di balik Kenaikan Harga BBM di Indonesia
-------------------------------------------------------------------------------
George Junus Aditjondro, Ph.D.
HARI Sabtu, 1 Oktober 2005, dua buah bom meledak di Indonesia . Bom Bali II, yang menelan korban puluhan jiwa dan jutaan rakyat Bali dan rakyat Indonesia yang lain yang hidup dari sektor pariwisata, yang sangat terpukul oleh anjognya jumlah turis yang tetap berkunjung ke Bali. Namun ada juga bom kedua, yang untuk sementara waktu agak tertutup gemanya oleh gema bom Bali II, yakni bom kenaikan harga tiga jenis BBM – bensin, minyak solar, dan minyak tanah – di seluruh Indonesia.
Keputusan itu, jelas menunjukkan bagaimana rezim SBY-MJK tidak berfihak kepada rakyat kecil, kelas bawah, wong cilik, yang banyak memilih SBY dan MJK menjadi penguasa negeri ini. Keputusan itu, jelas merupakan keputusan yang memihak kepada kelas menengah dan kelas atas. Bahkan boleh dikata, keputusan ini merupakan keputusan yang tidak nasionalistis, tapi lebih merupakan alat liberalisasi perdagangan bahan bakar minyak di Indonesia , yang sudah lama menjadi inceran maskapai-maskapai migas asing.
Keputusan ini menegaskan kebenaran tesis Karl Marx, bahwa “ide dominan dalam setiap masyarakat adalah ide kelas yang dominan” (lihat Marx dan Engels, 1998: 67). Walaupun ditentang oleh masyarakat, ide untuk menghapus subsidi BBM, dengan akibat naiknya harga BBM secara drastis, tetap dijalankan. Kemudian, sebagai pelipur lara, pemerintah menyiapkan dana kompensasi BBM sebesar Rp 32 trilyun. Sampai akhir Oktober lalu, program subsidi itu baru menjangkau 20 persen dari sekitar 60 juta rakyat yang akan dibagikan duit. Saat ini pemerintah menambah jumlah mereka yang akan mendapat kupon kompensasi BBM sebanyak 15 juta keluarga miskin yang kebagian jatah Rp 100 ribu per bulan. Namun di lapangan, tak semua kebijakan itu berjalan mulus. Di pinggiran kota Jakarta , ada warga terpaksa minum air mentah karena tak kuat membeli minyak tanah. Mereka tak mendapat kompensasi karena luput didata oleh petugas. Kemelut pembagian kartu kompensasi BBM (KKB) serta subsidi langsung tunai (SLT) alias bantuan langsung tunai (BLT) makin menjadi-jadi di berbagai pelosok pedesaan dan wilayah miskin perkotaan di Jawa dan Nusa Tenggara Barat. Sampai-sampai ada rumah petugas relawan Badan Pusat Statistik (BPS) jadi sasaran kemarahan warga, yang merasa tidak mendapatkah KKB yang mereka anggap seharusnya mereka terima (lihat Kompas, 6 & 8 Okt. 2005; Kedaulatan Rakyat, Radar Solo, Jawa Pos, 14 Okt. 2005, Suara Pembaruan, 15 Okt. 2005; Republika, 16 Okt. 2005; Tempo, 30 Okt. 2005: 38).
Antre dana bantuan kompensasi kenaikan BBM itu sudah merenggut beberapa nyawa. Waginem (80 tahun), meninggal dunia Jumat siang, 14 Oktober lalu, saat sang nenek harus berdesak-desakan dengan 1.400-an warga miskin lain. Ia berasal dari Dusun Resomulyo, Desa Geneng, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Wadiman (70 tahun), warga Dusun Krasak, Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, meninggal dunia waktu sang kakek berdesak-desakan dengan warga miskin lain untuk mendapatkan dana BLT (Suara Pembaruan, 15 Okt. 2005; Republika, 16 Okt. 2005).
Dampak Sosial Kenaikan Harga BBM:
CONTOH-contoh keruwetan pembagian dana kompensasi itu mungkin dapat ditimpakan kesalahannya kepada aparat birokrasi di lapangan. Namun secara sistemik, masyarakat miskin memang sangat dirugikan oleh ‘bom 1 Oktober’ buatan SBY, yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2005. Harga bahan bakar minyak (BBM), yang rata-rata naik 125%, mulai 1 Oktober lalu, jelas-jelas menunjukkan bias ke kelas menengah dan atas. Bensin premium ‘hanya’ naik 87,5% dari Rp 2400 menjadi Rp 4500 per liter. Solar naik 105% dari Rp. 2.100 menjadi Rp 4.300 per liter. Sedangkan minyak tanah naik 186% dari Rp 700 menjadi Rp 2000 per liter! (Suara Pembaruan, 1 Okt. 2005; Sorot, Okt. 2005: 18; Gaung AMAN, Okt. 2005: 6; Juoro 2005).
Kelas borjuasi lebih banyak menggunakan mobil sedan sebagai alat angkutan mereka, yang memakai bensin premium sebagai bahan bakar. Di rumah, mereka menggunakan listrik dan gas untuk keperluan dapur. Sedangkan kelas proletar lebih banyak menggunakan alat angkutan umum yang lebih banyak memakai minyak solar sebagai bahan bakar. Di dapur, kaum proletar menggunakan minyak tanah. Jumlah anggota kelas bawah jauh lebih banyak dari pada kelas atas, tapi tingkat penghasilan mereka jauh lebih rendah. Makanya, peningkatan harga BBM ini dirasa tidak adil.
Kenaikan harga solar, yang banyak digunakan sebagai bahan bakar alat angkutan umum, telah memaksa banyak anggota kelas menengah bawah beralih ke sepeda motor sebagai alat angkutan keluarga. Ini kelihatan ketika semakin banyak laki-laki dewasa menggunakan sepeda motor untuk mudik berLebaran, lalu kembali ke kota tempat kerja, sambil berakrobat bersama isteri, anak-anak, dan sepeda kayuh yang diikat di goncengan sepeda motor.
Sebagaimana diamati oleh Sawitri, seorang pegiat sosial di Boyolali, Jawa Tengah, lonjakan permintaan akan sepeda motor terfasilitasi oleh mekanisme kredit yang sangat mudah dan cepat. Ini didukung pula oleh gaya hidup masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh iklan sepeda motor jenis bebek yang saling bersaing, tanpa memikirkan pencicilan sepeda motornya di kemudian hari. Sehingga pada akhirnya, lagi-lagi pengusaha yang untung dari penjualan kembali sepeda motor yang ditarik dari pembeli yang tidak mampu melunasi hutangnya, tukas Sawitri kepada penulis.
Besarnya lonjakan kenaikan minyak solar, punya dampak sosial yang sangat parah di sektor perikanan: jutaan nelayan terpaksa menggantung jala. Dari 2000 nelayan di kota Tarakan, Kaltim, kini hanya sekitar 60 persen yang masih beroperasi, sedangkan 40 persen lainnya beralih pekerjaan menjadi tukang ojek, buruh bangunan, pejaga tambak, dan kerja serabutan lain (Suara Pembaruan, 1 Okt. 2005; Kompas, 5 Nov. 2005). Di Teluk Palu, ‘hanya’ 15% nelayan yang alih profesi akibat kenaikan harga minyak solar. Tapi itu bukan karena mereka secara ekonomis begitu kuat, tapi karena sebelum kenaikan harga BBM, sekitar 30% nelayan Teluk Palu sudah tidak lagi melaut akibat krisis moneter. Begitu menurut pengamatan Safri, Direktur Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR), sebuah ornop yang bergerak bersama kaum miskin di kota Palu dan sekitarnya.
Kaum miskin memang sangat dirugikan oleh kenaikan BBM itu. Namun dari kaum miskin itu, yang paling dirugikan adalah perempuan. Menurut Sawitri, yang juga menjabat sebagai Manajer Program Urusan Perempuan pada Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKuTS) yang berkedudukan di Boyolali, keterangannya adalah sebagai berikut. Perempuan dalam sebagian besar rumah tangga di Jawa, adalah pengelola keuangan keluarga. Sang suami biasanya tidak mau tahu, bagaimana isterinya mengatur ekonomi rumah tangganya. Sang suami cuma mau tahu, isterinya diberi uang sekian, harus cukup.
Kenyataannya, uang yang tadinya cukup untuk mengelola kebutuhan rumah tangga, dengan krisis moneter yang kini diperparah oleh kenaikan harga BBM, tidaklah memadai lagi. Bahkan jauh dari memadai. Tapi dari pengamatan LKuTS, yang seringkali memberikan latihan pengelolaan keuangan rumah tangga buat perempuan kelas bawah di kota maupun di desa, para suami tetap tidak mau tahu. Sehingga sang isterilah yang harus memutar otak mencari pinjaman, untuk menutupi kekurangan anggaran belanja keluarga. Beban hutang yang harus dipikul oleh sang isteri, seringkali menimbulkan ketegangan di antara suami dan isteri. Tidak jarang ketegangan itu melahirkan kekerasan dalam rumah tangga, sehingga hubungan di antara suami dan isteri menjadi tidak rukun.
Masalah keretakan hubungan suami isteri ini paling tampak di kalangan keluarga miskin di kota . Sebab kenaikan upah sang suami tidak ada artinya dibandingkan dengan kenaikan harga barang-barang keperluan rumah tangga. Merosotnya penghasilan keluarga, berdampak lebih lanjut pada berkurangnya bahan pangan yang dapat dibeli, yang selanjutnya berdampak pada gizi anak-anak yang masih di bawah lima tahun (balita).
Kekurangan uang untuk menutupi anggaran belanja keluarga membuat para isteri menjadi sasaran empuk bagi lembaga-lembaga keuangan bank dan non-bank. Strategi lembaga-lembaga keuangan ini untuk mencari nasabah jauh lebih agresif, dengan mendatangi keluarga-keluarga miskin dari rumah ke rumah. Akibatnya, keluarga-keluarga miskin yang tidak dapat membayar hutang mereka, lebih sering menghadapi risiko disita harta bendanya. Begitulah reaksi berantai dampak kenaikan harga BBM terhadap keluarga-keluarga miskin di kota maupun di desa.
Dampak Ekologis Kenaikan Harga BBM:
SELAIN menimbulkan dampak sosial yang begitu besar, kenaikan harga BBM yang berbanding terbalik dengan kepentingan kelas bawah pada gilirannya menimbulkan dampak ekologis yang negatif bagi kelas bawah tersebut. Penduduk kawasan pinggiran kota serta kampung miskin di kota (urban slums ) yang tidak lagi mampu membeli minyak tanah, kini pada beralih ke kayu bakar. Itu berarti, pepohonan di taman dan hutan di tengah dan di pinggiran kota , bakal terancam kelestariannya. Terancamnya paru-paru kota itu berarti udara kota bakal tambah pengap.
Udara kota yang semakin pengap, tidak terlalu menjadi masalah bagi kaum borjuis yang lalu lalang dalam mobil mereka, yang telah diatur kesejukan udaranya. Tapi tidak demikian halnya bagi kaum miskin. Apalagi mereka yang sambil menggenjot sepedanya, harus menghirup udara kota yang semakin pengap. Selain itu, kaum miskin yang tinggal di lereng-lereng perbukitan juga paling rentan menghadapi tanah longsor dari tebing-tebing yang telah digunduli pepohonannya. Kaum miskin yang tinggal di pinggir kali, juga paling berisiko diterjang banjar bandang akibat tanah longsor di hulu.
Di kota Boyolali, Jawa Tengah, kaum miskin kota punya cara lain memenuhi kebutuhan bahan bakarnya, tanpa terlalu menggerogoti paru-paru kota . Mereka menyisiri jalan-jalan kota untuk mencari kotak-kotak karton di gudang-gudang toko untuk dijadikan bahan bakar. Tidak melulu karton sebagai bahan bakar, tapi tetap bersanding dengan kayu.
Dari sudut bahan bakar rumah tangga, penduduk pedesaan tidak terlalu terpukul akibat kenaikan harga minyak tanah, sebab mereka punya beragam bahan limbah pertanian, mulai dari pelepah kelapa, jerami, sampai dengan dedak, untuk dijadikan bahan bakar. Boleh jadi, dan ini masih harus diteliti, semakin banyak bio-mass yang dibakar, semakin sedikit yang dikembalikan ke tanah sebagai pupuk alami. Mudah-mudahan ini tidak mengurangi kesuburan tanah, atau menambah ketergantungan pada pupuk pabrik yang sintetis.
Lonjakan permintaan akan sepeda motor, akibat kenaikan ongkos angkutan umum, dapat menimbulkan dampak lingkungan yang kurang sehat pula.Kita bisa amati di kota Yogya, apa jadinya kalau pengembangan armada angkutan umum diabaikan, dan pasar kita biarkan mengisi kebutuhan alat angkutan bermotor dengan sepeda motor. Udara kota Yogya semakin pengap dengan tingginya kadar gas-gas buangan dari sepeda motor yang merajai kota ini. Nah, sekarang ini, dengan semakin mahalnya ongkos angkutan umum, semakin banyak penduduk yang beralih ke sepeda motor, seperti yang sudah disinggung di depan. Yang tidak mampu mengkredit sepeda motor, banyak yang beralih ke sepeda kayuh, atau berjalan kaki, sambil menghirup udara kota Yogya, yang semakin pengap akibat polusi knalpot.
Kelas Komprador Domestik:
TAPI betulkah yang menentukan kenaikan harga BBM itu, hanyalah para penentu kebijakan ekonomi di dalam negeri? Betulkah Presiden SBY serta Wakil Presiden M. Jusuf Kalla dan menteri-menteri mereka merupakan penentu utama kebijakan ekonomi yang tidak berfihak ke kelas bawah Indonesia tersebut?
Tidak. Sesungguhnya yang menentukan kebijakan enerji Indonesia , adalah para penguasa maskapai-maskapai transnasional (transnational corporations ), khususnya TNCs yang bergerak dalam pertambangan migas dan pemasaran BBM. Rezim SBY-MJK yang mengambil keputusan untuk menghapuskan subsidi BBM, hanya merupakan kepanjangan tangan dari penguasa TNCs tersebut, bersama-sama para pengusaha domestik di bidang itu. Dalam literatur teori ketergantungan (dependency theory ), mereka disebut “kelas komprador domestik”.[1]
Penghapusan subsidi BBM merupakan langkah persiapan untuk membuka pasar Indonesia bagi maskapai-maskapai migas internasional, yang sebagian sudah bergerak dalam bidang pertambangan migas di Indonesia , dan sebagian lagi mengincar pasar BBM yang begitu menggairahkan. Seperti yang dikemukakan Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), Tubagus Haryono, saat ini ada 141 perusahaan asing dan swasta lokal yang siap meramaikan bisnis hilir minyak dan gas yang meliputi kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpnan, dan niaga (lihat Tempo, 13 Nov. 2005: 103). Termasuk untuk membuka stasiun penjualan BBM untuk umum (SPBU), nama keren untuk pompa bensin dan minyak solar.
Sejak awal November lalu, sebuah SPBU berlogo Cangkang Kerang Kuning, merek dagang Royal Dutch Shell Plc. sudah beroperasi di mulut pintu tol Jakarta-Merak di seberang Supermal Lippo Karawaci di Tangerang, Banten, di samping heliport, tempat pendaratan dan lepas landas helikopter milik James Riady pribadi. SPBU yang dibangun dengan investasi Rp 10 milyar itu memiliki 25 pompa (dispenser ) dan sebuah mini market, yang menjual snacks dan majalah yang lebih mahal harganya dari pada yang dijual di Mal Lippo Karawaci. Pompa-pompa bensin itu menjual bensin Shell Super (Oktan 92) dan Shell Super Extra (Oktan 95), seharga Rp 5700 dan Rp 5900 per liter, jauh lebih mahal dari harga bensin Premium yang Rp 4500 per liter yang setara dengan kedua jenis bensin Shell itu (Kompas, 9 Nov. 2005; Tempo, 13 Nov. 2005: 106; Otomotif, 21 Nov. 2005: 4-5; pengamatan pribadi penulis, tanggal 14 November 2005).
Menjadi perusahaan asing yang pertama kali diizinkan membuka SPBU di Indonesia merupakan prestasi yang luarbiasa bagi Shell, mengingat perusahaan yang bermodal Belanda, Inggris dan AS itu, yang pertama kali mengeksplorasi minyak di Indonesia tahun 1890, sudah mengakhiri seluruh kontrak eksplorasi migasnya di negeri ini sejak tahun 1990-an, kecuali di Blok Ambalat yang jadi sengketa dengan Malaysia itu. Namun di tahun 1960-an, Shell pernah berdagang bensin di Indonesia (lihat Sampson 1977: 28-30; Ekspos, Sept. 2005: 37; Tempo, 13 Nov. 2005 : 106; http://id.wikipedia.org/wiki/Shell).
Rencananya, anak perusahaan Shell itu akan membangun 400 SPBU lagi dalam delapan tahun ke depan, dengan menanam modal sedikitnya 50 juta dollar AS atau hampir Rp 500 milyar. Sampai akhir tahun ini, ada tiga SPBU lagi berlogo Shell yang akan berdiri di Jalan S. Parman, di Jalan Mampang Prapatan, dan di Jalan M.T. Haryono, di samping RS Medistra, semuanya di Jakarta . Selain kedua jenis bahan bakar yang sudah dijualnya, perusahaan itu akan menjual Shell V-Power dengan angka oktan 97. Mereka juga sudah mengantongi izin prinsip untuk menjual marine diese oil, minyak industri dan minyak aviasi, dan akan membangun tempat penyimpanan BBM di Merak, Banten. Untuk saat ini, bensin yang mereka jual di Karawaci masih didatangkan langsung dari Singapura (Tempo, 13 Nov. 2005 : 102, 106-7; Otomotif, 21 Nov. 2005 : 4-5).
Selain Shell, yang juga sudah siap membangun dan mengoperasikan SPBU di Indonesia adalah Petronas, melalui anak perusahaannya, PT Petronas Niaga Indonesia . SPBUnya yang pertama bakal berdiri di Jalan Alternatif Cibubur, berseberangan dengan kompleks perumahan elit Rafflesia Hills. Bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 5.700 meter persegi ini bakal diisi delapan dispenser dengan beberapa minimarket dan kantin, dilengkapi pula dengan layanan buat sepeda motor. SPBU Petronas ini akan mulai dioperasikan bulan Januari 2006, dengan menjual bensin berangka oktan 92 dan 95, dengan harga banderol sama dengan Pertamax dan Pertamax Plus keluaran Pertamina, yakni Rp 5700 dan Rp 5900 per liter. Perusahaan migas Malaysia ini berencana membangun SPBU di beberapa kawasan lain di Jabotabek, seperti di Bekasi, Tangerang, Bogor , dan Jakarta Selatan, khususnya di kawasan Mampang dan Kemang. Selain membangun 200 SPBU dalam sepuluh tahun mendatang, atau rata-rata 20 SPBU setahun, Petronas juga berencana membangun pangkalan avtur di bandara Hasanuddin (Makassar), Ngurah Rai (Denpasar), Juanda (Surabaya), dan Soekarno-Hatta (Cengkareng). Untuk mendukung berbagai rencana itu, tahun ini Petronas berencana menanamkan 100 juta dollar AS di Indonesia (Tempo, 13 Nov. 2005 : 102; Jakarta Post, 14 Nov. 2005 ; Otomotif, 21 Nov. 2005 : 4-5).
Tampaknya, dua orang tokoh bisnis top di Indonesia yang ikut membuka jalan bagi maskapai-maskapai migas asing untuk ‘buka dasar’ di Indonesia, adalah James Riady untuk urusan Shell (Tempo, 13 Nov. 2005: 106) dan Aksa Mahmud untuk urusan Petronas (Jakarta Post, 14 Nov. 2005). James Tjahaya Riady (lahir di Jakarta, 7 Januari 1957), termasuk pemilik PT Lippo Karawaci Tbk, yang membangun kota satelit Lippo Karawaci seluas 500 hektar, yang meliputi tanah di mana kini berdiri SPBU Shell itu. Ia memimpin kelompok Lippo di Indonesia dan di AS. Sedangkan ayahnya, Mochtar Riady, memimpin usaha kelompok Lippo di Tiongkok. Kerjasama ayah dan anak ini pernah menimbulkan kontroversi di AS, ketika kelompok Lippo menyumbang satu juta dollar AS untuk dua kali pemilihan Presiden William (Bill) Clinton . Kedekatan mereka dengan Bill Clinton membuahkan hasil yang lumayan menguntungkan: sebuah pembangkit listrik raksasa yang dibangun kelompok Lippo di Tiongkok, mendapat pinjaman dari Bank Exim AS, yang sejatinya hanya meminjamkan dana kepada perusahaan-perusahaan AS (lihat PDBI 1997b: A-511 – A-525; ECFIN 2001: 616-7).
Adapun hubungan antara Aksa Mahmud, pemimpin kelompok Bosowa yang juga Wakil Ketua MPR dengan Petronas, tidaklah demikian eksplisit. Namun cukup menarik perhatian, bahwa Aksa Mahmud berbicara begitu tegas dan jelas tentang rencana Petronas di Indonesia, bagaikan Humas Petronas saja, setelah dikunjungi Dubes Malaysia, Zainal Abidin Zain di Senayan, medio November lalu. Selesai dikunjungi sang Dubes, dengan penuh semangat adik ipar Wakil Presiden M. Jusuf Kalla ini menjelaskan rencana-rencana pembangunan SPBU dan pangkalan avtur Petronas. Namun ia tidak mengatakan, apakah kelompok Bosowa yang kini dipimpin anaknya, Erwin Mahmud, akan menjadi mitra Petronas atau tidak (Jakarta Post, 14 Nov. 2005 ).
Dari sini dapat dilihat bahwa James Riady -- dan kemungkinan juga Aksa Mahmud --, secara sosiologis termasuk ‘kelas komprador domestik’ yang bersama SBY, Jusuf Kalla, dan Menteri-Menteri di bidang perekonomian, berada di balik keputusan penghapusan subsidi BBM yang sampai sekarang masih terasa dampaknya yang luar biasa di seluruh penjuru tanah air.
Bicara soal para anggota kelas komprador domestik migas ini, paling tidak tiga orang di antara segelintir decision maker ekonomi Indonesia itu atau keluarga dekat mereka ikut mengeruk rezeki berlimpah dari minyak dan gas bumi, sebelum mereka bergabung ke dalam Kabinet ‘Indonesia Bersatu’ pimpinan SBY. Di puncak anak tangga tentunya perlu disebutkan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla sendiri, yang keluarganya adalah pemilik Nuansa Group, salah satu investor yang sedang tertarik untuk menggarap sumur minyak di Blora, Jawa Tengah, setelah gagal menggarap sumur Bojonegoro di Jawa Timur (lihat Gatra, 10 Sept. 2005 : 74-5).
Selanjutnya, ‘parade artis migas’ itu meliputi Menko Ekuin Aburizal (“Ical”) Bakrie, Menaker Fahmi Idris, dan Menteri Urusan BUMN Sugiarto. Di masa kediktatoran Soeharto, adik-adik Ical ikut membangun perusahaan-perusahaan perdagangan minyak anak-anak dan adik sepupu Soeharto di Hong Kong dan Singapura, di bawah nama “Mindo”, “Permindo”, dan “Terrabo”. Setelah Soeharto dilengserkan oleh gabungan kekuatan IMF, tentara, dan gerakan mahasiswa, Ical dan adik-adiknya melepaskan diri dari kelompok Mindo itu, setelah Pertamina menutup keran perusahaan-perusahaan tersebut. Belum jelas apakah perkongsian antara keluarga Bakrie dan keluarga Soeharto di pabrik pipa PT Seamless Pipe Indonesia Jaya, di perusahaan perkebunan PT Bakrie Sumatra Plantations, dan di Bank Nusa, juga telah berakhir (lihat Aditjondro 1998: 119-21).
Yang jelas, sebagai ancang-ancang menghadapi era pasca-Soeharto, Bakrie Bersaudara sudah berhasil membangun imperium bisnis migas mereka sendiri. Indra Usmansyah Bakrie, adik Ical, tercatat sebagai Presiden Komisaris Kondur Petroleum S.A., perusahaan swasta yang berbasis di Panama . Perusahaan itu dimiliki oleh PT Bakrie Energi, yang 95 % milik Bakrie Bersaudara dan 5% milik Pan Asia, yang pada gilirannya milik Rennier A.R. Latief, CEO dan Presdir Kondur Petroleum SA. Di Indonesia, perusahaan ini bergerak di bawah nama PT Energi Mega Perkasa Tbk., yang sejak tahun 2004 terdaftar di Bursa Efek Jakarta, dan juga dipimpin oleh Renier Latief. Perusahaan ini sekarang menjadi perusahaan migas swasta nasional kedua terbesar setelah Medco Group. Di mancanegara, kendaraan bisnis minyak Bakrie bersaudara ini tetap bergerak dengan nama Kondur Petroleum SA, dan beroperasi di Kroasia , Uzbekistan , Yaman dan Iran . Tapi sebelumnya, sebagai operator Kawasan Production Sharing Selat Malaka (KPS-SM), Kondur telah berbisnis dengan Shell, yang menampung minyak mentah itu untuk dimurnikan di Australia (sumber-sumber: PDBI 1997a: A-72 – A-83; ECFIN 2001: 38-9; www.energi-mp.com; www.kondur.co.id, Swasembada, 11-24 Februari 1999: 72-3; Warta Ekonomi, 21 Februari 2005: 23; Ekspos, Sept. 2005: 38-9).
Selain di Kondur Petroleum SA, Bakrie Bersaudara juga memiliki saham dalam PT Bumi Resources Tbk, yang sedang mengalihkan usahanya dari sektor perhotelan ke pertambangan, khususnya pertambangan migas dan bahan baku enerji yang lain. Hampir 22% saham perusahaan itu milik Minarak Labuan, maskapai minyak milik Nirwan Dermawan Bakrie, yang telah menanamkan 33 juta dollar AS di Yaman. Diversifikasi usaha itu dilakukan dengan membeli 40% saham Korean National Oil Corporation (KNOC), yang menanam 4,4 juta dollar AS dalam unit pengolahan minyak TAC Sambidoyong di Cirebon. Selain di Indonesia, KNOC melakukan eksplorasi migas di sebelas negara lain, termasuk Libya, Afrika Selatan, Yaman, Vietnam, Venezuela, Peru dan Argentina (sumber-sumber: idem).
Adapun Fahmi Idris, yang sekarang Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, adalah anggota Grup Kodel (“Kelompok Delapan”), yang berkongsi dengan perusahaan migas AS, Golden Spike Energy. Kodel sendiri juga bergerak dalam bidang pertambangan migas, melalui anak perusahaannya, PT FMC Santana Petroleum Equipment Indonesia, yang berkongsi dengan kelompok Nugra Santana milik keluarga Ibnu Sutowo almarhum (sumber-sumber: PDBI 1997b: A-470 – A-474; Ekspos, Sept. 2005: 38).
Selanjutnya, Sugiarto, yang sekarang menjabat sebagai Menteri Urusan BUMN, sebelumnya adalah Direktur Keuangan PT Medco Energi Internasional Tbk, perusahaan swasta Indonesia terbesar di bidang migas, milik Arifin Panigoro dan keluarganya. Kelompok Medco itu pada awalnya ikut berkembang karena perkongsiannya dengan besan Soeharto, Eddy Kowara Adiwinata almarhum (mertua Siti Hardiyanti Rukmana) dan salah seorang Menteri, yakni Siswono Judo Husodo. Ekspansinya ke negara-negara Asia Tengah eks-Uni Soviet dilakukan dengan membonceng ekspansi pengusaha muda yang waktu itu masih termasuk keluarga besar Cendana, yakni Hashim Djojohadikusumo. Sesudah berakhirnya kekuasaan Soeharto secara langsung, manuver-manuver politik Arifin Panigoro, yang langsung muncul sebagai pendukung yang gigih dari gerakan reformasi, menyelamatkan kelompok bisnis ini, yang muncul sebagai penyandang dana PDI-P dan berhasil mengorbitkan Megawati Soekarnoputri ke kursi RI-1 (sumber-sumber: Aditjondro 1998: 133-4; ECFIN 2001: 44-5; PDBI 1997b: A-571 – A-577; Gatra, 30 Juli 2005: 25, 30-31; Ekspos, Sept. 2005: 38; www.medcoenergi.com).
Kesimpulan:
KITA telah melihat dalam makalah ini, bagaimana keputusan untuk menaikkan harga BBM yang secara diskriminatif jauh lebih merugikan kaum miskin ketimbang kaum berduit, tidaklah terlepas dari kepentingan maskapai-maskapai migas asing untuk memperluas pasarnya ke Indonesia . Kebijakan yang anti-rakyat ini, yang punya dampak sosial dan ekologis yang luar biasa bagi lapisan terbawah rakyat Indonesia, diputuskan oleh Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan SBY dan MJK, tidak lepas dari kecenderungan sebagian politisi-pedagang ini, untuk mendahulukan kepentingan perusahaan migas domestik dan asing, yang dekat dengan diri dan keluarga mereka. Dengan demikian, rakyat Indonesia menjadi sandera dari kepentingan para pedagang minyak asing dan domestik, yang sudah terwakili di dalam Kabinet ini.
Makanya, tidak ada jalan lain untuk membebaskan diri dari penyanderaan ini, selain mengakhiri mandat rakyat buat rezim SBY dan MJK. Seiring dengan upaya demokratis untuk mengakhiri mandat pemerintahan SBY dan MJK ini perlu kesatuan gerak untuk mencegah ekspansi maskapai-maskapai migas asing ke seluruh Indonesia , termasuk ke provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Referensi:
Aditjondro, George Junus (1998). Dari Soeharto ke Habibie, Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Rezim Orde Baru. Jakarta : Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan (MIK) & Pijar Indonesia .
Biersteker, Thomas J. (1981). Distortion of Development? Contending Perspectives on the Multinational Corporation. Cambridge : The MIT Press.
ECFIN (2001). Indonesian Capital Market Directory 2001. Jakarta : Institute for Economic and Financial Research (ECFIN).
Juoro, Umar (2005). “Ekonomi Pasca-Kenaikan BBM”, Warta Ekonomi, 17 Oktober, hal. 12-3.
Marx, Karl and Friedrich Engels (1998). The German Ideology. Amherst , NY : Prometheus Books.
PDBI (1997a). Conglomeration Indonesia . Volume 1. Jakarta : Pusat Data Business Indonesia (PDBI).
-------- (1997b). Conglomeration Indonesia . Volume 2. Jakarta : Pusat Data Business Indonesia (PDBI).
Sampson, Anthony (1977). The Seven Sisters: The Great Oil Companies and the World They Made. London : Coronet Books.
[1] ) Dalam literatur teori ketergantungan dipakai istilah strata, kelas-kelas, atau kelompok-kelompok “borjuis komprador”, yang kepentingan dan kegiatannya sejajar dengan kepentingan maskapai-maskapai transnasional yang menanamkan modalnya di negara-negara Dunia Ketiga. Istilah comprador, yang dalam bahasa Portugis berarti “pembeli”, awalnya digunakan dalam pembahasan tentang perdagangan, dan diterapkan terhadap para pedagang perantara, yang mengurus masuknya para pedagang asing ke pasaran setempat. Dalam kasus investasi masakapai-maskapai minyak asing ke Nigeria , negara kaya minyak di Afrika, ada hubungan segitiga antara maskapai-maskapai transnasional, komprador swasta, dan komprador negara, yakni birokrat-birokrat yang mengfasilitasi masuknya perusahaan-perusahaan asing itu.(lihat Biersteker 1981: 17, 19, 143, 146-7).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar