Dari Sebuah Penelusuran JPIC di Asiki
JUBI — Bagi banyak orang, keamanan merupakan hal yang utama dalam menjalankan aktivitasnya. Namun bagi mereka yang lain ternyata, tidak. Bagaimana dengan orang Papua sendiri?
Pagi itu, 29 April 2009, telephone selulernya berdering. Tepat pukul 07.30 waktu Jakarta. Pria paruh baya itu kemudian menjawabnya. “Ok baik, ya. Saya akan mengambilnya,” katanya kepada seseorang diujung telephone. Lima menit kemudian, dia pun bergegas. Diambilnya ransel lusuh dan kemudian pergi. Lelaki itu, Wempi Fatubun, seorang aktivis HAM. Dulunya pernah terlibat di Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAM). Kini sebagai Promotor Justice, Peace and Integration Creation (JPIC) MSC Indonesia.
Pagi itu, 29 April 2009, telephone selulernya berdering. Tepat pukul 07.30 waktu Jakarta. Pria paruh baya itu kemudian menjawabnya. “Ok baik, ya. Saya akan mengambilnya,” katanya kepada seseorang diujung telephone. Lima menit kemudian, dia pun bergegas. Diambilnya ransel lusuh dan kemudian pergi. Lelaki itu, Wempi Fatubun, seorang aktivis HAM. Dulunya pernah terlibat di Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAM). Kini sebagai Promotor Justice, Peace and Integration Creation (JPIC) MSC Indonesia.
Dia mendapat informasi dari seorang anggota Satpam Camp 19 (Lahan A Perkebunan Kelapa Sawit) PT. Korindo Grup di Asiki, Boven Digoel, Papua yang mengabarkan sejak bulan Februari 2009, pihak manajemen perusahan PT. Korindo Grup telah mengangkat seorang anggota TNI bernama Serka Paswit sebagai wakil kepala satpam untuk kepentingan pengamanan Lahan A Perkebunan Kelapa Sawit di Camp 19. Wempi tahu ada sesuatu yang janggal disini. Baginya ini adalah sebuah berita. Dia pun menelusurinya.
Serka Paswit sendiri mendampingi kepala Satpam, Mr. Song, seorang warga negara Korea. Selain sebagai wakil kepala satpam, Serka Paswit juga bertugas sebagai Komandan Pos TNI di Camp 19. Kehadiran Serka Paswit menimbulkan pertanyaan warga setempat. “Mereka bertanya, mengapa PT. Korindo Grup mengangkat Mr Song sebagai kepala Satpam dan Serka Paswit sebagai wakil kepala satpam di Pabrik Camp 19, ini yang menarik,” kata Wempi. Menurut JPIC MSC/SKP-KAM di Asikie, sebut Wempi, pertanyaan warga itu sebenarnya muncul dari perasaan khawatir, karena sebelumnya ada sejumlah anggota TNI Kostrad diwilayah itu yang melakukan intimidasi, penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga. Misalnya saat kematian staf personalia PT. Korindo Grup, almarhum Liborius Oka beberapa tahun lalu.
Dari hasil investigasi JPIC MSC/SKP-KAM pada November 2008, dipaparkan, kurang lebih ada 12 Pos TNI dari satuan Kostrad dan Kopassus di areal Konsesi PT. Korindo Grup. Ada juga 5 Pos Kopassus, di mess staf PT. Korindo Grup di Asikie, di mess karyawan Camp Tunas, Camp Erma, Camp Kali Muyu dan Camp 19. Beberapa anggota Kopassus bahkan tinggal dan membaur dengan warga di Camp 3. Sementara, di wilayah yang sama, ternyata ada juga 6 Pos Kostrad. Yakni pos induk di Asikie (samping SD Asikie), satu pos di ujung kelapa sawit (kepala Sungai Bian), satu pos di Km 35, jalan ke Camp Tunas, juga ada di Camp Kali Muyu, di Camp Tunas dan di Camp Erma. Koramil juga berdiri di Camp 19. “Hal ini memperlihatkan bahwa sekarang PT. Korindo dijaga TNI dari kesatuan Kopassus, Kostrad, dan Koramil. Ini berlebihan, karena terlalu banyak anggota TNI yang bertugas di areal konsensi PT. Korindo Grups,” sebutnya dalam sebuah artikel pada awal 2009.
Alasan Penempatan
Dalam suatu kesempatan di Kota Jayapura, pengamat sosial Dr. George Junus Aditjondro menegaskan, ada beberapa alasan penempatan pasukan TNI di Papua. Pertama, alasan remiliterisasi, yakni menghidupkan kembali peran militer. Ini sebagai reaksi terhadap pemisahan Polri dari ABRI, yang memberikan ‘leverage’ kepada Polri untuk urusan Kamtibmas dan mengurangi kekuasaan TNI di wilayah perbatasan. Kedua, kehadiran pasukan TNI dijustifikasi (dibenarkan) oleh ‘kemungkinan’ adanya serangan musuh dari luar. Ketiga, mencegah pelarian lintas batas. Keempat, semakin menguatnya identifikasi masyarakat setempat (Papua) dengan negeri jiran (PNG), atau aneksasi ‘kantong-kantong’ di perbatasan oleh negara jiran. Juga ada pengamanan terhadap “proyek-proyek vital”, yakni kegiatan perusahaan besar di bidang kehutanan, perkebunan, perikanan, pembangunan prasarana, dan konversi hutan primer menjadi perkebunan, khususnya kelapa sawit yang sangat didukung oleh militer. Kelima, pengamanan proyek-proyek transmigrasi dari serangan kelompok bersenjata. Selanjutnya “memungkinkan” terjadinya intimidasi terhadap rakyat yang bermaksud menuntut hak-hak atas tanah, tanam-tumbuh, dan perairan berdasarkan hak ulayat mereka.
Bagi Aditjondro, alasan lainnya adalah sebagai bentuk pembagian kue rezeki di antara berbagai Angkatan. Hal ini juga untuk menghindari konflik antara TNI dan Polri. “Ada juga upaya untuk “membeli” loyalitas Angkatan Bersenjata terhadap rezim yang berkuasa selama supremasi sipil belum berlaku, sehingga hubungan baik dengan militer dan polisi masih perlu dibina,” ujarnya.
Bagi Aditjondro, alasan lainnya adalah sebagai bentuk pembagian kue rezeki di antara berbagai Angkatan. Hal ini juga untuk menghindari konflik antara TNI dan Polri. “Ada juga upaya untuk “membeli” loyalitas Angkatan Bersenjata terhadap rezim yang berkuasa selama supremasi sipil belum berlaku, sehingga hubungan baik dengan militer dan polisi masih perlu dibina,” ujarnya.
Pernyataan Aditjondro ternyata membawa Wempi pada sebuah pertanyaan. Bagaimana caranya melanggengkan konflik sosial, sehingga menjustifikasi penempatan pasukan (TNI) di areal konsesi PT. Korindo Grup?. Apakah ini dilakukan dengan menginfiltrasi kelompok-kelompok militan, sehingga tercipta ‘OPM siluman atau “Gerakan Pengacau Keamanan”?. “Kelompok-kelompok yang bertikai disusupi dan diprovokasi, sehingga konflik laten berkembang menjadi konflik fisik. Dengan demikian ada alasan untuk mengirim pasukan sebagai ‘juru damai’,” ungkapnya. Baginya, konflik sosial yang berkepanjangan akan terus “dipelihara”. “Keuntungannya sudah pasti akan datang untuk pihak-pihak tertentu. Akan ada juga bargaining power diantara mereka demi investasi dalam skala besar,” sebutnya.
Menurut Wempi, konflik sosial (baca: kerusuhan) di Indonesia merupakan hasil sinergi antara modal, militer, dan milisi (3 M). PT Freeport Indonesia (PT FI), di masa Orde Baru, juga pernah menjadi sasaran permainan ketiga aktor ini ketika Prabowo Subianto (saat itu Danjen Kopassus) merekayasa konflik di antara suku-suku di wilayah konsesi tambang untuk “memaksa” PT FI memberi saham sebesar 4,7% kepada Bob Hasan atas nama Keluarga Cendana (Aditjondro 2006b: 254).
“Kenyataan seperti itu menyebabkan warga, khususnya para karyawan merasa tidak aman dengan kehadiran banyak anggota TNI di Areal Konsesi PT. Korindo Grup,” pungkasnya. Wempi menyebutkan, Anggota TNI juga tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan terhadap warga sipil bila mereka melakukan kesalahan seperti mencuri BBM (bahan bakar minyak) milik perusahan. “Seorang karyawan di Camp 19 PT. Korindo Grup, pernah mengatakan, anggota Kopassus atau Kostrad biasanya mengajak anak-anak muda yang bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit untuk konsumsi minuman keras hingga mabuk.” “Bahkan beberapa oknum Kopasus dan Kostrad memfasilitasi karyawan untuk bermain judi (seperti dadu),” tambah Wempi.
Dalam artikelnya pasca penelusuran itu, Wempi menulis, Polisi juga tidak bisa bertindak tegas terhadap perdagangan miras dan perjudian itu. Polisi terlihat kehilangan fungsi Kamtibmas yang mereka emban. Anggota TNI seakan telah mengambilalih fungsi polisi tetapi sekaligus melakukan perdagangan miras dan perjudian. Pada tahun 2008, akibat mengkonsumsi miras oplosan merek Alexander, enam warga meninggal di Camp 19. “Minuman keras Aleksander adalah minuman yang dibuat oleh anggota TNI Konstrad Pam Perbatasan dengan bahan bakunya adalah sagero (tuak) dari kelapa dan formalin,” sebut Wempi. Tuak (sagero) biasanya didapat dari pemuda kampung. Sedangkan formalin diperoleh dari petugas Puskesmas, di Asikie, Muting, dan Kampung Bupul. “Saya lihat kehadiran begitu banyak pasukan di areal konsesi PT. Korindo Grup justru menciptakan rasa tidak aman karena menimbulkan penderitaan bagi rakyat setempat”.
Kekhawatiran Wempi sepertinya sejalan dengan laporan utama sebuah Tabloid Mingguan, Tribun Maleo di Merauke. Dalam tahun 2007, Tribun Maleo pernah mengangkat sebuah tajuk tentang ancaman kehadiran militer di Papua. Tentunya bukan untuk menjustifikasi bahwa kehadiran militer buruk. Tapi lebih kepada bagaimana mendidik dan menggembleng anggota TNI agar tidak lagi bertindak keras kepada warga. Bagi Tribun Maleo, sepatutnya anggota TNI kembali pada jiwa pengabdian, bukan hanya untuk Negara tapi juga untuk masyarakat. Menjadi pangayom dan pelopor dalam bekerja. “Kita hanya berharap dengan setiap laporan bernuansa militer dan ancamannya, TNI dapat kembali ke jati dirinya sebagai pelindung masyarakat. Bukan sebaliknya menjadi ancaman,” pungkas Fidelis Jeminta, Pemimpin Redaksi Tribun Maleo, kala itu. (Jerry Omona)