Sabtu, 20 Mei 2017

Catatan untuk Waena, Jayapura

Pola yang sama ketika para Jendral bermain dalam konflik Ambon dan Poso, kini dimainkan di Papua!

Orang asli Papua dijadikan targetnya. Pertama Polisi sebagai aparat keamanan mencipatakan opini publik bahwa orang asli Papua itu penjahat, sehingga layak disiksa, ditangkap, dipenjarahkan dan dibunuh. Ini dapat kita saksikan lewat polisi melakukan peyergapan tujuh orang bersama seorang DPO kabur dari LP Abepura. Polisi menembak, menangkap dan menyiksa delapan orang tersebut, dan isu yang diterima oleh warga lewat pemberitaan media adalah mereka yang ditembak itu adalah pelaku pembunuhan seorang Ibu yang mayatnya ditemukan tak jauh dari lokasi penyergapan. 

Lihat Detik News: Tim khusus Polres Jayapura Kota berhasil menangkap pelaku pembunuhan wanita pekerja warung tahu tek di Jalan Taruna Bhakti, Kota Jayapura. yang terjadi Jumat (19/5/2017) pukul 05.40 WIT tadi. Pelaku yang ditangkap berjumlah 8 orang.(Link: https://news.detik.com/berita/3506596/polisi-tangkap-pembunuh-wanita-penjual-tahu-di-jayapura)

Isunya diciptakan dan dikembangkan, di satu sisi, tujuannya adalah membuat masyarakat takut dan menyadari dalam pikiran bahwa orang asli Papua itu memang jahat atau kriminal, sehingga warga, khususnya sedaerah dengan Ibu korban merasa dan mengalami terdesak dan terancam. Ini menjadi prasyarat untuk konflik horisontal. Setelah itu, kata "Wamena", "Orang Gunung", "Orang Papua", mulai dipakai dan sering dipakai oleh keluarga atau komunitas yang merasa korban. 

Dalam kasus dari ibu yang mayatnya ditemukan itu adalah upaya mencipatakan gambaran orang asli Papua sebagai pelaku Kejahatan dan kriminalis. Representasi Orang asli Papua sebagai kriminalis.
Warga, khususnya keluarga dari ibu itu turun ke jalan, mengamuk dan membunuh dua orang asli Papua tanpa rasa bersalah dan Polisi terlihat tidak mampu mengendalikan situasi. Polisi ada di TKP dalam jumlah yang sedikit. Polisi dalam berhadapan dengan keluarga ibu korban itu tampil sebagai pihak yang tak berdaya untuk mengamankan situasi. Tak berdaya dengan kemarahah keluarga ibu korban. Jika kita bandingkan dengan SOPnya Polisi, maka ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan, misalnya bagaimana intel mereka bekerja? Analisis dan informasinya seperti apa? Dan jika kita bandingkan dengan pendekatan Polisi menangani demo damai warga Papua dengan polisi menangani keluarga ibu korban yang marah itu, kita berkesimpulan bahwa Polisi membiarkan dua orang asli Papua dibantai oleh keluarga ibu korban. Ini pembiaran, dan sebagai aparat Negara, pembiaran mengakibatkan warga kehilangan nyawa adalah sebuah pelanggaran HAM. Kapolres Jayapura dan Kapolda perlu dituntut.

Hal lain, Ini settingan. Diatur dan dikendalikan dengan tujuan tertentu, dan saya duka tujuannya adalah teror untuk konflik horisontal dan menggeser dari konflik Politik antara Negara Indonesia dengan Orang Papua yang memperjuangkan kemerdekaan.

Di Kei kecil, konflik di tahun 1998-2000 dibiayai oleh konglomerat Jakarta, begitu juga Poso. Kelompok radikal dilatih oleh anggota-anggota TNI dan Polri, dengan tujuan adalah ekspansi bisnis dari para konglomerat Jakarta yang membentuk jaringan bisnisnya dengan para Jendral.

Sehingga, hemat saya, kita perlu tanamkan bahwa baik ibu yang ditemukan jasadnya dan keluarganya, maupun orang asli Papua yang dibunuh oleh polisi dan keluarga ibu itu adalah korban. Mari kita bersama-sama menggugat Polisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar