Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 20 ( G-20), forum bagi 20 negara ekonomi kuat, telah digelar pada tanggal 7 - 8 Juli di Hamburg, Jerman. Tema kerjasama internasional dan politik keuangan global menjadi skrotan utama, dan juga isu perdagangan bebas. Kanselir Jerman Angela Merkel, menegaskan, "Saya yakin, bahwa proteksionisme tidak bisa menjadi solusi. Itu malah akan merugikan semua. Karena itu, kita membutuhkan pasar terbuka, karena itu salah satu target saya adalah, bahwa dari ajang KTT G-20 ini muncul satu sinyal jelas untuk pasar bebas dan penolakan isolasi, juga pernyataan tegas untuk sistem perdagangan multilateral." Hal ini memberi dampak langsung pada upaya strategi ekonomi national Indonesia sebagai negara anggota kelompok 20 dalam meningkatkan daya saing ekspor di Era Desentralisasi dan Pasar Bebas.
Ada kesan bahwa paradigma perdagangan kelompok 20 ini adalah untuk menaikan daya saing ekspor negara anggota harus melakukan special trade atau special produce, sehingga kelompok 20 benar-benar fokus menggenjot komoditi potensial supaya memiliki nilai tambah (Value added) dibandingkan di negara lain, sehingga perlu didukung oleh jaringan yang terintegrasi dalam skema perdagangan terbuka, dan juga antara daerah dan Negara lain. Pengintegrasian ini akan kian dipercepat dengan pemanfaatan teknologi-teknologi baru dan penghapusan hambatan-hambatan bagi perdagangan internasional dan aliran investasi, seperti terorisme atau isu keamanan global (Korea Utara, ISIS, Laut Cina dan lain-lain), sorta kontribusi skema perdagangan untuk menjawab masalah perubahan iklim.
Paradigma baru di atas ini tentu saja didasarkan pada keyakinan bahwa perdagangan akan menciptakan kemakmuran bersama semua masyarakat, yang disebabkan oleh tiga hal, yakni pertama, perdagangan akan menciptakan allocative efficiency. Liberalisasi perdagangan akan menyebabkan Negara-negara melakukan spesialisasi dalam produksi setiap item dimana mereka secara relatif lebih efisien. Inilah yang oleh David Ricardo, salah satu peletak dasar teori ekonomi klasik, disebut sebagai teori comparative advantage. Sebaliknya, pada sisi koin dari mata uang yang sama, pembatasan perdagangan atau distorsi cenderung menurunkan allocative efficiensy. Yang kedua, perdagangan akan menghasilkan efficiency from competition. Maksudnya, dengan terlibat dalam aktivitas perdagangan global pemerintah daerah atau nasional harus mendorong perusahan-perusahan domestic untuk bertarung di pasar global, dan kemudian memaksa mereka agar lebih inovatif. Dengan cara demikian, pada akhirnya perusahan-perusahan domestic tersebut lebih efisien. Hasil akhirnya, kompetisi akan melahirkan harga yang lebih murah dan pelayanan terhadap konsumen yang lebih baik. Ketiga, perdagangan juga melahirkan apa yang disebut imported effisiency. Artinya, pemerintah daerah atau nasional mau tidak mau harus membuka pasarnya terhadap investasi asing, atau impor teknologi asing. Komponen asing ini diharapkan akan membawa metode proses produksi yang lebih efisien. Keyakinan teoretik ini bukan tanpa hasil. Sebuah laporan yang dilansir oleh United Nations Devolopment Report (UNDP) tahun 1997 mengenai Human Development Report, menyebutkan sejak 1960, ekspor global telah bertumbuh dari $ 60 miliar menjadi $ 6,5 triliun (setelah dikurangi inflasi), atau bertumbuh sebesar empat kali lipat, atau kita dapat membaca dari press realise UNDP pada 23 Maret 2017: Sejak 1990 hingga 2015, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melonjak 30,5 persen dan kemajuan telah dicapai dalam tiga dimensi utama yang ditangkap IPM: pendapatan, kesehatan, dan pendidikan. Pendapatan nasional bruto per kapita menjadi faktor kunci dengan kenaikan tajam IPM 135,4 persen dalam 25 tabun terakhir. Kesehatan dan kondisi kehidupan masyarakat juga meningkat paling signifikan. Hal ini tecermin dalam indikator IPM kedua: harapan hidup saat lahir meningkat 5,8 tahun antara 1990 dan 2015. Pendidikan juga menunjukkan perubahan sangat baik dengan rata-rata lama bersekolah naik 4,6 tahun.
Tetapi, ketika angka-angka yang membelalakkan itu dipublikasi, pada saat yang sama muncul pertanyaan untuk kita di tanna Papua; siapa yang diuntungkan dari paradigm ekonomi dan perdagangan kelompok 20? Dan Siapa yang tertinggal dan mengapa?
Paradigma baru di atas tidak akan menguntungkan masyarakat kita, khususnya orang asli Papua yang memiliki potret kehidupan seperti berikut ini, yakni masih rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan sehingga kalah bersaing, monopoli kaum migran di bidang ekonomi dan terbengkalainya potensi-potensi alam daerah, ketidakadilan dalam pelayanan yang sering memprioritaskan kaum pemilik modal (baca: migran) dan yang dekat dengan kekuasaan, tidak trasparannya kebijakan pembangunan pemerintah, dominasi segelintir orang pada jabatan-jabatan penting di pemerintahan sehingga orang asli Papua tidak bisa mengakses proses penentuan kebijakan menyangkut nasipnya sendiri, diambil alihnya tanah-tanah adat oleh negara dan dieksploitasi oleh para pengusaha, ketidakadilan dalam perlakuan hukum yang sering berpihak pada mereka yang memiliki modal dan punya akses kekuasaan, penyeragaman hukum dan sistem nilai yang mengurangi pengakuan terhadap aturan dan hukum adat daerah, dan tingginya harga bahan pokok.
Kesemuanya ini menimbulkan pertanyaan mendasar, seberapa jauh manfaat dari orientasi kebijakan special trade atau special produk untuk masyarakat, kalau pada umumnya memiliki potret kehidupan seperti di atas itu? Pertama; Dalam pelbagai kasus yang terjadi sebelumnya, khususnya dalam periode 1970-1999, disebutkan bahwa “marjinalisasi atau pemiskinan orang asli Papua terjadi bukan karena mereka malas dan bodoh, tetapi justru mereka diciptakan untuk malas dengan pelbagai bantuan, proyek dan proposal. Masyarakat kita bukan bodoh tetapi dibuat bodoh supaya tanah, laut dan hutan mereka digarap dan dieksploitasi demi kekayaan segelintir orang tertentu. Singkatnya, marjinalisasi atau pemiskinan atau pembodohan yang terjadi karena sistem kebijakan pembangunan dari penguhasa yang menindas. Sistem pembangunan yang terlalu ekonomi dan tidak humanis itulah masalahnya. Kedua; potensi konflik kekerasan dan trauma semakin terbuka lelbar di tanah Papua. Dan Ketiga; pelbagai potensi lokal yang tidak masuk dalam kategori special trade atau special produk akan terabaikan dan masyarakatnya akan mengalami pergeseran tata nilai berkehidupan. Serta keempat, terjadinya genosida kebudayaan orang asli Papua dan depopulasi orang asli Papua.@