Minggu, 31 Oktober 2010

Dari Alienasi ke Eksploitasi

PSIRB 301, Marxisme: Religi, Politik & Ideologi. Dosen: George J. Aditjondro
Handout 1

DARI ALIENASI KE EKSPLOITASI

1. Berbagai Sesat Pikir Populer ttg Marxisme:
a. Tembok Berlin sudah runtuh, negara-negara sosialis satu per satu sudah beralih ke kapitalisme, kecuali Kuba dan Korea Utara. Ini membuktikan bahwa sosialisme telah gagal membawa kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat di negara-negara itu. Karena itu, sudah tidak relevan lagi untuk mempelajari faham-faham sosialisme, termasuk Marxisme. Pandangan umum begini bersikap “netral” terhadap Marxisme, tapi memandangnya sebagai sesuatu yang sudah tidak berguna (redundant). Padahal, yang runtuh itu adalah sistim sosialisme negara yang dipimpin oleh sebuah partai tunggal (Partai Komunis), yang hanya merupakan salah satu interpretasi terhadap Marxisme.


b. Negara-negara sosialis umumnya diperintah oleh rezim-rezim otoriter/totaliter , atau yang tidak demokratis, walaupun seringkali di dalam nama resminya menggunakan embel-embel demokratik. Misalnya, Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur sebelum bubar), atau Republik Demokratik Korea (Korea Utara). Sementara negara-negara kapitalis umumnya diperintah oleh rezim-rezim yang demokratis, sehingga kapitalisme sebaiknya jadi pilihan buat membangun negara-negara berkembang (Dunia Ketiga). Ini propaganda negara-negara Barat, terutama AS, yang mencampuradukkan sistem ekonomi (kapitalis versus sosialis) dengan sistem politik (demokratik versus otoriter/totaliter).

c. Marxisme dianggap identik dengan perebutan kekuasaan lewat revolusi berdarah, seperti yang dilakukan Lenin dengan Partai Bolsheviknya dalam Revolusi Oktober di Rusia. Padahal, itu hanya salah satu cara memperjuangkan sosialisme, yang tergantung dari situasi sosial, politik dan ekonomi negara yang bersangkutan serta tingginya tingkat oposisi kekuatan-kekuatan kapitalis yang menentang bangkitnya kekuasaan kaum proletar di negara itu. Contoh kemenangan kekuatan sosialis lewat jalan damai adalah Chile di bawah Salvador Allende, Venezuela di bawah Hugo Chavez (lihat Fortune, edisi 10 Oktober 2005: 55-61), dan Euro-komunisme di Eropa Selatan.

d. Marxisme = Komunisme = Ateisme = anti-Tuhan = anti-agama: pandangan umum yang dianut oleh mereka yang secara aktif menentang pengajaran Marxisme di lingkungan umum. Pandangan ini ikut melatarbelakangi pembantaian massal tahun 1965-1966, di mana militer dan kaum agamawan terlibat aktif dalam pembantaian itu, baik di lapangan (lihat peranan Banser Ansor NU di Jawa Timur) maupun di tingkat penasehat politik Soeharto (Pater J. Beek, SJ) yang bersekutu dengan Jenderal Ali Moertopo).

e. Marxisme = Marxisme-Leninisme (ML): pandangan umum di lingkungan aktivis gerakan kiri, yang tertarik pada faham Lenin tentang ‘partai pelopor” (vanguard party, yang biasanya disebut “Partai Komunis”) yang dianggap merupakan penubuhan dari proletariat walaupun dipimpin oleh intelektual (kelas menengah) yang lebih menguasai teori dan analisis Marxis dari pada kaum buruh. Faham ini populer di sebagian aktivis gerakan kiri di Indonesia, yang menentang TAP MPR-RI tentang larangan penyebaran Marxisme/ Leninisme di Indonesia.

f. Marxisme hanyalah pisau analisa untuk mempelajari masalah-masalah ekonomi politik, bukan untuk mempelajari masalah-masalah kebudayaan, estetika, dan perkembangan berbagai cabang seni, kecuali dalam kaitan dengan modal yang mensponsori kegiatan-kegiatan kesenian. Ini pandangan umum mereka yang bergerak di bidang kesenian (kecuali mahasiswa yang kuliah di Program Studi Ilmu, Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma).

g. Analisis kelas yang merupakan salah satu konsep terpenting dalam Marxisme hanya relevan untuk masyarakat industri di negara-negara kapitalis lanjut seperti di Eropa Barat, Jepang, dan Amerika Utara, dan tidak penad (relevan) untuk melakukan analisis terhadap masyarakat negara berkembang yang lebih bersifat agraris. Sebab dalam masyarakat agraris, apalagi dalam masyarakat adat (indigenous peoples ), kelas tidaklah penting. Hal ini pernah dikemukakan oleh seorang dosen dari sebuah universitas negeri terkemuka di Indonesia Timur, dalam sebuah seminar tentang konflik sosial di Poso, Sulawesi Tengah.

2. Betulkah ada dikotomi, atau radical break antara “Marx muda” dan “Marx tua”?
a. “ya”, menurut Daniel Bell, Sidney Hook, Lewis Feuer (lihat McLellan 1973: 24, 278), Frans Magnis-Suseno, Baskara T. Wardaya (?): Marx Muda dianggap lebih filosofis, lebih humanis, yang sangat dipengaruhi oleh filsafat idealisme Hegel, dan, mungkin, lebih “open ended” dari pada Marx Tua. Sedangkan pandangan-pandangan Marx Tua dianggap kurang humanis, sangat berbau politis praktis, bahkan otoriter.

b. “tidak”, menurut David McLellan (1972, 1973). Kata McLellan (1973: 25):
“Marx’s intellectual development is a process of ‘self-clarification’ (to use his own expression), which cannot either be split into periods or treated as a monolith. The central point of this process is neither the Paris Manuscripts nor Capital, but the Grundrisse of 1857-8, the work which, more than any other, contains a synthesis of the various strands of Marx’s thought. … In a sense, none of Marx’s works is complete, but the completest of them is the Grundrisse.”

3. Ada dua kontribusi Marx dalam analisisnya terhadap masyarakat kapitalis. Pertama, kapitalisme menyebabkan proses pemiskinan (pauperization) secara progresif dari kaum proletar, sehingga satu saat mereka akan menjalankan tugas revolusionernya mengambil alih kekuasaan negara. Kedua, bahwa kapitalisme akan terus menerus mengakibatkan alienasi kaum buruh dari produknya, dari proses produksinya, dari jati dirinya, dan dari komunitasnya. Ternyata, revolusi kaum buruh yang diramalkan Marx sejauh ini dapat ditunda atau dibatalkan (?), dengan bertumbuhnya gerakan buruh yang lewat berbagai kebijakan perbaikan nasib mereka, berhasil diintegrasikan ke dalam tatanan sosial. Namun konsep alienasi masih tetap dianggap relevan oleh sejumlah pemikir Marxis, seperti Herbert Marcuse dan George Lukacs, yang menggambarkan bagaimana di masyarakat kapitalis lanjut yang merupakan “masyarakat komoditi”, hasil karya para buruh memperoleh kekuasaan kebendaan (material power), yang menyebabkan bahwa hubungan di antara manusia juga sangat berbau kebendaan. Keadaan ini, yang oleh Marcuse dan Lukacs disebut “reification”, pada hakekatnya sama dengan alienasi (lihat McLellan 1972: 273).

4. Jalan berfikir Marx tentang alienasi (“keterasingan”) adalah sebagai berikut: Manusia pada hakekatnya adalah pencipta, yang memanfaatkan sumber-sumber daya alam untuk kehidupannya: ia membentuk dan mengembangkan dirinya dengan bekerja merubah dunia di sekitarnya bersama sesama manusianya. Namun dengan berkembangnya kapitalisme, dunia sekitarnya, khususnya hasil ciptaannya, bukan lagi milik dia. Dunia sekitarnya menjadi asing bagi dia, karena dengan meluasnya hak milik pribadi (private property), benda-benda di sekitarnya sudah menjadi milik orang lain. Itu merupakan lapis pertama alienasinya. Lapis kedua adalah keterasingan manusia (baca: buruh) dari proses produksi. Selanjutnya, lapis ketiga adalah keterasingan sang buruh dari dirinya sendiri, dari apa yang Marx sebutkan species-being-nya ; sedangkan lapis keempat adalah keterasingan sang buruh dari sesamanya (lihat Marx 1961: 67- 83; McLellan 1972: 213-24).

5. Humanisme Marx tidak tiba-tiba berhenti sesudah Marx semakin tua dan semakin banyak makan garam dalam dunia pergerakan buruh. Malah sebaliknya. Humanisme Marx muda diasah oleh analisisnya yang semakin matang terhadap sistem kapitalisme dini, di awal Revolusi Industri di Inggris. Kepedulian Marx tetap sama, yakni dehumanisasi kaum pekerja, termasuk buruh perempuan dan anak-anak. Cuma konsep alienasi berkembang menjadi eksploitasi, yakni eksploitasi oleh kaum borjuasi, kelas bermodal yang menguasai alat-alat produksi, terhadap kaum proletar, kelas buruh yang diperas tenaganya dengan imbalan upah yang jauh di bawah nilai jual komoditi yang dihasilkannya, sementara nilai lebih (surplus value) komoditi-komoditi yang dihasilkan oleh kaum buruh mempertebal dompet para kapitalis.

6. Marx Tua, mungkin dianggap sinis terhadap para filsuf, karena dalam Tesis ke-11-nya tentang Feuerbach, ia mengecam filsuf yang hanya dapat menafsirkan dunia, tapi tidak berusaha merubahnya. Dengan demikian, Marx sebenarnya ingin mendorong kaum terpelajar untuk berfihak bersama kaum buruh melawan kaum kapitalis guna memperbaiki nasib kaum pekerja. ‘Sinisme’ terhadap filsuf yang hanya menonton kemiskinan dan penderitaan konsisten dengan sikap Marx, yang secara aktif berusaha mendorong kaum proletar memperbaiki nasib mereka melalui jalan revolusi. Revolusi, yang tetap berpijak di tanah, revolusi yang belajar dari sejarah tapi tidak disandera oleh sejarah. Revolusi yang tidak mengagung-agungkan kehebatan sejarah masa lalu, yang merupakan sejarah borjuis. Seperti kata Marx dalam Brumaire ke 18 dari Louis Bonaparte: “Man makes his own history, but he does not make it out of whole cloth; he does not make it out of conditions chosen by himself, but out of such as he finds close at hand.”

7. Pertumbuhan pemikiran Marx dapat digambarkan seperti dalam bagan berikut:


MARX MUDA MARX TUA

Konsep kunci ALIENASI EKSPLOITASI
Keterasingan Penghisapan nilai lebih
buruh dari produk, hasil karya kaum buruh
proses, sesama, dan oleh para kapitalis,
species-beingnya. sehingga buruh semakin
miskin dan kapitalis
semakin kaya.

Ciri-ciri Lebih humanis, Lebih politis, agendanya
filsafatnya lebih ‘open-ended’. jelas: revolusi kaum buruh
untuk merebut kekuasaan
dari tangan para kapitalis,
lewat persatuan kaum
buruh sedunia.

Aktor Utama B U R U H KELAS PEKERJA
(PROLETARIAT)

Tujuan akhir Pengembangan potensi penuh diri manusia dalam sebuah masyarakat tanpa kelas dan tanpa pembedaan antara kerja otak dan kerja otot, di mana orang bisa bertani di pagi hari, dan melakukan kritik sastra di malam hari.

Yogyakarta, Jumat, 30 Sept 2005.
Referensi:
Beer, Samuel H. (peny.) Karl Marx and Friedriech Engels, The Communist Manifesto with selections from The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte and Capital. New York: Appleton-Century Crofts.
Marx, Karl (1961). Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. Moscow: Foreign Language Publishing House.
McLellan, David (1972). Marx Before Marxism. Hammondsworth, Middlesex: Penguin Books Ltd.
------------- (1973). Marx’s Grundrisse. St. Albans, Herts: Paladin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar