Selasa, 05 November 2013

Wawancara Dengan Dominic Brown, Pembuat Film “Forgotten Bird of Paradise”

Inggris — Sejak 1 Mei 1963, Pemerintah Indoensia telah menutup akses untuk aktivis,  wartawan asing, dan diplomat internasional untuk mengunjungi tanah P apua.

Negara mewajibkan siapa saja untuk memiliki sebuah “surat jalan” dari Kementerian Luar Negeri Indonesia di Jakarta.
Dominic Brown, salah satu video maker berhasil mengunjungi Papua dengan cara menyamar. Ia melakukan wawancara dengan berbagai pihak di tanah Papua, termasuk tokoh terkemuka Organisasi Papua Merdeka (OPM), Goliat Tabuni. Hasilnya, Video berjudul “Forgotten Bird of Paradise” atau “Cenderawasih Yang Terlupakan” dilaunching pertengahaan tahun 2012 lalu di Inggris. 

Wensi Fatubun, Video Maker dan pendiri Papuan Voices,  beberapa waktu lalu mendapat kesempatan untuk wawancara langsung Dominic Brown. Ikuti petikan wawancara secara lengkap dibawah ini:

Kegiatan Terkini Anda?

Saya sementara sedang membuat film documenter yang lumayan panjang tentang seorang pemimpin kemerdekaan Papua Barat, Benny Wenda. Saya baru saja kembali dari perjalanan selama lima minggu bersama-sama dengan beliau.  Ini adalah perjalanan resminya yang pertama kali di luar Inggris sejak perintah penangkapan atas dirinya yang dikeluarkanoleh Interpol dicabut.

Kami mengunjungi Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Papua New Guinea dan Vanuatu.  Film documenter ini mengkisahkan tentang kehidupan Benny Wenda sebagai seorang aktivis, yang memfokuskan diri pada menjelaskan tentang keadaan di tanah airnya, dan upaya-upaya yang dilakukannya agar referendum kemerdekaan yang bebas dan adil dapat dilaksanakan.

Ceritakan tentang siapa Anda sebagai seorang pembuat film?

Saya mulai membuat film sesudah saya mengalami hal yang tidak bias saya lupakan di Papua Barat. Saya mengunjungi tempat itu ketika saya berusia 21 tahun, dan saya benar-benar terkejut ketika melihat situasi di sana.
Dengan mata kepala saya sendiri saya melihat bagaimana orang-orang asli Papua diperlakukan sebagai warga Negara kelas dua, dan setiap hari menderita pelanggaran HAM.

Waktu saya kembali ke Inggris dan mencerita kanapa yang terjadi di Papua Barat kepada teman-temansaya, ternyata belum ada seorang pun yang pernah mendengar tentang keadaan di Papua.  Jadi, saya bertekad, bahwa pada suatu hari saya akan kembali ke Papua untuk membuat sebuah film dan membantu semampu saya agar hal-hal yang terjadi disana bisa di ceritakan keluar.

Saya belum pernah mengikuti pelatihan pembuatan atau pengeditan film sebelumnya. Namun, saya pikir hal itu banyak manfaatnya bagi saya, karena saya bias membuat film semata-mata dari perspektif saya, ketimbang apabila saya mengikuti pelatihan, dan saya malah diberitahu tentang hal-hal apa yang harus dan tidak boleh saya lakukan.

Mengapa Anda menggunakan gambar bergerak?

Menurut saya, video adalah media yang sangat handal. Dengan video Anda bias menangkap momen-momen yang dengan mudah dilupakan apabila tidak ada video. Dengan gambar bergerak kita bias berbagi cerita dan memberikan ‘jendela-jendela’ kepada orang lain dan kisah-kisah dari peristiwan-peristiwa yang mereka alami, yang apabila tidak ada, tidak akan pernah diketahui oleh orang lain.

Hal-hal apa yang Anda sampaikan dalam karya-karya video Anda?

Semua yang sudah saya kerjakan didasarkan atas pengalaman-pengalaman saya sendiri, dan terutama pada peristiwa-peristiwa yang paling mutakhir di seputar keadilan social dan hak-hak azasi manusia.

Tahun lalu saya di Sahara Barat dan membuat sebuah film tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh orang-orang Sahrawi.

Menurut saya, melalui film, kita dapat membuka mata orang lain atas hal-hal yang mereka belum ketahui, dan sekaligus memberikan inspirasi kepada mereka agar mereka bertindak.  Dengan begitu, Anda sudah melakukan sesuatu yang sangat berpengaruh.

Saya juga baru saja menyelesaikan sebuah film tentang seorang laki-laki yang percaya bahwa ia adalah titisan Raja Arthur, seorang figure mitos Inggris.  Ia adalah seorang Inggris yang eksentrik, sebelumnya bekerja sebagai prajurit Angkatan Darat.  Ia juga adalah seorang veteran aksi-aksi prote sdi jalan raya, dan seorang aktivis lingkungan
hidup.

Anda sudah membuat sejumlah video. Mohon ceritakan kepada kami tentang film”Forfotten Bird of Paradise” dan latar belakangnya?

“Forgotten Bird of Paradise” (Cenderawasih yang Terlupakan) adalah film pertama yang saya buat. Saya menghabiskan dua bulan untuk bepergian dengan menyamar di Papua Barat.

Saya berhasil bertemu dengan korban-korban pelanggaran HAM, aktivis kemerdekaan Papua, dan sejumlah anggota perjuangan bersenjata. Film itu diterima dengan baik, memperoleh penghargaan sebagai Film Dokumenter Terbaik di Festival Film Dam Short, dan dipertunjukkan di festival-festival film yang lain, termasuk Raindance. Film itu juga diputar di program berita terkini “BBC Newsnight” di Inggris.

Bagaimana Anda melihat pengaruh distribusi online (melalui internet) terhadap pembuatan video independen?  Bagaimana Anda menggunakan alat-alat bantu online dalam pekerjaan Anda?

Dewasa ini, segala sesuatu di-online/internet-kan.Youtube, Vimeo, Twitter dan Facebook adalah ‘panggung’; yang saya gunakan, dan sudah barang tentu situs (website) saya.

Teknologi digital telah membuka kesempatan yang benar-benar luas. Apabila Anda bias mempromosikan sebuah film dengan baik, film itu dengan cepat bias ditonton oleh ribuan orang.

Ada banyak video seperti itu. Menurut pendapat saya, kuncinya adalah membuat video yang isinya menyentuh emosi orang lain, dan membuat mereka untuk bertindak.
============================================================================================
Terjemahan wawancara ini dilakukan seakurat mungkin oleh Martyr Papua. Sudah mendapat izin, bahkan telah diperiksa langsung oleh si pewawancara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar