Artikel ini pernah dipublikasi di Suara Pembaruan, 8 Oktober 2007.
Mengapa Rakyat Biak Menolak Peluncuran Satelit Rusia
Oleh George Junus Aditjondro
Sekitar 2.000 warga desa Pulau Biak di Tanah Papua, terdiri atas orang tua, anak-anak, laki-laki dan perempuan dewasa, berdemonstrasi di kantor DPRD Biak, Kamis, 4 Oktober lalu. Mereka menolak peluncuran satelit Rusia dari bandara Frans Kaisiepo, sebagaimana disepakati Presiden Vladimir Putin dan Presiden SBY di Kuala Lumpur, 14 Desember 2005. Kesepakatan ini dipertegas ketika keduanya bertemu di Jakarta, Kamis, 6 September lalu.
Masyarakat adat Biak itu melakukan long march dari bandara Frans Kaisiepo ke kantor DPRD, setelah pemuka adat mereka memutuskan untuk menolak peluncuran satelit itu. Mereka juga menuntut mundurnya bupati dan Ketua DPRD Biak yang memberikan izin kepada pemerintah pusat untuk peluncuran satelit itu, tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan tanpa konsultasi dengan masyarakat adat se Kepulauan Biak, yang meliputi tiga pulau besar, Biak, Supiori dan Numfor, serta pulau-pulau kecil di sekelilingnya.
Seratus Kali Setahun
Aksi massa semacam ini jarang sekali terjadi di Biak, setelah aksi massa di Kota Biak tanggal 6 Juli 1998, berakhir dengan kematian 150 orang di ujung peluru aparat. Kali ini, aksi ini diorganisir oleh Dewan Adat Biak, terpicu oleh berita-berita persiapan peluncuran satelit Rusia itu yang makin gencar. Memang, jadual peluncuran satelit itu sudah digeser ke tahun 2010. Tapi perusahaan kongsi Indonesia-Rusia untuk menangani peluncuran satelit itu sudah terbentuk. Bermitra dengan Air Launch Aerospace Corporation dari Rusia, PT Alai (Air Launch Aerospace Indonesia) mengharapkan lampu hijau untuk seratus kali peluncuran satelit dalam setahun, selama 12 tahun ke depan (DPA, 5 September 2007).
Alasan Dewan Adat Biak menolak rencana itu pertama-tama karena masyarakat pemilik hak ulayat tanah bandara Frans Kaisiepo dan sekitarnya belum dilibatkan dalam proses yang sudah berjalan selama dua tahun. Makanya, aksi penolakan itu dipelopori oleh enam marga (keret) pemilik tanah ulayat bandara, yakni Yarangga, Rumaropen, Rumbiak, Ronsumbre, Simopiaref dan Wakum. Namun lewat musyawarah Dewan Adat Biak, seluruh marga di Pulau-Pulau Biak, Supiori, dan Numfor sepakat menolak rencana peluncuran satelit itu.
Alasan kedua, Pemkab dan DPRD Biak tidak pernah transparan dalam memberi legitimasi kepada pemerintah pusat, yang mereka anggap “penggadaian” masyarakat adat setempat. Masyarakat setempat tidak pernah diberitahu dampak positif maupun negatif dari peluncuran satelit itu.
Posisi masyarakat adat bahkan tidak diperhitungkan sama sekali dalam kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Rusia, khususnya dalam soal hak, kewajiban, jaminan keamanan, dan royalty. Ujung-ujungnya, Dewan Adat Biak menuntut semua tanah adat masyarakat Biak yang selama ini diklaim oleh TNI/AU dan TNI/AL, dikembalikan kepada rakyat tanpa syarat.
Keberatan Dewan Adat Biak cukup masuk akal, melihat kecelakaan yang mungkin terjadi dalam peluncuran satelit yang harus digandeng ke orbit oleh sebuah roket, yang sudah sering terjadi di AS dan Uni Soviet, yang kini tinggal meliputi Rusia. Kamis, 6 September lalu, roket Proton-M milik Rusia yang membawa satelit komunikasi Jepang meledak sesudah lepas landas dari pangkalan Baikonur di Kazakhstan, jam 2: 43 dini hari waktu Rusia. Roket itu meledak setelah gangguan mesin dan gangguan dalam pelepasan tingkat dua roket itu, 139 menit setelah terbang, dan jatuh di stepa Kazakhstan, 50 km sebelah tenggara kota Dzhezkazgan (RIA Novosti, 7 September 2007).
Nah, kalau kecelakaan serupa terjadi dalam peluncuran satelit dari bandara Frans Kaisiepo, kepingan-kepingan roket dan satelit bisa terhambur ke antero Teluk Saireri, termasuk ke pulau-pulau Numfor, Yapen, serta pulau-pulau lain yang lebih dekat ke Tanah Besar, yang sangat membahayakan penduduk dan pelayar di teluk itu. Makanya, Dewan Adat Papua berencana mengadakan seminar nasional soal rencana ini di Jakarta.
Dewan Adat
Secara sosiologis, penolakan Dewan Adat Biak memperkukuh hak-hak adat orang Papua. Berbeda dengan suku-suku di Pegunungan Tengah yang mengenal sistem “orang besar”, juga berbeda dengan sistem kepala suku (ondofolo) dan kepala suku besar (ondofolo besar), seperti almarhum Theys Eluay, pola kepemimpinan orang Biak sangat demokratis dan egaliter.
Setiap keret (marga) memunculkan mambri masing-masing, semacam ksatria atau jagoan. Tapi kemunculannya harus didukung kemahiran berdiplomasi serta memimpin ekspedisi-ekspedisi dagang dan perang di masa lalu, atau raak dalam bahasa Biak. Seorang mambri juga tidak berkuasa mutlak atas marganya.
Egaliterisme itu tidak mencegah munculnya stratifikasi dalam susunan organisasi adat masyarakat Biak sekarang, yang meliputi penduduk asli Pulau Supiori dan Pulau Numfor. Ada empat lapis mananwir, atau pemuka adat, seperti dijelaskan Yotam Wakum, pengurus Dewan Adat Biak Urusan Hukum dan Advokasi, kepada penulis, Kamis, 14 September lalu.
Pelapisan mananwir itu sebagai berikut. Setiap marga punya mananwir keret, lalu, setiap kumpulan marga punya mananwir batas. Selanjutnya, setiap kampung atau mnu punya mananwir mnu, kemudian sejumlah kampung punya mananwir bar, atau mananwir wilayah. Semua mananwir itu dibawahi oleh seorang Mananwir Beba Byak, yang menjabat sebagai Ketua Dewan Adat Biak, Yan Pieter Yarangga. Kedudukannya dalam struktur adat setingkat dengan Bupati.
Keputusan Dewan Adat Biak untuk menolak peluncuran satelit diambil setelah berkonsultasi dengan ketiga lapis mananwir itu. Dengan demikian, konsensus itu sudah sangat mengikat.
Perlu juga diingat bahwa anak rantau Biak-Numfor tersebar sampai ke Tanah Besar. Banyak di antara mereka memegang posisi penting di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, pendidikan, dan dalam Dewan Adat Papua. Mereka juga tidak akan ikhlas mengorbankan tanah leluhur mereka untuk kepentingan suatu perusahaan peluncur satelit, yang tidak jelas manfaatnya bagi rakyat kecil di kampung-kampung leluhur mereka.
Makanya, pemerintah pusat harus berfikir ulang dua tiga kali, sebelum melanjutkan rencana “penggadaian” Pulau Biak kepada perusahaan peluncur satelit, meminjam istilah Dewan Adat Biak. Apalagi karena penolakan Dewan Adat Biak sudah didukung oleh Dewan Adat Papua, yang ingin memperluas pembahasan tentang dampak peluncuran satelit ini ke seputar Teluk Saireri, yang meliputi pulau-pulau Numfor dan Yapen, serta daratan Waropen, Nabire, dan Mnukuar, yang disalahtulis orang luar menjadi Manokwari (mnu kwar = kampung lama, tempat pemukiman diaspora Biak-Numfor di daratan Tanah Besar).
Meremehkan keputusan Dewan Adat Biak, atau melarang seminar nasional Dewan Adat Papua tentang topik ini, bertentangan dengan UU No. 21/1001 tentang Otonomi Khusus Papua. Sebab dalam UU itu, kekhususan Papua terletak pada pengakuan terhadap adat istiadat sekitar 250 suku yang menghuni separuh pulau Papua itu.
Akhirnya, perlawanan rakyat Biak ini sekali lagi mengingatkan kita bahwa kesejahteraan rakyat tidak dapat diciptakan hanya oleh segelintir politisi di Jakarta, dengan dukungan pemodal asing dan domestik, dengan memperalat ‘orang-orang pintar’ yang sesungguhnya tidak mengerti kemauan rakyat kecil di kampung-kampung.
Penulis pernah bermukim dan bekerja untuk pengembangan masyarakat di Papua Barat (1982-1987). Bukunya, Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia, diterbitkan oleh Elsam, Jakarta, tahun 2000. Ia dapat dihubungi di: georgejunusaditjondro@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar