Senin, 30 April 2012

Memotong Lengan - Lengan Gurita

Oleh George Junus Aditjondro
(Dosen Ilmu, Religi & Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)

Tujuan Menulis Dua Buku Terakhir:

          Tujuan penulisan dua buku saya tentang korupsi kepresidenan SBY,  Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century, dan Cikeas Kian Menggurita , yang akan diterbitkan oleh Galangpress, ada dua. Pertama, memberikan pendidikan politik tentang hak-hak warga negara untuk mencegah akumulasi kekuasaan ekonomi dan politik penguasa di seputar Kepala Negara. Termasuk di situ adalah pendidikan politik untuk tidak hanya terpaku pada  figur, melainkan  konfigurasi  politik yang mempengaruhi pergantian pucuk pimpinan politik di negara kita.  

             Kedua, meletakkan dasar untuk spesialisasi sosiologi korupsi, khususnya korupsi kepresidenan, yang penulis rintis sejak menulis buku tentang akumulasi kekayaan keluarga Soeharto dan Habibie ( 2003), disusul dengan Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga, Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (LkiS,  2006). 


Mengapa Menggunakan Metafora “Gurita”? 

          Metafora biasa digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat unik manusia, karena metafora adalah media ekspresi yang sangat kuat untuk menggambarkan hal-hal yang disenangi maupun tidak disenanginya. Manfaat metafora, yang memadu kapasitas otak kiri (otak matematis, rasional) dengan otak kanannya (otak seni), secara etimologis, dilukiskan oleh Nick Smith (1981: 52) sebagai berikut: 

A metaphor, as commonly defined, is a figure of speech in which the meaning of a term or phrase is transferred from the object it ordinarily designates to another object so as to provide new insight or perspectiv on the latter. In a broader sense, the term metaphor may also designate a process whereby the meanings and relationships of one theory o model may suggest meanings or relationships in another area

Begitu teorinya. Sekarang aplikasinya. Dalam menggambarkan koruptor, orang paling sering menggunakan metafora tikus, karena tikus kerjanya menggerogoti segala apa yang disukai oleh manusia, mulai dari makanan s/d lemari. Belakangan ini, kecoak  mulai mendapat kehormatan untuk melambangkan koruptor. Lihat saja gambar sampul majalah Tempo, edisi 9 s/d 15 Mei 2011, dengan Laporan Utama tentang kasus korupsi proyek perumahan atlet Sea Games di Palembang, yang melibatkan beberapa orang petinggi Partai Demokrat. 

                Kedua binatang itu, tikus dan kecoak, adalah binatang yang berada satu habitat dengan manusia, namun tidak disenangi banyak orang karena biasa berada di tempat-tempat kotor, di mana aliran air mampet, di bak sampah, dan di tempat penyimpanan makanan. Tapi keduanya lebih merupakan personifikasi koruptor, bukan sistem, atau konfigurasi yang ditandai oleh relasi-relasi yang bersifat korup. 

                Untuk menggambarkan konfigurasi yang korup, lebih tepat kita gunakan metafora “gurita”, misalnya dalam istilah “gurita Cikeas”, seperti yang digunakan dalam judul kedua buku ini.  "Gurita" di sini merupakan metafora pengganti istilah "oligarki",  yang sudah lama dikenal dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi. 

Istilah "oligarki"  ini pertama kali digunakan oleh filsuf Yunani, Plato (427-347 Sebelum Masehi), dalam karyanya, Republic, untuk menggambarkan sistem masyarakat, yang dikuasai oleh segelintir orang kaya. Menurut Plato, oligarki adalah "suatu bentuk masyarakat di mana kekayaan yang menentukan kekuasaan, di mana kekuasaan politik berada di tangan orang-orang kaya sementara orang miskin tidak punya kekuasaan apa-apa" (A society where it is wealth that counts, and in which political power is in the hands of the rich and the poor have no share of it) (Aditjondro 2004: xii). 

                Metafora gurita, sudah sering digunakan dalam literatur populer tentang dunia bisnis, untuk mengacu ke bentuk-bentuk monopoli bisnis, baik oligopoly (penguasaan komoditi oleh beberapa orang produsen), maupun oligopsony (penguasaan komoditi oleh beberapa orang pembeli). Namun dalam dunia politik, penggunaan istilah “gurita” masih jarang.  

                Barangkali, judul kedua buku di atas merupakan terobosan – atau “gebrakan”, seperti diharapkan dari seminar ini -- untuk penggunaan istilah “gurita”, yang kini mulai sering  digunakan oleh literatur lain. Misalnya, istilah “gurita poros Palembang,yang digunakan oleh majalah Mimbar Politik, edisi 8-15 Januari, untuk menggambarkan dominasi segelintir politisi asal Sumatera Selatan, seperti M. Hatta Rajasa, calon besan SBY, Marzuki Alie, dan Taufik Kiemas. Selain “gurita poros Palembang”, ada  buku baru karangan Sumbu Gesang Revolusi (2010), berjudul Mengusut Gurita Istana  yang menyoroti “gurita istana” di Indonesia dan Filipina. 

Di tanah kelahiran SBY sendiri, Pacitan, telah muncul peneliti-peneliti muda yang telah meneliti berbagai jenis perselingkuhan antara birokrasi kabupaten itu dengan perusahaan-perusahaan tambang dari Tiongkok yang mulai masuk ke sana, setelah SBY terpilih jadi Presiden. Selain itu, dalam buku berjudul Gurita Pacitan: Membongkar Tuntas Jaringan Tersembunyi Mafia Koruptor,  bidang-bidang korupsi yang lain di kabupaten itu, seperti korupsi buku-buku ajar, juga disorot. 

Di luar ranah korupsi, metafor “gurita” telah digunakan oleh sebuah buku tentang pornografi. Berjudul  Gurita Pornografi Membelit Remaja, buku itu ditulis oleh  Badiatul Muchlisin Asti (Oase Qalbu, Yogyakarta, n.d.).

Selain dalam bahasa Indonesia, metafora “gurita” juga dikenal dalam beberapa bahasa suku-suku bangsa di Teluk Cenderawasih dan Kepulauan Raja Ampat di Tanah Papua. Di sana, istilah kombrof  (bahasa Biak), nomio  (bahasa Waropen), atau aria (bahasa Moor-Mamboor) untuk “gurita”, digunakan untuk menggambarkan orang yang rakus, dilambangkan oleh delapan lengan gurita yang dapat digerakkan secara simultan untuk mengambil apa saja. Tapi gurita juga licik, sebab kalau dikejar, gurita akan menyemprotkan tinta untuk mengaburkan penglihatan pengejarnya, supaya binatang itu bisa lolos dari kejaran[1]

Selain licik, orang Biak juga menganggap kombrof  oportunis. Binatang ini sudah korbankan satu lengannya digigit sampai putus oleh belut laut, karabas dalam bahasa Biak, doisuno  dalam bahasa Waropen, atau  manggoati  dan wara dalam bahasa Moor-Maboor.[2]) Dengan “mengumpankan” salah satu lengannya, gurita berusaha menyeret belut laut ke luar dari lubang, lalu merampas lubangnya itu. Itu sebabnya, menurut orang Biak, satu di antara delapan lengan gurita, lebih pendek dari pada yang lain, bekas digigit oleh karabas

Ringkasnya, sifat gurita suka beradaptasi dengan lingkungannya, dengan memanfaatkan warna, dan siap menyerang mangsa yang lewat, tapi takut berhadapan face to face dengan mangsa atau musuhnya. Sifat itu merupakan kompensasi bagi badannya yang lemah, dan habitatnya di batu-batu dasar laut. Gurita  juga tidak bernilai ekonomis tinggi, dan biasanya ditangkap oleh perempuan dari suku-suku pesisir di Papua, bukan oleh laki-laki. Makanya, metafora “gurita” memang pantas digunakan untuk sebuah rezim, yang selalu melemparkan isyu-isyu pengalih perhatian publik, apabila kelemahan atau kesalahannya disorot oleh masyarakat.[3] )

                Namun istilah “gurita Cikeas”, atau “Cikeas yang menggurita” tidak dimaksudkan mengacu ke satu orang, melainkan ke satu sistem, di mana tokoh sentralnya, kebetulan bertempat tinggal di kompleks perumahan mewah Cikeas Indah di Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Penggunaan istilah “Cikeas” di sini, sama seperti penggunaan istilah “Cendana” semasa hidup mantan jenderal yang lain, yakni Soeharto. 

                Jadinya, istilah “Cikeas” penulis gunakan, tidak mengacu ke rakyat kecil di daerah itu, yang hidup dari bertani dan merakit bambu untuk dihanyutkan ke Jakarta, tapi mengacu ke keluarga besar dan kroni-kroni SBY. Terutama para purnawirawan perwira tinggi yang tinggal di kompleks perumahan mewah itu, seperti Marsekal Madya (Purn.) Suratto Siswodihardjo (developer kompleks Puri Cikeas Indah), Marsekal TNI/AU (Purn.) Djoko Suyanto, Jenderal TNI/AD  (Purn) Subagyo Hadi Siswoyo, dan Letjen TNI/AD (Purn) Agus Widjojo. 

                Berbeda dengan istilah “keluarga besar SBY”, istilah “gurita Cikeas” tidak hanya mengacu kepada keluarga besar SBY secara genealogis, tapi mengacu pada seluruh satuan sosial yang bagaikan “lengan-lengan gurita” memperkuat kedudukan ekonomi dan politik keluarga besar SBY. Lengan-lengan gurita itu meliputi perkumpulan-perkumpulan, seperti GPS (Gerakan Pro-SBY) yang diprakarsai oleh Suratto Siswodihardjo; yayasan-yayasan, seperti Yayasan Puri Cikeas yang digerakkan oleh Suratto Siswodihardjo bersama anak (Anton Sukartono) dan menantunya (Zuwanna Corna Gumanti); badan-badan usaha, seperti PT Media Nusa Pradana, yang menerbitkan grup koran Jurnas, serta perusahaan -perusahaan raksasa penyumbang kampanye SBY-Boediono, seperti tambang batubara Adaro, kelompok CCM, kelompok Artha Graha, kelompok Maspion, dan konglomerat-konglomerat lain. 

                Banyak informasi baru muncul, sesudah terbitnya buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century. Ada yang terbit secara terbuka, seperti ceritera tentang bisnis pembalakan (logging ) kakak ipar SBY yang tertua, yang akrab dipanggil Wiwiek (lihat Matrix Dinasti Sarwo Edhie Wibowo). Ada juga informasi yang hanya beredar di kalangan terbatas, seperti bisnis pertambangan nikel Ibas di Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara, serta klinik spesialis Hadi Utomo, Kerta Medika di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan. 

Triangulasi berbagai teknik riset

                Bicara soal sumber informasi, berarti bicara soal metodologi riset diterapkan dalam kedua buku ini. Ada kritikus yang anggap buku pertama hanya rangkaian kliping koran. Boleh saja anggap demikian, kalau terlalu malas untuk perhatikan cara penulis mengolah informasi dari kliping -kliping itu. Kritikus itu juga tidak membaca berbagai informasi yang dirujuk di daftar referensi.  

                Secara umum dapat dikatakan, penulis melakukan triangulasi dari berbagai metode riset (Taylor & Bogdan 2004: 68), yakni (a) studi kepustakaan, untuk menemukan literatur, termasuk kliping-kliping koran yang relevan; (b) surfing di internet, untuk menemukan berita-berita lama maupun berita-berita terbaru tentang topik yang diteliti; (c) wawancara dengan pakar-pakar dan informan lainnya tentang topik yang mau diteliti, termasuk (d) wawancara mendalam dengan narasumber yang menyaksikan dan merasakan dampak dari kegiatan perusahaan milik keluarga besar SBY, misalnya  pembalakan oleh perusahaan milik Wiwiek, kakak tertua Ani Yudhoyono,  dan suaminya di Pulau Yamdena, Tanimbar, Maluku; (e) observasi lapangan, yang dipadu dengan wawancara di lapangan dengan sumber-sumber yang menerima bantuan uang atau materi dari caleg-caleg Demokrat, seperti yang penulis lakukan di Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas); serta (f) pengamatan terlibat ke klinik spesialis yang menurut seorang informan, milik Hadi Utomo, di mana dikabarkan seorang dokter pernah menjalankan malpraktek. Pada kesempatan itu penulis “memanfaatkan” penyakit migrain yang sedang dideritanya, untuk menyelidiki identitas pemilik klinik dan apotik Kerta Medika di Bintaro itu. Hasil pengamatan ini diperkuat dengan surfing  terhadap kasus itu di internet. 

                Wawancara-wawancara kebanyakan bersifat snowballing,  seperti gelindingan bola salju. Si A mengusulkan si B untuk diwawancari lebih lanjut, dan si B mengusulkan si C, sehingga bisa diperoleh gambaran yang lebih lengkap. 

                Berbicara soal wawancara mendalam, identitas interviewees  tidak dibeberkan di buku ini. Barang siapa yang menganggap buku ini tidak ilmiah, karena tidak membeberkan identitas para narasumber, jelas tidak berpengalaman dalam penelitian lapangan. Atau lebih parah lagi, tidak tahu kode etik peneliti, khususnya kewajiban peneliti melindungi privacy dan keamanan para informannya. 

                Buku ini juga tidak selalu mencatat tempat dan waktu wawancara, apalagi bila wawancara dilakukan dengan narasumber-narasumber tertentu berulangkali, demi menjamin konsistensi jawaban dan juga sesuai dengan pertumbuhan pengetahuan dan pengertian peneliti. Selain itu kerahasiaan para narasumber  juga dijaga dengan tidak menyebutkan nama, tempat wawancara, dan saat wawancara, karena buku ini tidak dimaksudkan sebagai tesis atau disertasi, melainkan lebih dimaksudkan untuk pendidikan politik bagi publik. 

                Seluruh proses penelitian itu dibarengi pendalaman terhadap silsilah keluarga besar SBY-Sarwo Edhie Wibowo, yang sudah dimulai di buku Membongkar Gurita Cikeas:Di Balik Skandal Bank Century. Dalam buku ini silsilah SBY diperlebar dengan pengumpulan data tentang silsilah calon besan SBY yang kedua, yakni Hatta Rajasa, setelah  anak perempuannya, Alya, bertunangan dengan putra bungsu SBY, Ibas. Kinship algebra, atau “aljabar perkerabatan”, begitu sering dikatakan oleh alm. Milton Barnett, dosen antropologi terapan penulis di Cornell University. 

                Aljabar perkerabatan itu melengkapi analisisku tentang korupsi kepresidenan, yang telah kujadikan  spesialisasiku, sejak mulai menulis buku tentang akumulasi kekayaan Soeharto dan Habibie. Mengapa? Karena begitu banyak sosiologi, ekonom, dan ahli hukum Indonesia tidak mau atau tidak berani mengkhususkan diri di bidang itu. Kekurangan itu bukan sekedar soal ketakutan menyentuh hal-hal yang sensitif, tapi juga mencerminkan kelemahan dalam sistem pendidikan, di mana ilmuwan kita kurang didorong untuk menjadi ilmuwan paripurna, melainkan hanya menjadi spesialis, bahkan mungkin superspesialis. Latar belakang pribadiku yang sudah menyeberang bolak-balik di antara berbagai disiplin, memudahkan penulis untuk menyoroti korupsi kepresidenan secara lebih wholistic  dan eclectic. 

                Karena kemenangan Partai Demokrat dan jagoannya yang begitu fantastis dalam Pemilu 2009 sering dikaitkan dengan skandal Bank Century, maka mau tidak mau, penulis juga harus mendalami skandal itu. Untuk bisa menggali lebih jauh lebar dan lebih mendalam skandal ini, penulis beruntung dapat memanfaatkan literatur tentang skandal itu yang sudah membanjir ke tengah-tengah publik, setelah Pansus Bank Century mulai mengusut skandal itu. Misalnya, buku Bambang Soesatyo (2010), Aloysius Soni BL de Rosari (2010), serta M. Mufti Mubarok dan Sri Gayatri (2010).

                Selain buku-buku tentang skandal Bank Century, buku-buku yang mencoba membongkar latar belakang perkara pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen, yang dituduhkan terhadap Antasari Azhar (Anang 2010), juga membantu penulis. Ternyata, ada satu “mutiara” dalam penggalian manipulasi-manipulasi pemilu 2009, serta bagaimana Ketua KPK waktu itu, dijebak. Mutiara itu adalah rencana investigasinya terhadap korupsi fasilitas TI Komisi Pemilihan Umum, yang ternyata menyinggung “orang-orang penting” dalam kepengurusan Partai Demokrat. Kasus dugaan korupsi TI KPU sudah menarik perhatian para pengamat independen, yang berusaha meneliti, mengapa pemilu 2009 begitu amburadul penyelenggaraannya dibandingkan dengan pemilu 2004.  

                Berbagai langkah penelitian terhadap hutan rimba itu, sangat terbantu oleh tiga jenis data. Pertama, tulisan-tulisan yang tidak – atau belum – diterbitkan tentang pemilu 2009, mulai dari pemilu legislatif s/d pilpres. Kedua, buku-buku “ringan” tentang sisi lain SBY dalam tetralogi yang ditulis wartawan Kompas,  Wisnu Nugroho, yang menyoroti mobil-mobil mewah yang masuk ke luar Istana, lengkap dengan foto Rolls-Roycenya, membantu “membongkar” kedekatan hubungan milyarder tembakau, Boedi Sampoerna, dengan SBY. Tulisan-tulisan dan foto-foto Wisnu juga membantu membeberkan kedekatan Tomy Winata (“TW”) dengan SBY, yang disoroti oleh WikiLeaks tapi dibantah oleh TW. 

                Jenis data ketiga diambil dari direktori-direktori bisnis, mulai dari direktori umum, direktori agribisnis, direktori pertambangan, direktori bank, dan direktori asuransi, yang membantu membedah perusahaan -perusahaan yang mendukung biaya kampanye SBY-Boediono, deposan-deposan Bank Century, dan penerima dana talangan LPS secara tidak sah. 

                Tentu saja saya sendiri tidak mungkin dapat  mengumpulkan sendiri data yang begitu kaya. Ada dua kelompok pendukung yang ikut memasok data buat penulis. Kelompok pertama adalah kelompok-kelompok serta lembaga-lembaga yang punya kepedulian yang sama untuk mewujudkan pemerintah bersih di Indonesia, seperti Indonesian Corruption Watch (ICW) di Jakarta. Kelompok kedua adalah jurnalis-jurnalis yang mendapat tugas dari medianya untuk melakukan investigasi terhadap akumulasi kekayaan tokoh-tokoh penguasa, yang dikaitkan dengan skandal Bank Century. Didukung oleh perusahaan persnya, jurnalis-jurnalis muda itu bisa dengan mudah mendapatkan lembaran-lembaran negara yang memuat akte-akte notaris dari perusahaan-perusahaan yang membiayai kampanye Pilpres SBY-Boediono, atau ikut dalam penyebaran pesan-pesan kampanye, serta perusahaan-perusahaan yang diduga ikut “kecipratan” dana talangan LPS[4]

                Seluruh data yang terkumpul dengan metodologi penelitian yang diuraikan di atas, penulis susun dalam enam bab, termasuk Kesimpulan dan Bab So What.  

Kepengecutan Segelintir Toko Buku Besar, melahirkan Semangat Pembajakan Puluhan Pedagang Buku 

                Penerbit buku kedua tentang “gurita Cikeas” ini berusaha mencegah terulangnya nasib buku pertama, yang dibajak habis-habisan. Menurut survei Galangpress, penerbit kedua buku saya, tempo hari sempat beredar 13 versi bajakan dari buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century. Sehingga ribuan eksemplar buku itu hanya dikembalikan oleh para distributor, setelah pasar  jenuh dengan bajakan buku saya.

                Sesungguhnya, ini pengalaman keduaku merasakan bagaimana bukuku dibajak habis-habisan. Ketika Soeharto baru saja lengser, dan tongkat kepresidenan baru dioperkan ke B. J. Habibie, atas permintaan kawan-kawan di Pijar Indonesia saya menulis buku berjudul, Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Rezim Orde Baru (2003). Buku itupun dibajak habis-habisan, sehingga penerbitnya, sebuah ornop yang miskin, tidak mendapat modalnya kembali, sehingga tidak bisa mencetak ulang bukuku itu. 

                Ada dua akar praktek pembajakan itu. Pertama, apa sih di Indonesia yang tidak dibajak? Terus terang, ini bukan hanya karena nafsu para pembajak untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya dengan mengeluarkan biaya sekecil-kecilnya, tapi juga karena konsumen kita tidak malu-malu membeli barang bajakan. Apalagi kalau lebih murah dari pada barang aslinya. Lihat saja berapa banyak mahasiswa dan aktivis ornop yang gunakan program-program komputer bajakan atau cd musik bajakan. 

                Tapi dalam kasus buku saya, buku bajakan saya tidak lebih murah harganya ketimbang harga dari penerbit, yakni Rp 36 ribu per eksemplar, tapi malah lebih mahal. Minimal Rp 50 ribu, tapi banyak juga konsumen dari luar kota dan luar Jawa, bersedia membayar Rp 100 ribu sampai ratusan ribu untuk buku saya, yang menjadi rezeki nomplok buat pembajak dan pengecer buku bajakan itu. 

                Tingginya harga buku saya, timbul karena ada kesan, buku saya sudah dilarang oleh penguasa. Kesan “terlarang” justru membuat banyak konsumen mencari-cari buku saya, karena semakin ingin tahu, ada apa di dalam buku itu. Katakanlah, semacam psikologi buah terlarang” (the forbidden fruit psychology). 

Padahal sampai saat ini, belum ada sepucuk pun surat larangan dari instansi resmi, seperti Kejaksaan, untuk buku saya[5]. Berbeda halnya dengan buku-buku tentang terancamnya rumpun Melanesia, karangan Socrates Sofyan Yolman (2007) dan Sendius Wonda (2007), yang dilarang beredar oleh Kejaksaan Tinggi D.I.Y. 

                Tapi, walaupun tidak ada larangan resmi, persekongkolan antara penguasa dengan seluruh mata rantai toko buku terbesar di Tanah Air, telah mendorong toko buku ini untuk menyembunyikan ribuan eksemplar buku pertama tentang “gurita Cikeas” di gudang-gudang mereka. Hanya karena SBY telah meresmikan beberapa toko buku mereka, mereka menukar  jiwa kapitalis mereka, dengan semangat survival  yang sangat menjijikkan.   

Kepengecutan toko buku besar itu, juga menyebabkan mereka tidak berani menjual buku saya yang terdahulu, Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (LKiS Press, 2006). Mungkin karena buku itu sangat ilmiah, begitupun judulnya, dan tebalnya 400-an halaman, buku itu tidak sampai dibajak. Tapi kali ini, kepengecutan toko buku besar itu mengobarkan semangat oportunis puluh pedagang buku, yang dengan peralatan sederhana, mengopi sekian ribu buku Membongkar Gurita Cikeas

                Begitulah sekelumit pengalaman saya menulis buku-buku yang kritis terhadap penguasa, serta oposisi terhadap peredaran buku saya akibat persekongkolan  antara toko buku besar dan penguasa. 

Yogyakarta, Senin, 23 Mei 2011

Referensi:
Aditjondro, George Junus (2003). Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Rezim Orde Baru. Jakarta: Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan (MIK) & Pijar Indonesia.
-------------(2004). Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi Indonesia: Investigasi Korupsi Sistemik Bagi Aktivis dan Wartawan.  Jakarta: LSPP (Lembaga Studi Pers & Pembangunan).
--------------(2006). Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa. Yogyakarta: LKiS.
Anang P., E. (2010). Antasari, Hero to Zero: Membongkar Konspirasi Hitam Menghancurkan KPK. Yogyakarta: Navila Idea.
Badiatul Muchlisin Asti (n.d.). Gurita Ponografi Membelit Remaja: Menyelamatkan Generasi Muda Islam dari Pusaran Arus Pornografi.  Grobogan: Oase Qalbu.
Johannes, R.E. (1981). Words of the Lagoon: Fishing and Marine Lore in the Palau District of Micronesia.  Berkeley: University of California Press.
Mubarok, M. Mufti  & Sri Gayatri (2010). Gayatri Sayang Gayatri Malang. Surabaya: PT Java Pustaka Media Utama.
Mukhlason, M. Ari, Aswika Budhi Arfandy & Guntur  S. Prabandaru (2011). Gurita Pacitan: Membongkar Tuntas Jaringan Tersembunyi Mafia Koruptor.  Surabaya: PT Prestasi Pustaka Publisher.
Nugroho, Wisnu (2010a). Tetralogi Sisi Lain SBY: Pak Beye dan Politiknya. .  Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
------------ (2010b). Tetralogi Sisi Lain SBY: Pak Beye dan Kerabatnya.  Jakarta:  Penerbit Buku Kompas.

-------------(2010c). Tetralogi Sisi Lain SBY: Pak Beye dan Istananya.  Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Revolusi, Sumbu Gesang (2010). Mengusut Gurita Istana.  Jakarta: Intellectual (Datamedia Group).
de Rosari, Aloysius Soni BL (2010). Centurygate: Mengurai Konspirasi Penguasa-Pengusaha. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Smith, Nick L. (1981). “Metaphors For Evaluation.” Dalam Nick L. Smith (ed). Metaphors for Evaluation: Sources of New Methods. Beverly Hills: Sage Publications, hal. 51-66.
Soesatyo, Bambang (2010). Skandal Gila Bank Century: Mengungkap yang tak Terungkap Skandal Keuangan Terbesar Pasca-Reformasi. Jakarta: Ufuk Press.
Wonda, Sendius (2007). Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat.  Jayapura: Penerbit Deiyai.
Yoman, Socratez Sofyan (2007). Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat. Yogyakarta: Galangpress.


[1] ) Taktik pertahanan diri gurita yang lain, yang diamati di Kepulauan Micronesia di Samudera Pasifik, ada lagi. Apabila musuhnya, seperti belut laut atau ikan hiu berusaha menangkapnya dengan menggigit salah satu tentakelnya, gurita itu melompati lawannya, menempel di kepala musuhnya dan menutupi kedua mata musuhnya, dan mencengkeram kepala musuhnya dengan  segenap kekuatan lengan-lengannya. Kontan musuhnya kaget, apalagi penglihatannya untuk sementara terganggu, sehingga melepaskan gigitannya. Kesempatan itu digunakan oleh sang gurita untuk menghindar secepat kilat (lihat Johannes 1981: 132-3).
[2] ) Manggoati dan wara sama-sama jenis belut laut. Cuma bedanya, manggoati bisa ditemukan di karang-karang waktu air surut besar. Kulitnya belang-belang. Sedangkan wara berdiam di dekat tubir karang. Beda yang lain, wara itu bisa dimakan, sedangkan manggoati tidak.
[3] ) Suku-suku di pesisir Utara Tanah Papua, sering menganalogikan sifat-sifat manusia dengan karakteristik berbagai jenis hewan laut, seperti gurita, ikan hiu, paus, lumba-lumba, dan penyu (Moor-Mamboor: waraa). Gurita (Biak: kombrof) adalah lambang orang yang rakus dan suka meraup harta untuk dirinya. Pada awalnya dia tampak baik dengan cara mengorbankan satu lengannya untuk menghadapi belut laut (karabas) yang rakus dan mudah tergoda. Setelah karabas keluar dari lubangnya, kombrof pun bertakhta dengan segala kerakusannya. Itu lambang orang perebutan kekuasaan dan materi. Sifat itu ada pada orang Jawa. Ikan hiu atau gorango (Biak:  romun) itu lambang orang yang menggunakan kekuasaan dan kekerasan untuk memenuhi kebutuhan dirinya, yang dianggapnya lebih hebat. Paus (Biak Numfor: saroy; Biak Bettew: taroi) adalah orang yang geraknya lamban dan lebih bersifat melindungi, bukan menolong. Yang bersifat melindungi dan menolong adalah lumba-lumba (Biak: ombon). Penyu jantan (Biak: wew) dan penyu betina (Biak: kumep) adalah lambang manusia yang lugu dan penakut, karena tidak punya senjata.  Penyu betina selalu mencari tempat yang aman dan nyaman untuk bertelur, biasanya di pasir putih di pantai, di bawah pepohonan. Sifat penyu ini berbeda dengan  duri babi (Biak: amfaem) dan ubur-ubur atau papeda laut (kangkun) adalah lambang orang yang tidak suka urus orang lain, tidakmerugikan lingkungan, tetapi jika diganggu sangat berbahaya, karena dia memiliki jurus membela diri, seperti sifat orang Raja Ampat. Seperti diceritakan oleh Dr. Nommensen Mambraku, dosen Universitas Cenderawasih pendidikan budi-pekerti bagi anak-anak pesisir Tanah Papua juga dilakukan dengan fabel-fabel. Misalnya, fabel tentang aruken  (sejenis ikan porobibi, atau ikan buntal di Makassar, yang berduri tajam) dengan sejenis kaf (kepiting) yang disebut mangkabras. Aruken dan mangkabras itu asalnya dua orang saudara sepupu. Satu waktu mereka berdua melaut dari pagi hingga jam 2 siang, tanpa hasil. Karena sudah lapar, dua bersaudara itu memutuskan untuk naik ke darat mencari kelapa. Waktu di darat, ada sebatang pohon kelapa yang banyak buahnya. Aruken sarankan Mangkabras yang panjat, karena dia punya jari-jari. Mangkabras pun panjat, dan semua buah kelapa yang dijatuhkannya, ditelah habis oleh Aruken. Ketika Mangkabras minta bagiannya, Aruken bilang, tadi ada famili perempuan lewat, dan mereka sudah bawa semua. Dalam keadaan lapar, Mangkabras terima alasan Aruken. Keduanya kembali ke laut dan kebetulan ada kerang besar(ingkonbosen) di dasar laut. Makanya terjadi tawar menawar, siapa yang akan menyelam. Mangkabras bilang, kali ini kali ini Aruken yang menyelam, dan kasih ingkonbosen jepit perutnya yang besar, lalu dibawanya muncul ke permukaan. Ternyata sampai di dasar laut, ingkonbosen  menjepit perut Aruken smpai pecah dan semua buah kelapa mengambang ke permukaan (komunikasi pribadi dengan DR. Nommensen Mambraku, Pdt. M.I. Wanma, Pdt. Karel Phil. Erari, dan Ibu Costantina Duwiri-Wanaha, medio Mei 2011).
[4] ) Kerjasama dengan media profesional juga telah saya lakukan waktu meneliti penyebaran harta ilegal keluarga dan kroni-kroni Soeharto, terutama bekerjasama dengan majalah Time edisi Asia yang berkantor di Hong Kong serta harian The Guardian  di London.  
[5] ) Walaupun tidak ada larangan resmi bagi penerbitan buku saya,  Galangpress telah mengalami berbagai macam intimidasi, baik dari aparat resmi, maupun dari orang-orang yang tidak jelas identitasnya. Beberapa pengalaman Galangpress berkaitan dengan penerbitan buku-buku yang kontroversial adalah:(a) paksaan penarikan dua buku tentang Papua (Yoman 2007 yang diterbitkan oleh Galangpress, dan Wonda 2007 yang hanya dicetak oleh Galang) secara resmi oleh Kejati DIY; (b) tekanan untuk menarik buku Membongkar Supersemar: Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno  (2008) karangan Dr. Baskoro T. Wardoyo, SY, tapi karena tidak ada surat resmi dari Kejaksaan, akhirnya buku itu tetap disebarkan; (c) ancaman dalam bentuk sms; (d) ancaman dlm bentuk telepon bodong (private number) atau telepon dengan  nomor yang tidak jelas; (e)  rumah dan keluarga penerbit didatangi sekelompok orang bertubuh besar dan berambut gondrong menanyakan keperadaan Julius Felicianus, direktur Galangpress; (f) di saat-saat tertentu kantor Galangpress pagi, siang, sore, dan malam didatangi aparat Kejaksaan, Kepolisian, Kodim, dan Korem;  (g) kantor Galangpress didatangi sekelompok aparat Kejati DIY saat buku dilarang terbit dan petugas serta pimpinan perusahaan ini diinterogasi perihal naskah, jumlah cetakan, siapa penulismya, bagaimana distribusinya serta  stok buku yang dilarang yang masih disimpan di gudang penerbit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar