Sabtu, 30 Juli 2011

KESEHATAN, DEMOKRASI & HAK-HAK EKOSOSBUD: BELAJAR DARI RINTISAN DOKTER ”CHE”

George Junus Aditjondro


If we’re going to have a successful democratic society,
we have to have a well educated and healthy citizenry
Thomas Jefferson

A few months ago, here in Havana,
it happened that a group of newly graduated doctors
did not want to go into the country’s rural areas
 and demanded remuneration before they would agree to go ...

But what would have happened if instead of these boys,
whose families generally were able to pay for their years of study,
others of less fortunate means had just finished their schooling
and were beginning the exercise of their profession?
What would have occurred if two or three hundred campesinos
had emerged, let us say by magic, from the university halls?

What would have happend, simply, is that the campesionos would have run, immediately and with unreserved enthusiasm, to help their brothers ...
What would have happend is what will happen in six of seven years, when the new students, childre of workers and campesinos, receive professional degrees of all kinds
If we medical workers – and permit me to use once again a title which I had forgotten some time ago – are successful, if we use this new weapon of solidarity ....
Che Guevara, On Revolutionary Medicine,
Havana, 19 Agustus 1960 (dalam Brouwer 2009)




PENGANTAR:
Apa hubungan antara kesehatan dengan demokrasi dan penegakan hak-hak ekososbud (ekonomi, sosial, dan budaya)?  Sedikitnya, ada empat  prinsip yang dapat ditarik dari relasi di antara ketiga hal itu.

Pertama, menurut Thomas Jefferson, penulis Deklarasi Kemerdekaan AS, ”masyarakat yang demokratis memerlukan masyarakat yang sehat dan terdidik” (www.righttohealthcare.org/Democracy.htm, diakses 3 Mei 2009). Dengan demikian, urusan kesehatan bukan hanya urusan praktisi kesehatan (dokter, paramedis, laboran, apoteker), tapi urusan semua penentu alokasi anggaran maupun tunjangan kesehatan.

Kedua, makin tinggi perhatian Negara serta segenap penyedia lapangan kerja bagi kesehatan para warga, pegawai, serdadu, polisi, dan buruh, hak-hak ekososbud para insan itu, khususnya Pasal 11, akan makin terpenuhi.

Ketiga, sejak diratifikasi melalui UU No. 11/2005, pemerintah dan rakyat  Indonesia wajib mengusahakan segala cara agar hak-hak ekososbud yang digariskan dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekososbud 1966  dapat diwujudkan.

Keempat, makin demokratis sebuah Negara, makin besar kemungkinan Negara itu memperhatikan kesehatan warganya, sebagai perwujudan dari hak-hak ekososbud warganya.

DEMOKRASI a la AS, ATAU DEMOKRASI a la KUBA?
          Pertanyaannya sekarang: demokrasi macam mana yang paling menjamin tingginya peningkatan kesehatan masyarakat sebuah negara? Demokrasi liberal a la AS, yang sering dijadikan model bagi Indonesia? Ataukah demokrasi sentralistis  a la Kuba, negara miskin yang sudah 40 tahun dihantam embargo perdagangan AS, kemudian kehilangan bantuan Uni Soviet setelah negara itu bubar?

Berbagai indikator kesehatan di Kuba, sama atau lebih tinggi dari AS. Harapan hidup di Kuba rata-rata 77 tahun, hanya setahun lebih rendah dari harapan hidup orang AS. Tahun 2007, angka kematian bayi di Kuba 5,3  per seribu kelahiran, lebih rendah dari angka kematian bayi di AS yang 6,37 per seribu kelahiran. Ada 6,5 orang dokter per seribu orang penduduk di Kuba, dibandingkan dengan 2,4 orang dokter per seribu orang penduduk di AS. Digambarkan dengan cara lain, di Kuba tersedia seorang dokter bagi 155 orang penduduk, sedangkan di AS, tersedia seorang dokter bagi 417 orang penduduk (Hughes 2007; Brouwer 2009).

Hebatnya lagi, tingkat kesehatan masyarakat begitu tinggi di Kuba, dicapai dengan pelayanan kesehatan (health care) yang hanya 250 dollar AS per kapita, dibandingkan dengan 6000 dollar per kapita di AS, dan sekitar 3000 dollar per kapita di kebanyakan  negara kaya (Hughes 2007).

Ironisnya, ketika topan Katrina memporakporandakan sejumlah negara bagian AS, dokter-dokter Kuba spontan datang membantu korban-korban topan itu. Walaupun rezim George Bush masih mempertahankan embargo ekonomi terhadap Kuba, mereka diminta memperpanjang masa pengabdiannya di AS. Padahal, Kuba sendiri belum lama sebelumnya dihantam topan yang menghancurkan ½ juta rumah dan jaringan listrik, namun hanya tujuh orang dari 10 juta penduduk yang meninggal. Bukti kecanggihan Kuba dalam siaga bencana menghadapi topan di seputar Laut Karibia sudah juga dibuktikan brigade-brigade medis Kuba, waktu topan George dan Mitch menghantam Haiti, Honduras, dan Guatemala (Brouwer 2009; www.oxfamblogs.org/fp2/?p=102, diakses 3 Mei 2009).

Dari fakta-fakta di atas ternyata kita perlu sedikit hati-hati dengan label ”demokrasi”, apalagi kalau suatu rezim hanya disebut ”demokratis” apabila secara periodik menyelenggarakan pemilu multi-partai, seperti Indonesia pasca-Soeharto. Sebab ”pemerintahan oleh rakyat”, sebagaimana makna demokrasi menurut bahasa Yunani, yakni demos = rakyat, dan kratos = memerintah (Elliott 1969: 120), tidak otomatis berarti, seluruh rakyat ikut memerintah.

Demokrasi dengan sistem multi-partai yang bergantian memerintah, sering dikuasai partai-partai besar yang elitnya berasal dari lapisan atas, sehingga pemerintah pada hakekatnya hanya mewakili kepentingan kelas atas. Makanya demokrasi liberal sering juga disebut ”demokrasi borjuis”. Demokrasi ini, seperti kata Marx, ”berakhir di gerbang pabrik” (Giddens 1993: 499). Sebab buruh, sebagai warganegara, boleh memilih partai yang akan menguasai Negara, tapi begitu masuk kerja di pabrik, buruh harus tunduk kepada manajemen, yang mewakili kepentingan pemilik pabrik.

Sebagai anti-tesis dari demokrasi liberal atau demokrasi borjuis, kebanyakan rezim sosialis hanya mengizinkan kehadiran satu partai saja.
Kebebasan berpendapat dan berserikat tetap boleh diwujudkan, tapi di bawah payung partai tunggal itu, di mana kepentingan berbagai segmen masyarakat – seperti buruh, tani, nelayan, pedagang kecil  – tetap terwakili. Begitu pula kelompok-kelompok minoritas etno- rasial. Makanya, demokrasi dengan sistem partai tunggal disebut ”demokrasi sosialis” atau ”sentralisme demokratis” (Wilczynski 1981: 139-40).

Di Kuba, misalnya, berbagai ormas seperti Central de Trabajadores de Cuba (CTC, konfederasi buruh Kuba), Federacion de Mujeres Cubanas (FMC, federasi perempuan Kuba), serta Associacion Nacional de Agricultores Pequenos (ANAP, himpunan nasional petani kecil), berjuang untuk menghapus diskriminasi terhadap penduduk keturunan Afrika (Serviat 1993: 89).

Penghapusan diskriminasi rasial disusul dengan penghapusan diskriminasi gender. Federasi Perempuan Kuba, misalnya, berhasil mendesak parlemen Kuba mengeluarkan UU Keluarga (Family Code) pada Hari Perempuan Sedunia, 8 Maret  1973, yang menghapus ”beban ganda” perempuan yang menikah atau hidup bersama seorang laki-laki. Kalau sebelumnya perempuan yang bekerja di pabrik atau kantor, sepulang ke rumah tetap harus bekerja melayani pasangannya, Family Code  1973 menentukan bahwa semua pekerjaan domestik harus dibagi secara adil antara laki-laki dan perempuan (Wald 1978: 29, 36, 254-7).

BERKAT  KEPELOPORAN DOKTER ”Che”:
Kendati demikian, tingkat kesehatan Kuba tidak akan setinggi itu, seandainya seorang dokter tidak ikut memimpin Revolusi 1959, untuk mengubah  Kuba dari negara kapitalis yang rasis, yang dibangun dari produsen tebu yang mengandalkan buruh keturunan budak dari Afrika, menjadi sebuah negara sosialis. Orang itu adalah Che Guevara.

Ernesto Guevara de la Serna, yang lebih populer dengan panggilan ”Che”, lebih dikenal sebagai gerilyawan yang gugur di tangan serdadu Bolivia atas perintah Presiden AS, Lyndon B. Johnson, 9 Oktober 1967 (Ruiz 2004: 182). Namun orang sering lupa bahwa ia seorang dokter. Lahir di Rosario, Argentina, 14 Juni 1928, dari ayah keturunan Irlandia dan ibu keturunan Spanyol, pada masa kanak-kanak, ia terserang asma bronkitis. Barangkali, pengalaman pribadi bergumul dengan asma sampai dewasa, mendorong ia masuk FK Universitas Buenos Aires, jurusan dokter anak (pediatrician) dengan spesialisasi soal alergi (Nakata 2008).  

Sebelum lulus, ia mengajak kawannya, Alberto Granados, ahli farmasi dan bio-kimia, berboncengan motor keliling Argentina, Chile, Peru, Kolombia, dan Venezuela. Di masa itulah ia berkenalan dengan penduduk asli Peru keturunan bangsa Inca, dan marah melihat mereka diperlakukan dengan kejam oleh investor asing. Ia juga marah melihat perlakuan terhadap para penderita di koloni lepra San Pablo (Peru) di tepi Sungai Amazon, sebelum kembali ke Buenos Aires untuk menyelesaikan kuliahnya (Ruiz 2004: 177-8; Guevara 2005: 13).

Setelah lulus, ia pindah ke Guatemala, mendukung perjuangan petani bangsa Maya merebut ribuan hektar tanah mereka yang dikuasai United Fruit Company (UFCo), yang berbasis di Boston, AS. Perjuangan reforma agraria yang didukung Presiden terpilih, Jacobo Arbenz Guzman, membangkitkan amarah John Foster Dulles, pemegang saham dan pengacara perkebunan pisang itu yang juga Menlu AS. Bersama saudara kandungnya, Allen Dulles, Kepala CIA dan Presiden UFCo waktu itu, John Foster Dulles menyiapkan dan membiayai pasukan bayaran yang menggulingkan Arbenz di bulan Juni 1954. Arbenz digantikan oleh  junta militer yang diketuai Carlos Castillo Armas, yang dilantik sebagai ”presiden” Guatemala tanggal 8 Juli 1954. Junta militer pro-AS itu bertahan hingga tahun 1990an, dengan korban  200 ribuan jiwa (Gonzalez 1974: 115; Wald 1978: 265; Swift & DEC 1977: 64-7; Ruiz 2004: 178-9; Guevara 2005: 9; Sierra n.d.; The Social Medicine Journal, Nov. 2004).

Che, yang di tahun 1953 bergabung dalam pemerintahan Arbenz, berhasil lolos ke Mexico, berkat bantuan Kedubes Argentina. Sebelumnya, ia mempersunting Hilda Gadea Acosta, seorang gadis Peru yang bekerja Albenz, dan memperoleh seorang anak perempuan, Hildita (Guevara 2005: 9; Sierra n.d.).

Sambil bekerja di klinik alergi RS Nasional Mexico, Che berkenalan dengan Raul dan Fidel Castro, yang sedang menyiapkan invasi kembali ke Kuba, untuk membebaskan negeri mereka dari kediktatoran Batista. Meskipun mengidap asma kronis, Che diterima sebagai dokter pasukan. Selama bergerilya di Sierra (Pegunungan) Maestra, Che melatih para gerilyawan soal-soal persenjataan, jahit-menjahit, serta pembuatan sepatu, roti, dendeng, rokok, dan cerutu. Tahun 1958, ia memimpin operasi perebutan Santa Klara, Kuba Tengah, yang menentukan kemenangan terhadap pasukan diktator Batista. Melihat  kemampuannya yang serba bisa, Castro mula-mula mengangkat Che menjadi Gubernur Bank Nasional, kemudian Menteri Perindustrian (Ruiz 2004: 180; Peterlinz 2004: 163-4; Guevara 2005: 9; Sierra n.d.).

Selama bergerilya di Sierra Maestra, Che berkenalan dengan seorang gadis Kuba, Aleida March de la Torre, yang dinikahinya di Havana tahun 1959, dan memperoleh empat orang anak: Aleida Jr, Camilo, Celia dan Ernesto Jr. (Guevara 2005: 9; Chrisafis 2002).

Setelah enam tahun bekerjasama dengan Castro, perbedaan garis politik ekonomi kedua mantan gerilyawan itu semakin melebar. Castro terlalu tunduk pada para penasehat ekonomi Soviet, yang mendorong Kuba melakukan industrialisasi besar-besaran, khususnya produksi gula untuk dibarter dengan minyak bumi Uni Soviet. Che, sebaliknya, ingin membalikkan kiblat industrialisasi Kuba ke industri kecil dan menengah, untuk meningkatkan jumlah barang konsumen bagi rakyat dan meningkatkan nilai mata uang sehingga mencegah inflasi (Peterlinz 2004: 166-8; Ruiz 2004: 180; Newman 2006: 126).

Perbedaan pendapat soal model pembangunan Kuba itu mengerucut dalam perdebatan terbuka antara ”sayap kiri” yang mendukung model RRT, dipelopori oleh Che Guevara, dan ”sayap kanan” yang mendukung model Soviet, terdorong oleh embargo AS. Castro sendiri tidak mengambil sikap tegas dalam debat ini, yang akhirnya di tahun 1966 dimenangkan oleh tesis guevarista, setelah Che sendiri meninggalkan Kuba (Gonzalez 1974: 181-2).

Selain pemikiran makro Che, yang baru disadari Castro setelah keruntuhan Uni Soviet (Newman 2006: 127), Menteri Perindustrian yang juga seorang dokter itu sangat peka terhadap kesehatan buruh pabrik. Sewaktu berkunjung ke sebuah pabrik sepatu, sebagai sesama penderita asma, Che sangat berempati dengan buruh-buruh yang meminta pemasangan kipas angin buat mengurangi debu yang mereka hirup tiap hari, sehingga banyak yang menderita asma dan TBC (Peterlinz 2004: 165-6).

Makanya, Che minta diturunkan pangkatnya dari Menteri Perindustrian menjadi pemimpin pabrik, tapi tidak disetujui. Ketika konflik dengan Castro memuncak tahun 1965, dia menghilang secara misterius. Ternyata dia sudah kembali menyandang senjata dan membantu gerakan pembebasan di Kongo, sambil membawa beberapa orang dokter Kuba (Brouwer 2009).

Che kemudian ke Bolivia, di mana ia gugur di ujung peluru Sersan Mario Teran, pada tanggal 9 Oktober 1967. Dua dasawarsa kemudian, tahun 1997, jasadnya digali kembali dari bumi Bolivia, dan dikebumikan kembali di tanah air angkatnya, Kuba. Satu dasawarsa lagi, 9 Oktober 2007, di hari ulangtahun ke 40 kematian Che, media Kuba memberitakan kesuksesan operasi katarak terhadap  Mario Teran, pembunuh Che, oleh seorang anggota Brigade Medis Kuba (Peterlinz 2004: 167; BBC News, 2 Okt. 2007).

Namun sebelum meninggalkan Kuba, Che telah meletakkan dasar sistem kesehatan sosialis, yang dibayangkannya dalam pidato, ”On Revolutionary Medicine” di Havana, 19 Agustus 1960 (lihat Introduksi makalah ini).

Berdasarkan semangat itulah pemerintah Kuba membangun sistem pelayanan kesehatan negeri itu. Sebelum Revolusi, hanya ada seorang dokter untuk 1051 orang penduduk. Ratio ini terus berkurang, ketika banyak dokter Kuba hijrah ke AS dan negara-negara kapitalis lain.

Ketika Fakultas Kedokteran Universitas Havana dibuka kembali tahun 1959, hanya 23 dari 161 orang dosennya kembali untuk mengajar. Baru tahun 1975, rasio dokter per seribu penduduk Kuba, sebelum Revolusi, bisa dicapai kembali. Sepuluh tahun kemudian, Kuba menjalankan program Medicina General Integral  (Kesehatan Umum Menyeluruh), di mana tim seorang dokter dan seorang perawat melayani 120 sampai 150 keluarga di setiap kelurahan. Tim kecil ini secara teratur mengunjungi semua keluarga, dengan memadu pengobatan, pengumpulan statistik kesehatan setiap warga, pengobatan alternatif, dan pendidikan kesehatan bagi semua warga. Kerja tim-tim kesehatan keluarga ini didukung dengan pembangunan poliklinik, yang dilengkapi spesialis medis dan laboratorium dengan berbagai peralatan pencitraan. Setiap poliklinik dibangun untuk melayani antara 20 sampai 40 ribu orang warga (Brouwer 2009).

Pelayanan kesehatan jasmani itu dibarengi pelayanan kesehatan mental setelah renovasi Hospital Psiquiatrico de la Habana  (HPH) di pinggiran Havana, ibukota Kuba. Ducunge, pelopor pelayanan kesehatan mental itu, tadinya ahli pembiusan (anaesthecian), yang bergerilya bersama Che di Sierra Maestra. Berkat perjuangan sahabat Che itu, Kuba kini telah memiliki seribu orang psikiater, 200 orang di antaranya ahli psikiatri anak-anak. Mereka memadukan terapi emosional dan sosial, dengan polarisasi pendapat soal terapi electroconvulsive. Penyembuhan gangguan mental yang diderita para pasien dilakukan dengan mendorong mereka menari ballet, menata rambut, berbahasa, berhitung, memijat kaki, dan menciptakan kerajinan tangan, dengan melibatkan komunitas setempat (Collinson & Turner 2002).

Selain kawan seperjuangan di medan gerilya, keturunan langsung Che pun turut membangun potensi pelayanan medis Kuba. Aleida Guevara (48), putri sulung Che dari isteri keduanya, Aleida March de la Torre, mengikuti jejak ayahnya menjadi dokter anak dengan spesialisi alergi. Dua orang adiknya menjadi pengacara, dan seorang menjadi dokter hewan dengan spesialisasi lumba-lumba (Chrisafis 2002; Nakata 2008).

Selain bekerja di RS Anak-Anak William Soler di Havana, dokter Aledia Guevara pernah menjadi anggota Brigade Kesehatan Kuba di Nikaragua dan Angola. Kini, setelah anak-anak perempuannya sudah besar semua, Aleida Guevara Jr. sering melanglang buana, memperjuangkan penghapusan embargo ekonomi AS dan pengembangan kesehatan kaum miskin di seluruh dunia. Sekaligus, berjuang menentang komersialisasi foto ayahnya di berbagai produk konsumen, yang bertentangan dengan filosofi sang dokter gerilyawan (Chrisafis 2002; Jackson 2003; Nakata 2008; New Scientist, 9 Desember 2004).

”EKSPOR” DOKTER  KUBA:
Berkat sistem pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan masyarakatnya yang begitu maju, Kuba punya kelebihan dokter yang siap ”diekspor” ke manca negara. Pertengahan 2000an, dari 70 ribu dokter produk pendidikan Kuba, lebih dari 28 ribu orang dokter Kuba tersebar di mancanegara, bersama tenaga medis lain (Anderson 2008; Brouwer 2009; New Scientist, 24 Desember 2004).

Kehadiran dokter-dokter Kuba di mancanegara, yang dibiayai oleh pemerintah Kuba, kecuali di Afrika Selatan dan Venezuela, selalu dibarengi pengiriman mahasiswa kedokteran dari negara-negara itu ke fakultas-fakultas kedokteran di Kuba. Sebab kebijakan pemerintah Kuba adalah bahwa setiap dokter Kuba yang bertugas di negara tertentu, harus dapat digantikan oleh dokter-dokter muda dari negara itu, dalam jumlah dua sampai tiga kali lipat (Anderson 2008; Brouwer 2009).

Kadang-kadang, sepulang dari pendidikan kedokteran Kuba yang rata-rata enam tahun, dokter-dokter muda itu masih mendapat pendidikan pasca-sarjana dari dokter-dokter Kuba yang masih bertugas di negeri asalnya. Ini dijalani oleh 347 orang dokter muda dari Honduras (idem).

Dokter-dokter Honduras itu lulusan ELAM (Escuela Latinamericana de Medicina, atau Sekolah Kedokteran Amerika Latin) di Havana, yang sejak 2005 telah meluluskan 1500 sampai 1800 dokter asing. Selain dari Honduras, para mahasiswa asing berjumlah 24 ribu orang berasal dari Bolivia (5000), Timor Leste (698), Guatemala (448), Haiti (426), Ghana (188), Namibia (143), Gambia (134), Belize (113), Mali (109), Botswana (93), AS (100), Kepulauan Solomon (50), Kiribati (40), dan sejumlah negara lain. Mahasiswa AS disalurkan oleh Pastors for Peace, organisasi Kristen untuk solidaritas dengan rakyat Kuba (Anderson 2008; Brouwer 2009; Buletin La’o Hamutuk, Agustus 2008: 6)

Kebanyakan mahasiswa asing mendapat beasiswa pemerintah Kuba, kecuali dari Afrika Selatan dan Venezuela. Venezuela, negeri Amerika Latin yang dipimpin Hugo Chavez, mantan tentara payung yang berjuang melepaskan negerinya dari penjajahan ekonomi AS, memasok kebutuhan minyak Kuba dengan harga murah, sebagai imbalan atas penempatan 30 ribu orang dokter dan tenaga medis Kuba. Mereka membangun program Barrio Adentro guna memperbaiki kesehatan 18 juta orang miskin di negara kaya minyak, yang kini membantu pendidikan kedokteran di Kuba (Soyomukti 2007: 124-8; Brouwer 2009).

Dari sini dapat kita lihat bahwa ”ekspor” tenaga medis Kuba bukan untuk menambah devisa negara miskin itu, melainkan demi solidaritas kemanusiaan internasional, membantu memperbaiki kesehatan rakyat miskin di berbagai negara, termasuk di Indonesia dan di Republik Demokrasi Timor Leste (RDTL).

Segera sesudah gempa menghantam Bantul (DIY) dan Klaten (Jateng), 27 Mei tiga tahun lalu, 65 orang dokter Kuba – separuhnya perempuan – datang melayani sampai seribu orang pasien sehari. Mereka begitu populer di kalangan penduduk, sehingga tim medis Kuba yang juga beranggotakan 70 orang perawat, laboran dan teknisi kesehatan diminta memperpanjang masa pelayanan mereka selama enam bulan (Fawthrop 2006).

Itulah perkenalan pertama Indonesia dengan sistem dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat Kuba, yang selain melibatkan dokter dan tenaga medis lain, juga dilengkapi peralatan medis yang canggih. Kedua rumah sakit lapangan Brigade Medis Kuba dilengkapi peralatan rontgen, laboratorium, dan ruang operasi, sehingga dokter-dokter mereka dapat membedah tulang patah serta menangani gangguan kesehatan lain. Sampai medio Agustus 2006 mereka telah melayani 47 ribu pasien, serta menyelenggarakan 900 pembedahan dan imunisasi anti-tetanus terhadap 2000 orang pasien  (idem).

Kontribusi Brigade Medis Kuba buat membangun kesehatan rakyat Timor Leste jauh lebih besar lagi, mengingat hancurnya sebagian prasarana fisik dan meninggalnya sebagian penduduk negeri baru itu pasca referendum Agustus 1999. Sebagian besar dokter dan paramedis Indonesia kabur dari pos mereka sesudah kerusuhan pasca referendum itu.

Kerjasama Kuba dan Timor Leste mulai dibicarakan oleh Presiden Fidel Castro dan  Presiden Xanana Gusmao dalam KTT Non-Blok di Kuala Lumpur, Februari 2003. Akhir tahun itu sekelompok mahasiswa Timor Leste dikirim ke Kuba untuk kuliah kedokteran di sana, dan sekelompok kecil dokter Kuba dikirim ke Timor Leste di bulan April 2004. Tahun berikutnya, kunjungan tiga pejabat teras RDTL waktu itu -- Menlu  Jose Ramos Horta, PM Mar’i Alkatiri, dan Menkes Rui Araujo -- semakin memantapkan kerjasama kedua negara kecil itu, yang berbuah seribu beasiswa bagi mahasiswa kedokteran dari RDTL dan pengiriman 300 orang anggota Brigade Medis Kuba ke Timor Leste. Selama kurun waktu 2004 -2008, mereka telah melakukan 2,7 juta konsultasi, termasuk lebih dari sejuta kunjungan rumah; membantu 17.352 kelahiran, termasuk 848 dengan bedah caesar; melakukan 19.099 pembedahan, 193.942 test laboratorium dan 27.643 vaksinasi, serta menyelamatkan 11.406 nyawa (Anderson 2008).  

Berbeda dengan tenaga medis Indonesia di Timor Leste pasca referendum 1999, tidak seorangpun tenaga medis Kuba meninggalkan Timor Leste selama krisis politik 2005-2006, ketika perang saudara antara  tentara, polisi, desertir bersenjata, serta kelompok milisi begitu banyak menelan korban. Dokter-dokter dan perawat-perawat Kuba tetap bertugas di Hospital Nasional Timor Leste di Dili, melayani para pengungsi di tenda-tenda mereka di seputar kota Dili, sambil tetap melayanai kesehatan masyarakat desa di distrik-distrik. Dedikasi mereka sangat dipuji oleh PM Jose Ramos-Horta serta Menlu Zacarias Albano da Costa (Anderson 2008).

Ironisnya, justru kehadiran begitu banyak tenaga medis Kuba menjadi duri dalam daging dalam hubungan antara Gereja Katolik dengan pemerintahan PM Mar’i Alkatiri. Seorang tokoh Keuskupan Dili, Padre Domingos Soares, dalam selebarannya ikut memprovokasi aksi biarawan/wati menentang PM Alkatiri di tahun 2005, menuduh Alkatiri dan partainya, Fretilin mau menjadikan Timor-Leste ”negara komunis” berjulukan ”Kuba Timur” (Aditjondro 2007: 94).

Kenyataannya, walaupun persaingan intra-elit RDTL memaksa PM Alkatiri mengundurkan diri (2006), dan diganti oleh Jose Ramos-Horta, kehadiran Brigade Medis Kuba tidak ditolak. Juga setelah pemilu kedua menghasilkan pertukaran posisi antara Ramos-Horta sebagai Presiden serta Xanana Gusmao sebagai PM. Kehadiran Brigade Medis Kuba tetap didukung oleh orang-orang Depkes RDTL, baik yang pro- maupun yang anti-Fretilin. Walaupun Menkes Rui Araujo sudah diganti oleh Nelson Martins, Menkes baru itu tetap dibantu oleh Rui Araujo sebagai penasehat khususnya (Anderson 2008).

Selama  studi lapangan bersama tim CD Bethesda, Yogyakarta, dan Depkes RDTL di sepuluh distrik RDTL, akhir September 2008, di mana penulis sempat berinteraksi dengan anggota Brigade Medis Kuba di dua distrik (Oekusi dan Ermera), penulis sempat mencatat tiga hal. Pertama, ada kesenjangan antara Brigade Medis Kuba dan berbagai tarekat biarawati Katolik yang juga sangat berperan dalam pelayanan kesehatan masyarakat Timor Leste. Boleh jadi, di samping faktor bahasa (orang Kuba hanya dapat berbahasa Spanyol, sedangkan para biarawati hanya dapat berbahasa Indonesia dan Tetun), ketidaksenangan sebagian hirarki Gereja Katolik terhadap kehadiran orang-orang Kuba di negeri itu, seperti disinggung di depan, ikut memainkan peranan.

Padahal, berbeda dari kecurigaan sebagian hirarki Gereja Katolik, tenaga medis Kuba tidak tertarik berbicara tentang ideologi negara mereka. Selain berbicara tentang kesehatan, mereka lebih tertarik memperkenalkan tari salsa, dan memperkenalkan kekhasan lagu dan musik Kuba, yang diwarnai pengaruh Spanyol dan Afrika (lihat Sarduy & Stubbs 1993).

Kedua, berbeda dengan sistem pelayanan kesehatan masyarakat di negara asalnya, yang mengawinkan pendekatan Barat dengan pendekatan alternatif, Brigade Medis Kuba kurang menggali berbagai sistem pengobatan alternatif di Kuba. Tampaknya, bahasa dan kepadatan jadual kerja mereka merupakan dua faktor penghambat untuk mengawinkan pendekatan Barat dengan berbagai pendekatan alternatif yang bersumber pada fauna, flora, dan sistim budaya suku-suku bangsa di Timor Leste.

Soalnya, sebagian besar anggota Brigade Medis Kuba hanya mahir berbahasa Spanyol, sehingga sukar menggali pengetahuan etno-medis di Timor Leste, baik yang merupakan penghambat (misalnya berbagai pemali makanan bagi perempuan hamil dan sedang menyusui, serta budaya patriarkis yang sangat kuat di kebanyakan suku), maupun yang bersifat mendukung. Sementara itu, penduduk asli di kampung-kampung hanya dapat berbahasa Indonesia, Tetun, dan bahasa suku mereka, dan jauh dari bahasa Portugis – yang dekat dengan bahasa Spanyol --  selama masa penjajahan Indonesia.

Kurangnya usaha Brigade Medis Kuba menggali antropologi kesehatan Timor Leste agak disayangkan, sebab berbagai pengetahuan ethno-medicine  Timor Leste sudah mulai didokumentasi oleh peneliti-peneliti dari Australia, Kanada, dan Timor Leste, dibantu oleh mantan gerilyawan FALANTIL, dimulai dari pengetahuan ethno-medicine  Fataluku, suku yang kurang mahir berbahasa Tetun maupun Indonesia.

Ketiga, medan dan jarak yang jauh dari kampung-kampung ke  SISCa  (Sistema Integrada Saude do Communitaria ), yang setara dengan Posyandu di Indonesia membuat rakyat di desa-desa pelosok sangat bergantung pada praktisi pengobatan alternatif (matandok, mata-blolo, atau daya dalam bahasa setempat). Termasuk dalam membantu persalinan ibu-ibu hamil. Padahal, para praktisi pengobatan alternatif ini  jarang sekali mendapat kesempatan memperdalam ilmu mereka bersama pada tenaga medis Kuba.

KESIMPULAN:
Lalu, apa yang dapat dipelajari oleh Indonesia, dari studi kasus pola kesehatan masyarakat Kuba ini?

Pertama, berbeda dari citra umum tentang ”Che” Guevara, sebagai pejuang bersenjata yang teori perang gerilyanya sering diacu para aktivis kiri di samping teori perang gerilya Mao Zedong, sesungguhnya kontribusi dokter Che dalam meletakkan dasar bagi sistem pelayanan kesehatan Kuba perlu mendapatkan perhatian yang lebih mendalam.

Kedua, pengalaman Kuba ini menunjukkan bahwa ada sistem demokrasi lain yang lebih memberikan perhatian pada hak-hak ekososbud  para warga miskin, khususnya hak atas kesehatan, ketimbang sistem demokrasi liberal.  

Ketiga, penempatan dokter-dokter dan tenaga medis Kuba lainnya di mancanegara, dibarengi dengan pembukaan fakultas-fakultas kedokteran  Kuba bagi mahasiswa miskin dari mancanegara, merupakan contoh bagaimana suatu negara miskin berkontribusi untuk perdamaian dunia melalui perbaikan kesehatan masyarakat, terutama warga miskin.

Keempat, melalui pola yang khas ini, Kuba berhasil membuktikan keunggulan sistem kesehatan sosialis ketimbang sistem kesehatan kapitalis, di tengah-tengah embargo ekonomi AS serta berakhirnya bantuan Uni Soviet.

Kelima, dengan mengirimkan bantuan tenaga medis kepada para korban topan Kathrina di AS, Kuba membuktikan kepada rakyat AS  bahwa embargo ekonomi yang dipertahankan sekian banyak presiden mereka, tidak berhasil mematahkan tekad suatu bangsa untuk memilih garis politik dan ekonomi mereka.

Keenam, melalui ”barter” minyak dengan tenaga dokter Kuba serta pendidikan kedokteran di Kuba, Venezuela juga membuktikan, bahwa rezeki migas dari negara anggota OPEC itu dapat membantu perbaikan kesehatan rakyat miskin Venezuela maupun memperkuat kemampuan Kuba mendidik calon-calon dokter dari berbagai negara miskin di dunia. Minyak untuk kesehatan rakyat, kira-kira begitulah.


Yogyakarta, 23 Mei 2009.








Kepustakaan:
Aditjondro, George Junus (2007). ”Challenging the Shrinking Democratic Space in East Timor.” Dalam  Joel Peredes, Marissa de Guzman & Eltheodon Rillorta (peny.). Breaking through: Political Space for Advocacy in Southeast Asia. Manila: South East Asian Committee for Advocacy (SEACA), hal. 83-106.
Anderson, Tim (2008). ”Solidarity Aid: The Cuba-Timor Leste Health Programme.”The International Journal of Cuban Studies, No. 2, Desember.
Brouwer, Steve (2009). ”The Cuban Revolutionary Doctor: The Ultimate Weapon of Solidarity.” Monthly Review, Januari.
Chrisafis, Angelique (2002). ”Che, my father.” The Guardian, 3 Mei.
Collinson, S.R. & T.H. Turner (2002). ”Not Just Salsa and Cigars: Mental Health Care in Cuba.” Psychiatric Bulletin, No. 26, hal. 185-8.
Elliott, Florence (1969). A Dictionary of Politics. Penguin Books Ltd.
Fawthrop, Tom (2006). ”Cuba doctors popular in quake-stricken Java.” BBC News,  18 Agustus.
Giddens, Anthony (1993). Sociology. Cambridge, UK: Polity Press.
Gonzalez, Edward (1974). Cuba under Castro: The Limits of Charisma. Boston: Houghton Mifflin Company.
Guevara, Che (2005). Catatan Harian Che Guevara: The Motorcycle Diaries: Perjalanan Keliling Amerika Selatan. Depok: Banana Publisher.
Held, David (1989). Political Theory and the Modern State: Essays on State, Power and Democracy. Cambridge, UK: Polity Press.
Hughes, Colin (2007). ”Cuba’s Superior Health System.” Green Left Weekly, 8 Juni.
Jackson, Andra (2003). ”Guevara’s Daughter has a Cause, in the Image of her Father.” The Age, Melbourne, 28 Juni.
Nakata, Hiroko (2008). ”Che’s Daughter Speaks Out.”Japan Times, 31 Mei.
Newman, Michael (2006). Sosialisme Abad 21: Jalan Alternatif Atas Neoliberalisme. Yogyakarta: Resist Book.
Peterlinz, Brian  (2004). ”Ada Apa Dengan Che?”. Dalam Peter McLaren dkk. Che Guevara, Paulo Freire dan Politik Harapan: Tinjauan Kritis Pendidikan. Surabaya: Diglossia Media, hal. 161-74.
Ruiz, Richard M. (2004). ”Che, Sang Revolusioner”. Dalam McLaren dkk, op. cit., hal. 175-82.
Sardeuy, Pedro Perez & Jean Stubbs (peny.). Afro-Cuba: An Anthology of Cuban Writings on Race, Politics and Culture. London & New York: Latin America Bureau (LAB) & Center for Cuban Studies.
Serviat, Pedro (1993). ”Solutions to the Black Problem”. Dalam Sardeuy & Stubbs, op. cit., hal. 77-90.
Sierra, Jerry A. (n.d.). ’Ernesto Che Guevara.’ www.historyofcuba.com/history/chebio.htm, diakses tgl. 21/5/2009.
Soyomukti, Nurani (2007). Revolusi Bolivarian Hugo Chavez dan Politik Radikal. Yogyakarta: Resist Book.
Swift, Jamie & The Development Education Centre (1977). The Big Nickel: Inco at home and abroad. Kitchener, Ontario: Between the Lines.
Wald, Karen (1978). Children of Che: Childcare and Education in Cuba. Palo Alto, CA: Ramparts Press.
Wilczynski, J. (1981). An Encyclopedic Dictionary of Marxism, Socialism and Communism. London: The MacMillan Press Ltd.
         


















Lampiran I:
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR, Resolusi MU-PBB, 19 Desember 1966, diratifikasi melalui UU No. 11/2005, tgl. 28 Oktober 2005).
Article 11:
1.    The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to an adequate standard of living for himself and his family, including adequate food, clothing and housing, and to the continuous improvement of living conditions. The States Parties will take appropriate steps to ensure the realization of this right, recognizing to this effent the essential importance of international co-operation based on free consent.
2.    The States Parties to the present Covenant, recognizing the fundamental right of everyone to be free from hunger, shall take, individually and through international co-operation, the measures, including specific programmes, which are needed:
(a). To improve methods of production, conservation and distribution of food by making full use of technical and scientific knowledge, by disseminating knowledge of the principles of nutrition and by developing or reforming agrarian systems in such a way as to achieve the most efficient development and utilization of natural resources;
(b). Taking into account the problems of both food-importing and food-exporting countries, to ensure an equitable distribution of world food supplies in relation to need.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar