Minggu, 17 Juli 2011

DARI BUDAYA PERANG KE BUDAYA PERDAMAIAN:

Mencari Model Polisi Pemelihara Perdamaian

oleh George Junus Aditjondro

PENGANTAR

            ORANG sering bertanya, apakah polisi yang bertugas di daerah konflik merupakan pemecah permasalahan, ataukah justru bagian dari permasalahan (are they the problem solvers, or are they part of the problem)?

Dari berbagai studi saya terhadap kerusuhan dan konflik di Maluku (2001), Papua Barat (2004b) dan Poso (2004a, 2004c, 2005, 2006), serta studi-studi yang dilakukan oleh peneliti lain di Poso (Sangaji 2005; Nadia 2005), Aceh (Hutabarat 2003; Ishak 2004) dan Maluku (Hutabarat 2003; Malik 2004; Pontoh 2004), kehadiran polisi tampaknya lebih merupakan bagian dari permasalahan, ketimbang pemecah masalah (problem solver).


Masih mungkinkah keadaan ini dibalik? Saya rasa, mungkin saja. Berdasarkan pengamatan empiris di berbagai daerah konflik itu, terutama berdasarkan pengamatan lapangan saya di Sulawesi Tengah sejak Juli 2002, ada hal-hal yang dapat dilakukan untuk membuat polisi lebih menjadi pemecah permasalahan, dengan kata lain, pemelihara perdamaian, ketimbang menjadi pengawet kerusuhan.

            Hal itu bukan merupakan pemikiran sesaat, menjelang lokakarya ini, melainkan sudah menjadi pemikiran saya sejak tahun 2004, di mana dalam pemecahan masalah kerusuhan di Poso dan Morowali, saya mengusulkan tiga hal sebagai berikut yang berkaitan dengan kehadiran pasukan-pasukan bersenjata di daerah Sulawesi Tengah, yakni (2004a: 153-4):

(a). Menolak penetapan status darurat sipil bagi daerah Poso dan Morowali;

(b). Secara konsepsional, mulai membedakan militer (TNI) dan polisi, baik institusinya maupun tugas dan cara operasionalnya, sehingga masyarakat luas tidak lagi selalu menganggap kedua kekuatan bersenjata itu mempunyai fungsi yang sama. Dalam sebuah negara yang demokratis dan menganut supremasi sipil, polisi adalah bagian dari pemerintah sipil, berada di bawah komando kepala daerah, dan tugasnya adalah menegakkan keamanan dalam negeri (internal security ). Sedangkan militer berada di bawah komando Presiden sebagai Kepala Negara, dan hanya bertugas mempertahankan negara dari serbuan musuh, tanpa diembel-embli fungsi-fungsi politik dan ekonomi, seperti yang sekarang masih kita lihat di negara kita.

(c). Menarik pasukan-pasukan TNI/Angkatan Darat dan Brimob dari daerah Sulawesi Tengah bagian Timur, baik pasukan yang beroperasi secara terbuka, maupun pasukan-pasukan yang beroperasi secara terselubung.

(d). Memprioritaskan pemanfaatnan tenaga polisi untuk pengamanan di daerah kerusuhan, dengan meningkatkan profesionalisme mereka dalam menghadapi gejolak, unjuk rasa, dan bentuk-bentuk kerusuhan sosial lainnya dengan teknik pengendalian huru-hara tanpa membunuh.

MENEGAKKAN WIBAWA, TANPA DITOPANG SENJATA

            UNTUK dapat diterima sebagai pelerai yang tidak berfihak, polisi yang ditempatkan di daerah konflik sebaiknya bersikap sebagai berikut:

  1. Hormatilah perempuan setempat bagaikan ibu atau saudara perempuan Anda sendiri.
  2. Hormatilah adat, agama, dan kepercayaan rakyat setempat, betapapun Anda merasa itu aneh, lebih rendah, atau bertolak belakang dengan adat, agama, dan kepercayaan Anda sendiri.
  3. Jangan terlibat dalam kegiatan bisnis selama berada di daerah konflik, bahkan selama bertugas sebagai anggota Polri.
  4. Perkuat kedaulatan Rakyat, bukan kedaulatan Negara, apalagi kedaulatan Modal.

Sederhana tampaknya, keempat anjuran tersebut. Tapi pengamatan lapangan menunjukkan betapa sulitnya memenuhi anjuran-anjuran tersebut. Ambil saja anjuran yang pertama. Baik di Aceh maupun di Poso, pelecehan seksual begitu sering dilakukan oleh personil aparat bersenjata, sehingga banyak singkatan yang telah timbul untuk melecehkan aparat, suatu bentuk perlawanan kultural rakyat setempat. Seiring dengan pergeseran dominasi militer (TNI/AD) yang mulai membagi peranan sebagai ‘penjaga keamanan’ di daerah-daerah konflik, istilah-istilah plesetan itu juga bergeser dari Koramil  (korban rayuan militer) dan Babinsa  (babini di sana-sini,  beristeri di sana-sini) ke SSB (sisa-sisa Brimob) dan Selebrites  (selera Brimob & Perintis) (Hutabarat 2003: 216; Aditjondro 2005: 19). Sedangkan di Aceh ada pemaknaan lain buat Kopassus, yakni korps pegang susu  (Hutabarat, idem).

Namun pada saat yang sama, muncul pula berbagai istilah untuk melecehkan perempuan setempat yang mau berpacaran atau bergaul dengan personil aparat bersenjata, seperti “perempuan gatal”, “perempuan organik” (bandingkan dengan ‘senjata organik’), dan “penggoda” (Hutabarat, idem). Sedangkan di Poso, khususnya di daerah Tentena yang kini dihuni ribuan pengungsi Nasrani yang lari dari kota Poso dan sekitarnya, muncul istilah tapol, sebagai singkatan dari tampa bapolo’  (tempat berpelukan) bagi perempuan setempat yang mau berpacaran dengan anggota TNI dan Polri.

Selain bayi-bayi yang terlahir dari hubungan seksual antara anggota TNI dan Polri dengan perempuan-perempuan setempat, ada masalah yang lebih gawat lagi. Di Tanah Papua, yang merupakan salah satu daerah dengan konsentrasi pasukan tertinggi, pengidap virus HIV/AIDS di antara militer dan polisi sudah sangat tinggi. Masalah keterlibatan tentara dan polisi dalam industri seks di Tanah Papua, tidak hanya dapat menimbulkan dampak demografis yang negatif di Tanah Papua, tapi juga di daerah-daerah lain yang menjadi penerima pasukan tentara dan polisi yang sebelumnya ditempatkan di Tanah Papua. Tahun 2003, satuan Brimob Papua telah membawa pulang 21 orang perempuan Poso yang telah mereka nikahi di Tanah Poso. Tanpa screening HIV/AIDS terhadap personil tentara dan polisi pada saat mereka masuk dan meninggalkan lokasi penugasan mereka, tidak tertutup kemungkinan bahwa aparat bersenjata ikut menjadi penyebar penyakit yang dapat berakibat dahsyat terhadap populasi penduduk setempat maupun terhadap keluarga serdadu dan polisi yang ditinggal di rumah (Aditjondro 2004b: 107).

Masalah ini dari hari ke hari semakin gawat, ibarat “bom waktu” yang siap meledak”. Saya tidak punya data pengidap HIV/AIDS dari kalangan polisi di Tanah Papua. Tapi sebagai perbandingan kita dapat melihat peningkatan jumlah pengidap HIV/AIDS di kalangan tentara. Akhir 2005, sudah 48 anggota TNI di Kodam XVI Trikora yang positif terinfeksi HIV/AIDS, sementara 12 orang di antaranya sudah meninggal dunia (Jawa Pos,  6 Desember 2005). Makanya, perhatian para pekerja anti-HIV/AIDS  kini tidak hanya  ditujukan kepada PSK, gay, lesbian, serta pengguna jarum suntik kolektif, tapi juga kepada ‘tiga S’, yakni sopir, saudagar, dan serdadu dalam arti luas, termasuk polisi (Aditjondro 2004c: 150-1).

MENGATASI PERTIKAIAN, MENCIPTAKAN PERDAMAIAN SEJATI

            DILANDASI hubungan yang saling menghormati di antara rakyat setempat dan polisi yang ditugaskan di daerah konflik, empat saran berikut mudah-mudahan dapat menolong peredaan konflik dan penciptaan perdamaian yang sejati.

  1. Teliti lebih dahulu apa akar penyebab konflik. Jangan terkecoh oleh apa yang tampak di permukaan, sebab konflik dapat disebabkan  oleh:
(a). perebutan penguasaan sumber daya alam setempat;
(b). perebutan wilayah kekuasaan antara pemerintah sipil dan aparat bersenjata (komando territorial);
(c). perebutan anggaran keamanan antara polisi dan militer;
(d). perebutan ‘kapling’ kekuasaan politik di antara para politisi sipil.

  1. Teliti lalu perkuat pranata-pranata resolusi konflik rakyat setempat yang berdasarkan adat, agama, dan kepercayaan; yang dipengaruhi pembagian wilayah (domain ) sesuai dengan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin; pembagian wilayah “kering” (mis. banjar) dan “basah” (mis. Subak) pada masyarakat Bali; atau pembagian tata ruang berdasarkan pelapisan sosial (misalnya, pada masyarakat Dayak Ngaju, daerah hulu sungai hanya boleh ditempati oleh cikal bakal kampung dan orang-orang merdeka lainnya, sedangkan mereka yang keturunan budak atau korban perang antar kampung yang dibawa oleh pemenang perang hanya boleh menempati daerah hilir sungai).

  1. Dalam banyak masyarakat adat, perempuan dan pemuda yang belum menikah merupakan segmen masyarakat yang dimarjinalkan, karena dianggap “warganegara kelas dua”, sehingga setiap lembaga dari luar yang ingin mendorong transformasi masyarakat ke arah yang lebih egaliter, berusaha mendorong keterlibatan kelompok-kelompok marjinal tersebut secara gradual.

  1. Setiap peluru yang ditembakkan, setiap sangkur yang ditancapkan, dan setiap nyawa yang melayang hanya akan menambah bibit perpecahan dan konflik yang berkelanjutan. Sebaliknya setiap pasang tangan yang berjabatan akan mempererat kekompakan masyarakat. Karena itu, penyelesaian konflik lewat meja perundingan selalu lebih mulia ketimang lewat medan laga, asal saja perundingan itu tidak hanya bersifat gencatan senjata, dengan menutup-nutupi peranan mereka yang merupakan biang perpecahan.

  1. Supaya polisi dapat menjadi jurudamai di daerah konflik, lembaga kepolisian ini harus betul-betul bersifat independen, dengan pengayoman rakyat sebagai tujuannya yang utama, dan tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk operasi-operasi intelijen dan counter-insurgency.[1]  Hal ini penting menjadi catatan penutup, karena seperti juga TNI, Polri punya sejarah panjang keterlibatan dalam berbagai operasi intelijen di tanah air (Abduh 2006). Misalnya, operasi intelijen untuk memenangkan faksi pro-integrasi dalam Referendum di Timor Leste bulan Agustus 1999 (yang melibatkan Kapolda Timor Timur waktu itu, Brigjen (Pol) Timbul Silaen, yang kini staf ahli Kepala BIN), serta berbagai usaha menggalang dukungan kelompok-kelompok Muslim militan di Jakarta, di bulan November 1998 (yang melibatkan Kapolda Metro Jaya waktu itu, Mayjen (Pol) Noegroho Djajusman), serta dalam kampanye Pilpres Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2004 (yang antara lain melibatkan Kapolda Metro Jaya waktu itu, Mayjen (Pol) Makboel Padmanegara, kini Kepala Bareskrim Mabes Polri). Juga, keterlibatan Detasemen Khusus Anti Teror, yang lebih dikenal dengan singkatan Densus 88, dalam penangkapan dan penahanan aktivis-aktivis Muslim militan, setelah sebelumnya sejumlah perwira tinggi (pati) dan perwira pertama (pamen) TNI/AD aktif terlibat dalam penggalangan kelompok-kelompok Muslim maupun non-Muslim tersebut, baik di bawah payung BIN maupun di bawah patronase jenderal-jenderal purnawirawan tertentu, mengurangi kepercayaan rakyat pada Polri sebagai jurudamai.

Yogyakarta, 26 April 2006.

Kepustakaan:
Abduh, Umar (2001). Pesantren Al-Zaytun sesat? Investigasi mega proyek dalam gerakan NII. Jakarta: Darul Falah.
---------- (peny.) (2003). Konspirasi intelijen & gerakan Islam radikal. Jakarta: CeDSoS (Center for Democracy and Social Justice Studies).
---------- (2006). Peran intelijen dalam konflik Poso.  Makalah untuk Diskusi Publik ‘Mengungkap Keterlibatan Negara dalam Kekerasan Politik di Poso’ yang diselenggarakan JRK, JKB, CeDSoS, dll di Jakarta, 25 April.
Aditjondro, George Junus (2000). “Di balik asap mesiu, air mata dan anyir darah di Maluku”. Epilog dalam Zairin Salampessy & Thamrin Husain (peny.). Ketika semerbak cengkih tergusur asap mesiu: Tragedi kemanusiaan Maluku di balik konspirasi militer, kapitalis birokrat, dan kepentingan elit politik. Jakarta: TAPAK Ambon, hal. 131-75.
---------------- (2004a). “Kerusuhan Poso dan Morowali, akar permasalahan dan jalan keluarnya”. Dalam Stanley (peny.). Keamanan, demokrasi, dan Pemilu 2004. Jakarta: Pripatria, hal. 109-55.
----------------- (2004b). “Dari gaharu ke bom waktu HIV/AIDS yang siap meledak: Ekonomi politik bisnis tentara di Tanah Papua”. Wacana,  Jurnal Ilmu Sosial Transformatif. No, 17/Th. III, hal. 83-112.
----------------- (2004c). “Kayu hitam, bisnis pos penjagaan, perdagangan senjata dan proteksi modal besar: Ekonomi politik bisnis militer di Sulawesi bagian Timur”. Wacana,  No. 17/Th. III, hal. 137-78.
----------------- (2005). Setelah gemuruh wera Sulewana dibungkam: Dampak pembangunan PLTA Poso & Jaringan SUTET di Sulawesi.  Kertas Posisi No. 3. Palu: Yayasan Tanah Merdeka.
------------------ (2006). Di balik heboh  pro & kontra eksekusi Tibo dkk: Mengungkap kepentingan ‘tritunggal’ modal, militer dan milisi di balik desakan eksekusi Tibo dkk di Palu, Sulawesi Tengah.  Makalah untuk Diskusi Publik ‘Mengungkap Keterlibatan Negara dalam Kekerasan Politik di Poso’ yang diselenggarakan JRK, JKB, CeDSoS, dll di Jakarta, 25 April.
CeDSoS, Tim (2005). Di balik berita bom Kedutaan Besar Australia & skandal terorisme. Jakarta: CeDSoS & KAL-SMID.
Hutabarat, Rainy M.P. (2003). “Korban dan Aktor yang Mempertahankan Hidup: Peran Gender dan Posisi Perempuan di Wilayah Konflik Aceh dan Maluku”. Dalam Victor Silaen (peny.). Dari Presiden ke Presiden: Pikiran-Pikiran Reformasi yang Terabaikan. Jakarta: UKI Press, hal. 208-32.
Ishak, Otto Syamsuddin (2004). “Ganja Aceh dan serdadu Indonesia dalam periode Perang Aceh 1989-2003”. Wacana,  No. 17/Th. III, hal. 61-82.
Malik, Ichsan (2004). “Bisnis militer di wilayah konflik Maluku”. Wacana,  No. 17/Th. III, hal. 113-20.
Nadia, Ita (2005). “Teror Politik Berbasis Gender”, Kompas, 11 November.
Pontoh, Coen Husain (2004). “Bedil, amis darah, dan mesiu: Mengurai keterlibatan militer dalam konflik Ambon”. Wacana, No. 17/Th. III, hal. 121-36.
Sangaji, Arianto (2005). Peredaran ilegal senjata api di Sulawesi Tengah.  Kertas Posisi No. 04. Palu: Yayasan Tanah Merdeka.
Curriculum Vitae
George Junus Aditjondro

Tempat & tgl lahir: Pekalongan, 27 Mei 1946.

Pendidikan:
  1. 1991: Master of Science, Cornell University, Ithaca, N.Y., dengan tesis tentang proses belajar tentang pengembangan masyarakat di antara pimpinan dan staf sebuah ornop, Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja).
  2. 20 Januari 1993: Philosophical Doctor (Ph.D.), Cornell University, Ithaca, N.Y., dengan tesis tentang proses pendidikan publik tentang dampak pembangunan bendungan Kedungombo di Jawa Tengah.

Pekerjaan:
  1. 1971-1979: Jurnalis, a.l. Majalah TEMPO.
  2. 1981-1989: Pekerja Pengembangan Masyarakat, a.l. Sekretariat Bina Desa (Jakarta), WALHI, dan Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja).
  3. 1989-2002: Dosen Program Pasca-sarjana Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Murdoch University (Perth, Australia Barat, Australia), dan University of Newcastle (Newcastle, New South Wales, Australia).
  4. Sejak Januari 2001: Anggota Dewan Penasehat Center for Democracy & Social Justice Studies (CeDSoS).
  5. Sejak November 2002: Konsultan Penelitian & Penerbitan Yayasan Tanah Merdeka, Palu.
  6. Sejak September 2005, ikut mengampu mata kuliah Marxisme, Gerakan Sosial Baru dan Metodologi Penelitian di Program Studi Ilmu, Religi dan Budaya (IRB), Program Pasca Sarjana, Univ. Sanata Dharma, Yogyakarta.

Karya Tulis:
Puluhan buku, bab, kata pengantar, prolog dan epilog tentang Timor Leste, Papua Barat, Aceh, Maluku, Sulawesi dan berbagai kelompok etno-linguistik di Sulawesi dan Kalimantan, lingkungan hidup, serta tentang korupsi sistemik mantan Presiden Soeharto, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Segera terbit: Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa, oleh Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Yogyakarta.


[1] ). Di masa puncak kerusuhan di Ambon tahun 1999, posisi Ketua MUI Maluku dijabat oleh seorang perwira polisi aktif, yakni H. Rusdi Hassanusi. Bulan Juli 1999, ia pergi ke Makassar untuk merekrut 60 orang anggota Muhammadiyah dan mengangkut mereka dengan kapal ke Ambon untuk bergabung dengan milisi Muslim lokal. Ironisnya, ia kehilangan anaknya, Alfian (Eki) Hassanusi, seorang sersan polisi yang ditembak mati oleh seorang penembak gelap pada hari Rabu, 17 Mei 2000 (Aditjondro 2001: 159). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar