Senin, 24 Januari 2011

Dari Yodom ke Penang

Sebuah renungan di selat Malaka

Malam itu di tahun lalu(1/11), pukul 20.00, di ruang pertemuan kantor LSM Suara Rakyat Malaysia (SUARAMA) di Penang-Malaysia, lima bapak paruh baya bercerita dalam bahasa Mandarin tentang sejarah pergerakan sosialis di Malaysia. Ada 10 anak muda yang mendengarkan. saya, salah satu dari 10 anak muda itu. Rungan pertemuan sangat kecil, tak cukup menampung, sehingga kami duduk berdempet-dempetan. Jing Cheng, kawan saya yang juga staff SUARAM Penang, dengan setia menerjemahkan kepada saya. Maklum, saya tak cakap berbahasa Mandarin.

"Setia perjuangan harus bersama rakyat. Tanpa keterlibatan rakyat, tidak ada perjuangan," tegas salah satu dari lima orangtua itu.


Lima orang tua itu bercerita mulai dari sejarah perjuangan sampai dengan pergeseran sosial yang dialami masyarakat Malaysia saat ini. "Kalau dulu, ada demostrasi, semua pintuh dibuka dan banyak orang yang terlibat. Tapi, saat ini, ketika ada demostrasi, orang malah menutup pintuh, toko dan memilih tinggal di rumah." Hal ini didasarkan oleh gerakan yang hanya sebagai slogan, tanpa ada pendidikan atau pemberdayaan rakyat, dan dunia kapitalis begitu merasuki hati dan pikiran setiap orang, sehingga solidaritas luntur dan diganti dengan individualistis.


Saya pun teringat pengalaman masa kecil saya di Kampung Yodom, Distrik Edera, Kabupaten Mappi!
Waktu itu, kira-kira awal tahun 1990, masyarakat kampung didatangi oleh Bapak Camat, Polisi dan tentara dan staf PT. Bade Makmur Orisa (Grup PT. Korindo), sebuah perusahan Korea-Indonesia yang berinvestasi di bidang Playwood, yang ingin membeli tanah ulayat warga. Orangtua dan anak kecil warga kampung ikut pertemuan dengan pihak perusahan di bawa pohon mangga dekat rumah kami. Masyarakat duduk di tanah beralaskan daun kelapa, sementara Bapak Camat, Polisi, Tentara dan Staff Perusahan duduk di bangku. Saya ikut dalam pertemuan itu. Duduk paling depan, tepat dekat kaki Bapak Camat. Saat itu, kampung jadi sangat ramai. Sesudah Bapak Camat bicara, staff perusahan diberi kesempatan untuk berbicara. Dia bicara bahwa perusahan akan membuat kampung Yodom maju. Masyarakat akan punya rumah beton, bahkan bisa punya mobil. Semuan masyarakat terbius, termasuk saya, tapi tidak untuk orangtua saya yang memilih berdiam di rumah. Maklum, orangtua saya bukan pemilik hak ulayat. Tanpa pikir panjan, masyarakat menjual tanah 300 hektar kepada pihak perusahan dengan harga Rp. 10.000 per meter.

Sementara staff perusahan memberikan uang kepada masyarakat tanda telah beralih kepemilikan dari masyarakat kampung ke pihak perusahan, para pedagang pakaian dan permainan anak ramai dari kota Bade, Ibukota Kecamatan terlihat sibuk memasang tenda jualan. Kapal-kapal kayu pengangkut barang jualan milik para pedagang terlihat berlabu di depan kampung. Para pedagang pakaian atau yang kami sebut “Opsi” menyewa depan rumah kami untuk menjual pakaian. Rumah kami sangat ramai, tapi hanya dua hari saja.

Setelah mendapat uang, masyarakat langsung tidak pulang ke rumah tapi datang dan belanja pelbagai macam barang yang dijual para pedangan sampai uang habis. Barang jualan milik “Opsi” laku keras. Masyarakat senang, opsipun juga senang. Tapi, kesenangan warga kampung tak bertahan lama. Karena, ketika pihak perusahan mulai menebang pohon dan membabat hutan, masyarakat kampung Yodom kesulitan mendapatkan binatang buruan. Semua mulai gigit jari dan menyesal. Semuanya tidak sesuai dengan harapan.

Inilah potret dari rakyat yang diperdaya, sehingga harus diberdayakan!

Seorang dari lima orangtua yang duduk dekat pintu menegaskan, “ada beberapa prinsip dalam gerakan pemberdayaan rakyat, yakni kita tidak boleh pisah dengan rakyat, dan menjadi organisasi yang elitis, Organisasi diadakan untuk jembatan solidaritas, pembangunan kesadaran dan persatuan. Issue perjuangan harus lahir dari rakyat dan diperjuangkan bersama rakyat. Dalam situasi represif, strategi yang cocok adalah study sel. Bentuklah lima orang sebagai satu sel yang mendiskusikan materi-materi gerakan, Sesuikan strategi sesuai konteks”.

Menarik! Lima tokoh pejuang ini menegaskan bahwa music dan cerita sastra kerakyatan dijadikan alat persatuan dan perjuangan. Saya langsung teringat nama Arnold Ap dan mambesak, tokoh dan kelompok musik di tanah Papua.

Arnold Ap (1 Juli 1945 - 26 April 1984) adalah seorang pemimpin Papua Barat antropolog, budaya dan musisi. Arnold adalah pemimpin kelompok Mambesak, dan Kurator dari Museum Universitas Cenderawasih. Ia percayah bahwa musik merupakan sumber potensial perlawanan budaya di Papua Barat. Hal ini tercermin dalam diri Arnold Ap. Karya-karyanya bersama grup musik Mambesak dilihat sebagai simbol identitas Papua, sebuah sintesa budaya revolusioner. Karya-karya seni budaya Papuanya disiarkan di acara radio mingguan. Studi terkemukanya dan kinerja budaya Papua, dan filosofi bermusiknya dipandang oleh banyak orang sebagai sebuah tantangan bagi upaya pemerintah Indonesia terhadap nasionalisme dan identitas Papua, sehingga pada bulan November 1983 ia ditangkap oleh militer pasukan khusus Indonesia, Kopasanda (kini dikenal dengan nama: Kopassus) dan dipenjarakan dan disiksa. Pada bulan April 1984 dia dibunuh oleh tembak di punggungnya. Pada Juni 1984, Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmadja mengatakan dalam konferensi pers bahwa Ap dicegat di laut ketika kapal melarikan diri. Patroli minta mereka menyerah. Perahu Ap tiba-tiba menembaki kapal patroli, yang menyebabkan kapal patroli menembak balik, termasuk Arnold Ap. Kusumaatmadja menuduh Arnold Ap sebagai “separatis OPM.” Pada saat kematian Ap hingga kini, upaya yang kuat dilakukan oleh Pemerintah dan militer Indonesia untuk menghapus nasionalisme dan identitas Papua dengan menyatukan masyarakat Papua ke nasionalisme Indonesia di bawah budaya Jawa.

Masih banyak lagi catatan-catatan yang diberikan, seperti sejarah perjuangan parti sosialis Malaysia.

Setelah pertemuan, kami pun minum kopi di warung dekat kantor Suaram sambil bercerita tentang pelbagai hal. Sesekali, pertanyaan ditujukan kepada saya tentang perjuangan Bangsa Papua, tapi saya tak banyak menjawab. “Datanglah besok ke tempat pemutaran film. Di sana, anda akan tahu tentang situasi Papua”, ungkap saya mengakhiri jawaban atas pertanyaan mereka.

1 komentar:

  1. Terimakasi atas refleski yang manarik ini kak. Benar, bahwa perjuangan harus dilandaskan pada rakyat, tidak bisa hanya dilakukan oleh beberapa kelompok elit. Salam.

    BalasHapus