Kelemahan-kelemahan Struktural Gereja menghadapi Konflik-konflik Penguasaan Sumber-Sumber Daya Alam di Nusantara
Oleh George Junus Aditjondro
......perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging,
tetapi melawan pemerintah-pemerintah,
melawan penguasa-penguasa,
melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini,
melawan roh-roh jahat di udara.
Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah,
supaya kamu dapat mengadakan perlawanan
pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri,
sesudah kamu menyelesaikan segala sesuatu.
Jadi berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran
dan berbajuzirahkan keadilan.
(Efesus 6: 12-15)
KONFLIK-konflik pengelolaan sumber-sumber daya alam (SDA) kadang-kadang berdiri sendiri, kadang-kadang tertutup atau tumpang-tindih dengan konflik lain. Misalnya, konflik antara negara dengan gerakan perjuangan kemerdekaan, atau konflik komunal di antara warga masyarakat yang berasal dari kelompok agama atau suku yang berbeda. Contoh konflik pengelolaan SDA yang berdiri sendiri adalah konflik di antara berbagai komunitas adat menghadapi maskapai-maskapai tambang raksasa di Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.
Contoh konflik pengelolaan SDA yang tumpang tindih dengan perjuangan kemerdekaan adalah perlawanan suku-suku Amungme dan Kamoro melawan tambang PT Freeport Indonesia, Inc., di mana kehadiran tambang emas-perak-tembaga itu dilihat oleh gerakan kemerdekaan Papua Barat sebagai simbol kolonialisme Indonesia.
Sedangkan contoh konflik pengelolaan SDA yang tumpang tindih, atau lebih tepat, tertutup oleh konflik komunal setempat, adalah perlawanan rakyat pedesaan sepanjang DAS Poso melawan proyek PLTA Poso dan jaringan SUTETnya yang sedang dibangun oleh kelompok Bukaka milik keluarga Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang di mata awam tertutup oleh apa yang masih dianggap sebagai konflik agama di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Masih dianggap sebagai ”konflik agama”. Anak kalimat ini perlu digarisbawahi, terutama kata-kata ”masih dianggap”, karena kata-kata ini menyentuh apa yang merupakan pandangan umum (common sense), khususnya pandangan fihak-fihak yang bertikai, yang dalam hal konflik agama, menyentuh apa yang dikomunikasikan oleh para pemuka agama dan penentu opini publik tentang konflik tersebut.
Padahal apa yang dikomunikasikan ke publik oleh penguasa sebenarnya merupakan ”kesadaran palsu” (false consciousness), untuk menutupi kepentingan-kepentingan ekonomi politik yang sesungguhnya di balik apa yang dianggap sebagai ”konflik agama” tersebut.
DI BALIK CITRA KONFLIK AGAMA
Berarti, konflik Poso bukanlah konflik agama? Ya, tentu saja ada ketegangan di antara komunitas-komunitas agama (lihat Hammond 2008). Namun menurut penelitian saya, ketegangan – atau tepatnya, kesan adanya ketegangan – antar agama di daerah itu sengaja dipelihara,[1] untuk menutupi fihak-fihak yang sesungguhnya paling berkepentingan dengan kesan adanya konflik agama tersebut.
Fihak-fihak yang paling berkepentingan itu adalah (a) faksi-faksi gabungan sipil dan petugas berseragam yang selama ini melanggengkan korupsi dana bantuan pengungsi dan mantan kombatan di Poso, seperti yang telah diuraikan sebelumnya; (b) faksi-faksi militer yang tetap melakukan ekspansi kehadiran militer di pedesaan, guna mempertahankan kepentingan-kepentingan bisnisnya[2]; dan (c) ekspansi modal besar yang berekspansi ke Poso dan kabupaten-kabupaten lain di Sulawesi Tengah, yang memerlukan proteksi militer menghadapi oposisi penduduk setempat.
Dengan demikian, sebuah keputusan yang melecut kembali antagonisme di antara komunitas-komunitas agama, seperti eksekusi Fabianus Tibo (61), Marinus Riwu (49), dan Dominggus da Silva (39) pada tanggal 20 September 2007, didukung oleh elit penguasa yang ingin mempertahankan ekspansi militer dan modal di Sulawesi Tengah. Eksekusi Tibo dkk secepatnya, juga didukung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (lihat Aditjondro 2007b, 2007c).[3]
Seiring dengan pelipatgandaan jumlah batalyon yang ditempatkan di bumi kayu hitam, semakin meningkat pula jumlah investor besar yang beroperasi di Sulawesi Tengah, seperti Medco, Artha Graha, CCM, dan kelompok Bukaka. Kuasa-kuasa pertambangan migas dan mineral Semarang berhamburan di Kabupaten Tojo Una-una dan Kabupaten Morowali, hasil pemekaran Kabupaten Poso pasca konflik. Sehingga tidak keliru anggapan bahwa penempatan pasukan tentara dan Brimob terutama bertugas sebagai penjaga keamanan modal besar di Sulawesi Tengah. Termasuk menjaga keamanan proyek PLTA Poso yang sedang dibangun kelompok Bukaka milik keluarga Jusuf Kalla, yang juga sudah mendapat order membangun PLTA Gumbasa di Kabupaten Donggala (lihat Aditjondro 2005).
Jadi, mengapa kepentingan ekonomi politik – khususnya, untuk penguasaan SDA strategis – di balik berbagai konflik yang sepintas lalu bersifat konflik komunal kurang diketahui oleh jemaat-jemaat di daerah-daerah konflik tersebut?
Tampaknya di sinilah kelemahan komunikasi dari lembaga-lembaga gereja yang seringkali ‘tidak nyambung’ dengan masalah-masalah ekopol yang dihadapi para warga gereja. Komunikasi tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga gerejani yang dihantui konflik komunal terlalu sering didominasi oleh pesan-pesan ‘kerukunan agama’, seolah-olah konflik di antara kedua atau lebih komunitas yang berseteru terutama disebabkan oleh permusuhan warisan zaman Perang Salib (lihat Hammond 2008).
Menurut hemat penulis, lembaga-lembaga gerejani sangat kurang menggali soal-soal ekonomi politik dan perebutan penguasaan SDA yang mengancam jemaat-jemaat setempat. Di lingkungan Poso, informasi tentang ancaman ekologis dan ekonomis yang dihadapi oleh jemaat-jemaat, dapat dibaca di buletin dan kertas posisi terbitan organisasi non-pemerintah (ornop) yang tidak berbendera agama, bukan di literatur terbitan gereja. Misalnya di buletin Seputar Rakyat dan Kertas-Kertas Posisi terbitan Yayasan Tanah Merdeka di Palu.
Berbeda dengan konflik Poso, di mana ambisi segelintir konglomerat untuk menguasai SDA di Sulawesi Tengah, terselimuti oleh citra konflik agama, maka dalam soal konflik di Papua Barat, suku-suku Pegunungan Tengah dan pantai Teluk Mimika yang menderita akibat dampak pertambangan PT Freeport Indonesia, sudah jatuh ditimpa tangga pula. Sebab setiap kecaman terhadap tambang bermodal AS dan Jepang itu, apabila datang dari mulut orang Papua, selalu dicurigai – atau dituduh – sebagai ekspresi solidaritas terhadap Gerakan Papua Merdeka (GPM).
Tuduhan atau kecurigaan semacam itu berakibat fatal bagi intelektual Papua, tidak terkecuali bagi pendeta-pendeta gereja-gereja pribumi Papua Barat, sebagaimana dialami pendeta-pendeta GKIP (Kingmi) Papua, seperti Pdt. Benny Giyai (lihat Aditjondro 2007a).
Untunglah, konflik-konflik penguasaan SDA tidak selalu serumit itu. Seperti yang telah disinggung di depan, ada konflik pengelolaan SDA yang berdiri sendiri, tidak tumpang tindih dengan konflik komunal ataupun konflik perjuangan kemerdekaan. Seperti yang juga sudah disinggung di depan, kebanyakan konflik pengelolaan SDA yang paling terbuka, menyangkut pertambangan minyak bumi, gas alam, dan berbagai mineral berharga, khususnya emas, perak, tembaga, nikel, timah hitam dan seng. Selain pertambangan, kegiatan pembalakan (forestry) dan konversi hutan primer menjadi perkebunan bahan baku kertas dan bubur kertas, serta perkebunan kelapa sawit, merupakan sumber konflik pengelolaan SDA.
LIMA KELEMAHAN STRUKTURAL
Sayangnya, gereja-gereja di Nusantara masih sangat ketinggalan dalam mengkomunikasikan suara jemaat-jemaatnya yang menghadapi dampak negatif industri pertambangan dan pembalakan. Sedikitnya, ada lima kelemahan struktural yang melatarbelakangi ketidaksiapan gereja-gereja mengkomunikasikan keresahan jemaatnya itu. Pertama, kompleks minoritas yang diidap sebagian besar pemimpin gereja yang membuat mereka takut mengecam proyek-proyek raksasa yang didukung oleh pemerintah. Ini bisa kita lihat, misalnya, dari membisunya Pastor Paroki Gereja Katolik di Kecamatan Silima Pungga-pungga terhadap dampak tambang timah PT Dairi Prima Minerals di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.
Kedua, mentalitas daerah tertinggal, yang mendorong para pemimpin informal, seperti juga para pemimpin formal, untuk mendukung industrialisasi secara tidak kritis, dengan mendukung proyek-proyek raksasa yang diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja secara luas bagi rakyat setempat, serta efek pelipatganda (multiplier effects) lain bagi ekonomi setempat. Faktor ini tampaknya berlaku umum bagi para pemimpin gereja yang pernah penulis temui di Sumatera, Sulawesi, dan Papua Barat.
Ketiga, latarbelakang pendidikan para pemimpin gereja umumnya didominasi oleh teologia dan ilmu-ilmu sosial, tanpa mendalami masalah lingkungan, ekonomi, dan politik, ikut membuat mereka melihat proyek-proyek raksasa itu semata-mata sebagai berkat Tuhan buat daerah dan jemaat-jemaat mereka. Jarang sekali ada pendeta yang melanjutkan studi ke teologi lingkungan, seperti dilakukan Pdt. Karel Philemon Erari dari GKI di Tanah Papua.
Keempat, tersebarnya secara merata satuan-satuan dan personalia militer dan polisi sampai ke desa-desa, atau paling tidak sampai ke tingkat kecamatan, boleh jadi ikut menciutkan nyali para gembala jemaat dan pemimpin gereja yang lain, untuk bersuara berbeda dari suara resmi pemerintah.
Kelima, rasa terima kasih para pemimpin gereja yang berlebihan terhadap donatur-donatur besar, yang paling besar andilnya dalam pembangunan sarana fisik gereja. Faktor keempat dan kelima inilah yang paling parah akibatnya bagi kemandirian gereja untuk mengekspresikan suara kenabiannya, dalam membela warganya – dan kaum miskin lain – menghadapi dampak negatif dari pengelolaan SDA yang strategis.
Suatu contoh konkrit adalah pembangunan gedung gereja HKBP yang megah di kota Parapat merupakan sumbangan D.L. Sitorus. Tidak mustahil ini menjadi faktor penyebab mengapa HKBP jarang mengecam pembalakan liar dan perusakan hutan yang dilakukan oleh pengusaha hutan yang kini sedang mendekam di penjara. Apalagi bangunan itu belum seluruhnya rampung, sehingga masih memerlukan banyak sumbangan dari para dermawan.
Contoh lain yang telah penulis singgung dalam tulisan terdahulu (2008: 211), adalah ”sumbangan” Achmad Kalla, adik Wakil Presiden Jusuf Kalla dan pemimpin kelompok Bukaka sebesar Rp 100 juta untuk membiayai sidang sinode GKST di Tentena, Sulawesi Tengah, beberapa tahun lalu.
Seperti yang diakui oleh seorang mantan fungsionaris Majelis Sinode GKST kepada penulis beberapa waktu lalu: ”Tanpa sumbangan Achmad Kalla, tidak mungkin Sidang Sinode waktu itu bisa terselenggara”. Masalahnya timbul, karena selama tiga periode pimpinan MS GKST, baik di era Pdt. Arnold Tobondo, era Pdt. Rinaldy Damanik, maupun era Pdt. Isaak Pole sekarang ini, tidak pernah ada kritik terbuka terhadap pembangunan PLTA Poso oleh kelompok Bukaka. Malah sebaliknya, sikap para pemimpin GKST sangat pragmatis terhadap Bukaka, dengan membantu menyalurkan tenaga kerja, dan berdoa pada saat peletakan batu pertama.
Padahal, pembangunan proyek raksasa itu melanggar berbagai PP No. 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Misalnya, peletakan batu pertama dilakukan sebelum AMDAL disetujui oleh lembaga yang berwenang. Kontraktor AMDAL proyek itu pun patut dipertanyakan, karena dilakukan oleh PT Hadji Kalla yang juga milik keluarga Jusuf Kalla. Belum lagi berbagai kelemahan lain yang telah dibahas oleh penulis secara panjang lebar di tempat lain (2005).
DIAKONIA ’PALANG PINTU’
Secara umum, belum siapnya kebanyakan gereja untuk mengkomunikasikan berbagai masalah lingkungan dan keadilan, yang timbul karena pengelolaan SDA yang tidak bijaksana, berakar dalam faham diakonia yang dianut. Faham diakonia, yang baru bergerak setelah korban-korban pembangunan berjatuhan, dapat kita sebut ’diakonia palang merah’.
Sudah saatnya, gereja mengembangkan faham diakonia yang lebih kritis, antisipatif, dan preventif. Artinya, lebih berusaha mencegah jatuhnya korban-korban pembangunan, didasarkan pada pemahaman terhadap dampak ekologis dan dampak ekonomi politik proyek-proyek dan program-program yang merugikan rakyat kecil. Faham diakonia alternatif itu, dapat kita sebut ’diakonia palang pintu’, karena tujuannya bukan sekedar mengobati luka-luka pembangunan, melainkan mencegah jatuhnya korban-korban baru.
Faham diakonia ini tidak baru, sebab pada dasarnya, ini yang diharapkan dengan slogan KPKC – Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan --, atau JPIC (Justice, Peace, and Integrity of Creation) dalam bahasa Inggris.
Dengan pendekatan diakonia yang lebih kritis, antisipatif dan preventif ini, kerja-kerja rekonsiliasi juga lebih berubah arah. Kalau sebelumnya usaha-usaha rekonsiliasi lebih mengikuti jalur-jalur premordial, yakni rekonsiliasi antara satu kelompok agama dengan kelompok agama lain, atau antara mereka yang menginginkan kemerdekaan dan pemisahan dari negeri induk, dengan mereka yang ingin mempertahankan keutuhan negeri induk, sekarang sudah saatnya kita tidak cuma berbicara tentang rekonsiliasi, melainkan tentang kedaulatan dan pembebasan. Khususnya, kedaulatan ekologis dari komunitas-komunitas yang terancam masa depannya oleh eksploitasi SDA mereka secara berlebihan, serta pembebasan dari penjajahan oleh modal, militer, dan milisi-milisi yang menjadi kepanjangan tangan militer dan modal.
Untuk itu, usaha-usaha rekonsiliasi tidak dapat dibatasi hanya dengan pertemuan basa-basi antara para pemuka agama, seperti yang berulang kali dilakukan para penguasa Jakarta yang datang ke Poso. Rekonsiliasi yang sejati harus diusahakan lewat pertemuan antara para pemuka masyarakat adat – pemegang kedaulatan yang sesungguhnya atas SDA setempat – dengan unsur-unsur pemerintah dan pemilik modal yang seringkali ikut bertindak sebagai pelestari citra konflik etno-religius.
Jakarta, 6 Juli 2008
Referensi:
Aditjondro, George Junus (2005). Setelah Gemuruh Wera Sulewana Dibungkam: Dampak Pembangunan PLTA Poso & Jaringan SUTET di Sulawesi. Kertas Posisi YTM No. 03. Palu: Yayasan Tanah Merdeka.
----------------- (2007a). “Seperti Yahya Pembaptis, yang berseru-seru dari Padang Gurun, Kepada Para Pembesar Gereja di Jakarta.” Kata Pengantar dalam Socratez Sofyan Yoman, Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat. Yogyakarta: Galang Press, hal. 20-33.
----------------- (2007b). “When compassions collide.” The Jakarta Post, 8 November.
----------------- (2007c). “Tolak Hukuman Mati,” Suara Pembaruan, 11 November.
------------------(2008). ”Gereja, Korupsi dan Sepinya Suara Menentang Pelanggaran HAM: An Unholy Trinity?”. Dalam Ruddy Tindage & Rainy M.P. Hutabarat (peny.). Gereja dan Penegakan HAM. Jakarta & Tobelo: Kanisius & BUMG-GMIH, hal. 203-16.
Hammond, Jeff (2008). ”Gereja dan Hak Asasi Manusia di Indonesia.” Dalam Tindage & Hutabarat, op. cit., hal. 148-79.
[1] ). Misalnya, berulangkali setelah Perjanjian Malino di bulan Desember 2001, dalam kunjungan-kunjungan ke Poso Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang sebelumnya adalah Menko Kesra yang ikut mensponsori Pertemuan Malino, sering mengadakan pertemuan terpisah dengan ulama-ulama Muslim dan Kristen, sebelum melakukan pertemuan umum. Ini seolah-olah menimbulkan kesan, bahwa ulama dari kedua komunitas agama itu yang menjadi penyebab kerusuhan Poso. Selain itu, perwakilan BIN (Badan Intelijen Negara) di Poso juga memprakarsai terbentuknya suatu aliansi kemanusiaan bersama seorang tokoh Muslim di Poso, yakni Ustadz Adnan Arsal, dan seorang tokoh Kristen, yakni Pdt. Rinaldy Damanik, yang waktu itu masih menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Sinode (MS) GKST. Yang tidak banyak tersiar adalah bahwa tokoh-tokoh BIN dan komandan-komandan polisi dan tentara di Kabupaten Poso mendapat sogokan dari Andi Asikin Suyuti, Kepala Kanwil Departemen Kesejahteraan Sosial waktu itu, yang untuk sementara waktu itu juga menjabat sebagai Bupati Poso. Suyuti bersama sejumlah anak buahnya dari Dinas Sosial Provinsi Sulteng dan Kabupaten Poso, membiayai aksi-aksi kerusuhan yang dilakukan oleh sejumlah mantan kombatan di Poso, bersama sejumlah aparat kepolisian yang korup. Dengan memelihara kerusuhan di sekitar kota Poso, keberadaan pengungsi yang tidak bisa kembali ke Poso dapat dilestarikan, begitu pula dana bantuan untuk pengungsi. Milyardan rupiah itulah yang menjadi sumber korupsi buat jejaring korupsi di Poso sekian lama. Tanpa pertanggungjawaban yang jelas dari korupsi era Suyuti itu, Menteri Sosial sekarang mengalokasikan milyardan rupiah lagi untuk para mantan kombatan Muslim, dengan dalih untuk membangun hidup mereka kembali, meniru pola Aceh pasca MoU Helsinki. Namun dana itupun dikorupsi habis-habisan.
[2] ) Ketika penulis mulai meneliti konflik Poso, pertengahan 2001, hanya ada satu batalyon tentara di Sulawesi Tengah. Belakangan ini, sudah ada tiga batalyon yang ditempatkan di daerah itu. Celakanya lagi, pemekaran kompi-kompi tentara yang kini tersebar di mana-mana, dibarengi juga dengan pemekaran kompi-kompi Brimob, yang menunjukkan bagaimana TNI dan Polri masih bersaing menunjukkan kehadiran mereka sampai ke desa-desa, seolah-olah berlomba-lomba juga menjadi pengaman kepentingan investor besar di pelosok-pelosok, sambil mengaburkan fungsi polisi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, dan fungsi tentara sebagai pelindung negara.dari serangan-serangan musuh dari luar. Secara formal maupun informal, petugas-petugas bersenjata itu terlibat dalam berbagai jenis bisnis yang legal maupun ilegal, atau institusional dan personal. Yang bersifat legal dan institusional, adalah bisnis yang dijalankan oleh koperasi-koperasi dan yayasan-yayasan militer dan polisi. Sedangkan bisnis illegal dan personal, adalah keterlibatan aparat dalam perdagangan kayu hitam yang sudah harus dilestarikan, pungutan dari truk-truk, bus-bus dan pengguna jalan yang lain, dan masih banyak lagi.
[3] ). Patut dicatat bahwa desakan untuk secepatnya mengeksekusi Tibo dkk ditolak oleh Kapolda Sulteng waktu itu, Brigjen Oegroseno, yang tidak yakin atas tuduhan terhadap petani kelapa sawit asal Flores, NTT itu. Dia berpegang pada Undang-Undang Grasi No. 22/2002, yang masih memungkinkan tenggang waktu selama dua tahun setelah permintaan grasi pertama ditolak oleh Presiden. Akibat perlawanannya, Oegroseno dicopot dari jabatannya dan ditarik ke Mabes Polri, dengan tugas yang jauh dari tugas-tugasnya semula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar