Senin, 03 Oktober 2011

Advokasi dan Penyadaran

DATA YANG TERKUMPUL MAU DIAPAKAN?
Laporan riset lapangan, untuk bekal penelitian lebih lanjut, advokasi dan penyadaran

Oleh George Junus Aditjondro


            SETUMPUK data[1]  di belasan buku notes, pita kaset, foto dan film, serta dokumen-dokumen, serta sampel (cuplikan) air, tetumbuhan dan batu-batuan yang diduga tercemar bahan organik dan anorganik yang berbahaya[2], mau diapakan sepulang dari lapangan? Tentu saja data itu harus disistematisasi, diolah, dikaji, dan ditulis menjadi laporan penelitian lapangan yang terinci, dengan berbagai lampiran yang penad (relevan).


Untuk membantu penulisan handout ini, saya ambil contoh laporan-laporan tim studi KSPPM tentang dampak kehadiran PT Dairi Prima Minerals (DPM) di daerah Sopokomil di Kecamatan Parongil, Kabupaten Dairi. Laporan-laporan yang saya teliti mulai dari tulisan Dimpos Manalu (2002), Tim KSPPM (2002), contact reports kunjungan tanggal 21 Februari 2006, 6 April 2006, 10-11 Juli 2006, 20 Agustus 2006, diskusi strategi pemetaan konflik dengan seorang contact person di Sidikalang tanggal 18 April 2006, wawancara dengan (Ketua?) BAPPEDA Kabupaten Dairi di Sidikalang, tgl. 25 Agustus 2006,  sampai dengan tulisan David Rajagukguk (2007).

Saya memilih proyek penelitian Tim Studi KSPPM ini, sebagai batu loncatan untuk mengemukakan saran-saran tentang penyiapan dan penulisan laporan riset lapangan,  karena tulisan-tulisan ini mewakili rentang pengamatan yang panjang (2002 s/d 2007), dan berulangkali disajikan di buletin Prakarsa  terbitan KSPPM. Selama kurun waktu itu, kunjungan lapangan dilakukan cukup kerap, dibarengi wawancara dengan sejumlah informan kunci.

Pengumpulan data awal, sebelum ke lapangan:
PENGUMPULAN data awal, sebelum  ke lapangan, sangat penting, supaya pengamatan lapangan dapat dipersiapkan sebaik mungkin, dari segi logistik, alokasi waktu dan staf yang ikut ke lapangan, penentuan urutan kunjungan ke dusun-dusun yang mau diteliti, dan untuk bekal penulisan hasil studi lapangan. Saya tidak begitu tahu, apakah itu dilakukan, atau kalau dilakukan, dilakukan dengan teliti, oleh Tim Studi KSPPM, sebelum ke lokasi penelitian. Ternyata, dari dokumen-dokumen tersebut, persisnya wilayah mana saja yang terkena dampak proyek tambang itu meliputi empat desa, dan bukan hanya dusun Sopokomil saja di Desa Longkotan. Tiga desa lain yang juga berada dalam wilayah operasi tambang itu adalah Tungtung Batu, Bonian, dan Bongkaras.

Mengapa hanya Sopokomil yang disebut-sebut? Apakah karena di situ letak base camp  PT DPM yang beroperasi di sana (Manalu 2002)? Ataukah, di dusun-dusun lain di Desa Longkotan, apalagi di ketiga desa lainnya, belum ada pengaruh dari kegiatan perusahaan pertambangan itu? Sampai dengan tahun 2006?

Kurang akuratnya menetapkan parameter wilayah penelitian bisa berakibat hasil penelitiannya kurang lengkap. Dampak di hulu dan di hilir sebuah operasi pertambangan, bisa sangat berbeda. Dampak di hulu lebih terfokus pada dampak pembukaan wilayah yang akan ditambang, seperti penebangan hutan, pencukuran lapisan pucuk (top soil), selanjutnya erosi, longsor dan sebagainya. Sedangkan dampak di hilir lebih berkaitan dengan dampak limbah pertambangan yang hanyut ke perairan sampai jauh dari lokasi tambangnya sendiri.

Makanya, penting sekali untuk menentukan parameter, batas-batas wilayah penelitian, sebelum ke lapangan. Apalagi kalau wilayahnya jauh dari tempat tinggal para peneliti, yang membuat sponsor penelitian harus membayar biaya yang cukup tinggi apabila peneliti harus kembali ke lokasi penelitian. Namun apabila penelitian lapangan ini adalah bagian yang integral dari seluruh kerja-kerja pendampingan komunitas yang bersangkutan, maka kunjungan berulangkali justru bagus demi penguatan proses penyadaran ke arah perlawanan rakyat setempat.

Kendati demikian, walaupun di sini kita telah memilih paradigma penelitian pembebasan (lihat Handout No. 1), toh ada baiknya apabila parameter wilayah penelitian diketahui dengan jelas. Paling tidak, ditentukan untuk sementara. Sebab lebih baik riset lapangan dilakukan serentak terhadap suatu gugusan kampung atau desa yang akan – atau sudah – terkena dampak negatif dari suatu kegiatan pertambangan (atau proyek ekonomi ekstraktif lain yang juga padat lahan), untuk mengurangi kemungkinan fihak-fihak yang mendukung kegiatan pertambangan itu berusaha mengadudomba masyarakat kampung-kampung atau desa-desa di wilayah operasi mereka.

Berkaitan dengan penentuan parameter wilayah penelitian, sangat penting bahwa tim peneliti memiliki peta-peta yang jelas. Peta topografi, yang menunjukkan lokasi kampung-kampung dan proyek pembangunan yang dapat – atau sudah – menimbulkan dampak penting terhadap penduduk kampung-kampung tersebut. Lebih bagus lagi apabila peta topografi itu disertai dengan keterangan tentang arah angin serta aliran sungai besar, anak-anak sungai, dan tubuh-tubuh air lainnya. Dari situ dapat diduga, luasnya pengaruh pencemaran udara dan pencemaran air yang dapat – atau sudah – ditimbulkan oleh proyek itu.

Sayangnya, tulisan-tulisan tentang dampak kehadiran proyek pertambangan timah hitam di Kabupaten Dairi itu, baik yang berbentuk contact reports  maupun laporan-laporan yang sudah dipublikasikan di majalah Prakarsa  terbitan KSPPM, tidak dilengkapi peta. Membuat dan membaca peta, tampaknya belum membudaya dalam kerja-kerja penelitian ornop ini. Bukan hanya dalam kasus dampak tambang timah hitam ini, tapi juga dalam kasus-kasus lain yang diteliti dan diterbitkan oleh KSPPM.

Kadang-kadang peta ada, tapi tersembunyi dalam bundel-bundel tebal AMDAL proyek-proyek tersebut, yang pada gilirannya tersembunyi entah di pojok mana dari perpustakaan dan sekretariat ornop ini. Contohnya, ketika berusaha mengkonsolidasi data untuk persiapan penelitian ke Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Sarulla di Kabupaten Tapanuli Utara, tim peserta lokalatih metlit ini yang memilih Sarulla sebagai tempat praktek lapangannya, menemukan peta-peta lokasi proyek itu serta desa-desa sekitarnya, dalam tiga volume AMDAL, RPL, dan RKL proyek itu yang disusun tahun 1997, ketika proyek itu masih dipegang oleh Unocal North Sumatra Geothermal Ltd bekerjasama dengan Pertamina. “Penemuan” paket itulah yang disertai peta-peta yang lengkap, dari peta topografi s/d peta lokasi proyek, berikut sumur-sumur bornya. Dengan membaca peta-peta itu, tim Sarulla dapat memperkirakan ‘medan’ operasi pengeboran uap panas bumi serta pengoperasian PLTP Sarulla oleh konsorsium PT Medco Energi International, Ormat International Inc (AS) dan Itochu Group (Jepang), dalam waktu dekat (Bisnis Indonesia, 2 Agustus 2006).

Penemuan paket itu, yang saya baca secara lebih terinci tadi malam dan tadi pagi, selepas jalan pagi, memperkuat data yang sangat penting demi keamanan penduduk yang bermukim di sekitar lokasi proyek PLTP itu: kemungkinan proyek PLTP itu menjadi pemantik gempa di daerah segitiga Sibolga – Tarutung – Sarulla (lihat Gambar 4.6 dan 4.7 terlampir, yang dikutip dari buku ANDAL PLTP Silangkitang tahun 1997). Korelasi antara sumber-sumber panas bumi dan kegiatan seismik di daerah itu telah dibahas oleh Timoer Situmorang (2005) dari Subdit Geologi di bawah Departemen Pertambangan dan Energi. Kerawanan daerah ini terhadap gempa bumi mungkin dapat ikut menjelaskan penyebab kebocoran pipa proyek itu, seperti dicatat oleh MS (Mangaloi Sinaga) dalam contact report  kunjungannya ke Pangaloan di Kecamatan Pahae Jae, tanggal 24 Juni 2006, yang saya kutip sebagai berikut:
Dalam saat ini masyarakat masih merasa waswas dan takut terjadi lagi bencana atau kebocoran pipa, seperti yang terjadi 13 tahun lalu [1993], di mana masyarakat/petani yang berada di sekitarnya panik, dan beberapa di antaranya mengalami gangguan atau sejenis radang paru-paru, akibat terhirup gas bercampur uap belerang”.

Yang betul bukan gas bercampur uap belerang, tapi gas asam belerang, atau H2S, yang memang diakui dalam Tabel 6.1 di halaman VI 2 di buku ANDAL PLTP Sarulla (dulu disebut PLTP Silangkitang, dari nama desa yang paling dekat ke rencana lokasi turbin PLTP itu) (lihat Tabel terlampir).

Ada data lain yang saya lihat masih kurang diperhatikan dengan baik, yakni identitas perusahaan yang melakukan kegiatan pertambangan itu. Dalam tulisan Rajagukguk 2007, disebutkan bahwa PT Dairi Prima Minerals (DPM) “merupakan kerjasama antara PT Aneka Tambang milik pemerintah Indonesia dengan Herald Resources Ltd. dari Australia” (Rajagukguk 2007: 26). Apakah perbandingan sahamnya masih sama seperti yang digambarkan dalam Tim KSPPM (2002), yakni 70% saham dikuasai Herald Resources Ltd. dan 30% dikuasai oleh PT Aneka Tambang? Tidak ada penjelasan ke arah itu. Padahal, mungkin saja, saham PT Aneka Tambang telah merosot, atau habis dijual kepada perusahaan lain, atau ada perubahan pemilik lain.

Informasi ini penting, sebab ini bisa menentukan ‘titik-titik rawan’ yang dapat menjadi sasaran advokasi. Sebab strategi advokasi dewasa ini sudah tidak terbatas lagi ke kantor pusat dan cabang perusahaan tambang itu, atau ke kantor cabang dan induk perusahaan Indonesia yang menanam saham di sini, tapi lewat jaringan kerjasama internasional gerakan anti-tambang nasional, yang kini difasilitasi oleh JATAM, bisa melebar sampai ke Australia. Makanya, penelitian lewat internet untuk mendapat keterangan lebih lanjut tentang Herald Resources Ltd  sangat diperlukan, sehingga mitra JATAM di sana, MPI (Mineral Policy Institute) di Sydney, dapat mendukung kampanye anti Herald Resources Ltd di sana.

Hal yang sama juga berlaku buat mereka yang mau melakukan penelitian lapangan terhadap proyek-proyek raksasa lain di Sumatera Utara, seperti ekspansi PT Toba Pulp Lestari (TPL) ke Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, atau pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB) di Kecamatan Sarulla, Kabupaten Tapanuli Utara, yang kini jatuh ke tangan kelompok Medco milik keluarga pengusaha-politikus Arifin Panigoro. Sebab boleh dikata, semua perusahaan yang menjual sahamnya di bursa dalam negeri, seperti Bursa Efek Jakarta, maupun di bursa saham di luar negeri, misalnya di Singapura, sangat rawan terhadap tekanan (calon) pemegang saham.

Raja Garuda Mas (RGM) Group milik keluarga Sukanto Tanoto, salah seorang terkaya di Indonesia, yang juga pemegang saham terbesar PT TPL, mendirikan holding company  baru, APRIL (Asia Pacific Resources Industries, Ltd), yang menawarkan sahamnya di bursa-bursa saham di Singapura dan New York. APRIL kemudian melakukan ekspansi ke Malaysia, Filipina, Tiongkok, Finlandia, dan Brazil (lihat Aditjondro 2006). Ekspansi internasional itu, di samping menunjukkan kekuatan perusahaan itu, juga merupakan kelemahan, sebab kampanye negatif dengan mempublikasikan dampak negatif anak-anak perusahaan RGM/APRIL di Indonesia, dapat menjatuhkan harga saham mereka di luar negeri, terutama di New York, yang merupakan salah satu medan gerilya gerakan lingkungan di AS.

            Berbagai data politik ekonomi serta ekspansi bisnis di masa kini dapat digali melalui internet, dengan menggunakan ‘mesin pencari’ (search machine) Google, yang sering saya gunakan untuk mencari aktor-aktor bisnis besar yang merebut proyek-proyek besar di Sumatera bagian Utara (Sumut dan Aceh). Keterangan tentang PT TPL, dapat dicari dengan memperlebar jaring surfing dengan menggunakan kata kunci “RGM” atau “APRIL”. Keterangan tentang proyek Sarulla, saya peroleh dengan menggunakan kata kunci “Medco” dan “Sumatra”. Jadi tidak mustahil, keterangan terbaru tentang PT Dairi Prima Minerals dapat diperoleh dengan menggunakan kata kunci “Herald Resources Ltd” dan “Sumatra”. Silakan coba!

Selain keterangan terinci tentang perusahaan yang terlibat dalam proyek pertambangan, seperti yang dikerjakan oleh PT DPM, keterangan terinci tentang mineral apa saja yang akan – atau sudah – ditambang, belum diperoleh. Dalam tulisan Tim KSPPM (2002), disebutkan bahwa wilayah kontrak karya PT DPM meliputi bahan galian emas dan mineral pengikut lain (hal. 13). Juga disebutkan bahwa telah ditemukan 7,5 juta ton seng dan timah di areal hutan Sopokomil. “Selanjutnya, juga telah ditemukan deposit 7,5 juta ton buih seng dan timah hitam kategori indicated  di Desa Longkotan, Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kabupaten Dairi”, begitu menurut laporan Tim KSPPM (2002:14).

Kemudian, dalam contact report  tentang dialog antara LSM Peduli Dairi dengan Pemkab Dairi di Balai Budaya Sidikalang, tanggal 6 April 2006, yang ditulis oleh FL, disebutkan bahwa di samping timah hitam sebagai  bahan tambang utama, beberapa unsur lain yang ada di wilayah Sopokomil (lagi-lagi tidak jelas lokasinya) adalah emas (Au) dan seng (Zn). Namun tetap tidak jelas, apakah yang akan – atau sudah – ditambang oleh PT DPM  adalah ketiga mineral tadi – timah hitam (Pb), emas (Au) dan seng (Zn) -- , ataukah hanya timah hitam. Data ini penting, sebab menentukan proses yang akan digunakan untuk memisahkan mineral itu dari bijih (ore body), dan limbah apa yang ditimbulkannya.

Terlepas dari mineral manapun yang akan atau sudah ditambang, sebaiknya tim peneliti menyiapkan diri dengan sedikit pengetahuan yang berguna untuk memberdayakan rakyat tentang cara-cara pemantauan pencemaran udara dan air, yang tidak perlu mengandalkan para pakar biologi serta laboratoria yang canggih. Pencemaran gas-gas karbon dioksida serta oksida belerang di udara, dapat dipantau dari berkurangnya, atau menghilangnya lumut dari batu-batu nisan di mesjid. Pencemaran air dapat dipantau dari menghilangnya biota-biota air, mulai dari kerang-kerangan sampai ke berbagai jenis ikan.

Data awal untuk memantau pencemaran udara dari pertumbuhan lumut di batu nisan kuburan, dapat dikumpulkan sekaligus dengan mencari tahu letak kuburan, tambak atau tugu, sesuai dengan tradisi Batak Toba, pada saat membuat denah tata pemukiman desa-desa yang diteliti di lapangan.

Berbicara tentang kuburan, di mana pemindahannya merupakan hal yang sangat sensitif (mungkin kadang-kadang lebih sensitif ketimbang memindahkan rumah ibadahnya), pengamatan saya terhadap dampak pembangunan PLTA Poso II di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, menunjukkan bahwa cara pemindahan kuburan dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat desa korban pembangunan PLTA tersebut. Ada yang setuju bahwa pemindahan kuburan ditangani secara kolektif, ada yang menghendaki pemindahan kuburan dilakukan sendiri-sendiri oleh keluarga ahli waris masing-masing penghuni kubur.

Kalau itu tadi merupakan sederetan kelemahan dalam hal pengumpulan data di lapangan, laporan-laporan Tim Studi KSPPM tentang proyek tambang ini patut dipuji karena cukup jeli mencatat data keragaman etnis di Dusun Sopokomil dan dusun-dusun sekitarnya, hubungannya dengan pemilikan dan penguasaan tanah-tanah di daerah itu, serta konflik-konflik horizontal yang bisa muncul antara penduduk asli suku Batak Pakpak dan para pendatang suku Batak Toba. Konflik-konflik yang masih laten itu bisa terpecut akibat tidak transparannya PT DPM (lihat Rajagukguk 2007).

Yang perlu dibawa ke lapangan:
            DI samping perbekalan pribadi, yang perlu dibawa ke lapangan adalah literatur yang relevan bagi peneliti dan penduduk di sekitar proyek yang akan diteliti, seperti:
(a) dua set fotokopi produk hukum yang relevan, seperti UU Pertambangan untuk proyek pertambangan, UU Kehutanan untuk proyek perkayuan dan kehutanan, dan UU Pertambangan dan Energi, untuk proyek-proyek pembangkitan tenaga listrik, PLTA maupun PLT Panas Bumi;
(b) dua set fotokopi bagan-bagan dari buku-buku AMDAL proyek yang bersangkutan, seperti AMDAL PLTP Sarulla tahun 1997, ketika proyek itu masih dipegang oleh perusahaan kongsi Pertamina dan UNOCAL dari AS (sekarang sudah lebur ke dalam Chevron Texaco);
(c) kliping koran-koran terbaru tentang proyek yang akan ditinjau, baik berita-berita yang merugikan penduduk, maupun yang menguntungkan penduduk, seperti berita di MedanBisnis, tanggal 30 April 2007, yang menegaskan bahwa Departemen Kehutanan hanya dapat menerbitkan izin pinjam pakai atas penggunaan lahan untuk penambangan timah hitam di Sopokomil dan Tungtung Batuy, setelah melalui penelitian suatu tim terpadu (lihat kliping terlampir); serta
(d) beberapa set fotokopi peta konsep dan sarang laba-laba, yang dapat menjadi picu diskusi, karena berbagai aspek dari dampak proyek-proyek yang mau diteliti, yang sangat berpotensi menggali ingatan para contact persons dan narasumber lain.

            Berbagai bahan dalam butir b, c, dan d itu dapat berfungsi sebagai kodifikasi, pemicu jawaban panjang lebar dari penduduk, yang bukan sekedar obyek wawancara, tapi mitra peneliti (lihat Handout No. 1 dan No. 7).

Sistematika Laporan Kunjungan Lapangan:
            SECARA sederhana, dapat dikatakan bahwa yang hendak dicapai dalam latihan yang sangat singkat itu, adalah kemampuan peserta lokalatih ini untuk menulis contact report  yang lebih baik, dilampiri dengan suatu concept map  yang menggambarkan permasalahan yang diteliti, serta sebuah webchart  yang menyoroti satu atau lebih kejadian yang dramatis (dan mungkin juga, traumatis) yang dialami oleh penduduk, di sekitar lokasi yang diteliti. Tentang peta konsep dan ‘sarang laba-laba’ sudah diuraikan panjang lebar dalam Handout No. 5 dan No. 6, sehingga saya di sini hanya akan menyoroti penulisan Contact Report  yang lebih baik.

            Sistematikanya adalah sebagai berikut. Bagian kepala contact report  itu, tentu saja, sama seperti yang sudah dilakukan selama ini, yakni harus ada nama kegiatan, tanggal, tempat, bidang (di KSPPM, sekretariat, pengorganisasian, studi, dan advokasi). Selanjutnya saya usulkan sistematika sbb:
  1. Tujuan dan Latar Belakang Kegiatan Pengamatan Lapangan itu.
  2. Hasil yang diharapkan.
  3. Uraian tentang proses kegiatan (pengamatan lapangan, atau pengambilan cuplikan (sampel) air, tanah, flora, fauna, atau batu-batuan yang mungkin tercemar bahan buangan berbahaya).
  4. Sedikit evaluasi tentang hasil yang dicapai dalam membina jaringan lama atau dalam membuka jaringan baru dengan narasumber, informan kunci, informan, atau responden biasa yang ditemui di lapangan.
  5. Implikasi dari temuan di lapangan.
  6. Saran tentang rencana tindak lanjut.

Dalam menulis bagian ke-5 dan ke-6, tetaplah ingat bahwa apa yang kita amati di lapangan, dapat mencerminkan pergumulan tanpa henti antara Negara, Modal, dan kita semua sebagai aktivis gerakan-gerakan sosial, yang berjuang untuk semakin memanusiakan diri dan sesama kita, di kota maupun di desa, di kampus maupun di kampung. Untuk itu saya lampirkan skema dari kata pengantar saya di buku Victor Silaen (lihat Lampiran).

Penulisan laporan, menggunakan bahasa jurnalistik atau bahasa akademis yang lugas, tanpa menggunakan sebutan-sebutan yang terlalu kekeluargaan, seperti “kak”, “pak”, “bu”. Keterangan tentang jati diri narasumber, informan kunci, atau responden biasa, hendaknya se kaya mungkin, meliputi umur, jenis kelamin, pakaian yang dipakai saat wawancara, termasuk apakah sang responden itu khusus berganti baju untuk menghadapi para peneliti. Dalam wawancara berkelompok, amati juga apakah ada individu yang memainkan peranan dominan, yang secara tidak langsung berusaha mengatur siapa yang boleh bicara, dan siapa yang harus diam, yang dapat memberikan gambaran tentang struktur kekuasaan atau hirarki dalam komunitas yang dijadikan mitra penelitian itu. Misalnya, isteri hanya bicara setelah ada kode dari suami, atau suami selalu bicara a/n isteri. Atau, selama pendeta, kepala dusun, kepala desa, atau yang berpendidikan paling tinggi berbicara, semua orang lain diam, atau boleh saja menyelingi, dan memberikan pendapat yang bertentangan dengan pendapat sang tokoh tadi.

Contact report  tersebut di atas, hendaknya dilampiri concept map  yang sudah direvisi di lapangan bersama para mitra penelitian, begitu pula web chart  alias sarang laba-laba. Lampiri juga peta lokasi yang menggambarkan relasi antara penduduk dan proyek, yang digambar di lapangan bersama penduduk, atau direvisi di lapangan oleh penduduk berdasarkan peta yang sudah dibuat atau dibawa oleh tim peneliti.

Contact report  kali ini, diharapkan sudah menjadi suatu laporan penelitian lapangan ‘mini’ yang dikerjakan secara kolektif oleh seluruh tim peneliti, sesegera mungkin sesudah kembali dari lapangan. Memang, kali ini seluruh proses lokalatih metlit ini mendorong laporan itu selesai dan dapat dipresentasikan hari Sabtu pagi, 2 Juni 2007. Tapi untuk selanjutnya, hal ini sebaiknya dibiasakan. Janganlah hanya berdiskusi bersama-sama sekembali dari lapangan, kemudian satu orang ditugaskan menulis laporannya, tanpa dikoreksi anggota-anggota tim yang lain, karena masing-masing staf sudah sarat beban pekerjaan lain. Membiarkan tenggang waktu terlalu lama antara pengamatan lapangan dan penulisan laporannya akan membuat berbagai kesan, informasi, atau data, yang diperoleh di lapangan, cepat menguap, baik karena lupa, atau karena terselip entah di mana.

            Selamat meneliti di perpustakaan, melalui internet, dan di lapangan, selamat menuliskan laporan penelitian lapangan, dan selamat menuangkannya dalam langkah-langkah advokasi. Tapi tetaplah ingat, bahwa informasi adalah alat pemberdayaan, untuk kepentingan orang-orang yang paling lemah. Jadi, janganlah menguras isi perpustakaan, secara sadar atau tidak sadar. Malah kalau bisa, selalulah ikut memperkaya isi perpustakaan dan pusat dokumentasi kita. Syalom, horas, mejuahjuah!

Parapat, 29 Mei 2007.

Kepustakaan:
Aditjondro, George Junus (2006). “Kultur Batak, Pedang Bermata Dua: Belajar dari Gerakan Anti-Indorayon”,  Kata Pengantar untuk Victor Silaen (2006). Gerakan sosial baru: Perlawanan komunitas lokal pada kasus Indorayon di Toba Samosir. Yogyakarta: IRE Press.
KSPPM, Tim (2002). “Industri Pertambangan di Dairi”. Prakarsa,  No. 15/XIX/2002, hal. 13-5.
Manalu, Dimpos (2002). Laporan Survey Dampak Pembangunan Industri Pertambangan di Dairi. Parapat, medio Juni 2002.
Rajagukguk, David (2007). “Menelisik Kehadiran PT Dairi Prima Minerals”, Prakarsa, No. 25/XXIV/2007, hal. 26-8.
Situmorang, Timoer (2005). Penyelidikan geomagnetik di daerah panas bumi Ria-ria Sipaholon, Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Pemaparan Hasil Kegiatan Subdit Panas Bumi 2005.
Skema 1. Interaksi antara Negara, Modal,
dan Gerakan-gerakan Kemasyarakatan





[1]              ). Kata “data” sudah bersifat majemuk. Bentuk tunggalnya, dalam bahasa Latin, adalah “datum”.
[2]              ). Gerakan lingkungan di berbagai negara industri telah mengembangkan repertoir indikator polusi udara dan polusi air yang mudah diterapkan oleh aktivis-aktivis di lapangan. Berkurangnya lumut di batu-batu nisan, dapat dijadikan indikator meningginya polusi udara, berbentuk gas nitrogen oksida. Berkurangnya berbagai jenis ikan, apalagi kerang-kerangan, dapat menjadi indikator pencemaran air. Di Jepang, gerakan anti-nuklir menggunakan sejenis bunga yang sangat peka terhadap kenaikan radio-aktivitas di udara, sebagai indikator kebocoran radio-aktivitas dari pembangkit-pembangkit listrik tenaga nuklir. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar