Rabu, 13 Juli 2011

PRODUKSI PENGETAHUAN OLEH SIAPA

PRODUKSI PENGETAHUAN OLEH SIAPA,
UNTUK KEPENTINGAN SIAPA, DAN BERSAMA SIAPA?
Menuju Paradigma Penelitian Pembebasan
---------------------------------------------------------------------------------------
George Junus Aditjondro

Die Philosophen haben die Welt nur verschieden interpretiert.
Es kommt aber darauf an, sie zu verandern.
[Para filsuf telah menafsirkan dunia hanya secara berbeda-beda.
Namun yang terpenting adalah mengubah dunia itu].
Tesis ke-11 Marx tentang Feuerbach.




PENGANTAR:

            SEBELUM menyentuh soal-soal teknis penelitian, marilah kita terlebih dulu berbicara tentang masalah-masalah epistemologis, yang berangkat dari refleksi empiris penulis di bidang penelitian. Persoalan-persoalan, yang lebih menyangkut masalah-masalah sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge), yang mengangkut produksi pengetahuan oleh siapa, untuk kepentingan siapa, dan bersama siapa. Ini sangat penting, apabila kita tidak hanya ingin menjadi peneliti ahli yang pintar, melainkan ingin mengembangkan sikap emansipatoris dalam meneliti. Maksudnya, menjadi peneliti yang bukan sekedar meneliti masyarakat, melainkan bersama   masyarakat, demi pemberdayaan masyarakat.

            Refleksi ini dilatarbelakangi pengalaman penulis ikut membimbing mahasiswa S-1 di Universitas Cenderawasih (Jayapura),  pengalaman ikut membimbing mahasiswa S-2 di Universitas Pelita Harapan (Jakarta), pengalaman mengajar dan membimbing mahasiswa S2 di UKSW (Salatiga), di mana penulis juga mengajar mata kuliah Metodologi Penelitian, pengalaman membimbing mahasiswa S1, S2 dan S3 di Newcastle University (Newcastle, Australia), pengalaman penulis sendiri sebagai mahasiswa S2 dan S3 di Cornell University (Ithaca, AS), serta pengalaman memimpin lokakarya Penelitian Pembebasan di Dili, Timor Leste.

            Epistomologi ini berangkat dari pemahaman terhadap institusi-institusi yang selama ini sangat berperan dalam produksi pengetahuan. Penulis menamakan institusi-institusi itu, regulator-regulator produksi pengetahuan. Yang paling banyak berperan, atau diakui peranannya adalah: perguruan tinggi, negara, dan modal. Peranan perguruan tinggi dalam produksi pengetahuan, kita sudah faham. Perguruan tinggi, dengan aturan mainnya yang tertulis maupun tidak tertulis, menyusun kurikulum, menentukan siapa yang dapat diterima sebagai mahasiswa di ketiga strata, menentukan syarat-syarat penulisan skripsi, tesis S-2, dan tesis S-3 (disertasi), menentukan bagaimana mahasiswa dibimbing melewati ketiga strata di atas, menentukan siapa yang dapat membimbing mahasiswa, mengatur (secara langsung maupun tidak langsung) topik-topik yang dapat dijadikan fokus skripsi dan tesis, dan menentukan prosedur pengujian skripsi dan tesis-tesis tersebut.

            Peranan perguruan tinggi sebagai regulator produksi pengetahuan dapat bersifat ilmiah, quasi  ilmiah, dan sama sekali tidak ilmiah. Mari kita lihat beberapa contoh yang quasi  ilmiah dan tidak ilmiah sama sekali. Ketika penulis menerima beasiswa Hubert H. Humphrey di AS dan ditempatkan di Jurusan Pertanian Internasional di Cornell University, penentuan seminar apa yang boleh diikuti dan di negara atau daerah mana yang boleh dikunjungi untuk studi lapangan, berada di tangan Administrator Program itu. Permintaan penulis untuk melakukan studi lapangan ke Puerto Rico, yang punya ikatan Commonwealth  dengan Amerika Serikat, ditolak. Padahal sudah penulis jelaskan kepada sang Administrator, bahwa penulis ingin mengamati bekas koloni Spanyol di Laut Karibia itu untuk membandingkan kemungkinan perubahan status Timor Leste, di mana wacana commonwealth  sempat digulirkan.

Sebagai gantinya, penulis disarankan mengikuti kuliah lapangan Cornell University di bidang pertanian tropis di Mexico. Saran itu penulis terima itu, yang ternyata ada hikmahnya untuk memahami kebudayaan bangsa Maya, dengan munculnya gerakan Zapatista di tahun 1990-an. Lucunya, Puerto Rico sama tropisnya dengan Mexico, jadi sebenarnya penulis – yang datang dari negeri tropis -- dapat juga mempelajari pertanian tropis di Puerto Rico. Namun realitas sebuah teritori AS, yang dijadikan dumping  industri kotor dari daratan Amerika Serikat, tidak berhasil penulis saksikan sendiri. Begitu pula perlakuan pemerintah AS terhadap aktivis gerakan kemerdekaan Puerto Rico, yang sangat melanggar hak-hak asasi manusia.

Itu hanya salah satu contoh otoriterianisme Administrator Program beasiswa Hubert H. Humphrey di Cornell University waktu itu. Banyak lagi permintaan penggunaan dana beasiswa penulis yang ditolak. Misalnya, permohonan untuk mengikuti seminar tentang gerakan African American.

Untunglah, sebelum mulai studi di Cornell dan masih meng-upgrade  penguasaan bahasa Inggris di sebuah kampus lain (SUNY Buffalo), maupun sementara memanfaatkan beasiswa Hubert H. Humphrey, penulis sempat melakukan berbagai wisata ilmiah ke proyek-proyek lain. Misalnya, penulis sempat melakukan studi banding ke pusat produksi nikel INCO di Sudbury, Canada. Dengan demikian, penulis punya perbandingan bagi kegiatan INCO di seputar danau-danau Matano-Mahalona-Towuti di Sulawesi Selatan, yang berguna bagi advokasi lingkungan penulis di Indonesia (Aditjondro 2002).

Berikut ini, contoh lain dari fungsi perguruan tinggi sebagai regulator yang tidak ilmiah. Ketika memimpin Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD Irja) di Kotaraja, seorang staf penulis, Abner Korwa, yang kuliah di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen), ingin menulis skripsinya tentang tradisi pembuatan perahu diaspora Biak di Kepulauan Raja Ampat. Dosen-dosennya menganjurkan dia mengganti rencana skripsi itu dengan menyoroti mas kawin salah satu suku di sekitar kampus. Maklumlah, mereka segan membimbing skripsi di bidang antropologi maritim yang kurang mereka kuasai. Tapi karena YPMD Irja, yang punya perhatian khusus pada masyarakat nelayan Papua, bersedia membiayai rencana penelitian skripsi Abner Korwa, dan penulis sendiri bersedia membimbingnya secara informal, fihak Uncen mengalah. Abner Korwa berhasil menulis skripsi yang sangat informatif tentang keterancaman seni pembuatan perahu nelayan Biak Betew, yang sayang sekali sampai sekarang belum diterbitkan.

UKSW, di mana penulis pernah mengajar, juga berulang kali berfungsi sebagai regulator produksi pengetahuan yang tidak ilmiah. Arief Budiman, ilmuwan sosial Indonesia yang terkenal, digusur dari staf pengajar karena menolak terpilihnya rektor yang berbeda dari pada figur yang dimandatkan oleh sejumlah unit kepada senator mereka di Senat Universitas (lihat Heriyanto 2003: 33-41).

Ini hanyalah dalih. Kenyataannya, Program Pascasarjana Studi Pembangunan (PPs-SP) di mana waktu itu penulis mengajar bersama Arief Budiman dan Ariel Heriyanto, sudah menerima kepemimpinan rektor tersebut dalam penyelenggaran CIP (Contemporary Indonesia Programme), bekerjasama dengan Sydney University di Australia. Toh Arief Budiman tetap dipecat, walaupun PTUN Semarang sudah memenangkan gugatannya terhadap pimpinan yayasan dan pimpinan universitas. Seiring dengan itu, permintaan penulis untuk mengambil cuti di luar tanggungan universitas, untuk menghindarkan gugatan Kajati DIY yang bermaksud membungkam kritik penulis terhadap akumulasi kekayaan Soeharto, juga ditolak. Penulis dipecat dengan surat yang ditandatangani ketua Yayasan dan Rektor UKSW. Selanjutnya, Ariel Haryanto, juga dipecat tanpa surat.

Penggusuran ketiga staf inti PPs-SP UKSW ini ikut menggusur pemikiran kritis yang menolak kemapanan ekonomi dan politik di Indonesia dari lingkungan UKSW. Hasilnya dapat dilihat dari kurikulum PPs-SP UKSW saat ini, di mana paradigma-paradigma alternatif di bidang ekonomi dan politik tidak lagi diajarkan secara mendalam, berbeda dengan waktu ketiga staf inti PPs-UKSW itu masih mengajar di sana.

Penggusuran penulis sendiri dari UKSW ikut dipicu oleh penolakan penulis terhadap pendudukan Timor Leste. Sikap ini bertentangan dengan sikap pimpinan UKSW, yang waktu itu mendukung pendudukan Timor Leste melalui program pengembangan masyarakat serta bantuan dalam penyusunan repelita Timor Leste. Sikap penulis didukung oleh Arief Budiman dan Ariel Heriyanto. Dengan menggusur kami bertiga, pimpinan UKSW, bagaikan anak perempuan Herodias, menyerahkan kepala ketiga staf inti PPs-SP di atas talam emas kepada Raja Herodes yang bersemayam di markas Korem Makutorama, Salatiga. Ironisnya, saat ini Ketua PPs-SP UKSW dijabat oleh mantan koordinator program kerjasama UKSW dengan Pemda Timor Timur.

Dari contoh-contoh di atas dapat kita lihat bagaimana fungsi universitas sebagai regulator produksi pengetahuan erat terkait dengan fungsi Negara. Kolusi semacam di atas dapat lebih merasuk lagi dalam penelitian pesanan pemerintah kepada lembaga penelitian universitas. Dalam kasus Kedungombo, para peneliti UKSW dan Universitas Diponegoro hanya menawarkan satu jalan ke luar bagi penduduk sekitar waduk: transmigrasi. Padahal kalau mereka mau meninjau PLTA Saguling di Jawa Barat, dapat dilihat bagaimana penduduk sekitar waduk dilatih oleh Lembaga Ekologi Unpad menjadi petani ikan mas. Dengan kata lain, mereka tidak digusur dari tepi waduk, dengan dalih sabuk hijau, seperti ke(tidak)bijakan pemerintah terhadap penduduk sekitar waduk Kedungombo, dengan bermacam-macam dalih yang tidak ilmiah (Aditjondro 1993a: 118-47). 



Ternyata, dari penelitian disertasi penulis, ada agenda tersembunyi di balik tekad pemerintah mentransmigrasikan penduduk tepi waduk Kedungombo: produksi ikan di waduk itu telah dikontrakkan kepada PT Aquafarm Nusantara, yang juga sudah mengontrak produksi ikan di waduk Gajah Mungkur, Wonogiri. Sedangkan pengelolaan  ferry  melintasi waduk ditenderkan kepada pengusaha dengan sewa Rp 35 juta (Aditjondro 1993: 142-7). Inilah salah satu contoh kolusi kepentingan di antara ketiga regulator produksi pengetahuan yang dominan, yakni perguruan tinggi, negara, dan modal (korporasi) (lihat Skema 1).

Skema 1

REGULATOR-REGULATOR PRODUKSI PENGETAHUAN
YANG DOMINAN

  ---------------------------------                  ------------------------                   ----------------------
   PERGURUAN TINGGI                    NEGARA                               MODAL
   ---------------------------------                 -------------------------                  -----------------------

          Sesungguhnya, ada regulator lain yang diam-diam ikut mempengaruhi produksi pengetahuan. Itulah gerakan-gerakan kemasyarakatan (social movements) (lihat Aditjondro 1993b, 1993c, 1995), yang pengaruhnya  sering dikooptasi oleh perguruan-perguruan tinggi melalui pembentukan berbagai pusat studi, seperti Pusat Studi Lingkungan dan Pusat Studi Wanita. Pendirian pusat-pusat studi itu merupakan respons dari regulator-regulator dominan agar universitasnya dianggap ‘ramah lingkungan’, ‘ramah jender’ (gender friendly), dan ramah-ramah lain. Pokoknya, agar perguruan tinggi pemilik pusat-pusat studi tadi dianggap sudah bersikap ‘tepat politis’ (politically correct). Perintis proses itu di AS adalah sekolah-sekolah Industrial Labor Relations (ILR) yang didirikan di universitas-universitas top, di mana para calon manajer personalia dididik agar mampu mengendalikan buruh di lingkungan industri mereka.

            Dalam proses itu terjadi apa yang disebut oleh sosiolog AS, Frederick H. Butler, “instutionalization of disengagement”  (‘pelembagaan dari ketidakterlibatan’). Pembentukan pusat-pusat studi tersebut, yang mendapat sokongan dana dari negara dan modal, mengfasilitasi kontrol terhadap berbagai gerakan kemasyarakatan. Di Indonesia, misalnya, pusat-pusat studi lingkungan ‘menangkap’ aktivis lingkungan, yang dilatih menjadi ahli AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan). Mereka selanjutnya tidak kembali ke gerakan lingkungan, melainkan bekerja sebagai ‘konsultan AMDAL’ bagi kepentingan modal. Prinsipnya sama seperti agenda sekolah-sekolah ILR di AS, yakni kontrol terhadap gerakan-gerakan kemasyarakatan, demi kepentingan modal dan negara.

            Upaya-upaya penggembosan gerakan-gerakan kemasyarakatan tidak meniadakan fungsi gerakan-gerakan ini sebagai regulator produksi pengetahuan. Katakanlah, fungsi gerakan-gerakan ini adalah sebagai regulator pengimbang. Sebab gerakan-gerakan ini terus melahirkan pengetahuan baru di berbagai bidang. Misalnya, gerakan-gerakan feminis ikut melahirkan ilmu pengetahuan yang lebih memperhatikan dimensi gender  dalam segala permasalahan sosial dan kejiwaan. Gerakan lingkungan ikut mendorong kepedulian terhadap lingkungan dalam kurikulum fakultas ekonomi dan fakultas teknik. Gerakan Kiri ikut mendorong masuknya pemikiran Marxis, neo-Marxis dan post-Marxis dalam kurikulum. Gerakan yang memperjuangkan hak-hak bangsa-bangsa pribumi, mendongkrak kedudukan antropologi terapan dalam program-program studi pembangunan.

Salah satu dampak epistemologis gerakan-gerakan kemasyarakatan yang paling spektakuler adalah perubahan pesimisme Andre Gunder Frank, salah seorang perintis teori ketergantungan di Brazil, yang tadinya menganggap sudah niscaya bahwa ekonomi Dunia Ketiga akan dikuasai maskapai-maskapai transnasional (TNCs, transnational corporations) yang berkolusi dengan kelas komprador domestik, menjadi optimisme bahwa Dunia Ketiga dapat terbebas dari nasib buruk tersebut. Optimisme ini tertuang dalam tulisan Frank dan Fuentes (1989), yang antara lain menggambarkan peranan gerakan-gerakan kemasyarakatan sebagai ‘pelepas kopling’ (delinking) Dunia Ketiga dari penjajahan TNCs di belahan bumi Utara.



Skema 2:

REGULATOR-REGULATOR DOMINAN
--------------------------------------------------------------------
PERGURUAN TINGGI, NEGARA + MODAL
---------------------------------------------------------------------  

----------------------v----------------------
PRODUKSI PENGETAHUAN
--------------------------------------------

----------------------------------v----------------------------------
GERAKAN-GERAKAN KEMASYARAKATAN
(SOCIAL MOVEMENTS )
-----------------------------------------------------------------------
REGULATOR PENGIMBANG

Kesimpulannya, produksi pengetahuan merupakan hasil dialektika antara regulator-regulator dominan, yang berusaha ‘menjinakkan’ gerakan-gerakan kemasyarakatan, dan gerakan-gerakan kemasyarakatan itu sendiri, yang terus berusaha menciptakan pengetahuan yang berfihak pada kepentingan segmen masyarakat yang mereka wakili (lihat Skema 2).

PARADIGMA PENELITIAN PEMBEBASAN:         
DENGAN menjelaskan dialektika kelembagaan dalam produksi pengetahuan, kita perlu membedakan dua paradigma besar dalam penelitian. Paradigma dominan tetap bekerja dalam interaksi antara perguruan tinggi, negara, dan modal. Peneliti “menyedot” pengetahuan dari rakyat, tanpa “mengembalikan” pengetahuan yang telah diperoleh kepada rakyat. Hasil ikutan dari proses penelitian begini adalah promosi akademis si peneliti, kenaikan status sosialnya, fee  dari pemesan penelitian itu, serta kontrol dari negara dan modal terhadap rakyat (lihat Skema 3).




Skema 3:

PENELITI  <---- “menyedot”-------- PENGETAHUAN <---dari----RAKYAT
            !
            !
            v
   sehingga
  menghasilkan
            !
            !
            v
   = promosi akademis
   = status sosial meningkat
   = penghasilan moneter meningkat
   = peningkatan kontrol negara dan modal terhadap rakyat.

Saya teringat pengalaman seorang di staf peneliti di sebuah universitas negeri di Indonesia. Ia ditugaskan atasannya menguji-coba kontrasepsi baru buatan sebuah pabrik farmasi besar di Eropa. Belum selesai siklus penelitiannya, ia sudah dikejar-kejar oleh atasannya, untuk segera membuat laporan hasil penelitiannya yang menyimpulkan bahwa kontrasepsi itu aman. Ketika sang peneliti protes, atasannya menyatakan, bahwa sejumlah besar kontrasepsi itu sudah menunggu di pelabuhan Tanjung Priok, siap untuk disebarluaskan ke seluruh Indonesia.

            Berbeda dengan paradigma penelitian konvensional, paradigma penelitian pembebasan[1]  melihat peneliti sebagai bagian dari rakyat yang merupakan mitra penelitiannya. Kerjasama peneliti dengan mitra-mitranya dalam produksi pengetahuan, berfungsi menyadarkan mitra-mitranya tentang tantangan yang mereka hadapi, serta potensi mereka untuk merubah nasib mereka. Hasil akhir yang dituju adalah transformasi sosial menuju kondisi hidup yang lebih manusiawi, atau transformasi sosial melalui re-humanisasi (lihat Skema 4).

Skema 4.


RAKYAT  +  peneliti =        ----------à PENGETAHUAN
                                                                                    !
                                                                                    v
KESADARAN tentang TANTANGAN yang dihadapi, serta POTENSI yang dimiliki untuk memperbaiki NASIB KOMUNITAS, sehingga mau melakukan AKSI untuk mewujudkan
                                                                                    !
                                                                                    v
                                    <--------------------TRANSFORMASI SOSIAL melalui
                                RE-HUMANISASI                  


Dasar-dasar filsafati penelitian pembebasan:
            DASAR filsafati penelitian pembebasan bersandar pada pemikiran Antonio Gramsci, Michel Foucault, Paulo Freire, dan praxis penelitian feminis. Dari Gramsci kita timba konsep intelektual “tradisional” dan intelektual “organik”. Intelektual tradisional tidak terpisah dari kaum borjuis, karena berasal dari kelas yang sama dan secara tradisional merupakan profesi yang memang dibayar untuk pekerjaan otak mereka. Kegiatan mereka adalah mengembangkan ideologi dan praxis yang memperkokoh penguasaan negara dan modal terhadap rakyat lewat persetujuan (consent), yang disebut “hegemoni” (hegemonia). Sebaliknya, intelektual organik adalah mereka yang secara organik muncul dari setiap kelas, termasuk intelektual kaum proletar dan kelas-kelas yang tertindas lainnya (subaltern groups). Tugas intelektual organik dari kelas-kelas yang tertindas adalah mengembangkan “counter hegemony”,  anti-tesis dari hegemoni di atas, dibantu oleh intelektual tradisional yang telah “menyeberang” ke kelas bawah (Joll 1977: 91-3; Showstack Sassoon 1987: 134-46).

            Dari Gramsci dipetik pengertian ’berfilsafat’, yang bukan semata-mata pekerjaan segelintir intelektual tradisional, yang terlepas dari masyarakat bawah, menurunkan butir-butir kebijakan mereka kepada rakyat banyak. Berfilsafat menurut Gramsci, adalah kerja kolektif merubah “common sense”  (pengetahuan populer, yang beredar di masyarakat luas dan penuh anggapan umum serta stereotip yang tidak benar) menjadi “good sense”  (pengetahuan yang benar, hasil perdebatan di antara intelektual organik kaum proletar dan kelas bawah lainnya, sehingga berbagai kontradiksi dapat diungkapkan dan berbagai stereotip dan sesat fikir dapat dibongkar). Proses ini dapat dipimpin oleh intelektual organik yang berasal dari kalangan borjuasi, tetapi harus dilakukan secara demokratis, berangkat dari tingkat pemahaman rakyat banyak, dengan menggunakan kesenian rakyat, seperti lagu-lagu rakyat (Davidson 1968: 42, 47-52; Joll 1977: 93-4).

            Selanjutnya, konsep Foucault yang melandasi paradigma penelitian pembebasan adalah konsep “power/knowledge”, yang mengacu pada hubungan dialektis antara kekuasaan dan pengetahuan. Kekuasaan terartikulasi ke dalam pengetahuan, dan sebaliknya pengetahuan terartikulasi ke dalam kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan tak hanya punya “relasi” dengan pengetahuan, melainkan kekuasaan “terdiri atas” pengetahuan , sebagaimana halnya pengetahuan juga “terdiri atas” kekuasaan. Jadi, tidak ada pengetahuan yang bebas nilai, yang bebas dari kepentingan kekuasaan. Karena itu, tugas kaum intelektual adalah membantu membangkitkan “pengetahuan-pengetahuan yang tertindas”  (Gordon  1977: 81, dikutip dalam Aditjondro 2003b: 148).

            Berbeda dengan Gramsci yang membedakan intelektual tradisional dari intelektual organik, Foucault membedakan intelektual “universal” dari intelektual “spesifik”. Intelektual universal adalah intelektual yang menganggap dirinya “hati nurani” dan “jurubicara” kaum proletar dan rakyat pada umumnya, sementara siapa yang diwakilinya, tidak jelas. Sebaliknya, intelektual spesifik melibatkan diri dalam pergumulan rakyat yang konkrit, dan ikut berkonfrontasi dengan musuh-musuh rakyat miskin, seperti maskapai transnasional, polisi, aparat hukum, dan calo properti (Gordon 1980: 126, dikutip dalam Aditjondro 2005: 36). 

      Selanjutnya, Paulo Freire, pedagog pembebasan asal Brazil, menyumbang paradigma ini dengan proses dekodifikasi, yang berangkat dari pengertian filsafat Gramsci. Proses ini berawal dari “kodifikasi”, representasi dari realitas sosial yang nyata, berupa citra (image), simbol, ide, konsep atau kata. Proses pendidikan radikal yang diciptakannya bersama para petani buta huruf di Brazil, membongkar apa yang tersurat dan tersirat di balik kodifikasi itu. Proses de-kodifikasi atau “de-coding “ itu berupa diskusi atau perdebatan yang berangsur-angsur bergerak dari penggalian “struktur permukaan”, mengamati apa yang dapat tampak secara kasat  mata, terus menerobos ke “struktur dalam” kodifikasi itu (lihat Matthews 1980: 90-91; Freire 1981: 45). Misalnya, dalam dekodifikasi terhadap peristiwa bom Bali II, dengan menggunakan foto-foto atau film bom Bali II sebagai kodifikasi, lingkaran-lingkaran belajar a la  Freire bergerak berangsur-angsur dari keterkejutan terhadap kehebatan bom, kesadisan si peledak bom, dan parahnya keadaan para korban, ke refleksi yang lebih mendalam terhadap budaya kekerasan yang melanda masyarakat kita, siapa yang melestarikan budaya kekerasan itu, dan apa manfaat yang mereka petik dari pelestarian budaya kekerasan itu.

Last but certainly not least,  paradigma penelitian pembebasan dipengaruhi oleh kritik para feminis, yang mengecam para peneliti partisipatoris –termasuk Freire -- karena masih “buta gender “. Maklumlah, para peneliti, responden maupun mitra peneliti kebanyakan laki-laki, dan bahasa yang digunakan dalam komunikasi di antara mereka masih didominasi perspektif laki-laki, yang sering menganggap perspektif perempuan sudah dengan sendirinya tercakup dalam perspektif laki-laki (disarikan dari Maguire 1987).

PERSAMAAN  &  PERBEDAAN  DENGAN  PENELITIAN  KONVENSIONAL:
URAIAN  panjang lebar di atas tidak berarti bahwa tidak ada persamaan antara penelitian konvensional dan penelitian pembebasan, yang masih dapat digolongkan sebagai bagian dari mazhab penelitian partisipatif. Ada tiga hal yang merupakan persamaan kedua genre  penelitian ini, yakni:
(1). Kesadaran akan potensi bias  (keberatsebelahan)  dalam pribadi sang peneliti, yang sebagai manusia biasa dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin dan orientasi seksualnya, latar belakang kelas, etnisitas, ras, agama, umur, dan ideologinya;
(2). Dalam penelitian pembebasan, peneliti tetap diharapkan menguasai berbagai metode penelitian, baik kuantitatif maupun kualitatif, makro maupun mikro, terstruktur maupun eksploratif;
(3). Peneliti tetap diharapkan selalu bersikap skeptis terhadap kesan-kesan atau temuan-temuan pertama, dan selalu terbuka untuk mempertanyakan kembali praduga di balik kesan dan temuan pertama itu.

            Perbedaan pokok penelitian pembebasan dan penelitian konvensional hanya satu: peneliti pembebasan harus dengan rendah hati melihat dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang diteliti, bukan sebagai ‘orang kampus’  yang datang mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi ‘orang kampung’. Berbeda dengan peneliti konvensional yang bagaikan tupai selalu meloncat dari satu ‘proyek’ penelitian ke ‘proyek’ lain, peneliti pembebasan bersama-sama mitra penelitiannya menyusun agenda aksi untuk menegakkan kedaulatan mereka agar dapat mengembangkan potensi diri mereka secara penuh. Untuk itu ia harus bersedia memberikan komitmen jangka panjang untuk bekerja bersama masyarakat mitra penelitiannya.

Secara lebih terinci, posisi penelitian pembebasan berseberangan dengan penelitian konvensional, yang berpegang pada norma-norma standar (lihat Daftar 1). Penelitian konvensional lebih condong ke norma-norma di kolom kanan, sedangkan penelitian pembebasan condong ke norma-norma di kolom kiri. Kedua perangkat norma itu bukanlah dikotomi, melainkan spektrum norma yang bergerak dari satu ujung ke ujung lain. Sebab, ada norma yang tumpang tindih. Seperti ditulis oleh Maguire, apa yang disebut “obyektivitas” seringkali merupakan “subyektivitas kaum lelaki” (1987: 86-7).

Daftar 1: Perbedaan Antara Penelitian Konvensional & Penelitian Pembebasan
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PENELITIAN PEMBEBASAN                  PENELITIAN KONVENSIONAL

1.               Subyektivitas  <-----------------------------------à Obyektivitas
2.               Sedekat mungkin dng Subyekß-------------à Sejauh mungkin dari Subyek
3.               Keunikan ß----------------------------------------à Keuniversilan
4.               Kedaulatan Lokal  ß--------------------- -------à Kontrol Sosial
5.               Solidaritas & Aksi Bersama ß-----------------à   Rekomendasi Imparsial
Sumber: Maguire 1987: 86-101.




TRIANGULASI & INTEGRASI BERBAGAI METODE:
            MELIHAT perbedaan antara kedua paradigma di atas, orang kadang-kadang menarik kesimpulan, bahwa penelitian pembebasan hanya mengandalkan metode penelitian yang kualitatif, khususnya studi kasus dan grounded theory. Hal itu tidak betul. Metodologi – dalam arti, kumpulan metode yang terintegrasi secara logis  – yang digunakan, sangat tergantung dari besarnya populasi, luasnya daerah penelitian dan pertanyaan penelitian (research question) itu sendiri.

Beberapa metode dapat digunakan secara berlapis atau simultan, yang dikenal dengan istilah triangulasi, atau kedua-duanya. Misalnya, mulai dengan beberapa lapis survei, yang lazimnya digolongkan sebaai metode kuantitatif, disusul dengan beberapa metode penelitian yang kualitatif, misalnya dengan melakukan pengamatan tanpa terlibat di daerah yang agak luas, disusul dengan pengamatan terlibat dan wawancara mendalam dengan informan kunci. Sepanjang seluruh proses penelitian dari global ke individual itu pengumpulan data tertulis, dari literatur tentang daerah dan topik itu, statistik, sampai ke catatan pribadi para informan, terus dilakukan.[2]

            Supaya lebih jelas, mari kita bahas sebuah contoh imajiner: penelitian eksploratif tentang “makna kuda dalam masyarakat Sumba”, dilandasi kepedulian terhadap mulai langkanya kuda di Sumba (Beding & Beding 2002: 4-5).[3] Padahal sejumlah literatur menggambarkan pentingnya kuda bagi masyarakat Sumba, bukan hanya sebagai alat transpor; tapi sebagai bagian dari belis (mas kawin); sebagai bagian dari berbagai ritus agama Marapu, terutama ritus kematian; sebagai simbol kejantanan, khususnya dalam upacara pasola, dan sangat menonjol dalam motif tenunan di seluruh pulau, dan sebagai symbol status sosial. Kuda ada pada logo Gereja Kristen Sumba (GKS), yang dikecam oleh aliran Kristen Karismatik dan Evangelikal. Lembaga diakonia  GKS pun bernama Yayasan Kuda Putih Sumba[4] (lihat Saunders 1977: 79-88; Beding & Beding 2002:  59, 78-82; Purnawan & Sitanggang 2004; Wellem 2004: 64-5, 81, 84; Nuban Timo 2005: 180-218).
Untuk menjawab pertanyaan penelitian (“apa makna kuda dalam masyarakat Sumba masa kini?”), maka langkah pertama adalah melakukan survei dengan cuplikan acak (random sampling) yang meliputi kedua kabupaten (Sumba Barat dan Timur), di mana kemungkinan jawaban dalam kuestioner, dibatasi. Langkah kedua, hasil tabulasi survei pertama dikembalikan ke rakyat Sumba, tapi kini difokuskan ke-16 bekas swapaja, penjelmaan dari ke-16 leluhur (‘Marapu’) orang Sumba, seperti Kodi dan Memboro di Sumba Barat, serta Prailiu, Rende dan Pau di Sumba Timur (Beding & Beding 2002: 48, 50; Purnawan & Sitanggang 2004: 55, 63, 71-2). Kuestioner perlu ditambah pertanyaan, apa yang harus dilakukan para responden menghadapi penurunan populasi kuda. Sedangkan dari sudut kesetaraan jender  perlu ditanyakan, apakah penggantian kuda oleh sepeda motor sebagai sarana transpor, mempertinggi mobilitas perempuan, serta implikasinya.
Penentuan cuplikan harus diarahkan (stratified sampling) untuk menjaring pendapat laki-laki dewasa, perempuan dewasa, dan lajang. Begitu pula keterwakilan ata (hamba), kabihu (orang merdeka; orang kebanyakan), dan  maramba  (bangsawan) dalam cuplikan perlu dijaga, mengingat ketatnya stratifikasi sosial masyarakat Sumba (Beding & Beding 2002: 38).

Hasil tabulasi survei kedua itu dikembalikan lagi ke rakyat Sumba, melalui focus group discussions  di tiap ex swapraja yang sudah disinggung di atas. Peserta grup-grup diskusi tersebut hendaknya diatur sehingga tidak saja representatif berdasarkan jenis kelamin dan umur, tapi juga representasi pemilik kuda, penunggang dan pemacu kuda, penenun yang akrab dengan motif kuda, agen sepeda motor, pengojek, bahkan bandar judi saat pacuan kuda. Diskusi-diskusi tersebut dapat menggunakan tenunan bermotif kuda, sepeda motor, foto pacuan kuda dan alat judi sebagai kodifikasi. Wawancara mendalam (in depth interviews) digencarkan, berbareng dengan focus group discussions  tersebut. Hasil akhir penelitian ini, selain tesis, dapat berwujud pengukuhan identitas budaya orang Sumba, sebagai basis resistensi kultural rakyat menghadapi invasi korporasi-korporasi besar, yang difasilitasi oleh negara (Aditjondro 2005).

PENUTUP:
            BEGITULAH gambaran penulis tentang penelitian pembebasan, paradigma alternatif yang lebih penad bagi peneliti dari kelompok sosial yang pemberdayaannya merupakan kepedulian utama mereka. Paradigma ini didasarkan pada pengamatan  bahwa penelitian konvensional terutama memberdayakan peneliti, perguruan tinggi, negara dan modal, sementara rakyat sebagai sumber pengetahuan, tetap tinggal dalam kemiskinan dan keterasingan. Paradigma ini dilandasi filsafat Gramsci, Freire, Foucault, serta praxis peneliti feminis. Hubungan antara penelitian pembebasan dan penelitian konvensional juga dibahas, berikut hubungannya dengan metode-metode penelitian yang sudah dikenal, baik yang kualitatif maupun kuantitatif. Sebagai contoh diajukan strategi meneliti makna kuda dalam masyarakat Sumba.

Yogyakarta, 28 Februari 2006.

Kepustakaan:
Aditjondro, George Junus (1993a). The media as development “textbook”: a case study on the information distortion in the debate about the social impact of an Indonesian dam. Tesis Ph.D. di Cornell University, Ithaca, AS.
-----------------(1993b). Gerakan-gerakan sosial (social movements) sebagai pendorong perkembangan ilmu pengetahuan, serta sumbangannya bagi pengembangan kurikulum PPs-SP UKSW.  Makalah untuk Seminar Program Pascasarjana Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana (PPsSP-UKSW) di Salatiga, 27 April.
-----------------(1993c). “Sumbangan gerakan-gerakan sosial bagi pengembangan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi”. Bina Darma,  No. 2( 41): 91-111.
----------------- (1995). “Implications of a shift from ‘pro-State’ to ‘pro-Society’ social scientists”. Dalam Nico Schulte Nordholt & Leontine Visser (peny.). Social science in Southeast Asia: fro particularism to universalism. Amsterdam: VU University Press, hal. 33-42.
----------------(2002). “Burung-burung kondor berterbangan di atas bumi Sulawesi: Kapitalisme ekstraktif, imperialisme mineral, dan peranan kelas komprador domestik dalam industri pertambangan di Indonesia”. Kata Pengantar dalam Arianto Sangaji. Buruk Indo, rakyat digusur: ekonomi politik pertambangan di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. Ix-xxii.
---------------(2003a). “Renungan tentang satu dasawarsa upaya advokasi internasional bagi masalah lingkungan Indonesia”. Dalam George Junus Aditjondro. Kebohongan-kebohongan negara: Perihal kondisi obyektif lingkungan hidup di Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 163-228.
----------------(2003b). “Gerakan lingkungan menyumbang demokratisasi?” Dalam George Junus Aditjondro. Pola-pola gerakan lingkungan: Refleksi untuk menyelamatkan lingkungan dari ekspansi modal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 147-56.
---------------- (2005). Menghadapi serbuan burung-burung kondor pemakan bangkai: Dapatkah kekuatan-kekuatan rakyat menangkal serbuan korporasi domestik dan asing ke bumi dan laut Flobamora? Makalah untuk Workshop “Ornop dan Alternatif Gerakan Sosial” yang diselenggarakan oleh UPKM/CD RS Bethesda, Yogyakarta dan Yayasan Alfa Omega di Kupang, 1 s/d 3 Desember.
Beding, B. Michael & S. Indah Lestari Beding (2003). Ringkiknya sandel, harumnya cendana: The neigh of sandalwood horses, the fragrance of sandalwood.  Waingapu: Pemda Kabupaten Sumba Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Brannen, Julia (peny.). Memadu metode penelitian kualitatif & kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Davidson, Alastair (1968). Antonio Gramsci: The man, his ideas. An Australian Left Review Publication.
Freire, Paulo (1981). Education for critical consciousness. New York: Continuum. Fuentes, Marta & Andre Gunder Frank (1989). “Ten theses on social movements.” World Development, 17 (2).
Gordon, C. (peny.) (1977). Power/knowledge: Selected interviews and other writings 1972-1977 by Michel Foucault. New York: Pantheon Books.
Heriyanto, Ariel (2003). ‘Public intellectuals, media and democratization: cultural politics of the middle classes in Indonesia,’ dalam Ariel Heriyanto & Sumit K. Mandal (peny.). Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing Indonesia and Malaysia. New York: RoutledgeCurzon, hal. 24-59.
Joll, James (1977). Gramsci. Glasglow, UK: Fontana/Collins.
Maguire, Patricia (1987). Doing participatory research: a feminist approach. Amherst, Mass.: The Center for International Education, School of Education, University of Massachusetts.
Matthews, Michael R. (1980). The Marxist theory of schooling: a study of epistemology and education. Atlantic Highlands, NJ: Humanities Press Inc.
Nuban Timo, Eben (2005). Sidik jari Allah dalam budaya: Upaya menjajaki makna Allah dalam perangkat budaya suku-suku di Nusa Tenggara Timur. Maumere: Penerbit Ledalero.
Purnawan, Fenny & Poriaman Sitanggang (2004). Kain untuk suami: Fabric for beloved husband. Jakarta: PT Indofood Sukses Makmur Tbk & PT Natayu.
Saunders, Kim Jane (1997). Contemporary tie and dye textiles of Indonesia. Singapore: Oxford University Press.
Showstack Sassoon, Anne (1987). Gramsci’s Politics. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Wellem, F.D. (2004). Injil & Marapu: Suatu studi historis-teologis tentang perjumpaan Injil dengan masyarakat Sumba pada periode 1876-1990.  Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.


[1]              ). Pemikiran ke arah ini merupakan hasil renungan penulis selama 15 tahun, melalui sorotan terhadap peranan gerakan-gerakan kemasyarakatan dalam produksi pengetahuan, diterangi oleh filsafat Freire, Gramsci dan Foucault. Lihat Aditjondro 1993b, 1993c, 1995, 2003a, dan 2003b. Ada yang menyebut paradigma penelitian ini penelitian aksi, penelitian partisipatori, dan penelitian penyadaran, tetapi penulis memilih istilah ‘penelitian pembebasan’, yang tidak mengacu kepada tekniknya (aksi, partisitori) , tapi kepada filosofi dasarnya. Dalam hal ini paradigma ini lebih dekat dengan penelitian penyadaran (conscientizing research).
[2]              ) Untuk contoh-contoh cara memadukan penelitian kualitatif dan kuantitatif, lihat Brannen 2005.
[3]              ). Penurunan populasi kuda di Sumba, yang menurut seorang aktivis ornop di Sumba tidak terlalu drastis, pertama, karena penyakit ternak, dan kedua, karena dijual kepada saudagar-saudagar yang selanjutnya menjual kuda yang dibelunya ke luar daerah. Persoalan sekarang adalah, pemilikan kuda di Sumba secara kuantitas tidak lagi di tangan orang-orang pribumi Sumba. Sementara itu, fungsi kuda sebagai alat transpor di kota sudah banyak sekali digantikan oleh kendaraan bermotor. Kuda yang masih ada di kota, terutama milik orang-orang kaya yang punya hobi memelihara kuda pacuan, untuk pacuan kuda yang sering diadakan secara bergantian di Sumba Timur dan Sumba Barat. Selain untuk prestise kelas atas, pacuan kuda juga menjadi ajang perjudian dari semua kelas sosial ekonomi.  Sedangkan di kampung-kampung, peranan kuda sebagai alat transpor juga sudah berkurang, walaupun tidak sedrastis di kota. Soalnya, sarana transportasi umum dengan kendaraan bermotor sudah masuk ke pelosok-pelosok desa, termasuk pengojek bersepeda motor. Komunikasi pribadi dengan narasumber melalui pesan singkat lewat ponsel (sms), 28 Februari 2006.
[4]              ). Sungguh luarbiasa penetrasi kuda, yang bukan hewan asli Nusa Tenggara, ke dalam sistem sosial dan sistem nilai masyarakat Sumba, mirip seperti adopsi kuda, yang dibawa oleh orang Spanyol, ke dalam sistem sosial dan sistem nilai bangsa-bangsa Amerika Asli di padang-padang rumput (prairies ) Amerika Serikat. Kuda Sumba, yang dikenal dengan istilah kuda sandel, dari nama sandalwood  atau kayu cendana, bukan kuda asli dari Sumba. Nenek moyang kuda Sumba berasal dari daratan Tiongkok, mungkin dari  Mongolia, yang dibawa oleh nenek moyang orang Sumba dari Hindia Belakang melalui Semenanjung Melayu, akhirnya sampai ke Sumba. Di zaman Hindia Belanda, sedikitnya ada tiga gelombang persilangan kuda yang berasal dari stepa-stepa Mongolia itu. Tahun 1600-an, pernah didatangkan kuda dari Inggris. Makanya dalam bahasa Sumba-Kambera dikenal istilah njara Murihu,  atau kuda Inggris. Kemudian, di tahun 1800-an, ada persilangan lagi dengan kuda bibit dari Arab. Selanjutnya, di awal 190-an dimulai penyilangan dengan kuda dari Pakistan dan Australia. Hasilnya adalah kuda sandel yang tingginya antara 1,48 sampai 1,50 meter (Beding & Beding 2002: xxii, 78-82). Boleh jadi, selain faktor-faktor sosial, padang-padang sabana di Sumba merupakan habitat yang sangat mendukung berkembang-biaknya kuda ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar