Orang asli Papua:
Sebuah refleksi eksistensialis
Orang asli Papua adalah kelompok minoritas di Indonesia. Nasib orang asli Papua sangat tergantung kepada kemampuan penalaran, skill, dan manajemen orang asli Papua sendiri, tapi sayang sekali sampai dengan saat ini, Orang asli Papua mengalami krisis kebudayaan. Hal ini disebabkan kebudayaannya dibiarkan merana, tidak terawat, dan tidak dikembangkan oleh pihak-pihak yang berkompeten, terutama para elite anak orang asli Papua, yang duduk di lembaga eksekutif dan legislatif. Bahkan Kebudayaan orang asli Papua terkesan dibiarkan mati merana digerilya oleh kebudayaan “asing”, terutama dari pulau Jawa dan Sulawesi, serta tumbuh subur pelbagai stereotip atau stigma tentang watak-watak negatip yang diletakkan pada diri orang asli Papua, seperti pemabuk, seks bebas, munafik, jorok, kotor, malas, tidak suka bertanggung jawab, suka gengsi, dan tidak suka bisnis. “lebih aman jadi pegawai”, ungkap sebagian anak muda orang asli Papua.
Itulah wilayah Papua kini, yang menjadi korban dari ajang pertempuran antara Militer Indonesia dan Polisi Indonesia, antara kaum kristen dan kaum Islam, antara modernitas dan kekolotan tradisi, dan antara elite Papua dan elite non Papua, serta orang asli Papua yang kalah dari gempuran kaum kapitalis. Singkatnya, wajah orang asli Papua adalah wajah kaum yang sedang ditindas dan tertindas oleh gurita tiga ‘M’ (baca: militer, modal dan milisi).
Sehingga, kemunduran kebudayaan orang Papua asli sangat terasa sekali. Terpaan berbagai krisis yang tak pernah selesai dialami.
Hal ini tidak lepas dari dosa kolonial Belanda dan Indonesia. Terutama Indonesia. Strategi Indonesia untuk mengeksploitasi kekayaan alam di tanah Papua melalui politik memecah belah. Militerisme, kebijakan investasi dan trasmigrasi, wajahnya.
Gerilya Kebudayaan
Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi di dunia harus berjuang sekuat tenaga dengan cara apapun untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi demi meningkatkan kesejahteraan warganya. Mengingat daerah-daerah penghasil, seperti Pulau Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi hampir selesai digarap. Begitu para investor mendapat angin dari regim Orde Baru dan kini resim Cikeas, Papua lalu bagaikan diterpa badai gurun Sahara yang panas!
Pemanfaatan strategi politisasi suku dan sedikit agama untuk mendominasi dan menisbikan kebudayaan Papua mendapatkan angin bagus. Ini berlangsung dengan begitu kuat dan begitu vulgarnya.
Gerilya kebudayaan “asing” lewat politisasi suku begitu gencarnya, terutama lewat media televisi, majalah, buku dan radio. Gerilya kebudayaan melalui TV ini sungguh secara halus-nyamar-tak kentara. Orang awam pasti sulit mencernanya!