang pegawai pemerintah dari Dinas
Kesehatan bahwa dalam kunjungan dinas ke kampung-kampung, seperti Teri, Bamol,
dan Tabonji, biasanya para pegawai pemerintah menyediakan banyak bungkus pinang
dengan maksud untuk bisa berhubungan seks di kampung tersebut. Selain itu dalam
wawancara yang dibuat dengan salah seorang tokoh masyarakat di Kampung Kimaam
memperlihatkan bahwa di Kampung Kimaam ada beberapa ibu yang selalu memberikan
rokok kepada anak-anak mudah untuk bisa berhubungan seks.
Tabel 2. Pelacuran dalam keluarga
No
|
Nama Kampung
|
Status
|
Jumlah
|
Motivasi
|
1
|
Kimaam
|
Janda dan Istri
|
3 orang
|
Pemuasan asrat seks
& desakan ekonomi
|
2
|
Mambum
|
Istri
|
2 orang
|
Pemuasan asrat seks
& desakan ekonomi
|
3
|
Deka
|
Istri
|
3 orang
|
Pemuasan asrat seks
& desakan ekonomi
|
4
|
Kiworo
|
Janda dan Istri
|
5 orang
|
Pemuasan asrat seks
& desakan ekonomi
|
5
|
Woner
|
Janda dan Istri
|
3 orang
|
Pemuasan asrat seks
& desakan ekonomi
|
(Data Primer).
Realitas ini memperlihatkan adanya pergeseran nilai
budaya dari hubungan seks yang dipandang sakral kepada pemuas kenikmatan. Seks
sudah bukan sesuatu yang tabu dalam kehidupan masyarakat. Perempuan dilihat
sebagai sarana pemuas napsu kaum lelaki.[9]
2.
Prospek Berteologi Kristiani
Pilihan Gereja untuk setia mengikuti Kristus dengan
mendahulukan kaum miskin dan tertindas akan menjadi nyata kalau mendapat wujud
yang konkret dengan resiko mengorbankan diri demi penegakkan keadilan bagi kaum
miskin dan tertindas. Kemiskinan dank aum miskin (tertindas) bukanlah objek kebaikan
hati, melainkan subjek dan pelaku utama dalam perubahan social. Kaum perempuan,
khususnya perempuan Malind adalah kaum tertindas. Sebab-sebab terdalam dari
kemiskinan dan penindasan terhadap perempuan Malind adalah system dan
jaringan-jaringan social yang tidak adil. Oleh karena itu, perempuan Malind
harus dibebaskan dari (a) keterasingan dan dominasi budaya yang
mendiskriminasikan mereka menuju kesadaran kritis akan situasi social yang
disebabkan oleh ketidakadilan dan diskriminasi sosial, (b) dari keterasingan
dan marjinalisasi ekonomi menuju kesejahteraan dan akses dengan sumber daya
untuk hidup, dan (c)dari keterasingan dan peminggiran politis menuju organisasi
dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan.[10]
Pertanyaan sentralnya cara berteologi seperti apa yang dibutuhkan untuk
melakukan gerakan pembebasan terhadap kaum perempuan Malind?
2.1. Refleksi Teologis
2.1.1. Orang “Miskin” dalam Kerajaan Allah[11]
Perjanjian Baru
mempunyai empat kata untuk “miskin”, tetapi yang paling kerap dipakai adalah
kata ptokhos yang dipakai 34x. Kata
itu memiliki arti kekuarangan, melarat sungguh. Kata ptokhos hamper sama dengan pengemis. Kata-kata lain, yang memang
lebih berarti “orang kecil”, jarang dipakai (penes
1x; penikhros 1x; endees 1x). Dengan mengecualikan Mat 5:3; Gal 4:9; dan
Why 3:17, kata ptokhos selalu berarti
orang yang secara material miskin. Mereka tidak hanya tanpa harta milik, tetapi
juga tidak mendapat pendidikan, tidak mempunyai tempat dalam masyarakat, tidak
terpandang, tidak terpakai. Singkatnya, mereka miskin dalam arti ekonomi maupun
arti social. Dengan demikian yang dimaksudkan kelompok “orang miskin” adalah
Kaum buruh harian yang menganggur, budak yang melarikan diri, orang-orang yang
mengungsi dan orang-orang yang harus lari karena tidak bias membayar utang
termasuk juga orang buta, orang lumpuh, orang kusta dan orang tuli (lih. Mat
11:5; Mat 25:35; Luk 14;13-21; 16:20; Mrk 10: 46-52). Kelompok orang buta,
orang kusta dan tuli masuk dalam kalangan “orang miskin” karena kelemahan
fisik. Bagi mereka tidak ada jalan lain daripada mengemis.[12]
Konteks “orang
miskin” seperti ini dimana Yesus Kristus hadir, sehingga pesan Yesus mewartakan
Kerajaan Allah sebagai daya pembebasan untuk “orang miskin”. “Di dalam perjara Yohanes Pembaptis mendengar
tentang pekerjaan-pekerjaan Yesus, lalu menyuruh murid-muridnya bertanya
kepada-Nya: Engkaukah yang akan dating itu, atau, haruskah kami menantikan
orang lain? Yesus menjawab mereka: Pergilah dan beritakan kepada Yohanes apa
yang kamu dengar dan lihat: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang
kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada
orang miskin diberitakan kabar baik”(Mat 11: 2-5). Orang miskin mempunyai
tempat yang khusus. Kepada mereka diberitakan Kerajaan Allah. “Berbahagialah kamu yang miskin, karena
kamulah yang empunya Kerajaan Allah”(Luk 6:20).
Pewartaan
pembebasan terhadap orang miskin tidak hanya diucapkan saja tetapi dilaksanakan
melalui jalan berbela rasa dengan orang miskin. Hal ini terlihat jelas dalam
kata-kata Yesus, “Anak Manusia tidak
mempunyai tempat untuk meletakkaan kepalaNya” (Mat 8:20); dan Lukas
menceriterakan bahwa sesudah kelahiranNya Ia “dibaringkan di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di
rumah penginapan” (Luk 2:7). Oleh karena itu, sangat masuk akal kalau
Paulus berkata bahwa “Ia menjadi miskin,
sekalipun Ia kaya” (1Kor 8:9). Yesus dalam tindakan pengosongan diri
(kenosis) benar-benar menjadi senasib dengan orang miskin.
Dengan tindakan compassion
ini, Yesus menegaskan bahwa “Roh
Tuhan ada di atas-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan
kabar baik kepada orang-orang miskin”(Luk 4:18). Penegasan ini oleh Lukas
dipandang sebagai ringkasan atau pokok karya Yesus, yakni menyampaikan kabar
gembira kepada orang miskin. Kabar gembira yang dimaksud adalah kehadiran
Kerajaan Allah. Kehadiran Kerajaan Allah adalah lewat kehadirannya sendiri.
Oleh karena itu, kaum miskin diajak oleh Yesus untuk menyadari kekuatan Allah
itu di antara diri mereka. Segala sesuatu yang dibuat oleh Yesus tidak lain
daripada member tanda bahwa kerajaan Allah itu sungguh hadir dan berkarya.
Kerajaan Allah tidak berkarya secara lahiria saja, sebagai daya penyembuh
fisik, melainkan berkarya sebagai dorongan yang memberikan daya hidup kepada
mereka yang tidak berdaya lagi dalam masyarakat. Kerajaan Allah dinyatakan
kepada kaum miskin sebagai daya pembebas; sebagai sumber untuk memperjuangkan
keadilan. Kerajaan Allah adalah daya kekuatan hidup bagi mereka yang hanya
dapat menemukannya dalam dirinya sendiri, dan tidak dapat bersandar kepada apa
dan siapapun juga di luar Allah. Allah mencintai kaum miskin, melindungi mereka
dan menghendaki supaya mereka hidup.
Dalam konteks
inilah Kerajaan Allah bukan obat penenang, bukan juga candu tapi Kerajaan Allah
adalah perjuangan (= kerja keras). Hal ini bukan berarti kita membuat Kerajaan
Allah. Tetapi Kerajaan Allah memberikan kekuatan kepada kita untuk berjuang. “Injil Kerajaan Allah diberitakan dan setiap
orang berebut memasukinya” (Luk 16:1; bdk Mat 10:34). Kerajaan Allah tidak
tampak dengan jelas tetapi suatu ketika ia tampak dengan jelas. Hal ini bias direnungkan dalam ceritera Yesus
tentang Kerajaan Allah, “Beginilah hal
Kerajaan Allah itu: seumpama orang yang menaburkan benih di tanah, lalu pada malam
hari ia tidur dan pada siang hari ia bagun, dan benih itu mengeluarkan tunas
dan tunas itu makin tinggi, bagaimana terjadinya tidak diketahui orang itu.
Bumi dengan sendirinya mengeluarkan buah, mula-mula tangkainya, lalu bulirnya,
kemudian butir-butir yang penuh isinya dalam bulir itu. Apabila buah itu sudah
cukup masak, orang itu segera menyabit, sebab musim menuai sudah tiba.”
(Mrk 4: 26-29). Dalam kaitan dengan ceritera Yesus ini, maka pada dasarnya hal
penting adalah sikap kepercayaan tanpa syarat pada karya Allah. Kepercayaan ini
bukan khayalan semata, melainkan
kepercayaan pada daya kekuatan Allah yang sungguh-sungguh hadir dalam diri kita
(lih. Luk 17: 20-21). Tuhan sungguh turun tangan. Oleh sebab itu Yesus berkata,
”Berbahagialah hai kami yang miskin,
karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah”(Luk 6:20).
2.1.2. Hidup sebagai saudara
Allah yang kita
imani bukanlah seorang yang suka menyendiri, tetapi pribadi yang hidup dalam
komunitas. Hal ini sangat jelas ditunjukan dalan kehendakNya mengutus PutraNya
yang tunggal untuk turun daru surga dan tinggal di antara kita. Yesus Kristus
adalah bukti bahwa Allah hadir di tengah-tengah manusia. Sehingga kenyataan ini
mau menegaskan kepada kita bahwa kitapun tidak hidup dalam kesendirian, tetapi
kita hidup dalam kebersamaan dengan Allah. Oleh karena itu, sikap hidup yang
harus ada di antara kehidupan bersama kita adalah kemampuan untuk mengampuni
dengan perasaan memiliki. Hal ini penting karena dengan mengampuni dengan
perasaan memiliki, kita telah menyatakan kepada dunia bahwa Allah hadir bersama
dengan kita. Perasaan memiliki adalah cerminan dari kesatuan kita,
kadang-kadang secara social kita berbeda, misalnya ada orang sebagai majikan
dan ada sebagai budak, ada orang sebagai pemimpin dan ada orang sebagai bawaan,
dan seterusnya, akan tetapi perbedaan social tidak boleh menjadi rintangan
dalam komunikasi antara kita. Yesus bersabda, ”Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang yang
menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-pelingdung. Tetapi kamu
tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi
yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan”(Luk 22:25-26; bdk. Mat 20:
25-27; Mrk 10: 42-44). Sabda Yesus ini menegaskan bahwa sikap melayani adalah
penting dalam kebersamaan. Sikap pelayanan adalah cerminan dari penghayatan
persaudaraan dalam komunitas.[13]
Penutup: Strategi Pastoral
Berikut ini penulis
menawarkan langkah-langkah strategis dalam berteologi dalam konteks kaum miskin
(kaum terpinggirkan), yakni
Langkah 1: “Membaca & Menapsir” Realitas social politis,
ekonomi, perbedaan dan diskriminasi dalam masyarakat.
Langkah 2: mengakngkap akar persoalan dari hasil bacaan atau
penafsiran atas realitas social politik, ekonomi, perbedaan dan diskriminasi
dalam masyarakat.
Langkah 3: Mendasarkan persoalan yang dihadapi oleh kaum miskin
(marginal) dengan visi dan pandangan Kitab Suci.
Langkah 4: Menentukan sebuah jawaban pastoral pemberdayaan kaum
miskin atau terpinggirkan.
Daftar Pustaka
·
Banawiratma J. B. 10 Agenda Pastoral Trasformatif. Kanisius: Yogyakarta,
2002.
·
______________. Aspek-aspek Teologi Sosial.
Kanisiusn: Yogyakarta, 1988.
·
Hasil Penelitian SKP-KAM, Pembangunan & Konflik Sumber Daya; Potret Kehidupan Masyarakat
Kimaan. Tahun 2006.
·
Hivos. Menghadapi
Imputasi: Laporan Workshop Pemetaan Inisiatif Advokasi Hak Asasi Manusia
Masyarakat Sipil Indonesia,
Periode 1999-2004.
·
Jurnal Perempuan “Perempuan di Wilayah Konflik”,
No. 24, 2002.
·
Matsui Yayori. Women in the New Asia. From Paint to
Power. Zed Book Ltd: Inggris, 1999.
·
Suryawasita,A. Asas Keadilan Sosial. Kanisius: Yogyakarta,
1989.
[1]
Kisah Penciptaan ini adalah hasil wawancara penulis dengan Tokoh Adat malind,
Bpk. Julianus Bole Gebze (Almarhum).
[2]
Ala-alawi, adalah nama dari Pencipta Malind-milah (Tanah Malind) dan seluruh isinya serta
manusia pertama yaitu Geb.
[3] “Menurut kebiasaan adat
dulu, mayat dikubur dan dibiarkan selama
sat-dua Mbulambol (=tahun), lalu digali kembali. Semua tulung belulang
dikumpulkan dan dicat merah dengan sejenis lumpur yang disebut Ahwa, yang
berwarna merah. Kemudian tulang-tulang itu diikat-ikat kembali pada posisinya
menjadi rangka manusia yang utuh lengkap. Kemudian dikubur kembali dan ditutup dengan tanah
(istilah Malind = makan) dalam upacara yang disebut ; “Makan haon”. Dalam upacara ini tanah sekitar
kuburan itu dihentak-hentak oleh
pengikut upacara itu. “ Pekerjaan menyambung-nyambung dan
mengikat-ikat tulang belulang ini adalah pekerjaan perempuan. Pekerjaan ini
memerlukan kesabaran dan ketelitian, yang hanya bisa dilakukan oleh kaum
perempuan.
[4]Perlu dikemukakan disini,
bahwa suku Malind tidak menghitung umur seseorang, sebagaimana layaknya
sekarang, tetapi menghitungnya
dengan mengelompokkan masa pertumbuhan
manusia dalam kelas-kelas. Setiap promosi ke suatu tingkat/kelas
dilakukan dengan upacara penobatan , ke
tingkat itu. Untuk perempuan dimulai
dengan : Hunahon (bayi), imimil hunahon (balita); kiwasom (anak kira-kira antara
7-10 tahun); kati-ti wahuklu (anak kira-kira antara 10-14 tahun); wahuklu (kira-kira
antara 15-18 tahun); Iwag (kira-kira 18-20 tahun).( Iwag ini terbagi
dalam Noh- iwag(Noh=baru) dan Tanamu iwag (tanamu=tua); Sah/Sav
(=perempuan yang sudah berkeluarga) terbagi juga dalan Noh-sav dan Tanamu- Sav;
terakhir Mes-iwag (=nenk-nenek). Untuk anak laki-laki ada pembagian seperti ini
juga, tetapi kami tidak kemukakan di sini. Juga untuk alam tumbuh-tumbuhan dan hewan ada
pengelmpokan kelas seperti itu. Orang perlu menjaga, perempuan dengan
baik-baik, tetapi jika perempuan itu sudah melampaui kelas Iwag dan dia sudah dijuluki dengan
Tanamu iwag, dan belum berkeluarga, dia
menjadi agresif! Karena sebaliknya dia dapat mencelakakan laki-laki, apalagi yang masih ABG, dan
laki-laki yang sudah berkeluarga dan dengan sendirinya keluarganya, lewat sex maupun gosip-gosip dll. Jadi harus hati-hati; ingat : pada dasarnya perempuan adalah Kalel-tu Heis !!
[5]
Kesaksian Ibu Maria Mahuze, ibu yang ditemui penulis pada tanggal 10 Oktober
2006 di Rumah Sakit Daerah Merauke.
[6]
Lih. Jurnal Perempuan “Perempuan di Wilayah Konflik”, No. 24, 2002. &
Hivos,Menghadapi Imputasi: Laporan
Workshop Pemetaan Inisiatif Advokasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Sipil Indonesia,
Periode 1999-2004.
[7]
Lih. Hasil Penelitian SKP-KAM, Pembangunan
& Konflik Sumber Daya; Potret Kehidupan Masyarakat Kimaan. Tahun 2006.
[8]
Lih. Ibid
[9]
Lih. Yayori Matsui, Women in the New
Asia. From Paint to Power. (Zed Book Ltd: Inggris, 1999), hal. 1-70.
[10]
Lih.J. B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral
Trasformatif (Kanisius: Yogyakarta, 2002),
hal.53-55.
[11]
Lih. J. B. Banawiratma, Aspek-aspek
Teologi Sosial (Kanisiusn: Yogyakarta, 1988), hal. 19-141.
[12]
Lih. Ibid., hal. 91-100.
[13]
Lih. A. Suryawasita, Asas Keadilan
Sosial. (Kanisius: Yogyakarta, 1989), hal. 21-49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar