Rabu, 13 Juli 2011

RELEVANSI HANCOCK BAGI KITA

oleh George Junus Aditjondro

MENGAPA sebuah buku yang ditulis oleh seorang jurnalis Inggris dan diterbitkan di London tahun 1989, masih diterjemahkan dan diterbitkan kembali di Indonesia, enam tahun kemudian? Jawabannya tidak sulit. Berbagai fenomena sosial yang digambarkan oleh Graham Hancock di buku ini, masih tetap penad (relevan) di masa sekarang. “Bantuan” asing bukanlah “bantuan”, yang betul-betul menguntungkan masyarakat negara yang “dibantu”. Bantuan asing lebih merupakan suatu mekanisme untuk mendaur ulang uang pajak rakyat di negara-negara kaya, sambil memperkaya elit negara-negara miskin.


Ironi itu diuraikan dengan panjang lebar oleh Hancock dalam buku ini, di mana ia juga menguraikan pola hidup yang super mewah dari para birokrat Bank Dunia dan IMF, serta para diplomat lembaga-lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berurusan dengan kemiskinan. Jadi kalau seluruh isi buku mau disimpulkan, sebagian besar uang yang katanya dialokasikan untuk memberantas kemiskinan di Dunia Ketiga, praktis didaur ulang ke negeri-negeri kaya untuk menghidupi industri barang, jasa, dan konsultan ‘pembangunan’ di negara-negara kaya.

Sementara itu, rakyat akar rumput di Dunia Ketiga, tidak banyak menikmati hasil ‘industri pembangunan’ itu. Alih-alih menikmati, mereka sering dirugikan atau menderita dampak negatif dari proyek-proyek raksasa yang dibiayai dari hutang ke Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan badan-badan pembiayaan pembangunan bilateral dari berbagai negara kaya. Untuk Indonesia, contoh yang sangat menonjol dalam buku ini adalah program transmigrasi, di mana jutaan transmigran dari Jawa, Bali, Madura dan Lombok (JAMBAL) direncanakan untuk dipindahkan ke pulau-pulau besar yang dianggap kosong penduduknya, seperti Kalimantan dan Papua Barat (lihat hal. …… di buku ini).

***

ADA dua kelemahan dalam buku ini. Kelemahan pertama adalah bahwa rencana transmigrasi sebesar satu juta jiwa ke Papua Barat, akhirnya mendapatkan revisi yang sangat drastis, menjadi kurang dari separuh (lihat Aditjondro 2000: 246-9). Kedua, bagaimana keluarga dan kroni-kroni Soeharto adalah komprador-komprador yang paling banyak diuntungkan oleh “bantuan” asing, ketimbang sejumlah komprador dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang disoroti oleh Hancock dalam buku ini,

Revisi target transmigrasi ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, target penempatan transmigran di berbagai daerah, khususnya di Papua Barat, ditentukan secara gila-gilaan, tanpa mempertimbangkan kondisi fisik lokasi-lokasi tersebut (misalnya, rawa-rawa, ketiadaan sumber pasir batu untuk membuat jalan yang dapat dilewati truk ke lokasi-lokasi tertentu, dan lain-lain). Tampaknya, proyek transmigrasi Pelita III (1979/84) dan Pelita IV (1985/89) hanya disusun dengan mempertimbangan promosi pesawat angkut serba guna Hercules buatan AS, serta alat-alat penginderaan satelit, yang juga dari udara.

Dari pengamatan terlibat penulis di Tanah Papua, dari tahun 1982 s/d 1987, ada dua kelompok yang berkampanye untuk menurunkan target transmigrasi yang dibiayai Bank Dunia itu, demi melindungi kebudayaan penduduk dan ekosistem Papua Barat. Kelompok pertama melakukan kampanye secara terbuka lewat aksi-aksi massa dan kegiatan lobbying  di parlemen negara-negara pemegang saham Bank Dunia di Amerika Utara, Jepang, dan Eropa Barat. Sedangkan kelompok kedua adalah sekelompok kecil konsultan yang dibiayai oleh Bank Dunia dan lembaga-lembaga penghutang bilateral, yang melakukan riset lapangan untuk penentuan lokasi-lokasi transmigrasi secara terinci di Tanah Papua.

Berbeda dengan para konsultan mata duitan yang ketamakannya ditelanjangi oleh Hancock, di era kegelisahan rakyat Papua Barat menghadapi ancaman tsunami transmigran dari Jawa, sebagian konsultan asing di Papua Barat berdiskusi secara intensif dengan  para biarawan dan aktivis lembaga-lembaga pengembangan masyarakat desa di Tanah Papua. Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja), lembaga yang penulis pimpin waktu itu, ikut bertukar data dengan mereka. Interaksi ini membantu menurunkan target pengungsi untuk Papua Barat, dari 200 ribu KK atau satu juta jiwa selama Pelita IV menjadi 137 ribu KK atau sekitar 700 ribu jiwa. Sedangkan dari 46 lokasi transmigrasi yang sebelumnya sudah diseleksi oleh pemerintah pusat ternyata hanya 26 lokasi, atau hampir separuhnya, dinyatakan cocok setelah melalui survei lapangan oleh para konsultan Bank Dunia tersebut (lihat Aditjondro 2000: 245).

Walaupun demikian, pembelian pesawat-pesawat Hercules untuk pengangkutan arus transmigran dari JAMBAL ke daerah-daerah transmigrasi, tetap harus dicicil pembayarannya oleh pemerintah RI. Sebagian pesawat itu akhirnya dijual oleh pemerintah ke Pelita Air dan perusahaan-perusahaan penerbangan lain.

Kerugian finansial negara itu belum apa-apa, sebab dampak sosial dari rencana Bank Dunia itu jauh lebih dahsyat. Beberapa ratus ribu orang Papua Barat sudah sempat mengungsi ke Papua Niugini, dan bertahun-tahun lamanya menghuni kamp-kamp pengungsi. Baik di luar kota Vanimo di daerah perbatasan sebelah Utara, maupun di East Awin, dekat kota Kiunga, di sebelah Selatan. Di sanalah harga diri mereka terbanting menjadi pengemis yang hidup dari bantuan UNHCR, sebab berburu dan meramu di tanah adat suku lain, juga berlaku bagi mereka yang hidup di kamp-kamp pengungsi, walaupun mereka sama-sama berasal dari rumpun Melanesia, seperti penduduk asli Papua Niugini (untuk sukaduka para pengungsi di kamp pengungsi East Awin, lihat Glazebrook 2001).

 Keberhasilan kampanye global anti-transmigrasi ini memicu beberapa kampanye lain di akhir dasawarsa 1980-an, yang terfokus pada sejumlah proyek Bank Dunia yang lain. Kampanye itu dikenal sebagai kampanye anti “Fatal Five “ (lima proyek fatal), yakni bendungan Sardar Savodar di lembah Sungai Narmada di India, bendungan Kedungombo di Sungai Serang di Indonesia, bendungan “Tiga Ngarai” (Three Gorges ) di Sungai Yangtze di Tiongkok, proyek pemukiman raksasa Polonoreste di kawasan Amazon Brazil, dan sebuah proyek peternakan raksasa di salah satu negara Afrika. Kelima proyek itu dipilih supaya ketiga kawasan Dunia Ketiga – Asia, Afrika, dan Amerika Latin – terwakili.

Kampanye ini berhasil memaksa Bank Dunia dan badan-badan pembiayaan pembangunan bilateral (bilateral development financing agencies ) melakukan modifikasi dalam implementasi proyek-proyek itu. Selain memperketat petunjuk operasional bagi proyek-proyek yang dibiayai Bank Dunia serta memperkaya literatur antropologi terapan tentang pembangunan bendungan raksasa, Bank Dunia menghentikan pembiayaan rangkaian bendungan di Sungai Narmada sama sekali (lihat Khagram 2000: 99).

Tapi bukan cuma bank pembangunan multilateral (multilateral development bank ) itu yang terpengaruh oleh kampanye internasional itu. Juga maskapai-maskapai rekayasa internasional yang selama puluhan tahun membangun bendungan-bendungan raksasa, tanpa oposisi yang berarti dari rakyat yang tergusur. Terbentuklah suatu Komisi Sedunia untuk Pembangunan Bendungan (World Commission on Dams), di mana empat dari duabelas komisarisnya terdiri dari aktivis-aktivis anti-bendungan yang cukup punya nama di negaranya. Termasuk Medha Patkar, pemimpin gerakan penyelamatan Sungai Narmada (lihat Khagram 2000: 105).

Munculnya gerakan oposisi internasional terhadap kekuatan-kekuatan ekonomi global merupakan fenomena baru, 10 sampai 15 tahun  terakhir. Mungkin itu sebabnya, fenomena ini belum mendapat perhatian dalam buku Hancock yang terbit tahun 1989 . Ada yang menyebutnya “globalisasi dari bawah” (globalization from below). Ada yang menamakannya dengan istilah yang lebih panjang dan ilmiah: “the rise of transnational civil society”, atau kebangkitan masyarakat sipil secara lintas negara, yang merupakan “kekuatan ketiga” setelah negara dan pasar (Florini 2000).

Namun harus diakui, bahwa kebangkitan masyarakat sipil global itu tidak akan terjadi, atau paling tidak, belum akan muncul, tanpa literatur seperti yang ditulis oleh Hancock. Kemunculan gerakan masyarakat sipil global itu juga dipercepat oleh literatur “berfihak” atau media partisan terbitan organisasi-organisasi non-pemerintah berlingkup internasional, seperti Amnesty International, Survival International, Cultural Survival, dan lain-lain. Literatur partisan itu biasanya ikut terorbit oleh aksi-aksi massa yang berusaha menjebol benteng sekuriti tempat para “pangeran-pangeran kemiskinan” Bank Dunia, IMF, WTO, dan saudara-saudara sepupunya sedang melakukan siding tahunan.

Globalisasi dari bawah, sesungguhnya bukan barang baru. Hal ini sudah diamati oleh Andre Gunder Frank, sosiolog Brazil keturunan Jerman, salah seorang pionir mazhab ketergantungan (dependency theory ). Bersama isteri dan kerabat kerjanya, Marta Fuentes, Frank sudah melihat potensi gerakan-gerakan sosial (social movements ), yang sedang mengalami globalisasi, untuk meredam pengaruh negatif dari lembaga-lembaga keuangan internasional yang melayani kepentingan maskapai-maskapai transnasional (transnational corporation, atau TNC) yang berbasis di negara-negara industri maju.

Fungsi atau potensi gerakan-gerakan sosial global itu mereka sebut “delinking “, semacam proses ‘pelepasan kopling’ gerbong-gerbong ekonomi negara-negara berkembang dari tarikan lokomotif-lokomotif berwujud TNCs di belahan bumi Utara dan di belahan bumi Selatan, khususnya Australia dan Afrika Selatan. Itu mereka uraikan dalam tesis ketujuh dari artikel mereka (Fuentes & Frank 1989).
***
            KALAU kemunculan gerakan-gerakan sosial global dapat kita anggap sebagai ‘kabar gembira’ bagi Dunia Ketiga, ada juga kabar sedih bagi negara-negara berkembang yang selama ini menjadi sorga  “bantuan” dan penanaman modal asing. Seperti yang diamati oleh Hancock, proses pemiskinan di Dunia Ketiga dimungkinkan berkat kolusi antara para “pangeran kemiskinan” dan penguasa-penguasa Dunia Ketiga.

            Mulai dari Frantz Fanon (1971), pejuang dan pengamat kebangkitan Dunia Ketiga di tahun 1960-an, sampai dengan Andre Gunder Frank serta mazhab ketergantungan (dependency theory) di tahun 1970-an, sudah menunjukkan peran kaum borjuis nasional, yang tidak malu-malu menjadi calo modal asing, sambil memperkaya diri, keluarga, dan golongan mereka sendiri.

Para pengikut mazhab ketergantungan menyebut mereka “kelas komprador domestik”. Mereka terdiri dari segelintir pengusaha top, atau ‘komprador swasta’ (commercial compradors ) dan sejumlah  ‘komprador negara’ (state compradors ), menurut Terisa Turner, seorang pengamat industri migas di Nigeria. Menurut Turner, komprador negara adalah para pejabat tinggi, politisi, dan perwira tinggi yang bertanggungjawab atas penyiapan kontrak-kontrak dan transaksi-transaksi keuangan pemerintah untuk maskapai-maskapai asing (State compradors are defined as senior state officials and political or military chiefs responsible for providing contracts and conducting governmental financial transactions with foreign firms) (lihat Biersteker 181: 146).

Turner selanjutnya menggambarkan hubungan antara maskapai-maskapai multinasional, para komprador swasta, dan para komprador negara, yang merupakan calo-calo dari suatu pasar baru yang sangat menguntungkan, sebagai suatu “segitiga komersial” (idem).

Walaupun tidak menggunakan istilah “komprador”, Hancock menampilkan sejumlah komprador kelas kakap di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Di antaranya yang menonjol adalah para komprador di Bangla Desh yang telah mengantongi sekurang-kurangnya 136 juta dollar AS dari “bantuan” asing selama delapan tahun; junta militer Jenderal Romero Lucas Garcia dari Guatemala yang mengantongi antara 350 juta sampai satu milyar dollar AS dari pembangunan bendungan Chixoy; Ferdinand dan Imelda Marcos dari Filipina yang telah mengamankan lebih dari sepuluh milyar dollar AS ke luar negeri di masa kekuasaan mereka; Presiden Jean Bedel Bokassa dari Republik Afrika Tengah yang dalam sehari menghabiskan 20 juta dollar AS  dari “bantuan” bilateral Perancis dalam pesta penobatannya menjadi “Kaisar”; Presiden Mobutu Sese Seko dari Zaire yang setiap tahun merampok 18 persen dari anggaran belanja nasional negeri itu untuk belanja pribadinya, sehingga ia berhasil menanamkan antara tiga sampai empat milyar dollar AS dalam berbagai properti mewah di Belgia, Perancis, Inggris, Australia dan AS; sampai dengan Presiden Jean-Claude Duvalier (‘Baby Doc”) dari Haiti yang memalak 20 juta dollar AS untuk kepentingan pribadinya dari kredit cadangan IMF untuk negeri Karibia itu. Seolah-olah itu belum cukup, Nyonya Michelle Duvalier setiap tahun menerima “gaji” 1,2 juta dollar AS dari Bank Sentral negeri miskin itu. (lihat buku ini, hal. ….. s/d …….).

Bagaimana dengan para komprador di Indonesia, di masa puncak kejayaan rezim Soeharto? Walaupun di tahun penerbitan buku Hancock (1989), kerakusan kelas komprador di Indonesia belum sempat diteliti, sesungguhnya kerakusan mereka – di bawah kediktatoran Soeharto – tidak kalah dari semua contoh di atas. Malah dapat mengungguli kerakusan semua rezim di atas. Menurut taksiran majalah Time  dalam Laporan Utamanya tentang Soeharto, edisi 24 Mei 1999, keluarga RI-1 ini telah mengeruk sekitar 73 milyar dollar AS di masa kekuasaannya, dan ditaksir masih memiliki 15 milyar dollar AS sewaktu Soeharto digusur dari singgasananya (lihat Aditjondro 2002: 3).

Itu baru kekayaan suami isteri Soeharto dengan keenam anaknya. Belum lagi kalau kita bicara tentang kekayaan keluarga Soeharto dengan keluarga adik-adik Soeharto, adik-adik Nyonya Tien Soeharto (alm.), ipar-ipar, besan-besan, dan keluarga pasangan RI-1 waktu itu yang berasal dari Yogyakarta dan Surakarta (Solo). Paling tidak, kekayaan klan Soeharto bisa mencapai 25 milyar dollar AS. Kalau itu digabung lagi dengan kekayaan kroni-kroni Soeharto di lingkungan birokrat dan jenderal purnawirawan, terutama bisnis keluarga B.J. Habibie, kekayaan klan dan para kroni Soeharto dapat mencapai sedikitnya 50 milyar dollar AS (lihat Hiscock 1997: 5-8; Aditjondro 1998; dan Backman 1999: 255-304).  

Coba saja kita lihat, bagaimana keluarga dan konco-konco Soeharto diuntungkan dari arus dana dari luar negeri itu. Sebagaimana kemudian ditiru oleh Somalia, di mana pasar petani setempat digencet oleh dumping  gandum Amerika Serikat yang disubsidi oleh pemerintah AS lewat Public Law 480 (lihat hal. …. di buku ini), petani padi di Indonesia sudah lebih dulu digencet pasarnya oleh gandum AS. “Kerjasama” pembangunan pangan AS kepada Indonesia disetujui oleh Kongres AS, segera setelah Indonesia diamankan buat arus modal negara-negara Barat, berkat penumpasan semua gerakan radikal – buruh, tani, nelayan, pemuda, cendekiawan, seniman – yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).

Nah, coba kita lihat siapa yang diuntungkan dari politik impor gandum subsidi dari AS itu? Berdirilah suatu kerajaan pangan, yang berhulu di penggilingan gandum PT Bogasari dan berhilir di industri mi instant di bawah bendera PT Indofood Sukses Makmur Tbk (lihat Aditjondro 2002: 12).

            Sesudah itu, satu per satu program “kerjasama” Indonesia dengan negara-negara penghutang melibatkan berbagai maskapai asing yang berkongsi dengan keluarga atau kroni Soeharto. Dari Inggris saja, maskapai-maskapai tersebut termasuk Thames Water yang berkongsi dengan Sigit Harjojudanto, putra tertua Soeharto yang bekerjasama dengan PAM DKI Jaya (lihat Tempo, 19 April 1999, Rubrik Investigasi: ‘Keruhnya Swastanisasi PAM Jaya’).

Daftar maskapai Inggris lain yang juga berkongsi dengan keluarga Soeharto termasukTrafalgar House bekerjasama dengan Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut dalam pembangunan ruas jalan tol ke Bandung; beberapa perusahaan milik Tutut juga mengageni pembelian 40 pesawat Hawk 100/200 buatan British Aerospace (BAe) dan 100 mobil lapis baja Scorpion buatan Alvis Plc dengan tuduhan komisi sebesar 16,5 juta poundsterling, atau 291 milyar rupiah; Bambang Trihatmojo menjadi agen BP Chemicals, Ergon Energy, Lloyds of London, dan British Power Generation (PowerGen), bersama pamannya, Sudwikatmono; Siti Hediyati Haryadi alias Titiek, yang menjadi agen National Power; Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto menjadi agen mesin Rolls-Royce untuk pesawat terbang N-250 buatan IPTN dan untuk turbin PLTU di Samarinda; Martina Sudwikatmono, seorang keponakan Soeharto, menjadi agen pesawat jet eksekutif British Aerospace BaE 125-100; sedangkan Erry Oudang, seorang keponakan yang lain, menjadi agen Foster Wheeler International Corporation dan BP dalam skandal Balongan (lihat Fluendy 1999; Backman 1999: 289, 291, 293-4; Aditjondro 1998: 101-2; Aditjondro 2002: 18; Aditjondro 2003: viii; The Guardian, 8-9 Desember 2004; Tempo, 26 Desember 2004: 30-1).

Komisi untuk mengageni produk-produk industri Inggris itu jumlahnya luar biasa. Untuk menjadi calo penjualan 100 tank Scorpion dari Alvis Plc itu, Tutut dituduh menerima suap sebesar 16,5 juta poundsterling atau 291 milyar rupiah (The Guardian, 8-9 Desember 2004; Tempo, 26 Desember 2004: 26). Tinggal tunggu pengungkapan kasus-kasus komisi – alias korupsi – yang lain. Berkat “kerjasama” dengan maskapai-maskapai Inggris itu, di samping sumber-sumber penghasilan haram mereka yang lain, keluarga besar Soeharto dapat memiliki sejumlah properti mewah di Inggris dan belasan negara lain.

Mari kita lihat parade rumah dan properti mewah keluarga Soeharto di Inggris saja. Probosutejo memiliki rumah mewah bernama Norfolk House di dekat lapangan tennis Wimbledon, Bambang Trihatmojo memiliki rumah mewah dekat stadion sepakbola Wimbley, sedangkan Tommy Suharto – melalui dua orang proxynya, Sudjaswin E. Lubis dan Syamsudin Mulahela – memiliki lapangan golf mewah di Ascott, dekat lapangan pacuan kuda kota London. Belum lagi apartemen Tutut di 16 Hyde Park Square, apartemen Titiek di 38 Upper Grosvenor Road  dekat Kedubes RI, keduanya di daerah Mayfair yang mewah di pusat kota London, serta dua rumah Sigit Harjojudanto dann isterinya di Winnington Road di daerah mewah Finchley (lihat Fluendy 1999; Aditjondro 2004: 94; Tempo, 30 Mei 1999, Rubrik Investigasi).

            Itu baru keluarga besar Soeharto sendiri. Di antara orang-orang kepercayaan Soeharto, yang boleh dikata termasuk anggota inti kelas komprador domestik, yang paling menonjol adalah keluarga B.J. Habibie, keluarga Ginanjar Kartasasmita, dan keluarga Bakrie Bersaudara. Keluarga Habibie punya belasan perusahaan yang berkongsi dengan bisnis keluarga Soeharto, yang pada gilirannya berkongsi dengan sejumlah perusahaan strategis yang dipimpin oleh B.J. Habibie (lihat Backman 1999: 255-60; Aditjondro 2003, Bagian II, hal. 81-142).

Sedangkan keluarga Ginanjar Kartasasmita juga sangat dominan dalam berbagai perusahaan yang mendapat keuntungan dari berbagai proyek raksasa, seperti proyek penyulingan minyak bumi untuk ekspor (Export Refinery Oil,  atau Exor I) di Balongan, Jawa Barat, yang diduga mengalami pengatrolan biaya (mark up) sebesar 800 juta dollar AS. Proyek itu juga melibatkan PT Catur Yasa, maskapai milik Agus Kartasasmita, adik Ginanjar (lihat Yuswanto 2003; Tempo, 16 November 1998. Rubrik Investigasi). Ginanjar sendiri juga diduga terlibat dalam pemberian berbagai kemudahan bagi tambang tembaga-emas-dan-perak PT Freeport Indonesia di Papua Barat (lihat Backman 1999: 303). Sementara seorang adik Ginanjar, Gunariyah Kartasasmita, menjadi salah seorang komisaris di PT Bukaka Teknik Utama, perusahaan keluarga Jusuf Kalla, yang kini Wakil Presiden RI (lihat Aditjondro 2004: 65).

            Selanjutnya, keluarga Bakrie juga punya peranan penting dalam mengembangkan kerajaan bisnis keluarga Soeharto, dan sekaligus keluarga Bakrie sendiri. Aburizal Bakrie, yang terkenal dengan panggilan Ical, bersama adik-adiknya ikut membesarkan bisnis pemasaran migas anak-anak Soeharto dan paman mereka, Sudwikatmono, yang berbasis di Hong Kong, kemudian menikmati monopoli perdagangan pipa baja tanpa sambungan buatan PT Krakatau Steel. Selanjutnya, kerajaan kelapa sawit keluarga Bakrie, yang bernaung di bawah PT Bakrie Sumatra Plantation, juga berkolusi dengan keluarga Soeharto melalui saham Bambang Trihatmodjo, sementara bank kelompok Bakrie, Bank Nusa, dikembangkan bekerjasama dengan Sudwikatmono (Aditjondro 1998: 119-21;  Laporan Investigasi Tempo, 16 November 1998).

***

            LALU, apa relevansi keterangan tentang kelas komprador domestik Orde Baru itu, dengan era pasca-Soeharto dan gurita mancanegara yang bergaya seolah-olah ikut prihatin dengan keterpurukan mayoritas rakyat kita? Ada dua. Pertama, sebagian tokoh komprador swasta dan komprador negara dari zaman Soeharto, kini masih tetap memegang posisi-posisi kunci dalam sistem politik dan ekonomi di Indonesia. Kedua, ketergantungan Indonesia kepada badan-badan pembangunan internasional di bawah payung PBB, maupun kepada modal asing murni, justru semakin kuat. Berikut ini kedua aspek itu akan diuraikan secara terinci.

            Pertama, sejumlah kroni Soeharto, tetap memegang posisi kunci dalam suprastruktur politik di Indonesia. Ambillah misalnya Ginanjar Kartasasmita. Sebagai pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan, secara tidak langsung, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Ginanjar masih tetap punya pengaruh politik yang sangat kuat. Apalagi seorang anaknya, Agus Gumiwang Kartasasmita, duduk di pengurus pusat Partai Golkar, yang kni diketuai oleh Wakil Presiden M. Jusuf Kalla. Pengaruh keluarga Kartasasmita di bidang ekonomi juga tidak kecil, mengingat adik Ginanjar, Gunariyah, adalah seorang komisaris dalam PT Bukaka Teknik Utama, holding company  kelompok Bukaka milik keluarga Kalla. Berarti, hubungan bisnis dan politik antara kedua keluarga ini – Kalla dan Kartasasmita – cukup kuat.

            Di samping Ginanjar Kartasasmita, Aburizal (“Ical”) Bakrie juga memegang posisi kunci dalam kabinet SBY-MJK, sebagai Menteri Koordinator bidang Perekonomian. Di luar kabinet, bekas ketua umum KADIN Indonesia itu punya pengaruh di kalangan sebagian anggota DPD, dan juga di masyarakat luas melalui think tank nya, yakni Freedom Institute. Lembaga riset ekonomi dan politik yang didirikan dan dibiayai oleh Ical, yang berkantor di Jalan Irian No. 8, Menteng, Jakarta Pusat, dipimpin oleh Rizal Mallarangeng, seorang pakar ekonomi lulusan AS. Kakak kandung Rizal, Andi Alfian Mallarangeng, yang lebih dikenal sebagai Andi Mallarangeng, adalah salah seorang jurubicara kepresidenan (Pilars, 7-13 Maret 2005: 17-8). Jadi, mirip kekuasaa kedua bersaudara Jusuf dan Sofyan Wanandi dalam dasawarsa pertama kediktatoran Soeharto, kedua bersaudara Mallarangeng ini menduduki posisi-posisi kunci yang sangat dekat dengan pusat kekuasaan RI.

            Besarnya peranan kelas komprador domestik ini dalam memantapkan strategi ekonomi yang berideologi neo-liberal itu sudah tampak. Di saat keputusan untuk menaikkan harga BBM sedang melanda masyarakat, sebuah iklan pseudo-ilmiah yang disponsori oleh Freedom Institute di harian Kompas, edisi hari Sabtu, 26 Februari lalu. Iklan berjudul “Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM?”, ditandatangani oleh 36 orang cendekiawan dan tokoh agama, yang meminjamkan kepakaran dan integritas mereka untuk memberikan legitimasi pada keputusan itu. Hampir sepekan lamanya, iklan itu memancing polemik pro- dan kontra- di rubric Opini Kompas, serta diskusi terbuka soal neo-liberalisme dan pelacuran intelektual (lihat Tejamulya 2005).

            Memang itulah garis ekonomi politik yang didukung oleh rezim sekarang. Sesungguhnya, rezim SBY-MJK telah menyempurnakan garis kebijakan ekonomi IMF yang sudah didiktekan ke pemerintah Indonesia sejak krisis moneter 1996. Dengan demikian, sulit kita harapkan bahwa dampak negatif di bidang sosial dan ekonomi, yang menyertai mega-proyek yang sedang dan akan dibangun oleh rezim ini, serta arus balik kekayaan dari akar rumput ke para “pangeran kemiskinan” yang berbasis di negeri-negeri industri maju, lewat perantaraan kelas komprador domestik kita, akan mengalami perubahan yang drastis. Bahkan sebaliknya, akan semakin diperkuat.

            Cobalah kita lihat apa yang sedang terjadi di daerah yang baru saja dilanda tsunami, Aceh dan Pulau Nias. Belum lagi kering airmata penduduk kedua daerah itu, maskapai-maskapai domestik sudah bermunculan untuk merebut kue rekonstruksi daerah bencana itu. Konglomerat yang paling dulu cepat bergerak menawarkan jasa perencanaan tata ruang dan sekaligus konstruksi, adalah Kelompok Artha Graha, berlindung di balik spanduk-spanduk Yayasan Artha Graha. Spanduk-spanduk yayasan itu tampak hampir merata di semua kecamatan di tujuh kabupaten yang paling parah dilanda gempa dan tsunami. Sampai bulan Maret 2005, posko Artha Graha ini juga yang paling ramai dikunjungi orang, karena mereka sering mendatangkan artis-artis terkenal dari Jakarta.

Kelompok ini sebagian milik sebuah yayasan militer, yakni Yayasan Kartika Eka Paksi. Yayasan terbesar milik TNI/Angkatan Darat ini memiliki 20% saham Bank Artha Graha. Konglomerat ini sudah masuk ke Aceh untuk mengidentifikasi perbagai peluang bisnisnya melalui Satuan Tugas Artha Graha Peduli Aceh, segera setelah gelombang tsunami menghantam Aceh dan Nias, 26 Desember lalu.

Tidak lama kemudian, konglomerat yang dipimpin oleh pengusaha muda, Tomy Winata, sudah siap untuk menawarkan cetak biru buat rekonstruksi kota Meulaboh dan hinterland nya di Kabupaten Aceh Barat. Namun setelah berita ini dilansir oleh berapa media cetak, a.l. Koran Tempo, 28 Januari 2005, kelompok Artha Graha menyatakan mereka akan mengundurkan diri dari Meulaboh (lihat Tempo,  13 Februari 20005: 108-12). Namun dari pengamatan sumber-sumber penulis di Medan dan Aceh, kelompok Artha Graha masih cukup menonjol kehadirannya di Aceh, dan peluang-peluang bisnis infrastruktur masih sangat terbuka bagi mereka.

Strategi pendekatan Artha Graha ke Aceh dan Nias memang sangat unik. Yang langsung memimpin Satuan Tugas Artha Graha Peduli Aceh adalah Kiki Syahnakri. Jenderal purnawirawan itu sehari-hari adalah komisaris Bank Artha Graha, mewakili Yayasan Kartika Eka Paksi. Kedudukannya di Dewan Komisaris bank yang menjadi sumber dana banyak kegiatan anak-anak perusahaan Artha Graha Group itu, berdasarkan surat pengangkatan KSAD. Dengan demikian, tidak mustahil bahwa pendekatannya ke Aceh Besar melibatkan perwira-perwira TNI/AD yang sedang bertugas di Aceh, pasca tsunami. Termasuk Komandan Korem Liliwangsa, Kol. (Inf.) Geerhan Lantara, seorang veteran perang di Timor Leste, seperti halnya Kiki Syahnakri sendiri.

Dengan banyaknya tentara yang bertugas di Aceh, pasca tsunami, boleh dikata pekerjaan land clearing sudah dilakukan oleh tentara – dengan dibayar dari uang rakyat Indonesia – bagi proyek-proyek yang bakal dibangun oleh kelompok Artha Graha. Penyebaran tentara ke nyaris seluruh daratan Aceh, pasca tsunami, juga merupakan pencegah (deterrent ) bagi rakyat Aceh yang bermaksud menolak modus operandi  bisnis militer di bawah payung Artha Graha.

Hubungan Tomy Winata sebagai boss  Artha Graha ke tentara sekaligus melicinkan jalan baginya untuk mendapatkan dukungan Presiden SBY. Soalnya, selain Kiki Syahnakri, ada seorang mantan jenderal yang lebih dekat lagi ke Tomy Winata, dan sekaligus dekat ke SBY. Itulah Letjen (Purn.) T.B. Silalahi, yang di kalangan bisnis dianggap sebagai “bapak angkat” Tomy Winata, dan sehari-hari memimpin bagian Pengembangan Masyarakat Kelompok Artha Graha. Ia berkantor di Lantai V Gedung Artha Graha. Jenderal yang berdarah Batak ini, di masa kampanye kepresidenan SBY menjadi ujung tombak kampanye SBY di Sumatera Utara, di mana ditengarai ia memberikan sumbangan satu milyar rupiah kepada Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), gereja Protestan terbesar di provinsi itu, bahkan di Indonesia dan Asia Tenggara. Setelah berhasil merebut kursi kepresidenan, TB Silalahi tetap menjadi orang kepercayaan sang presiden. Sehingga untuk memantau penanganan kegiatan pasca tsunami di Nias, TB Silalahi-lah yang dipercayai sebagai utusan khusus sang presiden.  

Sesungguhnya, sejumlah konglomerat lain juga telah bermunculan di Aceh, berawal dari kepedulian sosial yang dibungkus baju yayasan atau organisasi sosial lain. Misalnya kelompok Astra (yang memberikan bantuan paling besar, yakni Rp 39,3 milyar) dan kelompok Bakrie (yang memberikan bantuan Rp 10 milyar). Kedua perusahaan ini berkepentingan untuk membantu rakyat Aceh, karena memiliki usaha perkebunan kelapa sawit di Aceh. Kelompok Bakrie, melalui PT Bakrie Sumatra Plantations yang beroperasi di Aceh Timur. Sementara kelompok Astra, melalui PT Astra Agro Lestari, sejak 1994 beroperasi di Aceh Barat dan Singkil melalui PT Karya Tanah Subur dan PT PT Perkebunan Lembah Bhakti (Prospektif, 10-16 Januari 2005: 17).

Sejumlah pengusaha keturunan Tionghoa yang beragama Buddha, menyalurkan bantuan mereka melalui badan atau organisasi keagamaan yang lain. Kelompok CCM menyalurkannya melalui WALUBI, wadah persatuan umat Buddha Indonesia yang direstui oleh pemerintah. Kebetulan, ketua Walubi, Siti Hartati Murdaya adalah juga pimpinan kelompok CCM. Lalu, Yayasan Tzu Chi Indonesia, yang berasal dari Taiwan, yang menyalurkan bantuan dari beberapa kelompok bisnis ke Aceh. Misalnya, bantuan Rp 1 milyar dari PT Indofood Sukses Makmur Tbk, bantuan dana dan relawan tenaga medis dari kelompok Gajah Tunggal, serta sejumlah posko bantuan dari kelompok Artha Graha (Prospektif, 10-16 Januari 2005: 9, 15, 32-3).

Maklumlah, kegiatan sosial lembaga ini didukung oleh sejumlah pengusaha keturunan Tionghoa yang sudah sukses berbisnis di Indonesia. Antara lain, Eka Tjipta Widjaja (kelompok Sinar Mas) dan Sugianto Kusuma (kelompok Artha Graha) dari generasi tua sampai dengan Franky Widjaja (Sinar Mas) dan Tomy Winata (Artha Graha) dari generasi muda (Prospektif, 14-20 Februari 2005: 9-31). Berkat sumbangan para pengusaha anggota dan simpatisan, Tzu Chi telah memberikan bantuan beras sebanyak 30 ribu ton selama setahun untuk seluruh Aceh, serta membangun 3.700 rumah tenda, yakni 1.200 buah untuk Meulaboh dan 2.500 buah untuk Banda Aceh. Menurut rencana, Tzu Chi juga akan membangun 3000 rumah permanen, 2000 buah untuk di Banda Aceh dan 1000 buah di Meulaboh. Sedangkan untuk pengungsi Aceh yang akan pulang dari Medan dan Jakarta, akan dibantu dengan dana antara Rp 300 ribu s/d Rp 500 ribu. Begitu menurut keterangan Sugianto Kusuma, Wakil Ketua Umum Yayasan Tzu Chi Indonesia, yang juga salah seorang komisaris kelompok Artha Graha (Prospektif , 14-20 Februari 2005: 26-7).  

Sementara itu, kegiatan-kegiatan assessment  kerusakan dan survei-survei resminya dilakukan oleh badan-badan usaha milik negara (BUMN) di bawah Departemen Kimpraswil. Walaupun perusahaan-perusahaan berbuntut “Karya” itu secara fisik sangat menonjol kehadirannya di Bumi Rencong, dalam prakteknya kegiatan-kegiatan itu dilakukan oleh sebagian dari perusahaan swasta yang sudah tersebut di atas. Begitu ditengarai oleh sumber-sumber penulis di Aceh dan Medan.



Tabel 1: Bantuan Kemanusiaan untuk Aceh dari Beberapa Perusahaan Swasta
No      Nama Perusahaan                           Jumlah Bantuan
                                                                                    (milyar rupiah)
01.       Kelompok Media Indonesia                     
            (lewat program ‘Indonesia
            Menangis’ di MetroTV)                  99,6
02.       Kelompok Astra                                            39,3
03.       Kelompok Artha Graha                     20
04.       Kelompok Bakrie                                           10
05.       PT Medco Energy International      10
06.       PT Freeport Indonesia                                    5
07.       Newmont Mining Corporation        5
08.       PT Indofood Sukses Makmur           4,7
09.       PT Samsung Elektronik Indonesia              3
10.       Probosutejo (melalui Hotel
            Le Meredien & Kel. Kedaung,
lewat MetroTV)                                              3
11.       PT Indomobil Sukses                                    2,5
12.       PT HM Sampoerna                            2
13.       PT Manulife Indonesia                                 1,6
14.       Kelompok Hitachi Machinery        1,4
15.       PT Indocement Tunggal Perkasa    1
16.       Kel. Gajah Tunggal                             1
17.       PT Panasonic Gobel (melalui
MetroTV dan Kadin Indonesia)       1                  
18.       Bintang Toedjoe (produsen
            Extra Joss)                                                      1
Sumber: Prospektif, 10-16 Januari 2005.





Tabel 2: Bantuan Kemanusiaan untuk Aceh dari BUMN
No.     Nama Perusahaan                                       Jumlah Bantuan
                                                                                                (milyar rupiah)
1.         Posko BUMN Peduli                                               73
2.         Pertamina                                                                 15
3.         Bank Mandiri                                                           6,6
4.         PT Tambang Batubara Bukit Asam          1,150
5.         Jamsostek                                                                  1
6.         PT Telkom                                                                 1
Sumber: idem.


Namun masih banyak kegiatan rekonstruksi infrastruktur besar yang jatuh ke perusahaan lain. Misalnya, pembangunan pelabuhan di Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, yang jatuh ke tangan kelompok Bukaka, milik keluarga Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sedangkan pembangunan bandar-bandar udara di Aceh jatuh ke tangan maskapai asing yang sudah membangun beberapa bandara di Indonesia, yakni Schiphol Airport. TNC (transnational corporation ) dari Belanda ini diserahi membangun bandara Meulaboh, setelah sukses membangun bandara Manado dan Ambon, dua bandara provinsi termegah setelah Batam.

Kendati tidak terekspos oleh media nasional, ada satu maskapai transnasional dari Belanda, yang berusaha mendapatkan konsesi tambang emas untuk hasil eksplorasi mereka di Blang Pidie. Daerah itu sebelumnya merupakan basis gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), namun sekarang sudah dikategorikan sebagai “daerah putih”, alias sudah dikuasai sepenuhnya oleh TNI. Untuk memastikan bahwa perusahaan Belanda itu akan mendapat konsesi tambang itu, perusahaan itu sampai me lobby Presiden AS George Walker Bush, Jr. untuk mau memperjuangkannya ke Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.

Anehnya, yang kurang terdengar, atau mungkin luput dari telinga penulis, adalah peranan yang dimainkan oleh para pengusaha asal Aceh, selain Surya Paloh, dalam tahap-tahap rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Mana peranan kedua Ibrahim asal Aceh yang terkenal, Ibrahim Risyad dan Ibrahim Hasan? Mana Ibrahim Risyad, salah seorang dari “empat serangkai” (gang of four ) pendiri dan pemilik kelompok Salim, yang kemudian membeli saham perusahaan perkebunan raksasa, PT London Sumatera? Mana Ibrahim Hasan, teknokrat pendiri Aceh Development Board (ADB) yang menjadi cikal bakal BAPPENAS, dan kemudian mendirikan konglomeratnya sendiri, yakni Hasfarm Group? Mana Bustanil Arifin, kroni Soeharto yang setia, yang ikut merampok hasil sitaan milik dua orang pengusaha Aceh kroni Soekarno, Aslam dan Karkam, yang kemudian dikonsolidasi di bawah payung PT Berdikari? Apa yang telah mereka sumbangkan untuk meringankan penderitaan saudara-saudara mereka di Aceh? Bukan hanya sumbangan dana, bahan pangan, dan obat-obatan, tapi juga sumbangan pemikiran sehingga arah pembangunan kembali Aceh tidak sekedar mengikuti kemauan Paman Sam dan Paman-Paman berkulit putih dan kuning?

            Kembali ke Artha Graha, kalau di Aceh perusahaan hasil kolusi antara militer dan pengusaha penjaja kenikmatan ini masih menemui banyak saingan dari fihak swasta lain, lain halnya dengan di Nias. Di pulau sebelah barat daratan Sumatra Utara itu, bendera Artha Graha adalah satu-satunya bendera perusahaan swasta domestik yang berkibar. Ini semua setelah kunjungan-kunjungan Letjen (Purn) T.B. Silalahi, Tomy Winata, dan tak kurang dari Presiden SBY sendiri. Hari Rabu, 12 Januari lalu, sebelum terbang ke Pulau Nias untuk mengunjungi para pengungsi korban tsunami, sang presiden menginap di Wisma Opung Herti, hotel milik T.B. Silalahi, yang lebih banyak dipakai untuk keluarga Silalahi sendiri, di luar kota Balige. ‘Kebetulan’, Tomy Winata juga hadir di wisma itu, bersama T.B. Silalahi, dan dua orang wakil dari tiga pengusaha keturunan Tionghoa yang paling top di kota Medan.  
           
            Saat ini, rekonstruksi bangunan dan infrastruktur di Pulau Nias, praktis dijalankan lewat empat jalur. Jalur paling kuat adalah Artha Graha dan anak-anak perusahaannya, yang bekerjasama dengan militer. Jalur kedua adalah BUMN-BUMN yang bekerjasama dengan ornop-ornop internasional. Jalur ketiga adalah perusahaan-perusahaan yang didukung oleh oknum-oknum pemerintah daerah. Sedangkan jalur keempat adalah oknum-oknum militer yang berbisnis sendiri, seperti menjual besi-besi bekas rumah-rumah dan kantor-kantor yang hancur karena gempa.

            Sejak Sabtu, 2 Mei lalu, semua kesemrawutan rekonstruksi pasca-tsunami dan gempa di Aceh dan Nias, akan diatasi dengan mengelolanya di bawah satu lembaga. Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias itu lebih populer di lidah masyarakat awam dengan singkatan “BRR”, Lembaga itu dikepalai oleh Koentoro Mangkusubroto (58 tahun), yang oleh Presiden SBY dalam upacara pelantikannya dianggap sebagai seseorang yang punya integritas tinggi (Tempo, 8 Mei 2005: 20).

            Sukses Koentoro membenahi usaha-usaha rekonstruksi Aceh dan Nias, masih harus dipertanyakan. Pengalamannya terutama di bidang pertambangan, karena ia pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT Tambang Batubara Bukit Asam, lalu tahun 1991 diangkat menjadi Dirut PT Timah, lalu sejak 1994 diangkat menjadi Dirjen Pertambangan Umum (Panji Masyarakat, 14 Oktober 1998: 20-1). Menyadari hal itu, dan juga besarnya minat maskapai-maskapai tambang domestik dan asing – Freeport, Newmont, Medco, Pertamina dan Tambang Batubara Bukit Asam  -- membantu rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, justru kemungkinan bias  Koentoro Mangkudibroto harus dipertanyakan. Apalagi kalau perjuangan maskapai transnasional Belanda yang ingin mendapatkan konsesi pertambangan emas di daerah Krueng Pidie, dengan meminta bantuan  lobbying  oleh Presiden AS, George M. Bush, Jr., menjadi kenyataan.

            Bantuan pemerintah AS, memang ada juga yang merupakan selubung dari kepentingan bisnis AS. Misalnya, pemantauan sumber-sumber daya alam di daratan dan perairan Aceh dan Nias, lewat pengindraan satelit. Hal ini yang diduga oleh seorang narasumber di Sumatra Utara, yang mempertanyakan fungsi alat-alat komunikasi satelit di atas kapal rumah sakit terapung milik Angkatan Laut AS, yang berlabuh di lepas pantai Nias.

Tentu saja,  bukan itu saja kepentingan AS di ujung Barat Nusantara ini. Pengamanan jalur tanker melintasi Selat Malaka, merupakan salah satu kepentingan yang utama. Juga, pengamanan produksi minyak dan gas bumi, yang saat ini sudah dimonopoli oleh maskapai migas AS, ExxonMobil. Sehingga boleh jadi, AS dan sekutu-sekutunya akan berusaha menjadikan Aceh sebagai daerah alternatif penghasil produk-produk petrokimia. Ini tentunya menghadapi kemungkinan, apabila ekspansi industri petrokimia di Singapura sudah menabrak tembok pengadaan lahan di republik pulau itu, serta di Johor, negara bagian Malaysia yang terdekat. Sebab segitiga SIJORI (Singapura, Johor, Riau), sudah lebih dikuasai oleh ChevronTexaco dan ConocoPhillips, dua raksasa migas AS yang merupakan pesaing ExxonMobil, dan pelengkap kepentingan swasembada bahan bakar fosil Amerika Serikat.

Sementara itu, bagaimana dengan kepentingan, kesejahteraan, dan hak-hak rakyat Aceh sendiri? Dengan munculnya suatu piramida atau stratifikasi ekonomi, dengan kepentingan maskapai-maskapai pertambangan asing di puncak piramida, kepentingan maskapai-maskapai asing lainnya di lapis kedua, kepentingan maskapai-maskapai domestik nasional, termasuk kepentingan pengusaha asal Aceh yang sudah berkiprah di lapis berikutnya, selanjutnya kepentingan pengusaha-pengusaha Aceh dalam kategori UKM (usaha kecil menengah), maka kepentingan rakyat Aceh di akar rumput dengan mudah dapat dikorbankan. Terutama mereka yang terancam akan kehilangan pengakuan hak atas tanah mereka, akibat hancur atau hilangnya surat-surat tanah mereka oleh tsunami yang lalu.

Selain itu, rakyat Aceh di gampong-gampong , yang biasa berdiskusi di meunasah-meunasah, selepas sholat Jumat atau sholat magrib, juga harus bersiap-siap menghadapi gelombang tsunami baru, yang tidak kalah dahsyatnya dengan tsunami 26 Desember lalu. Yakni, arus ekonomi, sosial, dan budaya yang baru, yang akan menggulung-gulung membanjiri Serambi Mekkah, bersama para investor yang kepentingannya akan dibela mati-matian oleh aparat bersenjata Indonesia, yang sebentar lagi akan kembali dipersenjatai dan dilatih oleh tentara dan industri-perang AS, setelah rehabilitasi kerjasama militer Indonesia dan AS, pasca pertemuan antara SBY dan George W. Bush, Jr, di Gedung Putih, Rabu sore, 25 Mei lalu.
***

            KEMBALI ke topik buku Hancock, yang menyoroti ironi bagaimana “dewa-dewa kemiskinan” menjadi kaya raya atas nama kemiskinan penduduk Dunia Ketiga, besar kemungkinan Aceh akan kembali mempertontonkan ironi itu. Sederetan lembaga PBB dan organisasi kemanusiaan internasional, dengan ratusan konsultan mereka, kini berhamburan ke Aceh, menikmati gaji tinggi dan fasilitas mereka yang begitu mewah, di atas penderitaan rakyat Aceh.

Suasana serupa penulis saksikan di Timor Leste, setelah tentara PBB di bawah komando seorang jenderal dari Australia, berhasil mengusir tentara Indonesia dari tanah jajahannya itu. Namun setelah itu, bahkan tukang kayu dan tukang batu pun didatangkan oleh perusahaan-perusahaan Australia, yang mendapat kontrak untuk rekonstruksi Timor Leste. Sementara lowongan pekerjaan yang tersisa buat orang Timor asli sendiri, tinggal menjadi satpam, sopir, dan yang sedikit lebih tinggi pendidikannya, penterjemah. Apakah itu yang akan – atau sedang – dialami oleh orang Aceh saat ini?

Semoga tidak. Semoga saja, para perencana dan pelaksana pembangunan di daerah-daerah di Nusantara, yang telah atau masih mengalami masa pasca konflik dan pasca-bencana, dapat belajar dari kisah-kisah sedih yang dibeberkan Hancock di buku ini. Namun manusia memang mahluk yang istimewa. Saking istimewanya, mereka seringkali lebih bodoh dari keledai, karena sering terantuk pada batu yang sama.
           
Yogyakarta, 5 Juli  2005.

Kepustakaan:
Aditjondro, George Junus (1998). Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Rezim Orde Baru. Jakarta: MIK & Pijar Indonesia.
--------------- (2000). Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat).
--------------- (2002). “Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru.” Dalam Hamid Basyaib, Richard Holloway dan Nono Anwar Makarim (peny.). Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Jakarta: Aksara Foundation, hal. 1-56.
---------------(2003). “Pilar-Pilar Kelas Komprador Domestik Yang Bertahan di Senayan”. Kata Pengantar dalam Agung Yuswanto, Di Balik Jejak Skandal Balongan. Jakarta: CeDSoS (Center for Democracy and Social Justice Studies, hal. vii-xiii.
--------------(2004). Membedah Kembar Siam Penguasa Politik & Ekonomi Indonesia: Metodologi Investigasi Korupsi Sistemik Bagi Aktivis dan Wartawan. Jakarta: Lembaga Studi Pers & Pembangunan (LSPP).
Backman, Michael (1999). Asian Eclipse: Exposing the Dark Side of Business in Asia. Singapore: John Wiley & Sons. Khususnya Bab 13: ‘President of the Country; Chairman of the Board’, Bab 14: ‘President Soeharto and the Fortune 500’, hal. 255-99.
Fanon, Frantz (1971). The Wretched of the Earth. Middlesex, U.K.: Penguin Books. Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Perancis tahun 1961. Khususnya Bab 3: ‘Pitfalls of National Consciousness’.
Fluendy, Simon (1999). “Cut ties with Suharto Inc.” Financial Mail on Sunday, 12 September.
Florini, Ann M. (peny.) (2000). The Third Force: The Rise of Transnational Civil Society. Tokyo & Washington, DC: Japan Center for International Exchange (JCIE) & Carnegie Endowment for International Peace.
Fuentes, Marta & Andre Gunder Frank (1989). “Ten Theses on Social Movements.” World Development, Vol. 17, No. 2, hal. 179-91.
Glazebrook, Diane (2001). Dwelling in  Exile, Perceiving Return: West Papuan Refugees from Irian Jaya living at East Awin in Western Province, Papua New Guinea. Tesis Ph.D. pada Australian National University, Canberra.
Hiscock, Geoff (1997). Asia’s Wealth Club: Who’s really who in business – the top 100 billionaires in Asia. London: Allen & Unwin. Bab 10: ‘First Family’s Fortune: the Suharto Children’, hal. 114-26.
Khagram, Sanjeev (2000). “Toward Democratic Governance for Sustainable Development: Transnational Civil Society Organizing Around Big Dams,” dalam Florini (peny.). op. cit., hal. 83-114.
Tejamulya, A. Bakti (2005). “Neoliberalisme Dalam Sebuah Iklan,” Pilars,  7-13 Maret 2005: 14-6.
Yuswanto, Agung (2003). Di Balik Jejak Skandal Balongan. Jakarta: CeDSoS (Center for Democracy and Social Justice Studies).





Curriculum Vitae
George Junus Aditjondro

Tempat & tgl lahir: Pekalongan, 27 Mei 1946.
Pendidikan:
  1. 1991: Master of Science, Cornell University, Ithaca, N.Y., dengan tesis tentang proses belajar tentang pengembangan masyarakat di antara pimpinan dan staf sebuah ornop, Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja).
  2. 20 Januari 1993: Philosophical Doctor (Ph.D.), Cornell University, Ithaca, N.Y., dengan tesis tentang proses pendidikan publik tentang dampak pembangunan bendungan Kedungombo di Jawa Tengah.
Pekerjaan:
  1. 1971-1979: Jurnalis, a.l. Majalah TEMPO.
  2. 1981-1989: Pekerja Pengembangan Masyarakat, a.l. Sekretariat Bina Desa (Jakarta), WALHI, dan Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja).
  3. 1989-2002: Dosen di Program Pasca-sarjana Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Murdoch University (Perth, Australia Barat, Australia), dan University of Newcastle (Newcastle, NSW, Australia).
  4. Sejak November 2002: Konsultan Penelitian & Penerbitan Yayasan Tanah Merdeka, Palu.

Karya Tulis:
Puluhan artikel, buku, bab, kata pengantar, prolog dan epilog tentang Timor Leste, Papua, Maluku, Sulawesi Tengah, Aceh, berbagai kelompok etno-linguistik di Sulawesi dan Kalimantan, lingkungan hidup, serta korupsi sistemik mantan Presiden Soeharto, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Segera terbit: Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Koalisi Duit di Seputar Istana, Tangsi dan Partai Penguasa, oleh Lembaga Kebajikan Islam dan Sosial (LKiS), Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar