Oleh wensislaus fatubun
I
Wilayah pantai selatan dari Pulau Kimaam adalah daerah yang sangat kaya akan potensi sumber daya alam. Berdasarkan potensi keragaman hayati, wilayah ini memiliki nilai penting bagi jenis fauna, seperti pelbagai jenis burung, ikan (air tawar maupun air asin), buaya, rusa dan kangguru. Wilayah pantai selatan dari Pulau Kimaam ini merupakan habitat utama buaya muara dan buaya air tawar. Keterbukaan jaringan hidrologi dan luasnya tumbuhan bakau pada pesisir pantai dan di sepanjang aliran sungai menunjukkan bahwa wilayah ini sebagai habitat yang sangat baik bagi kehidupan fauna air, terutama jenis-jenis ikan, udang dan kepiting.
Tapi wilayah pantai selatan Pulau Kimaam yang sangat kaya akan potensi sumber daya alam dan penduduknya kini diperhadapkan dengan masalah dalam pelbagai aspek kehidupan, misalnya tingkat pendidikan dan pelayanan kesehatan yang minim serta konflik sumber daya alam yang mengancam keutuhan hidup masyarakat di wilayah pantai selatan Pulau Kimaam. Masyarakat yang hidup di Pulau yang kaya itu berada dalam angkah kemiskinan yang tinggi, tingkat buta uruf dan buta angka yang tinggi, kematian ibu dan anak yang tinggi. Singkatnya, wilayah pantai selatan dari Pulau Kimaam yang sangat kaya akan potensi sumber daya alam tidak memberikan jaminan kemakmuran kepada penduduk aslinya.
Pada tahun 2006, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAM) menerbitkan “Potret Kehidupan dan Konflik Sumber Daya Alam di Pulau Kimaam” sebagai sebuah laporan tentang kehidupan masyarakat di Pulau Kimaam, yang diperhadapkan dengan pelbagai konflik sumber daya alam. Hasil temuan SKP-KAM menyebutkan bahwa konsep kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Merauke, Propinsi Papua, yang keliruh terhadap pembangunan di Pulau Kimaam telah mengakibatkan pelbagai konflik, seperti konflik batas hak ulayat, peristiwa maskura berdarah 2003 dan Korimen-Kontura berdarag 2001-2003.
Kenyataan ini tidak perlu untuk disembunyikan lagi, tapi harus diungkap dan menjadi perhatian serius kita bersama. Mengapa kita harus peduli? Tentu saja, jawabanya adalah bahwa telah banyak ibu dan anak-anak yang meninggal karena terserang penyakit dan gizi buruk. Itu bukan takdir dari Sang Pencipta, tetapi kesalahan kita manusia yang suka menggorbankan sesama demi kepentingan kita yang ingin hidup dalam kekayaan. Kepada Investigator SKP-KAM, seorang warga Kampung Waan berkisah, “Frater Wempie, kami kalau sakit apa saja. Pecahan botol adalah Obatnya. Dokter dan perawat jarang berkunjung ke kampung kami, karena itu kami terpaksa harus menggunakan pecahan botol untuk mengobati diri kami dengan mengiris-iris badan kami supaya darah kotor keluar.” Ungkap Bpk. Paulus Lefitar, seorang guru sukarelawan di Kampung Waan, yang menggambarkan situasi kesehatan di Pantai Selatan Pulau Kimaam, Kabupaten Merauke. Masalah kesehatan ini lebih diperparah lagi dengan situasi pendidikan. Di Pulau Kimaam rata-rata tingkat buta uruf dan buta angkah sangat tinggi. Hal ini disebabkan dengan para guru yang dibayar pemerintah sering meninggalkan tempat tugas dalam waktu yang sangat lama.
Kalau masalah ini tidak cepat diselesaikan, maka masa depan Pulau yang sangat kaya akan sumber daya alam dan pendudukanya akan punah. Pemusnahan terhadap penduduk asli di Pulau yang sangat kaya akan sumber daya alam ini sedang terjadi, tetapi apakah kita akan membiarkan proses pemusnahan ini berlangsung terus? Kiranya kita yang masih punya hati untuk kemanusiaan tidak akan pernah merestuhi hal ini. Oleh karena itu marilah kita peduli kepada Pulau Kimaam dan Orang Kimaam. Lebih baik segera bertindak atau segala sesuatunya menjadi terlambat.
II
Kampung Waan dan Kampung Konoau merupakan wilayah administrative dari Distrik Waan, Kabupaten Merauke, yang terletak di bagian selatan dari Pulau Kimaam. Kampung Waan dan Kampung Konorau dikenal sebagai daerah yang kaya akan sumber daya alam, khususnya perikanan laut. Berdasarkan potensi keragaman hayati wilayah Kampung Waan dan Kampung Konorau memiliki nilai penting bagi jenis fauna, seperti berbagai jenis burung, ikan air asin, ikan air tawar dan buaya. Keterbukaan jaringan hidrologi dan luasnya tumbuhan bakau pada pesisir pantai menunjukkan bahwa wilayah Kampung Waan dan Kampung Konorau menjadi habitat yang sangat baik bagi kehidupan fauna air, terutama jenis-jenis ikan, udang dan buaya. Pertemuan dua arus yang mempengaruhi pasang surut air laut dan dua musim angin menjadikan wilayah perairan Kampung Waan dan Kampung Konorau sebagai tempat berkumpul dan berlindungnya berbagai jenis ikan dari laut bebas. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa wilayah perairan Kampung Waan dan Kampung Konorau merupakan daerah primadona usaha perikanan yang paling potensial.
Pontensi sumber daya alam di bidang perikanan yang sangat menjanjikan, menjadikan warga dari Kampung Waan dan Kampung Konorau untuk memilih mata pencaharian menangkap ikan sebagai mata pencaharian yang sangat penting, sedangkan berburu dan bercocok tanam sebagai mata pencaharian sampingan. Warga dari Kampung Waan dan Kampung Konorau sering meninggalkan kampung dan bermukim di sepanjang pesisir pantai selatan pulau Kimaam untuk menangkap ikan dan akan dijual ke perahu motor ketinting milik PT. Djarma Aru di Wanam Camp atau kapal-kapal penampung yang setiap saat berlabu di wilayah perahiran Kampung Waan dan Kampung Konorau. Ada beberapa tempat dimana warga dari Kampung Waan dan Kampung Konorau bermukim, yakni Dusun Moi, Dusun Yarwasir dan Dusun Kobram.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAM) bahwa Dusun Moi adalah wilayah hak ulayat dari Kampung Waan yang terletak di wilayah administrative Kampung Konorau. Kini di dusun Moi tinggallah beberapa warga dari Kampung Waan dan juga ada 3 (tiga) keluarga pendatang dari suku Kei (Maluku), Seram (Maluku) dan Bugis (Sulawesi Selatan). Di dusun Moi terdapat seorang kepala dusun, Abukasim (berasal dari Seram-Maluku) yang menggatur transaksi penangkapan ikan di perairan dusun Moi. Mengapa Abukasim diangkat menjadi kepala dusun? Alasanya, Abukasim memperistri wanita dari Kampung Waan dan telah dianggap oleh warga Kampung Waan sebagai anak Kampung Waan. Sedangkan dusun Yarwasir dan dusun Kobram kini tinggallah beberapa keluarga dari Kampung Konorau. Menurut Kepala Kampung Konorau, Bpk. Petrus Yun bahwa khususnya untuk dusun Yarwasir adalah wilayah dari Kampung Konorau dan kini telah menjadi RT 3 dari Kampung Konorau. Dusun Yarwasir dalam perkembangan lebih lanjut, menjadi daerah sengketa antara warga Kampung Waan dan Kampung Konorau. Karena masing-masing warga dari kedua kampung tersebut meng-klaim memiliki hak ulayat atas dusun Yarwasir. Dan untuk dusun Kobram adalah wilayah hak ulayat dari Kampung Komolom dan kini menjadi tempat cari makan warga Kampung Konorau.
Penduduk asli Kampung Waan dan Kampung Konorau adalah kelompok suku Malind. Orang asli kampung Waan dan Kampung Konorau disebut Malind Bob atau Bob Anim, artinya “orang rawa”. Orang asli Kampung Waan dan Kampung Konorau menyebut diri mereka sebagai suku Imai Nam, artinya orang Imai, dengan sebutan Wahanam. Wirimun adalah dialeg bahasa asli untuk orang asli Kampung Waan dan Kampung Konorau.
Investigasi yang dibuat oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAM) pada tanggal 9-15 Februari 2007, menemukan bahwa Kampung Waan dan Kampung Konorau, kini penduduknya sangat beragam, yakni terdiri dari beberapa suka, seperti Kei (Maluku), Seram (Maluku), Muyu (Papua) dan Bugis-Makasar (Sulawesi Selatan). Keberadaan suku-suku non Papua di Kampung Waan dan Kampung Konorau didasarkan pada motivasi ekonomi, yakni menjadi pedagang yang menjual barang-barang kebutuhan hidup, selain itu ada beberapa warga Non Papua yang telah menetap di Kampung Waan dan Kampung Konorau, karena telah memperistri perempuan dari keedua kampung tersebut. Warga non Papua yang hidup di Kampung Waan dan Kampung Konorau memiliki peran yang sangat penting dari segi ekonomi.
III
Warga asli Kampung Waan berasal dari Rawa Hidar. Di sini hiduplah empat marga, yaitu Youfanam (dengan orang pertamanya Bormage), Mabuendar (dengan orang pertamanya Aurfan), Sidawoter (dengan orang pertamanya Gaurendar) dan Warabu (dengan orang pertamanya Yaboga).
Empat orang ini memiliki kali Moi (karena mereka keluar dari rawa ke kali Moi. Ini dari belakang tetapi mereka empat orang mempunyai tempat cari makan, yaitu Muli. Orang-orang dari marga pertama dan kedua punya hak ulayat kali wonggan sedangkan kali waramer merupakan hak ulayat dari orang ketiga dan keempat. Catatan: Kali Kontuar dan kali korimen pada waktu itu belum ada, yang ada hanyalah jalan perahu.
Lokasi kebun untuk orang pertama dan kedua disebut Nauo dan lokasi kebun untuk orang ketiga dan keempat adalah Saraon cere serta Feve (dekat kali kontuar) adalah tempat yang membatasi lokasi kebun orang pertama-kedua dengan orang ketiga-keempat. Setelah mereka berkebun dan sudah bisa menikmati hasilnya, mereka kemudian berpindah tempat tinggal dengan berjalan melalui dan keluar dari sungai Muli.
Setelah di muara sungan Muli mereka melihat ada tanaman, lalu mereka kembali ke kampung lama, kemudian mereka keluar lagi lewat kali Moi, berkampung di muara kali moi tapi tempat ini tidak memenuhi syarat. Orang yang mengantar ke luar adalah Peri (asal Wamal). Kampung lama waan itu orang sudah lihat duluan waktu saman mengayau. Kampung kedua adalah Yemer, kampung ini air laut mulai bongkar, lalu kembali masuk lewat sungai Moi dan tinggal di Yarwasir (tempat kebun). Orang yang buka Yarwasir adalah Youfanam (dengan orang pertamanya Bormage), dia dapat perempuan di kepala kali Yendebender dan dia bawa ke Waan Klamor. Perempuannya hamil dan melahirkan anak laki-laki yang bernama W (kasih) dan perempuan ini bukan dari Konorau tapi asli Urimun (Abu tunggal) di kepala kali Yendebender. Pada suatu waktu mamanya memberikan penjelasan kepada W bahwa mamanya itu bukan orang waan klamor tapi dari Yendebender, jadi kalau ada asap di sana, itu Om-om kamu. Lalu dia datang dari Waan Klamor lewat jalan potong ke kapala kali Yendebender lalu bertemu dengan Om-omnya di Nbiwan. Dia Tanya Omnya, “Om kamu datang cari daging? Kampung dimana?” Omnya menjawab, “ini sudah kampung.” W sangat heran karena kampong tidak ada rumah, hanya ada tungku. Terus W katakana kepada Om-omnya, “besok jangan ke mana-mana. Semua dengan istri mengadap saya besok pagi.” Sesudah pergi mengadap W, W katakana laki-laki ikut saya pergi potong kayu untuk tiang rumah, lalu W suruh perempuan potong daun nipa. Setelah itu W mulai bangun rumah panjang (Warambon keri).
Setelah selesai bangun rumah, hujan pertama turun orang-orang tidak merasakan apa-apa. Pagi hari baru mereka lihat bahwa malam ternyata ada hujan. “Kita sudah jadi manusia”, ungkap salah satu warga. Mereka kemudian berpikir mau kasih apa sama kita punya Om. Mereka lalu berembuk. Anak-anak mudah dan orang tua-tua hadir. “Apa yang akan kita kasih kepada kita punya anak ini?” Tanya pimpinan kepada hadirin yang hadir dalam pertemuan itu. Dari pertemuan ini, lahirlah keputusan bahwa W akan diberikan satu urat pasir yang dikenal dengan sebutan Yarwasir.
Ketika Yarwasir diserahkan kepada W, tidak ada bedeng, tapi hanya hutan kayu besi, kayu nani, kayu gempol, dan kayu beringin, sehingga W diantar sampai di Muli. W kembali dari Muli dengan Om-omnya ke kampung omnya dan mau meneruskan perjalanan ke Waan Klamor. Karena jauh, W bermalam dan paginya ke Waan Klamor.
Sampai di Waan Klamor W cerita ke orangtuanya dan mengatakan kepada orang-orang di Waan Klamor tentang om-omnya ada berikan dia sebuah tempat yang disebut Yarwasir. Dari situ mereka turun lewat kali Muli dan naik dari Geritra, baru mereka atur pembagian tempat, yakni lokasi di bagian barat yang disebut Yondebande untuk Wadam dari marga pertama, di bagian tengah pertama yang disebut Gaumu untuk marga kedua, di bagian tengah kedua yang disebut Gourondar dan bagian timur yang disebut Qidam untuk marga keempat. Mereka ini yang buka Yawasir dengan tidak bangun kampung tapi buat kebun.
Mereka keluar dari Yarwasir, karena mendapat pengaruh dari Peri. “Kamu ini keturunan Malind kenapa hidup di tengah hutan”, kata Peri kepada warga Yarwasir. Atas dasar pengaruh dari Peri, warga Yarwasir kemudian keluar dari Yarwasir dan buat kampung kedua yang disebut Yemer. Di Yemer mereka hidup terganggu oleh air laut (abrasi), mereka kemudian mau kembali ke Yawasir tetapi tidak bisa, lalu mereka pindah dan bikin ke Krada Kramer (antara Kampung Waan dan Konorau), karena tidak ada air mereka kemudian pindah ke kampung Waan sekarang. Catatan: Kampung Waan sekarang adalah hak ulayatnya orang Konorau, karena itu orang waan kemudian beli tanah itu secara adat. Proses pembelian tanah secara adat adalah orang Waan siapkan 3 (tiga) tumpukan makanan dan serahkan perempuan-perempuan mudah untuk disetubuhi oleh orang konorau selama tiga hari. Hal ini yang membuat sehingga orang Waan bisa menetap di kampung Waan sekarang.
Selama orang Waan tinggal di sini tidak ada masalah dengan orang Konorau. Dan sekarang pengaruh agama begitu kuat dalam kehidupan social masyarakat. Masyarakat Waan dan Konorau hidup saling berdampingan dan tidak adan persoalan serius yang hidupi.
Dalam perkembangan selanjutnya, dengan adanya program denanisasi, masyarakat Waan direncanakan akan dipindahkan ke Komolom pada tahun 1984, tetapi Bpk. Simon Injiga Yun (kepala kampong waktu itu) membatalkan kebijakan itu karena tidak ada suara yang bulat dari masyarakat Waan. Akhirnya Waan oleh pemerintah dimengerti sebagai dusun yang berada di bawa wilayah Administrasi Desa Komolom.
Pada tahun 1992 terjadinya pemilihan kepala desa pertama di Waan. Kepala Desa pertama adalah Bpk. Viktor Ndiken, belum diganti sampai sekarang. Pada tahun 2007, Waan menjadi pusat distrik.
III
Orang Konorau dan Orang Waan keluar dari Moi. Tempat asal mereka namanya Waan Klamor. Orang Waan dan Orang Konorau dari Moi kemudian sampai di sebuah tempat yang disebut Bugingngolan. Di Bugingngolan mereka tinggal bersama-sama. Dari situ ada orang yang namanya Kamboi dari Waan membuat masalah dengan perempuan dari Konorau. Dari situ orang Konorau undur diri. Orang Konorau membangun kampung di sebela Yemer. Dari situ, dari masalah perempuan, mereka baku panah dengan orang Waan dan orang waan ada yang meninggal (2 orang). Orang Konorau kemudian berangkat keluar dari situ sementara orang Waan tetap tinggal disitu. Orang Konorau dorang jalan sampai di You Waar. Dorang tinggal disitu lalu pindah ke Kumaram Undaga. Dari situ pindah ke Wuri-wuri, kemudian pindah ke Cemnam Cirkhan dan pindah lagi ke Mburom Mburo kemudian ke Murindar dan akhirnya ke Yenomban (Konorau sekarang).
Catatan: Waan bertemu dengan orang Konorau di Mburam Mburo. Orang Konorau pikir mau perang ternyata tidak tapi mau cara tempat tinggal. Orang Waan bahwa anak laki-laki Suburi (ayah dari Konorau dan mamanya orang Waan). Anak ini disebut anak tengah jalan. Orang Waan cari tempat tinggal. Suburi datang supaya kamu kasih tanah untuk saya bikin kampung. Orang Waan minta mereka tinggal di pinggir kali Konorau tapi orang Konorau tolak lalu mereka tinggal di Yemer. Dari situ dorang sudah mulai buka kampong tapi tidak ada tempat untuk berkebun. Dorang cari jalan untuk bisa berkebun, terpaksa dorang taru dorang punya perempuan di belakang rumah sampai siang. Dari situ baru orang Waan dapat kampung.
IV
Kehidupan masyarakat di Pantai Selatan Paulau Kimaam, menjadi kenangan yang selalu diceritakan turun-temurun. Karena pada zaman ini, masyarakat begitu mengalami pelayanan pendidikan, kesehatan dan perhatian pemerintah Belanda yang sangat luar biasa besarnya. Menurut Bpk. Domin Ulukyanan, seorang guru, pada zaman Belanda wilayah Panati Selatan Pulau Kimaam terkenal dengan daerah yang banyak menghasilkan guru. Hal ini menjadi tanda bahwa zaman Belanda pendidikan berjalan dengan baik.
Berikut ini diuraikan situasi ekonomi, social dan budaya serta pemerintahan zaman Belanda di Wilayah Selatan Papua sebagai bahan perbandingan untuk memahami situasi masyarakat di pantai pelatan Pulau Kimaam.
Dalam sejarah Tanah Papua, pemekaran Kabupaten Merauke sudah terjadi beberapa kali. Mulai dari Residentie Amboina, dimana Merauke dikepalai oleh seorang Assistant Resident (Pembantu Bupati) 1902, kemudian menjadi Residentie Zuid Niew Guinea, yang meliputi wilayah perbatasan sampai ke Mimika. Sesudah Perang dunia II, tepatnya tahun 1952, Papua menjadi daerah Otonom dengan status Zelfregerend Rijksdeel (Wilayah Bagian yang berpemerintahan sendiri ) dibawah pemerintahan Belanda dikepalai oleh seorang Gouverneur (Gubernur), Kabupaten Merauke menjadi Afdeling Zuid Nieuw Guinea dikepalai oleh seorang Afdelingschef dengan pangkat Resident, dibantu oleh seorang Controleur (seperti wakil Bupati tetapi mempunyai wewenang juga sebagai pengawas pelaksanaan kebijakan administrasi pemerintahan dan keuangan. Kemudian menjadi Kabupaten Merauke, yang meliputi Wilayah Asmat, Mappi, Boven Digoel; terakhir menjadi Kabupaten Merauke yang sekarang.
1. Pemerintahan.
Sesudah pemekaran dari Residentie Amboina, dimana Papua menjadi daerah Otonom kawasan ini dibagi sebagai berikut : Wilayah Papua ini menjadi daerah otonom dengan nama Nederlands Nieuw Guinea, terbagi dalam Adelingen (Daerah bagian) dan Onderafdeling (daerah bawahan), Districten (Distrik-distrik) dan Kampung.
Seluruh wilayah dikepalai oleh seorang Gouverneur (Gubernur),. Afdeling dikepalai oleh seorang Afdelingschef dengan Pangkat Resident, Onder Afdeling dikepalai oleh seorang Onderafdelingschef dengan pangkat Hoofd van Plaatselijk Bestuur (HPB) Pejabat ini juga merupakan Politie chef (Kepala Kepolisian Setempat) .Onderafdeling ini terbagi dalam Districten (Distrik-distrik) dikepalai oleh Districtshoofd (Kepala Distrik) dengan pangkat Bestuurs Ambtenaar (BA) dibantu oleh seorang pegawai dengan pangkat Adminstratie Ambtenaar (AA) dengan beberapa pegawai berpangkat CBA (Candidaat Bestuurs Abmbtenaar/Pembantu Kepala District) dan CHBA (Candidaat Hulpbestuurs Ambtenaar/Calon Pembantu Kepala District). selain klerk. Kepala Distrik mengepalai sejumlah kampung-kampung yang mana dikepalai oleh seorang Kepala Kampung atau Korano. ( Gambar : A).
Bagan Struktur Organisasi Pemerintahan Belanda
Gouvernneur/Gubernur
Afdelingschef
Onderafdelingschef
Districtshoofd
Kepala Kampung/Korano
Afdeling Zuid Nieuw Guinea waktu itu terbagi dalam :
Onderfdeling Merauke dengan pusatnya di Merauke. Onderafdeling Bovend Digoel berkedukdukan di Tanah Merah kemudian dipindahkan ke Mindiptana. Onderafdeling Mappi berkedudukan di Kepi dan Onderafdeling Asmat berkedudukan di Agats.
Pemerintahan Setempat disini dilakukan oleh Hoofd van Plaatselijk Bestuur atau Kepala Pemerintah Setempat (KPS). Untuk diketahui bahwa, pejabat dari Kepala Kampung sampai ke Onderafdelingschef dijabat juga oleh orang Papua.
Sistem pemerintahan ini cocok dengan keadaan Tanah Papua pada waktu itu. Karena tidak ada infrastruktur pada waktu itu tidak memadai, maka masing-masing pusat pemerintahan itu dianggap sebagai pulau-pulau. Jadi Afdeling maupun Onderafdeling dianggap sebagi pulau, demikian ada pulau Merauke dan pulau kecil-kecil Mappi, Boven Digoel dan pulau Asmat. Dengan kata lain diandaikan pusqt Pemerintahan Pulau itu dikepalai oleh seorang Kepala Pemerintah setempat. Bandingkan dengan Struktur Pemerintahan sekarang. (Gambar B).
Bagan Struktur Organisasi Pemerintahan Indonesia.
Gubernur
Bupati
Kepaa Distrik
Kepala Kampung
Sistem administrasi Pemerintah seperti sekarang ini harus didukung oleh suatu infrastruktur yang sebanding, seperti yang sedang dibangun sekarang, pada saat ini.
2. Ekonomi
Perdagangan yang terjadi disini seperti perdagngan sekarang di pulau-pulau terpencil. Di pusat-pusat pemerintahan terdapat toko-toko yang juga berfungsi sebagai pasar karena tidak ada pasar. Rakayat Papua dalam era ekonomi ini belum diperkenalkan dengan ekonomi pasar seperti sekarang. Sebagian besar masih bersifat ekonomi tradisional atau Ekonomi subsistent (ekonomi sambung hidup). Rakyat berproduksi untuk keperluan sendiri.
Perdagangan terjadi lewat barter dan jika terjadi transaksi jual beli, maka trnsaksi ini terjadi langsung di kampung atau pusat distrik. Demikian toko-toko yang memperjual belikan barang dagangan juga terdapat di kampung-kampung, dimana orang dapat membeli kain per baal, atapun mesin jahit dan lain-lain yang lazimnya hanya terdapat di pusat-pusat perkotaan, Demikian sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang menyolok diantara toko di kampung-kampung dan di pusat pemerintah Distrik , Onderafdeling maupun dipusat Afdeling. Rakyat di Papua Selatan memperdagangkan Kopra yang terjadi secara barter maupun cash, kulit buaya dibayar dengan uang cash di toko setempat atau di pusat Dsitrik Demikian uang tunai juga beredar di kampung- kampung. Harga-harga Bahan Pokok ditetapkan langsung oleh Pemerintah, contoh harga beras 80 cent, dan gula 90 cent pada masa itu di Merauke, di Okaba misalnya masih sama yaitu 80 cent dan 90 cent.
Satu-satunya perusahaan pertambangan yang ada pada waktu itu adalah NNGPM (Nederlands Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij) disamping perusahaan perdagangan Nigimij (Mieuw Guinea Import en Export Maatschappiij) dan Bank adalah Bank EXIM. Orang masih menabung di Kantor Pos.
3. Perhubungan,
Perhubungan dilakukan di dalam negeri dengan kapal-kapal kecil (menggunakan layer atau mesin) berkisar dari 40 smpai 50 ton. Pesawat terbang yang dikelola oleh perusahaan penerbangan Kroonduil (Merpati Makota/Mambruk) menggunakan pesawat Dakota ataupun institusi keagamaan, militer atau perusahaan pertambangan..
Perhubungan ke luar dilakukan dengan kapal KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) yang mempunyai trayek : Sorong-Manokwari-Biak Yapen, Sarmi, Jayapura kembali ke Sorong, Fak-fak, Kaimana, Kokonao dan Merauke kembali Sorong, Dili (Timor Leste), Singapore, Maccao-Hongkong kembali Singapore, Dili, Sorong dst. Kapal-kapal ini adalah kapal dagang tetapi berfungsi juga sebagai kapal penumpang.
Penerbangan dilayani oleh KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij) dengan trayek Biak, Manila (Philippina), Tokyo (Jepang), Saigon (Ho Ci Minh sekarang, Vietnam), Ranggoon, Karachi (Pakistan), Teheran (Iran), Angkara (Turki), Athene (Yunani) Roma (Italia), Frankfurt (Jerman), Schiphol (Belanda) kembali lagi sampai di Biak. Selain ini ada trayek Biak Noumea, Honolulu, Anchorage, Vancouver ke Schiphol.dan kembali.
4. Pendidikan:
Pendidikan ditangani oleh Gereja (Protetant dan Katolik) dan diberi wewenang yang luas Disamping itu terdapat juga sekolah-sekolah Swasta lainnya a.l. Sekolah Cina, Sekolah Europa dan Negeri. Sekolah-sekolah lanjutan juga ada tetapi sebgian besar terdapat di Jayapura (Hollandia pada waktu itu.a.l. : ULO (Uigebreid Lagere Onderwijs sejenis SD 7 tahun dan MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs sejenis SD 9 tahun), PMS (primaire Middelbare School, sejenis SMP + 1 tahun) dan HBS (Hogere Burgerschool, sejenis SMA tetapi 5 kelas).
Kurikulum sekolah-sekolah ini berbeda-beda. Ada kurikulum khusus untuk Outochtonen=Orang Asli, yaitu orang Papua.dan adalah sebagai berikut : SD 3 tahun di kampung, disebut Dorpschool (Sekolah Kampung) dan lanjutannya di pusat Afdeling/Kabupaten/Kota juga SD 3 tahun disebut VVS =Vervolg School (Sekolah Lanjutan) sesudah itu dapat dilanjutkan ke sekolah menengah disebut PMS.
Ada kurikulum khusus untuk anak-anak Pegawai orang Europa disebut Europese Lagere School (Sekolah Dasar Europa). Ada juga SD (Sekolah Dasar) bagi anak-anak pegawai di kota, disebut ALS (Algemene Lagere School) 6 tahun terbagi dalam Lagere School A yang mengikuti kurikulum Europa dan Lagereschool B yang mengikuti kurukulum yang disesuaikan. Selain sekolah-sekolah ini terdapat sekolah kejuruan teknik yang sebut LTS (Lagaere Technische Scool =sekolah Teknik Rendah/ST) dan MTS (Middelbare Technische School=Sekolah Teknik Menengah) tersebut terakhir ini hanya terdapat di Jayapura. Terdapat juga sekolah-sekolah kejuruan seperti Landbouw School (Sekolah Pertanian), dan ODO (Opleiding voor Dorps Onderwijzers=Pendidikan guru Sekolah Kampung) dan OVO (Opleiding voor Vervolg Onderwijs=Pendidikan Guru untuk sekolah lanjutan). Sekolah ini mempunyai suatu Pendidikan Menengah di Jayapura yang disebut Kweekschool, sejenis SPG.
Sekolah Pelayaran Scheepvaart School). Sekolah ini adalah sekolah khusus untuk mendidik anak-anak Papua yang direkrut dalam Gouvernements Marine (Angkatan Laut yang terdiri dari orang asli Papua). Di sekolah ini, terdapat berbagai jurusan antara lain jurusan Metereologi, Kelautan dan Kartografi dan kemudian ditempatkan pada kapal-kapal sipil, penerbangan sipil (ground crew) maupun Kapal-kapal Angkatan Laut Kerajaan (Koninklijke Marine). Mereka mempunyai seragam AL kuhusus, (putih-putih yang sama tetapi pada insigne/bedge dan topi/dop tertulis Gouvernements Marine (Angkatan Laut Gubernemen=Angkatan Laut Pemerintah, dimaksudkan Pemerintah Papua) beda dengan AL kerajaan Belanda, tertulis Koninklijke Marine.
Selain SD semua Sekolah-sekolah ini dapat diikuti oleh orang asli Papua.
5. Kesehatan
Pada PELITA I (1957-1962) membangun kota-kota, di Afdelingen dan Onderafdelingen dan khusus Kota Jayapura. Di sini dibangun Pusat Kesehatan dengan rumah Sakit (RSU Provinsi Papua sekarang) yang merupakan RS termodern di seluruh Pasifik Selatan. Di sini dididik Juru Rawat dan Bidan-bidan, selain dari Papua Barat sendiri juga terdapat siswa-siswi dari pulau-pulau lain di Pasifik Selatan ini, a.l. dari Fiji, Tanga , Samoa, Vanuatu, Kiribati, tidak terkecuali dari Papua New Guinea (PNG sekarang).
Kerjasama ini dalama rangka SPC (South Pacific Commission) dan WHO. Program utamanya yaitu menaikkan kawantitas dan kwalitas orang Papua dan program-program khusus yang ditangani dalam rangka ini adalah Malaria dalam Program Malaria Bestrijding (Penanggulangan Malaria), dan Kinderstarfte Bestrijding (Penanggulan Kematian Balita). Untuk program ini dididik petugas-petugas khusus khusus yang dapat dikatakan ahli dalam bidangnya.
Contoh, dalam hal penanggulangan Malaria misalnya mereka dapat dikatakan ahli nyamuk, karena mereka mempunyai keahlian dapat mengotopsi atau membelah tubuh nyamuk dengan alat-alat khusus (alat-alat presisi) dan penelitian tentang nyamuk-nyamuk, sehingga mereka menemukan jenis-jenis nyamuk yang hanya terdapat di Papua, yaitu di daerah Asmat dan sudah diberi nama ilmiah (nama Latin) khusus. Dalam penanggulangan kematian ibu dan anak, dididik bidan-bidan KSB yang ditempatkan di kampung-kampung, yang dapat disamakan dengan Program Bidan Desa yang pernah dijalankan disini di pertengahan tahun 1990-an.
Uraian di atas ini dikemukakan guna perbandingan perkembangan yang ada sekarang ini dan guna melihat apa yang menjadi tantangan dan peluang bagi Rakyat asli Papua, khususnya Masyarakat Malind di Papua Selatan padsa waktu itu dalam rangkah pemberdayaan diri.
Pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa di zaman ini tantangannya belum terlalau besar dan perkembangan ini masih alamiah sesuai dengan tempo kehidupan susku-suku Papua. Demikian kesempatan dan peluang-pluang di segala bidang yang baru pada tahap awal dan belum berkembang.sepenuhnya dapat diikuti oleh masyarakat Papua umumnya dan masyarakat Adat Malind khususnya.
Di bawah ini akan dikemukakan bagaimana peluang saat ini dapat dimanfaatkan dan bagaimana tantangannya terhadap orang asli Papua umumnya di Papua Selatan dan khususnya suku Malind di Merauke ini.
Tantangan utama pada suku-suku Selatan ini adalah system pendidikan yang ditangani oleh Gereja (Misi Katolik). Selain pendidikan di sini dimulai lambat : Sekolah-sekolah Pertama didirikan pada tahun 1922/23 di Merauke dan di Wambi 1924. Sekolah-sekolah ini adalah Beschaving Scholen=Sekolah Pembudayaan, dimana diajarkan tatacara dan perilaku baru sesuai peradaban dunia luar. Pada dasarnya ini adalah sekolah-sekolah Agama. Pada tahun 1952 sekolah-sekolah ini ditingkatkan menjadi Dorp School (Sekolah Kampung) 3 tahun dan VVS 3 tahun di kota mengikuti kurikulum khusus Papua. Contohnya, jarang terdapat siswa-siswa dari Selatan Papua ini yang dididik misalnya sebagai juru rawat, dan untuk menempati posisi di pemerintahan melaluii pendidikan Pamong Praja dalam OSIBA ( Opleiding School voor Inheemse Bestuurs Ambtenaren), sehingga petugas-petugas di Merauke ini sebagain besar adalah orang-orang dari utara, Serui, Biak, dan Sorong Sentani, dimana terdapat pendidikan dasar yang ditangani oleh Gereja Protestant.
Policy pendidikan gereja waktu yaitu, penyebaran agama. Demikian mendidik guru-guru untuk bertugas di pedalaman atau di kampung-kampung tidak terlalu ditujukan kepada pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan modern. Kebijakan seperti ini mempunyai dampak tersendiri hingga hari ini di Papua Selatan dan khususnya pada suku Malind.
V
”Zaman keemasan telah pergi dan kini kita masuk dalam zaman berkemas-kemas”. Ini adalah sebuah kalimat yang selalu diungkapkan ketika masyarakat di Pulau Kimaam mulai membuat perbandingan anatara kehidupan masyarakat Pulau Kimaam pada zaman Pemerintahan Belanda dan Zaman Pemerintahan Indonesia. Berikut ini diuraikan beberapa situasi dan fakta kehidupan masyarakat di wilayah Selatan Papua sebagai bahan perbandingan dengan kehidupan masyarakat di Pantai Selatan Pulau Kimaam.
Apabila kita bandingkan keadaan pendidikan sekarang maka pendidikan dan Sekolah-sekolah Konvensional di Merauke ini, sesungguhnya baru dimulai pada tahun 1952 dan pada thun 1963 Papua diserahkan kepada Indonesia. Demikian tidak mungkin anak-anak di Papua Selatan ini khususnya suku Malind, dapat berkompetisi dengan anak-anak umumnya dari Jakarta atau Sulawesi misalnya. Hal ini disebabkan Pendidikan Konvensional di Papua Selatan ini baru saja berjalan 10 tahun, pada waktu penyerahan dan peralihan kekuasaan pada tahun 1963 itu..
Indonesia mengambil alih Papua dari Belanda, dalam keadaan infrastruktur tidak memadai, pendidikan rata-rata setingkat SLTP di seluruh Papua dan khususnya Papua Selatan pada Tingkat SD. Begitupun tingkat Kesehatan di seluruh Papua setingkat SLTP dan di Papua Selatan, hanya beberapa gelintir orang saja yang menamatkan pendidikan juru rawat/bidan.
1. Pengembangan Sistem Ekonomi.
Selama tahun 1963 sampai pada tahun 1970 pemerintahan berjalan sebagaimana yang sudah berjalan dan istilah Belanda diganti dengan istilah Indonesia. Mulai PELITA I yang dimulai pada tahun 1969 (di Papua mulai tahun 1970) Pemerintah mengembangkan Sistem Ekonomi berdasar pada tiga aspek dan didukung infrastruktur yang sesuai.yaitu : Pemasaran- Penghasilan Bahan mentah-Transport.
Struktur Administrasi Pemerintahan juga dirubah sesuai infrastruktur yang hendak dibangun dengan memperpendek tali kendali dari Kabupaten ke Kampung. Bandingkan Gambar B.
Sistem ekonomi yang dikembangkan ini sebagaimana sudah dikemukakan diatas ini, berdasar pada tiga aspek. Sistem ini cukiup baik, dan dalam waktu yang singkat , 1970-1980 kota-kota di Papua berkembang pesat.
1.1 Merauke sebagai pusat system.
Khususnya kota Merauke berkembang secara drastis dan benar-benar menjadi sebuah kota. Dalam system ini Kota Merauke menjadi Pusat pemasaran (aspek pertama), dan daerah di luar kota Merauke menjadi daerah penghasil bahan mentah (aspek kedua), kedua sektor ini dihubungankan dengan system transport (aspek ketiga) yang menghubungi dua sektor ini.
1.2 Sistem yang berdasar pada kecakapan-kecakapan ( allocation of skills).
System ekonomi ini disebut ekonomi perkotaan. Karena berpusat di kota., juga disebut ekonomi pasar, karena berpusat di pasar yang berada di kota. Disebut juga ekonomi capital/modal (cash ecocnmy) karena berdasar pada peredaran uang tunai dan jasa. Untuk menghasilkan jasa, orang memerlukan kecakapan-kecakapan teknis atau skills, dalam tiga aspek tersebut di atas ini, dapat dibagi dalam beberapa hal, yaitu kecakapan teknis sebagai mekhanik (perbengkelan, driver, dll), (technical skills) dan Juga diperlukan kecakapan managemen (managerial skills). Kecakapan juga diperlukaan dalam penghasilan bahan mentah gunam memenuhi demands of the market (permintaan pasar). Di sini terjadi allocation of skills, yaitu setiap orang atau kelompok orang-orang menguasai skill tertentu yang tidak dikuasai oleh orang lain. Dalam menghasilkan produk tertentu dan atas jasa itu terjadi transaksi keuangan.
2.3. System ekonomi sambung hidup (subsistent ecoconomy).
Walaupun system ekonomi perkotaan ini sangat menunjang pengembangan kota-kota di Papua, khususnya kota Merauke, namun sayangnya dalam system ekonomi ini, orang Papua tidak berperan aktif, karena mereka tidak memiliki kecakapan-kecakapan (skills) yang diperlukan dalam tiga aspek dari system ini. Orang Papua yang masih mengiktui system ekonomi sambung hidup (susbsisten ecocnomy) berdasar pada subsistent farming (pertanian sambung hidup) dan food gathering and collecting (peramu) tidak dapat memenuhi permintaan pasar. Pada ekonom subsistent tidak terjadi allocation of skills yang nyata, karena masing-masing orang atau kelompok orang dituntut untuk memiliki kecakapan-keckapan yang diperlukan guna memenuhi kebutuhan hidup primer.
Orang Papua memang berproduksi juga, namun dalam system ini diperlukan produksi bahan mentah yang dapat memenuhi permintaan pasar, misalanya sekian ton gavah dalam sebulan, atau sekian ton kacang kedelai dalam sebulan. Oleh karena tidak memiliki kecakapan untuk berproduksi, maka orang Papua tidak dapat memenuhi permintaan pasar ini dengan berburu. Contoh, apabila ada permintan pasar akan kulit buaya, semua berburu buaya. Apabila ada permintaan pasar akan ikan arwana, semua berburu ikan arwana atau apabila ada permintaan pasar untuk kulit gambir semua mencari gambir; apabila ada permintaan pasir semen orang menggali pasir semen dst.
Dalam berburu pun orang Papua tidak berperan aktif, mereka hanya sebagai collectors dari pemodal-pemodal (capitalist) dan transaksi besar-besaran yang meliputi ton-ton gammbir dan ratusan juta rupiah, terjadi diluar kemampuan orang Papua.
VI
Di atas dikemukakan tantangan dan peluang dilihat dalam scope masyarakat Papua umumnya dan masyakat di Papua Selatan ini.
Penulis menitik-beratkan uraian ini pada ekonomi karena ekonomi berhungan erat dengan kesehatan dan pendidikan serta politik dan pembangunan. Dalam bagian ini dikemukakan tantangan dan peluang bagi masyarakat adat Malind dari segi ekonomi perkotaan dan struktur pemerintahan sekarang ini dilihat dari segi protection tehadap masyarakat adat itu pelayanan dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Demikian dimana masyarakat itu berada dalam kehidupan social ekonomi pada saat ini.
3.1. Tantangan ekonomi.
Dalam era ekonomi sebelum 1970, masyarakat Papua di Papua ini dan masyarakat Papua Malind di Merauke ini masih belum sepenuhnya tersentuh oleh system ekonomi perkotaan, yang diuraikan di atas tadi. Pada saat ini orang Papua benar-benar bergumul untuk mendapatkan penghidupan (di kota) dan mendapatkan uang tunai (di kampung). Hal ini dikarenakan mereka tidak mempunyai kecakapan teknis yang dapat digunakan dalam system ekonomi perkotaan ini. Dalam kehidupan ekonomi di kampung-kampung dia menjadi pengumpal (collectors) dari sumber daya alam yang dia miliki dan tergantung sepenuhnya dari para kapitalis atau pemodal dari kota yang adalah orang Non-Papua yang membeli hasil hutan antara lain kulit gambir, ikan arwana.
Struktur pemeritahan yang sekarang dengan berpendekan tali kendali adminstrasi pemerintahan dengan pembukaan infrastruktur dalam bidang transport memang dari segi akademis memang efektif, tetapi dari segi protection terhadap masyarakat adat Malind dan sumber daya alam yang dia miliki menjadi suatu yang dapat membahayakan eksistensinya sendiri sedangkan dia masih tergantung sepenuhnya pada pengumpulan hasil atau sumber daya alam, sebab dia belum mempunyai skills atau kecakapan untuk mengolah sumber daya alam itu menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupannya, misalnya, bahan setengah jadi, sehingga dapat menaikkan harga jual.
Dengan kata lain, dia belum siap berperan aktif dalam mengelola sumber daya alamnya sehingga dapat mendatangkan kesejahteraan bagi dia, sebagaimana sudah diuraikan di atas ini. Dia masih sepenuhnya tergantung pada sistim ekonominya yang diatur menurut adat kebiasaannya. Demikian masyarakat adat ini kelihatan miskin di atas kekayaannya.
Kawasan di luar pusat kota, sebagai mana sudah diuraikan di atas, dalam system ekonomi perkotaan adalah kawasan penghasil bahan mentah maka dikembangkan dengan berorientas ke pasar. Dengan adanya penpendekan tali kendali pemerintahan, ini diikuti dengan penpendekan tali kendali ekonomi pula. Demikian permodal dapat langsung turun ke situs produksi bahan mentah/sumber daya alam dengan risiko pengrusakan oleh masyarakat sendiri untuk memenuhi permintaan pasar yang dimodali pemilik modal dari kota, sedangkan bagi masyarakat adat hal ini dilihat sebagai peluang untuk memperoleh cas money (uang tunia). Demikian orang Papua dalam system ekonomi ini menjadi passive, tidak dapat berperan active sepenuhnya sehingga menjadi konsumen penguna jasa dan produk orang non-Papua.
VII
Pada tahun 1980 misi Katolik bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Merauke mengeluarkan sebuah kebijakan di Pulau Kimaam, yang dikenal dengan istilah Desanisasi. Kebijakan Desanisasi didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain, Pulau Kimaam memiliki kondisi alam yang sangat sulit, sehingga mempengaruhi pelayanan pendidikan, kesehatan dan pelaksanaan pemerintahan. Kebijakan ini kemudian mengakibatkan beberapa kampung di Pulau Kimaam harus ditiadakan dan penduduknya harus bergabung dengan penduduk dari kampung lain di sebuah Kampung yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Misalnya, kampung Kawe dan kampung Wanggambi di pantai barat Pulau Kimaam harus ditiadakan dan penduduknya harus ke luar dari kampung dan hidup bersama penduduk dari kampung lain di Kampung Batu Merah. Masyarakat Kampung Waan dan Kampung Konorau di pantai selatan Pulau Kimaam, mengalami hal yang sama, mereka harus meninggalkan kampung mereka dan pergi tinggal di Kampung Komolom dan Kampung Kumbis. Menurut Bpk. Paskalis Nar, warga Kampung Konorau, “Di Kampung yang ditunjuk pemerintah, para warga diajarkan bagaimana menanam padi. Warga diberikan parang, pacul, skop dan bibit padi untuk bersawa”.
Kebijakan desanisasi ini kemudian memberikan dampak positif terhadap pelbagai aspek kehidupan masyarakat di Pulau Kimaam, seperti pelayanan pendidikan, kesehatan dan pelaksanaan pemerintah dapat berjalan dengan baik. Tetapi menurut Bpk. Petrus Yun, Kepala Kampung Konorau, dampak positif ini berlaku untuk warga yang menyanggupi pindah dari kampung asalnya ke kampung yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Hal ini tidak berlaku pada beberapa warga dari Kampung Waan dan Kampung Konorau. Beberapa warga dari Kampung Waan dan Kampung Konorau tidak mau meninggalkan kampungnya dan panda ke kampung baru yang telah ditunjuk pemerintah. Hal ini dengan sendirinya membawa konsekuensi logis bahwa mereka yang tidak pandai itu, tidak mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan dan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan.
Waktu berjalan terus dan terasa kebijakan desanisasi melahirkan sebuah masalah besar sampai hari ini, yakni soal batas wilayah hak ulayat. Masyarakat dari Kampung lain yang tinggal di kampung baru yang ditunjuk pemerintah mengalami pelbagai kesulitan, seperti dilarang untuk berburuh binatang, menangkap ikan dan berkebun di wilayah hak ulayat warga kampung. Contoh, beberapa warga asal Kampung Waan yang tinggal di Kampung Komolom dilarang untuk berburuh binatang, menangkap ikan dan berkebun di Kampung Kumbis. Akhirnya warga masyarakat “pendatang” dari kampung lain mulai tidak betah untuk tinggal. Akhirnya, pada tahun 1987 terjadilah arus balik warga ke kampung asalnya.
Sejak terjadinya arus balik ke dusun-dusun, kampung lama, maka proses pembiaran terjadi. Sejak tahun 1987 arus balik di beberapa tempat menjadi gejala umum. Pemerintah Kecamatan Kimaam tetap mengakui desa-desa binaan di sekitar selat Muli atau selat Mariane, sedangkan mereka yang tinggal di dusun atau kampung lama semakin jauh dari jangkauan perhatian Pemerintah dan Gereja. Namun demikian dalam pembangunan selanjutnya baik Pemerintah maupun Gereja mulai memberikan perhatian. Pihak Gereja tetap mengunjungi meski tidak sering. Pada tahun 1992, pemerintah mulai mengakui secara administrative desa-desa yang ada di Pantai Selatan, Utara dan Barat. Program pemekaran menjadi 32 desa mulai dilaksanakan. Akan tetapi pemekaran desa-desa di Pantai Barat tidak diimbangi dengan sarana-sarana yang mendukung bila dibandingkan dengan desa-desa lainnya.
Tim Investigasi SKP-KAM menemukan bahwa terdapat beberapa situasi dan fakta yang dihadapi masyarakat Pantai Selatan memiliki kesamaan dengan situasi dan fakta yang dihadapi oleh masyarakat di Pantai Barat ketika itu, yakni
1. Arus balik ke kampung membuat masyarakat kembali ke tahun-tahun sebelumnya. Mereka tinggal terpisah di beberapa tempat dan membuat bivak-bivak di pinggir kali sambil mencari makan. Kehidupan kampung tak teratur, belum ada pemerintahan karena sebagian masih tinggal di wilayah selat. Kebijakan pemerintah Distrik tidak direalisasikan. Banyak penyimpangan keuangan bantuan desa, dan setiap bantuan justru menimbulkan konflik perebutan aparat desa dan masyarakat.
2. Aparat desa dalam hal ini tidak banyak dipercaya karena dianggap menghabiskan bantuan-bantuan, laporan pertangungjawaban tidak jelas. Tidak jarang aparat desa dimusuhi bahkan dipukul oleh masyarakat yang merasa kecewa.
3. Proses pembinaan tidak berjalan. Pendidikan di Pantai Selatan praktis tidak berjalan sejak tahun 1985 hingga tahun 2004. Gedung sekolah hampir tidak ada di desa-desa Pantai Selatan. Guru-guru tidak ada yang mengajar di Pantai Selatan.
4. Seiring dengan proses pembodohan karena pendidikan tidak berjalan, pembinaan dan kunjungan dari pihak pemerintah distrik sama sekali tidak berjalan khusus di Pantai Selatan. Dari laporan masyarakat bahwa Unsur Pimpinan Kecamatan (USPIKA) belum ada yang mengunjungi kampung-kampung di Pantai Selatan. Pernah sekali petugas kesehatan mengadakan pelayanan kesehatan. Pembinaan rohani dari pihak Gereja mengalami hambatan, selain petugas Gereja hanya satu dua orang saja tapi juga semakin membengkaknya biaya patroli.
5. Dari laporan sebagian masyarakat bahwa memang ada kunjungan dari petugas keamanan, tapi kunjungan itu dalam rangka mencari atau membeli hasil-hasil laut. Lain kali anggota keamanan menjadi pedagang opsi yang menjual pakaian atau kebutuhan lain.
6. Kurangnya pengawasan dari instansi terkait, menjadikan wilayah Pantai Selatan sebagai wilayah “tak bertuan” sejak tahun 1995, kapal-kapal perusahan PT. Djarma Aru atau Wanam Camp masuk sedemikian bebas, dan lebih parah lagi kapal-kapal dari Kendari, Tanjung Balai, Surabaya, dan Kalimantan berdatangan mencari hasil-hasil laut. Kapal-kapal tersebut masuk dalam sungai tempat dimana masyarakat biasa mencari makan.
7. Demikian pula dapat dikatakan: Kebijakan perusahan Djarma Aru lebih banyak peduli kepada masyarakat Pantai Utara. Bantuan berupa cool box, jaring, ketinting sebagai sarana pemberdayaan masyarakat setempat tidak dinikmati oleh masyarakat di Pantai Selatan dan Barat. Kecemburuan ini semakin terpola pada sikap “menghakimi” dari pihak masyarakat dengan merampas jarring pada saat kapal masuk ke kali. Perampasan harta benda kapal-kapal yang pada akhirnya harus berhadapan dengan aparat keamanan yang berada di atas kapal itu. Seringkali jaring yang dirampas masyarakat balik dirampas kembali oleh kapal-kapal lainnya.
8. Memang ada beberapa kapal yang berusaha merebut hati masyarakat dengan membeli hasil dan menjual barang. Pada awalnya berlangsung baik, dan nampaknya menguntungkan masyarakat tapi lama kelamaan praktek tipu menipu berjalan, misalnya harga ikan ditekan, harga barang jualan dinaikkan, dalam beberapa kasus terjadi transaksi uang palsu. Lain kali hasil-hasil masyarakat dibawah tanpa pembayaran.
9. Bentuk-bentuk perlawanan masyarakat berupa tuntutan harga ikan dan harga barang sering dibalas dengan tindakan represif petugas keamanan. Tidak jarang, penentuan harga ikan seringkali dilakukan dibawah todongan senjata. Kondisi seperti ini berlangsung terus menerus hingga pecahnya peristiwa di Kali Korimen dan Kontuar.
10. Upaya penyelesaian terhadap kasus pelanggaran dari pihak aparat dan pedagang hamper banyak merugikan masyarakat bahkan upaya menuntut keadilan secara hokum justru dibalas dengan tindakan tegas: “masyarakat bersalah karena itu layak mendapatkan hukuman (pemukulan)”.
11. Dalam proses pembiaraan yang lama berlangsung, tidak heran kalau masyarakat kembali hidup pada kehidupan asal masa lalu. Makanan tergantung dari musim yang ada. Makanan alternative berupa buah nipa menjadi santapan harian. Kadang beras menjadi susah untuk didapat sementara ikan rawa dan sungai begitu banyak. Maka tidak heran muncul ungkapan: “Nasi menjadi ikan” – sesekali jika beras cukup: “Ikan menjadi nasi”, apa artinya?
12. Selain kembali pada pola hidup masa lalu, adat mulai dihidupkan kembali dengan mencari bentuk yang bisa menjawab kegelisahan hidup yang menekan. Pesta-pesta adat diselenggarakan sebagai bentuk ekspresi jatih diri secara bebas. Dalam pesta adat setiap orang berperan, orang tua-tua mendapatkan kewibawaannya kembali, anak-anak muda dipercaya sebagai polisi adat, anak-anak kecil bermain dengan riang di tengah pesta adapt dan mereka menemukan kembali dunia mereka. Pada upacara adat diekspresikan orasi, keinginan dan harapan, kegelisahan, suka cita bahkan menyusun strategi hidup mempertahankan kedaulatan tanah dan jati diri sebagai manusia “Bob Anim”.
13. Dalam situasi batin yang kacau dan gelisah akibat hasil-hasil laut dirampas, luka batin akibat perlakuan aparat serta sakit hati akibat tipuan para pedagang, tidak heran mereka berusaha mencari pola-pola hidup atau pegangan agar bisa keluar dari situasi membelenggu itu. Konsep “pengharapan” datangnya sang pembebas, penyelamat, pelindung, pembawa harta menjadi impian terus menerus. Impian ini sangat nyata dalam kerangka pikir yang sederhana lewat ritual-ritual datangnya sang penyelamat. Konsep kebahagiaan, konsep kebebasan dan kemerdekaan serta pengakuan jatih diri begitu membatin. Karena itu mereka mulai menemukan bentuk ritual adapt yang bisa memadukan antara konsep pengharapan manusiawi dan datangnya sang “Juru selamat” bagi mereka. Jadilah ritual: agama adat. Doa-doa Gereja Katolik dipadukan dengan ritual adat. Akan tetapi jangan pernah katakan di hadapan mereka bahwa hal itu adalah “Sigo-sigo”.
14. Ditopang oleh pendidikan yang tidak berjalan dan pengawasan yang tidak berjalan, konflik disekitar perairan, serta luka-luka batin akibat perlakuan dari aparat keamanan, maka tidak heran mereka memiliki keberanian untuk melakukan perlawanan dalam mempertahankan kedaulatan (tanah) hak ulayat. Ritual adat menjadi mantra untuk menimba “ilmu” kekebalan tubuh sebagai sumber keberanian luar biasa untuk menghadapi siapa saja, terlebih yang sangat merugikan mereka.
15. Dalam situasi demikian, maka dapatlah dimengerti ungkapan simbolik mereka: “Kami telanjang di dunia modern sekarang ini, mata kami bisa melihat namun kami buta tentang apa yang terjadi. Kami mundur ada api, kami maju ada api. Maka lebih baik kami maju dalam keadaan telanjang dan buta. Kami telah dibutakan (dibodohi) dan kami telah ditelanjangi (rumah kami dibakar, hasil bumi dicuri).”
VIII
1. Sistem Pemerintahan
Kampung Waan dan Kampung Konorau kini telah memiliki pemimpin kampung. Pemimpin Kampung atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kepala Kampung berfungsi sebagai perpanjangan pemerinta di Kampung. Kepala Kampung dipilih secara aklamasi dan diangkat dengan mendapat surat keputusan dari Pemerintah Kabupaten. Kepala Kampung ini dibantu oleh seorang sekretaris kampung dan kepala-kepala urusan, seperti kepala urusan pemerintahan.
Di Kampung Waan dan Kampung Konorau ada juga pemimpin adat. Pemimpin Adat atau sering lebih dikenal dengan sebutan Ketua Adat adalah seseorang yang dituakan di kampung dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang adat. Peran atau fungsi dari Ketua Adat adalah mengurus pelbagai hal yang berkaitan dengan adat.
Pada tahun 2007, Kampung Waan menjadi ibukota distrik Pantai Selatan P. Kimaam. Oleh karena itu, kini sedang dibangun bangunan distrik yang hampir selesai dan yang telah dibagun adalah stasion pantai.
2. Pendidikan
Sejak bertahun-tahun, sekolah di Pantai Selatan Pulau Kimaam tidak berjalan. Pada tahun 1930-an, daerah Pantai Selatan sekolah pertama kali dibagun oleh Pemerintah Belanda di Komolom, yakni SD YPPK Komolom, dengan guru Bpk. Philipus Ulukyanan. SD YPPK Komolom didirikan dengan tujuan untuk mendidik calon-calon katekis atau calon pengajar agama Katolik. Dari SD YPPK Komolom ini lahirlah guru-guru Katekis yang mengajar di Pulau Kimaam. Setelah SD YPPK Komolom dapat berjalan dengan baik, Bpk. Philipus Ulukyanan kemudian membangun sekolah di Kampung Kimaam, Kampung Bamol dan Kampung Kladar.
Pada tahun 1970 Pemerintah Kecamatan Kimaam bersama misi Katolik mengeluarkan kebijakan desanisasi. Sekolah-sekolah yang sudah dibagun oleh Pemerintah Belanda ditutup dan masyarakat dipindahkan ke desa atau kampung yang telah disiapkan oleh pemerintah. Masyarakat dari Kampung Tor, Kampung Kladar, dan Kampung Sabon dipindahkan ke Kumbis dan masyarakat dari Kampung Waan dan Kampung Konorau dipindahkan ke Kampung Komolom. Sejak saat itu sekolah ditutup.
Pada tahun 1992 Pemerintah Kecamatan Kimaam mengeluarkan kebijakan pemekaran desa atau kampung. Atas dasar kebijakan ini, dibentuk kembali desa atau kampung yang telah ada sebelum tahun 1970 (kebijakan desanisasi) dan masyarakat dari Kampung Kumbis dan Kampung Komolom kembali ke desa atau kampung asal. Akan tetapi, pada saat itu sekolah-sekolah tidak diperhatikan.
Pada tahun 2000, sekolah baru mulai dibagun tetapi tidak diimbangi dengan pengadaan tenaga guru hingga saat ini. Kini dengan adanya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) baru ditempatkan 6 (enam) guru untuk 6 (enam) Sekolah Dasar (SD) dengan 36 (tigapuluh enam) kelas di Pantai Selatan Pulau Kimaa (Kampung Waan, Konorau, Tor, Kladar, Sabon dan Wantarma). Menurut Bpk. Dominikus Ulukyanan, penilik TK dan SD wilayah Pantai Selatan Pulau Kimaam, banyak bantuan dari pemerintah untuk sekolah-sekolah tetapi tidak sampai ke sekolah-sekolah. “Selama ini kami mendengar ada bantuan untuk persekolahan di wilayah Pantai Selatan Pulau Kimaam, tetapi kami tidak pernah mendapatkannya. Kami, para guru dapat gaji 1 jutah sampai 2 jutah, tapi kami harus membiayai perjalanan kami sendiri dengan harga bahan baker minyak (BBM) 4 jutah”, ungkap Bpk. Dominikus Ulukyanan.
Pada tahun 2007 ini, pada umumnya proses belajar-mengajar di wilayah Pantai Selatan Pulau Kimaam dijalankan oleh guru-guru sukarelawan dan guru-guru honorer. Akan tetapi para guru sukarelawan dan honorer ini ibarat bon waktu yang siap untuk meletus jika pemerintah tidak memperhatikan nasib masa depan mereka.
Di Kampung Waan dan Kampung Konorau kini telah terdapat Sekolah Dasar (SD), dengan seorang guru di masing-masing SD. Kampung Waan terdapat SD YPPK Waan dengan seorang guru Pegawai Negari Sipil (PNS), yakni Bpk. Hironimus Naar. Dalam investigasi SKP-KAM, ditemukan bahwa Bpk. Hironimus Naar sering tidak di tempat tugas dengan alasan yang tidak jelas. Konsekuensi logisnya, proses belajar-mengajar di SD YPPK Waan tidak berjalan dengan baik. Untuk mengatasi hal ini, Bpk. Paulus Levitar, seorang pelaut yang merasa prihatin dengan persoalan pendidikan di Kampung Waan mengambil inisiatif untuk mengajar anak-anak di Kampung Waan. Sehingga, praksisnya proses belajar-mengajar di SD YPPK Waan kini dijalankan oleh seorang sukarelawan. Suatu hal yang sangat dibanggakan bahwa dari seorang tenaga sukarelawan yang tidak dibayar pemerintah dapat menghasilkan anak-anak Kampung Waan yang bisa menamatkan SD dan melanjutkan ke tingkat SLTP.
Lain halnya dengan situasi pendidikan di Kampung Konorau. Di Kampung Konorau terdapat sebuah SD, yakni SD Impres Konorau, dengan seorang guru Felisitas Kamudu. Akan tetapi proses belajar-mengajar di SD Impres Konorau tidak berlajan dengan baik karena guru sering tidak ditempat tugas. Dalam investigasi SKP-KAM, ditemukan bahwa Ibu Felisitas Kamudu yang diangkat pemerintah menjadi guru dan kepala sekolah di SD Impres Konorau adalah istri dari Bpk. Hironimus Naar, seorang guru dan kepala sekolah di SD YPPK Waan. Hal ini yang menyebabkan sehingga Ibu Felisitas Kamudu, jarang di tempat tugas. Kini proses belajar-mengajar di SD Impres Kanorau dijalankan oleh beberapa warga kampung yang pendidikan terakhirnya SD, yakni Bpk. Yohanes Yun, Ananias Yun dan Stafilus Ndiken. Mereka ini adalah tenaga-tenaga sukarelawan yang didampingi oleh 2 (dua) guru honorer, yakni Edmundus Panamuya dan Petrus Mbunia.
Tabel 3: Pendidikan Sekolah Dasar Distrik Kimaam
No Nama Sekolah Jumlah Murid KLS I s/d VI JML GURU KET Kondisi Sekolah
1 SD Neg. Wanam/ Wogekel 230 6 Negeri Baik
2 SD Impres Kumbis 71 2 Negeri Kurang
3 SD Impres Konorau 135 1 Negeri Cukup
4 SD Impres Kiworo 196 6 Negeri Baik
5 SD Impres Sabudom 135 4 Negeri Cukup
6 SD Impres Yomuka 85 2 Negeri Cukup
7 SD Impres Sibenda 175 1 Negeri Cukup
8 SD Impres Kawe 50 1 Negeri Kurang
9 SD Impres Uli-uli 61 1 Negeri Cukup
10 SD Impres Kladar 245 1 Negeri Kurang
11 SD YPPK Kimaam 159 10 Swasta Baik
12 SD YPPK Teri 145 5 Swasta Cukup
13 YPPK Tabonji 315 5 Swasta Cukup
14 SD YPPK Konjombando 135 3 Swasta Kurang
15 SD YPPK Kalwa 470 2 Swasta Cukup
16 SD YPPK Iromoro 141 3 Swasta Cukup
17 SD YPPK Ilwayab 150 2 Swasta Cukup
18 SD YPPK Bibikem 94 1 Swasta Cukup
19 SD YPPK Bamol 272 4 Swasta Cukup
20 SD YPPK Sabon 100 1 Swasta Kurang
21 SD YPPK Waan 194 1 Swasta Cukup
22 SD YPPK Tor/ Kladar 110 1 Swasta Cukup
23 SD YPPK Kalilam 150 1 Swasta Kurang
24 SD YPPK Yeobi 110 1 Swasta Cukup
25 SD YPPK Komolom 155 2 Swasta Cukup
JUMLAH 4083 67
Sember: Dinas Pendidikan Sekolah Dasar Kab. Merauke.
3. Kesehatan
Sebelum ada pelayanan kesehatan modern, masyarakat di wilayah Pantai Selatan Pulau Kimaam, khususnya Kampung Waan dan Kampung Konorau telah mengenal pengobatan tradisional, seperti cara menyembutkan sakit perut, sakit gigi dan sakit pegal-pegal di punggung serta sakit kepala. Cara menyembukan sakit kepala adalah dengan mengiris kening atau juga dengan menggunakan daun gatal. Untuk demam dan sakit kepala, daun gatal direbus lebih kurang 3 daun dalam satu belanga kecil, kemudian air rebusan diminum. Cara menyembukan kudis biasanya dipakai kencur yang ditumbuk dan diletakan di bagian tubuh yang penuh kudis.
Pada tahun 2006 ini penyakit yang masuk dalam kategori penyakit lima besar penyakit yang diderita oleh masyarakat di Distrik Kimaam adalah Ispah (infeksi saluran pernapasan bagian atas), Malaria Klinis, Diare (Disentri), Frambisia dan GO (Sipilis). Dari hasil wawancara dengan masyarakat di beberapa kampung, bahwa pada bulan Januari dan Februari banyak orang yang meninggal akibat diare. Hampir tiap tahun banyak anak bayi yang meninggal karena mencret, panas tinggi dan kejang-kejang.
Di Wilayah Pantai Selatan Pulau Kimaam kini terdapat saru puskesmas yang terdapat di Kampung Waan. Pada tahun 2006 terdapat seorang dokter yang bertugas di Puskesmas itu, tapi dengan kepindahan dokter ke Jakarta, Puskesmas itu menjadi bangunan tua tanpa aktivitas pelayanan kesehatan hingga kini.
Untuk mengatasi kekurangan tenaga medis di wilayah Pantai Selatan Pulau Kimaam, maka pola pelayanan kesehatan yang dibuat adalah pola patroli (mengadakan kunjungan ke beberapa kampung dalam beberapa hari). Di beberapa kampung tenaga medis biasanya berkunjung satu atau dua kali setiap tahun, tetapi juga ada kampung-kampung yang tidak pernah ada bidan desa dan kunjungan tenaga medis. Ada bidan desa yang ditempatkan di kampung, tetapi bidan desa itu lebih banyak tinggal di pusat distrik Kimaam. Pola pelayanan kesehatan seperti ini mengakibatkan sosialisasi dan internalisasi tentang hidup sehat menjadi masalah tersendiri. Dalam wawancara kami dengan dokter di Kimaam, satu hal yang menjadi masalah tentang kesehatan adalah belum tumbuhnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kehadiran puskesmas dan tenaga medis dalam kesehatan masyarakat. Masyarakat ke puskesmas jika tidak bisa lagi disembuhkan secara adat. Orang Kimaam lebih percaya dunia mantera ketimbang dunia medis yang lebih rasional. Penyakit dan kematian yang dialami itu dilihat sebagai akibat dari melanggar nilai-nilai adat dan dibuat orang (suanggi). Hal lain yang kini tumbuh dalam kesadaran masyarakat adalah pasrah pada nasib.
Salah satu penyakit yang digumuli dari tahun ke tahun di wilayah Pantai Selatan P. Kimaam adalah munta berak. Penyakit ini biasanya dialami pada bulan Mei, Juni dan Juli. Penyakit ini selalu menyebabkan kematian dalam jumlah yang cukup tinggi. Pertanyaan penting, mengapa penyakit ini sudah dialami dari tahun ke tahun tetapi sepertinya tidak ada penyelesaiannya? Data yang diperoleh memperlihatkan bahwa ada beberapa alasan, yaitu pelayanan kesehatan dari tenaga medis yang kurang, masyarakat sering mengkonsunsi air yang tidak dimasak, tempat tinggal yang tidak menjamin kesehatan yang baik dan pergantian musim.
II.3. Kehidupan Ekonomi
Pada saat ini masyarakat di wilayah pantai selatan P. Kimaam, khususnya Kampung Waan dan Kampung Konorau memiliki sumber pendapatan adalah menangkap ikan dan berburu. Hasil tangkapan dan buruan mereka itu adalah daging rusa, tanduk rusa, ikan kakap, gelembung kakap, dan kulit buaya. Masyarakat Kampung Waan dan Kampung Konorau menjual hasil tangkapan dan buruan mereka dengan harga yang bervariasi ke kapal-kapal penjaring milik PT. Djarma Aru dan Bpk. Wens Kokaiseng, yang sedang membuka usahanya di Kampung Waan.
Berikut ini jenis barang dan harga yang dijual oleh dan kepada masyarakat Kimaam.
Tabel 4. Jenis barang dan Harga
Jenis Barang Harga di Kampung Keterangan
Daging rusa 5.000/ kg
Tanduk Rusa 20.000-35.000/buah
Sayur 1.000/ikat
Ikan Kakap 3.000/tusuk
Gelembung kakap putih 80.000-100.000/kg
Gelembung Ikan Kakap Cina 3.000/ lembar
Ayam 15.000-20.000/ekor
Pisang 5.000
Pisang ambon 10.000
Gelembung Ikan Kerabu 80.000
Kulit Buaya 15.000/ins
Ikan Garam 5.000
Wati 5.000-10.000/ikat
Kura-kura 5.000-10.000/kg
Minyak tanah 15.000/liter
Minyak Bensin 15.000/liter
Minyak Oli 18.000/liter
Tembakau lampion 3.000/bungkus
Kopi 2.000/bungkus
Pinang enceran 1.000-3.000/bungkus
Pinang 45.000/kg
Gula 5.000-8.000/bungkus
Beras 20 kg 97.000-105.000
Anak kura-kura 500-1.000/ekor
Ikan Arwana 1.000-3.000/ekor
Dendeng Rusa 10.000/kg
Terkadang masyarakat mengalami kesulitan dalam menjual hasil tangkapan mereka, karena sulitnya medan dan transportasi. Para pembeli biasanya dalam waktu tertentu datang ke kampung-kampung untuk membeli hasil tangkapan dan buruan masyarakat. Dari hasil investigasi yang kami peroleh memperlihatkan bahwa para pembeli bisa hanya membeli hasil tangkapan masyarakat dengan harga yang sangat murah dan bahkan tidak pernah dibayar atau hasil tangkapan dibawah begitu saja tanpa dibayar.
Kini di Kampung Waan terdapat sebuah gudang yang menjual pelbagai barang milik pengusaha Wens Kokaiseng. Barang-barang yang dijual di gudang tersebut langsung didatangkan dari Kota Merauke dan barang-barang dijual dengan harga yang sama dengan harga barang di Kimaam.
Bab III. Fakta Konflik 21-12-2006 di Pantai Selatan
III.1. Konflik Sebelum Peristiwa 21-12-2006
Kehadiran masyarakat Kampung Konorau pada tahun 1978 di dusun Yawasir mengakibatkan warga Kampung Waan yang tinggal di dusun Moi (pada tahun 1976) tersinggung, sehingga terjadi perkelaian antara warga Kampung Waan yang tinggal di Dusun Moi dengan warga Kampung Konorau yang tinggal di Dusun Yawasir.
Pada tahun 1976, warga Waan meminta supaya warga Kampung Konorau yang tinggal di dusun Yawasir untuk dikembalikan ke kampung Konorau. Hal ini tidak berhasil.
Pada tahun 1993, mulai terjadi ketegangan antara Kampung Waan dan Kampung Konorau.
Pada tahun 2000, warga Kampung Waan dan Kampung Konorau mulai mengalami ketegangan saat mengurus masalah hak ulayat.
Pada tahun 2002, Bpk. Sergius dari Kampung Konorau panah Bpk. Romanus asal Kampung Waan di Dusun Moi. Alasanya, Bpk. Sergius dituduh membunuh orang dengan suanggi.
Pada tahun 2004, warga kampung Konorau datang dan tinggal di dusun Kobram. Bpk. Sergius Gebze dan keluarganya adalah orang pertama yang tinggal di Dusun Kobram. Dusun Kobram adalah hak ulayat dari masyarakat Kampung Komolom.
Pada bulan Nevember 2006, Abukasim dipukul oleh`Andreas Yun di Dusun Moi.
Pada tanggal 19-12-2006, Warga Kampung Konorau yang tinggal di dusun Yawasir mulai potong-potong jarring milik Bpk. Anton. Bpk. Anton melapor ke Bpk. Abukasim. Bpk. Abukasim mengatakan kepada Bpk. Anton untuk bersabar dulu.
Pada tanggal 20-12-2006, warga Kampung Konorau yang tinggal di Dusun Yawasir dan anggota linmas Kampung Konorau mengancam Bpk. Adi dan ketintingnya, dengan alasan surat izin. Bpk. Adi lapor ke Bpk. Abukasim dan Bpk. Adi pergi ke kapal penampung. Abukasim datang dan kasih kabar di kapal penampung dan bicara dengan warga Kampung Konorau (Yawasir) di ketinting Adi tetapi warga Yawasir tidak mau bicara dan Abukasim katakan, “tolong kepala kampung datang ke Dusun Moi untuk bicara soal masalah ini. Saya kasih waktu sampai pukul 15.00 WIT”. Warga Yawasir dating dengan busur lengkap dan mau serang Abukasim dan warga di dusun Moi. Kapten Kapal Penampung ketakutan tetapi Abukasim menenangkannya.
Warga Yawasir pergi ke tanjung Moi dan potong-potong jarring warga Waan. Abukasim lalu berangkat ke Kampung Waan dan melaporkan masalah ini kepada Thomas Wanggai dan Kepala Kampung Waan.
III.2. Fakta Konflik 21-12-2006
Pada tanggal 21-12-2006 telah terjadi pemukulan dan penghaniayaan 14 (empat belas) warga masyarakat dusun Yawasir, Kampung Konorau oleh Bpk. Thomas Wanggai (TNI) dan warga masyarakat Kampung Waan di Muara Sungai Muli (Wilayah Kampung Konorau) dan Muara Sungai Malatar, Wilayah Kampung Komolom.
Para pelaku pemukulan atau penganiayaan itu, adalah seorang oknum anggota tentara yang bernama Thomas Wanggai anggota Koramil Kimaam yang sedang bertugas sebagai Babinsa atau Pam di kampung Waan bersama sekitar 30 (tiga puluh) orang warga masyarakat kampung Waan. Alasan atau sebab terjadinya kasus ini kami belum tau kepastiannya, namun menurut keterangan para korban bahwa alasan terjadinya kasus ini antaralain:
1. Menyangkut tuduhan Pemanahan bendera warnah putih yang terdapat pada kapal Merauke 05, yang berlabu di muara sungai Muli.
2. Tuduhan melakukan gerakan tiga buta di dusun Yawasir kampung Konorau
3. Menyangkut masalah pribadi oknum Abubakar yang memperalat petugas
4. Menyangkut masalah hak wilayat
5. Menyangkut masalah tindakan masyarakat terhadap kapal-kapal perusahaan dan ketinting yang beroperasi di perairan sekitar pinggiran pantai wilayah kampung Konorau
selanjutnya kami melaporkan kepada Bapak Distrik Kimaam tentang kronologis kejadian kasus tersebut di atas. Muara sungai Muli sekitar pukul 8.00 wit pagi muncul sebuah perahu ketinting yang tidak di kenal oleh para warga masyarakat dusun Yawasir di muara sungai muli yang sementara mencari hasil ikan dan gelembung ikan unt_k persiapan pesta natal dan tahun baru, ada beberapa warga lain yang menduga bahwa maksud dan tujuan kedatangan perahu motor ketinting itu mengambil jaring – jaringnya yang sementara di tahan oleh mereka, namun dengan itu tidak tepat setelah perahu motor ketinting itu tiba lalu membuang jangkarnya di befak (rumah adat) itu, lalu dari atas befak (rumah adat) datang sebuah perahu 6 (enam) warga dusun yawasir yakni 3 (tiga) orang anggota linmas dan 3 (tiga) orang warga biasa. Maksud kedatangan mereka ini untuk menanyakan maksud dan tujuan kedatangan perahu motor itu, setelah mereka ini tiba dan naik keatas tiba-tiba dari dalam keluatr 1 (satu) angota TNI dengan mendorong pintu ketinting dengan laras senjata M16 dan mengatakan “ayo kamu berkelahi sudah” pada saat itu juga anggota TNI tersebut mulai melontarkan tembakan rentetan kearah warga yang berada di atas befak (rumah adat) dan pada saat itu juga beberapa masyarakat dan anggota linmas dari kampung Waan yang turut bersama anggota tentara ini,mereka mulai mengambil alat pemukul mereka yang sudah di siapkan dari kampungnya berupa: kapak,parang,besi,kayu buah,busur anah pana dan mulai memukul ke 6 (enam) warga ini sampai menjadi darah dan karena tidak dapat menahan sakit pukulan keenam warga ini lalu berusaha melompat ke air lalu berenang ke darat, setelah mereka tiba di darat, mereka mengatakan kepada rekat-rekannya ke darat supaya larikan diri karena musuh datang menyerang kitapada saat itu juga ada beberapawarga yang melarikan dirinya sedangkan sebagian tetap tinggal bertahan di tempat itu, kemudian serangan yang membabibuta itu naik kedarat dan tanpa tanya mereka mulai melakukan pukulan-pukulan terhadap beberapa warga masyarakat yang berada di atas befak (rumah adat) hingga mandi darah, para warga yang di pukul itu yakni 8 (delapan) warga laki-laki dan 2 warga perempuan (ibu rumah tangga) setelah hukuman itu selesai, mereka lalu mengumpulkan barang-barang milik warga masyarakat yawasir yang ada di dalam maupun yang di sekitar befak (rumah adat) lalu mereka potong-potong dan di bhakar bersama befak (rumah adat) hingga hangus terbakar api, kemudian para korban pergi angkat di buang diatas ketinting itu bersama kedua ibu, lalu di bawah kedusun kali Moi selama dalam perjalanan para korban laki-laki di ikat di tiang rumah ketinting lalu di pukul sambil badan mereka di putar sekeliling tiang rumah itu. Hukuman itu dilakukan oleh anggota tentara ini dan anggota linmas dan beberapa warga masyarakat Waan itu dari muara sungai Muli hingga dusunkali Moi. Setelah tiba di dusun kali Moi para korban lalu di naikan ke darat sambil turun ke darat mereka di suruh gigit laras senjata M16 baru turn ke darat. Sampai kedarat ke 8 (delapan) warga korban lalu di ikat di pohon kelapa. Kemudian perahu motor ketinting yang membawa angota tentara dan warga masyarakat waan itu melanjutkan perjalanan mereka menuju lokasi kejadian kedua yakni: “Muara Sungai Malatar” (TKP 2) wilaya kampung Komolom, setelah mereka ini tiba di muara malatar (TKP 2) lalu berlabu dan membuang jangkarnya dan dari dalam perahu motor ketinting keluar anggota Tentara ini, lalu melontarkan tembakan rentetan kearah warga yang berada di atas befak (rumah adat) itu dan karena takut beberapa anggota masyarakat yawasir dan beberapa masyarakat Komolom melarikan diri ke hutan. Kemudian beberapa anggota linmas kampung waan turun dan menangkap 3 (tiga) oprang warga dusun Yawasir lalu di giring menuju perahu motor ketinting terseut sambil tembakan di celah-celah paha yang dilakukan oleh anggota tentara tersebut, setelah di atas para korban di ikat di tiang rumah ketinting lalu di pukuli sambil badan dikelilingi tinag rumah ketinting. Alay yang digunakan untuk memukul para korban yakni: kayu,besi,cam es dll, kemudian para korbandi bawa ke dusun kali moi dan selama perjalanan para korban di pukul, di aniyaya hingga mandi darah, lalu luka-luka mereka yang keluar darah itu disiram lagi dengan air asin. Hukuman ini berjalan terus berjalan hingga tiba di dusun kali Moi, dalam perjalanan dari muara malatar (TKP 2) ke dusun kali Moi kira-kira 3 jam perjalanan, setelah tiba di dusun kali Moi ke 3 (tiga) orang warga korban ini lalu dinaikan kedarat lalu di istirahatkan bersama dengan 8 (delapan) rekan warganya yang d iikat di pohon kelapa itu. Lalu anggota tentara ini mengumpulkan semua warga masyarakat waan dan Yawasir (para korban) lalu mengatakan bahwa: “ masalah ini sudah habis dan tidak bole musuhan lagi kamu cari makan seperti biasa sambil menunggu pihak lembaga adat dan pemerintah atasan untuk mengurus dan mengatur tentang bats-batas dan hak-hak wilayat” setelah acara rapat itu selesai semua warga di pulangkan ke masing-masing namun ke 7 (tujuh) warga korban dari dusun yawasir masih tetap di jaga dengan ketat lalu dibawah ke kampung Waan tanpa alasan pasti. Sebagai data akhir dari laporan kami bahwa oknum Abubakar yang menjadi dalang atau pemicu atas kejadian ini yang mengaku dirinya sebagai ketua dusun Waan di kali Moi dan menurut keterangan para korban dan beberapa saksi mata bahwa: sebelum terjadi kasus ini para pelaku yakni: anggota TNI dan beberapa anggota masyarakat Waan diberi minuman keras (brendi) oleh oknum Abubakaryang di peroleh dari kapal tampung milik perusahaan Wanam.
14 Warga Kampung Konorau yang menjadi korban kekerasan 21 Desember 2006
1. Titus Yun, mengalami patah tulang
2. Paulus Yun, mengalami luka-luka
3. Korbianus Nar, mengalami luka-luka
4. Hendrikus Nar, mengalami luka-luka
5. Aliander Yun, mengalami luka-luka
6. Klemens Yun, mengalami luka-luka
7. Izak Yun, mengalami luka-luka
8. Paskalis Nar, mengalami patah tulang
9. Yoseph Nar, mengalami patah tulang
10. Tadeus Awi, mengalami patah tulang
11. Dominikus Yolmen, mengalami patah tulang
12. Maria
13. Afra
14. Korianus Yun
Para Pelaku
• Anggota Linmas Kampung Waan dibawa pimpinan Yeremias Yun
• Bpk. Abubakar, warga Maluku yang menikah dengan perempuan dari Kampung Waan
• Bpk. Thomas Wanggai, anggota TNI
• 13 Warga Kampung Waan:
1. Moses Nar
2. Afentinus Kaize
3. Noya Yangguri
4. Alex Basik-Basik
5. Buce Basik-Basik
6. Ruben Kaize
7. Paskalis Unum Kaize
8. Luis Basik-Basik
9. Heron Injika Yun
10. Samuel Indiken
11. Philipus Basik-Basik
12. Abraham Yun
13. Natalis Ndiken
III.3. Fakta Konflik Pasca 21-12-2006
Pada tanggal 25 Desember 2006, Bpk. Leonardus Mahuze (Kaur Pemerintahan Kampung Konorau) dan Petrus Yun (Kepala Kampung) berangkat dari Dusun Yawasir ke Ibukota Distrik Kimaam.
Pada tanggal 28 Desember 2006, Bpk. Leonardus Mahuze dan Bpk. Petrus Yun melaporkan masalah penganiayaan dan pemukulan kepada Polsek Kimaam. Serma Try dari Polsek menerima masalah ini dan berhubung Serma Try pindah ke Merauke, kasus ini kemudian dilimpahkan kepada Bpk. Polisi Site.
Pada tanggal 5 Januari 2007, Bpk. Leonardus Mahuze dan Bpk. Petrus Yun melaporkan kasusu 21-12-2007 kepada Distrik, yang terima adalah Bpk. Servasius Kaok, S.Sos.
Pada tanggal 5 Januari 2007, Bpk. Leonardus Mahuze dan Bpk. Petrus Yun melaporkan kepada Koramil.
Pada tanggal 10 Januari 2007, laporan kasus 21-12-2006 dikirim ke Merauke via Bpk. Frederikus Boer (Staf Distrik Kimaam).
Pada tanggal 22 Januari 2007, Dokter buat fisum terhadap Titus, Yosep, dan Tadeus.
III.4. Pendapat Masyarakat
Berikut ini akan diuraikan pelbagai temuan dari hasil investigasi Fr. Wempie Fatubun, msc dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAM) di Kampung Waan, Kampung Konorau, Dusun Moi dan Dusun Kobram serta Sungai Muli.
1. Kronologi Versi Masyarakat Kampung Waan
Pada tanggal 10-02-2007 (Pukul 16.00-18.00 WIT), Fr. Wempie Fatubun, msc dari SKP-KAM bertemu dengan masyarakat di Kampung Waan, tepatnya di halaman Sekolah Dasar. Dalam pertemuan ini masyarakat menyampaikan pendapatnya tentang konflik yang terjadi di wilayah pantai selatan dari Pulau Kimaa. Berikut ini adalah pendapat dari masyarakat yang diwakilkan oleh Bpk. Paulus Levitar
• Dari tahun ke tahun, masalah hak ulayat tidak ditanggapi secara serius oleh Pemerintah dan Aparat Keamanan. Sekarang terjadi kasus kekerasan baru mulai buka mata. Oknum-oknum yang melakukan kekerasan itu atas dukungan dan dorongan dari masyarakat Kampung Waan. Kalau masalah batas hak ulayat dan hak ulayah kami tidak diperhatikan, kami mau ke mana?
• Masalah ini bukan masalah masyarakat Waan dengan masyarakat Kanorau tetapi masalah masyarakat di dusun Yawasir. Mereka ini buat sesuatu yang mau merong-rong Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita punya dusun ancur dan kami jadi menderita. Masalah ini bukan kehendak Bpk. Thomas Wanggai dan Abukasim, tetapi kehendak kami bersama.
• Kami mohon, pemerintah dan aparat keamanan supaya jangan hanya memperhatikan perutnya sendiri tetapi tolong turun ke kampong-kampung untuk melihat masyarakat.
2. Kronologi Versi Masyarakat Waan
Menurut masyarakat di Kampung Konorau, masalah pemukulan dan penghaniayaan terhadap warga masyarakat dari kampong Konorau di Dusun Kobram, Sungai Muli dan Dusun Moi adalah masalah pribadi antara Abukasim dan Bpk. Paskalis. Berikut ini adalah ulasannya,
Bpk. Abukasim, asal Seram dating ke Pantai Selatan Pulau Kimaam dan kenalan dengan anak perempuan (Aplonia Awi), anak dari Bpk. Afentinus Mbaka Awi dari Kampung Waan. Setelah kenalan Bpk. Abukasim kemudian menikaih dan kembalikan ketinting kepada majikannya di Merauke. Abukasim menikahi Aplonia dan menetap di Dusun Moi. Catatan: Bpk. Afentinus adalah orang Yawasir yang dipelihara oleh orang Waan. Oleh karena itu memiliki hubungan kekerabatan dengan masyarakat Konorau.
Terjadinya permasalahan: Orang Yawasir bawa dating kapal penampung perusahan dari wanam camp. Hal ini membuat Afentinus keberatan, “Kenapa tidak bicara dengan saya tentang kapal itu”, ungkap Afentinus. Orang Yawasir sudah minta izin marga Ndiken di Kampung Konorau. Afentinus mulai mengadu masyarakat Yawasir dan masyarakat Moi. Afentinus kumpul masyarakat Moi untuk menyerang masyarakat Yawasir. Akhirnya terjadi baku panah dan saling dendam serta mulai saling baku jaga. “Masyarakat Moi mau ke Waan dicegat oleh masyarakat Yawasir, begitu sebaliknya. Hal ini terjadi pada tahun 2003”, Ungkap Bpk…………….
Afentinus punya anak mantu sama Abukasim, sehingga keduanya bekerja sama. Untuk melihat masalah itu. Masalah ini mulai jadi besar.
Pada bulan Agustus tahun 2003, masyarakat Moi (Abukasim, Yohakin, Abraham, Blas, dkk) merencanakan untuk menyerang masyarakat Yawasir. Lalu masyarakat Yawasir tidak mengetahui rencana ini, masyarakat Yawasir dibawa pimpinan Sergius Yun (Gebze), Matias, Aliander, Ibrahim, Melkior, Valentinus, Fidelis, Sablon, Klemens, Levi, Agus, Paulus, Andreas, Niko, dkk. Karena mereka masuk pada waktu itu malam dan air turun, di tengah rawa kali Toir, orang Yawasir sudah putar dan ketika orang Moi ke Bivak Orang Yawasir, tapi tidak ada lalu pulang dan orang Yawasir sudah kepung mereka. Malam itu orang Yawasir panah orang-orang Moi tapi tidak ada yang kena. Perahu orang Moi dirusak. Akhirnya orang Moi ingin berdamai tetapi Abukasim tidak mau berdamai, ia bersih keras untuk perahu yang telah dirusakan oleh Orang Yawasir untuk segera diganti, tetapi tidak sempat diganti perahu, lalu yang jadi korban adalah Abukasim dan kawan-kawannya pergi ke dusun Moi dan tebang atau buat rusak tanaman sagu dan bunuh buaya di dusun Moi
Pada tahun 2004 Bpk. Petrus Yun mengangkat masalah ini ke Pemerintah Distrik. Waktu itu sudah ada titik terang untuk menyelesaikan permasalahan tapi Abukasim masih keras kepala supaya segera ganti perahu.
III.5. Beberapa Hal Penting
1. Kehadiran “Orang Pendatang”
Wilayah Pantai Selatan Pulau Kimaam adalah daerah yang kaya akan sumber daya alam laut. Hal ini memberikan dampak tersendiri terhadap pertambahan penduduk yang mengakibatkan hetoregenitas penduduk. Kebanyakan penduduk luar yang masuk ke wilayah pantai selatan P. Kimaam adalah warga yang berasal dari Bugis, Makasar, Maluku, dan Jawa. Wara ini sering disebut oleh masyarakat asli sebagai “Orang Pendatang”. Pada umumnya, “Orang Pendatang” ini datang dan tinggal di Wilayah Pantai Selatan P. Kimaam, khususnya Kampung Waan dan Kampung Konorau bermotivasikan ekonomi. Artinya, “Orang Pendatang” datang untuk mencari hasil laut berupa ikan, buaya, gelembung ikan dan sebagainya dan kemudian dijual ke kapal-kapal penangkap ikan dari PT. Djarma Aru. Berdasarkan motivasi ini, maka para “Orang Pendatang” ini selalu membawa juga barang jualan yang akan ditukarkan dengan hasil tangkapan masyarakat di Kampung Waan dan Kampung Konorau.
2. Konsep Tanah
Secara hak ulayat merupakan pemilik tanah adat yang terbagi berdasarkan clan (marga) dalam batas-batas wilayah kampung. Ikatan batin tanah-kuburan dengan penduduk yang hidup sangat kuat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Di tanah itu pula dikuburkan nenek moyang mereka yang memberikan semangat hidup, yang menghubungkan dunia kematian dan kehidupan. Dusun rawa, kali, bedeng-bedeng selalu memberikan kehidupan dan di tempat itulah mereka bertahan untuk hidup. Maka, tanah, rawa dan kali bagi masyarakat sesuatu yang melekat dalam kehidupan dan di situlah mereka mengekspresikan diri mereka secara bebas. Karena itu, tanah dalam pandangan penduduk asli sebagai kebun, tempat suci atau keramat, ibu dan identitas diri. Sehingga memiliki ikatan batin yang kuat dan memberikan kehidupan serta menjaga warisan moyang dimana masing-masing marga memiliki “dema” di tanah tersebut, maka ada alasan yang kuat mengapa masyarakat mau mempertahankan kedaulatan tanah dan perairan, terutama bagaimana hak-hak dasar dan martabat mereka harus dihargai sebagaimana menghormati diri sendiri sebagai ciptaan Tuhan.
IX
Berikut ini akan diuraikan tentang analisa dan kesimpulan dari investigasi yang dibuat oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAM). Ada tiga hal ini penting yang menjadi perhatian pada pokok ini, yakni konflik sumber daya alam di Pantai Selatan Pulau Kimaam, batas hak ulayat dan pengembangan sumber daya manusia.
1. Konflik Sumber Daya Alam
Konflik 21 Desember 2006 adalah akumulasi dari pelbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah pantai selatan Pulau Kimaam. Data yang terkumpul dalam investigasi SKP-KAM memperlihatkan bahwa konflik 21 Desember 2006 dan pelbagai persoalan lain yang dihadapi masyarakat pada dasarnya berbasiskan persoalan sumber daya alam. Pertanyaanya, mengapa sumber daya alam menjadi factor pemicu konflik di wilayah pantai selatan Pulau Kimaam? Karena wilayah pantai selatan Pulau Kimaam dikenal sebagai daerah yang sangat kaya akan sumber daya alam. Hal ini mengakibatkan banyak “orang pendatang” yang datang ke wilayah pantai selatan Pulau Kimaam untuk mengambil pelbagai hasil, seperti ikan, udang, dan buaya. Kehadiran “orang pendatang” jelas membuat masyarakat asli di wilayah pantai selatan Pulau Kimaam semakin terdesak. Masyarakat asli mengalami keterdesakan dalam pelbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, pendidikan, budaya. Keterdesakan masyarakat asli disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah, atau skill yang rendah, dibandingkan dengan “orang pendatang”. Masyarakat asli mudah ditipu, diperalat dan dibodohi oleh “orang pendatang”.
Ketidakmampuan masyarakat asli semakin jelas terlihat dengan kenyataan masyarakat asli tidak mampu dalam pengelolahan terhadap sumber daya alam. Pertanyaanya, mengapa masyarakat asli tidak mampu mengelolah sumber daya alam? Dari data yang terkumpul memperlihatkan bahwa ada dua hal yang membuat masyarakat asli tidak mampu mengelolah sumber daya alamnya sendiri, yakni masyarakat asli masih berada dalam system ekonomi subsistem dan proses pendidikan yang tidak berjalan di wilayah pantai selatan Pulau Kimaam selama ini.
2. Batas Hak Ulayat
Batas hak ulayat adalah suatu persoalan yang terus digumuli oleh masyarakat di wilayah pantai selatan Pulau Kimaam. Mengapa batas hak ulayat menjadi persoalan serius yang dihadapi oleh masyarakat asli? Investigator SKP-KAM menemukan bahwa persoalan batas hak ulayat disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak mengakomodir potensi local, misalnya kebijakan desanisasi dan pemekaran desa di Pulau Kimaam.
Hal di atas ini sangat jelas terlihat dari persoalan hak ulayat yang dihadapi oleh masyarakat asli dari Kampung Waan dan Kampung Konorau. Dalam investigasi SKP-KAM, menemukan bahwa hak ulayat masyarakat Kampung Waan masuk dalam wilayah administrative Kampung Konorau dan hak ulayat masyarakat Kampung Konorau menjadi wilayah administrative Kampung Waan. Persoalan ini mejadi semakin rumit dengan kehadiran kapal-kapal penangkap ikan dari PT. Djarma Aru dan “orang pendatang” yang menjaring tanpa seizing pemilik hak ulayat. Para “orang pendatang” yang melihat peluang yang baik untuk memdapatkan banyak hasil laut mengambil langkah memperistri perempuan dari kampung untuk bisa dapat akses penguhasaan terhadap hak ulayat dan pengelolahan sumber daya alam. Hal ini yang dialami oleh Abukasim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar