PENGANTAR
- Salah satu masalah yang dihadapi masyarakat di West Papua bertahun-tahun, tetapi belum merupakan sasaran perhatian dan kepedulian apalagi penanganan serius secara nyata, adalah masalah ketidakadilan sosial. Falsafah bangsa Papua di West Papua tertuang dalam kebudayaan belum menjiwai secara utuh perjalanan dan perjuangan bangsa ini untuk menciptakan suatu masyarakat adil, damai, sejahtera dan bebas dari penindasan. Kebudayaan Papua masih lebih ‘digunakan’ sebagai liftik, dan bukan ideologi dan falsafah yang terwujud nyata dalam kebijakan dan pelaksanaan pembangunan bangsa. Sikap ritualisme dan fanatisme dalam komunitas yang berpenduduk majemuk justru frontal berlawanan dengan isi dari spirit kebudayaan Papua itu sendiri.
Menghadapi
realitas ini, dalam renungan bersama kita
sebagai pengikut Kristus ingin mawas diri
sambil mencari jalan untuk menemukan dan menentukan sikap dasar kita
sebagai orang kristen, untuk melibatkan diri dalam menanggapi
ketidakadilan sosial dikalangan sesama kita sebangsa dan senegara
ini. Tugas panggilan masing-masing umat berbeda-beda: awam, petugas
pastoral, biarawan-biarawati, diakon, imam. Ada perbedaan memang di
antara umat dalam hal panggilan tugas, namun harus lebih kita sadari
kesamaan kita satu sama lain sebagai orang yang telah dipermandikan
menjadi orang kristen. Dalam kesamaan martabat yang mendasar itu
dalam renungan ini marilah kita mencari suatu sikap yang berlandasan
pada suatu spiritualitas
sosial kristiani
yang menjiwai kita sebagai pengikut Kristus, sebagai Gereja, dalam
mengahadapi masyarakat yang masih mengalami aneka perlakuan yang
tidak adil dan terjajah.
Jalan
renungan yang kita tempu ialah jalan Putera Allah yang menjadi
manusia lewat inkarnasi:
Sabda menjadi daging.
Apakah sebenarnya latar belakang penjelmaan Allah menjadi manusia
dengan segala konsekuensinya.
- Kata ‘sosial’ mengingatkan kita akan ‘orang kecil’, ‘kaum kecil’, ‘kaum miskin’, yang oleh Yesus disebut ‘saudara-Ku yang paling hina’ (Mat 25:40). Mereka itu adalah golongan masyarakat yang miskin, berkekurangan, tertindas, terisap, malang, sampah masyarakat, bukan hanya sebagai perorangan, melainkan juga sebagai kelompok atau kelas-kelas rendah dalam masyarakat. Ironi sejarah masyarakat kita ialah, bahwa justru di tengah kemajuan dalam pembangunan yang sedang berlangsung, dengan hasil-hasil yang nyata bahkan kerapkali mengagumkan, jeretan kaum miskin itu justru makin nyata dan jelas namun tak didengar, bagaikan seruan lantang di padang gurun.
Situasi,
kondisi dan jenis kemiskinan dan ketertindasan mereka itu aneka ragam. Bila kita ingin
memasyarakatkan diri dan menghadapi keadaan serupa itu, kita
ditantang memberi jawaban yang sungguh injili. Kita diundang
memikirkan kembali siapakah kita ini, dan peran sosial apakah harus kita lakukan. Secara jujur kita ternyata masih harus banyak belajar
untuk memperdalam dan menghayati iman kita secara relevan dan kena
dalam menghadapi situasi kemiskinan sosial itu. Apa
makna hidup kita sebagai warga masyarakat, sebagai petugas pastoral,
imam, dalam situasi sosial ‘kaum miskin’ ini?
Telah
banyak kita lakukan. Gereja di mana-mana menyelenggarakan karya
sosial. Banyak dilakukan karya
kreatif,
baik secara perorangan, maupun lewat gerakan, lembaga atau kegiatan
bersama. Para imam kerapkali lewat khutbah atau pertemuan mengajak
umat untuk berbuat sosial. Namun
masalah keadilan sosial tidak dapat diselesaikan dengan pemikiran dan
kegiatan karitatif melulu.
Kita masih harus melihat apakah latar belakan sifat sikap dan
perbuatan sosial kita? Karena anjuran, nasehat atau dorongan lembaga,
atau semangat suatu Tarekat? Ataukah benar-benar timbul dari iman
pribadi dengan dorongan Roh? Pelayanan
kaum kecil, banyak ataupun sedikit jumlahnya, hanya otentik kristiani
apabila berasal dan berakar pada Roh Kudus sendiri.
Maka perlulah bagi kita untuk merenungkan apa yang disebut
ke-roh-anian
atau
spiritualitas
sosial.
Antara kontemplasi dan aksi, antara kerohanian dan kejasmanian tidak
ada pertentangan, sebaliknya justru harus disatukan dan tak
terpisahkan.
HUBUNGAN
MANUSIA
- Pengertian tentang kata ‘sosial’ selalu mengingatkan kita akan suatu hubungan. Ada tiga macam hubungan kita sebagai manusia. Pertama, hubungan otonom, artinya hubungan dengan diri sendiri. Tanggungjawab untuk berbuat pertama-tama bersifat perorangan. Setiap orang menentukan sendiri apa yang dilakukannya. Kedua, hubungan antar pribadi, misalnya antar keluarga atau sahabat. Dan ketiga, hubungan sosial, yang mencerminkan segi-segi kolektif atau kerbersamaan hidup. Dalam buku-buku rohani biasanya hubungan-hubungan sosial ini tidak atau kurang diperhatikan, bahkan kerapkali dianggap sebagai hal sampingan belaka. Aneka hubungan manusia hanya didekati dan deteropong melayani pelayanan umum atau dengan spiritualitas umum. Dan apabila hubungan sosial diperhatikan dan dianggap sebagai termasuk kerohanian, hal itu biasanya ditangani secara perorangan belaka. Padahal melayani orang miskin berarti memasuki hubungan sosial, yang tidak boleh dipersempit menjadi masalah perorangan saja. Tidak beleh hanya bersumber pada kerohanian perorangan, melainkan pada kerohanian atau spiritualitas sosial. Hubungan dan pengalaman sosial tidak sama dengan hubungan otonom atau antar pribadi saja. Hubungan dan pengalaman sosial menggambarkan hidup kebersamaan, kolektif, collective memory bukan melulu sebgai usaha atau keputusan pribadi atau antar pribadi. Dalam Sinode Para Uskup 1971 ditegaskan bahwa pelayanan sosial Gereja di dunia merupakan suatu bagian konstitutif atau hakiki perutusan umat beriman untuk mewartakan injil. Pengalaman sosial pribadi memang perlu, namun pelayanan orang kecil secara insidental dan perorangan tidak besar artinya, apabila tidak disertai usaha menciptakan keadilan dan perdamaian dalam segala bentuk sistem, struktur dan lembaga sosial. Tidak cukup sebagai orang kristen sekedar mengikuti kerohanian umum, melainkan harus memiliki suatu kerohanian atau spiritualitas sosial. Apabila kerohanian sosial, baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kegiatan kerasulan sosial yang sejati, walaupun menyangkut hal jasmani, harus berasal dan berakar pada kekuatan roh lewat kontemplasi, dalam lubuk batin yang mendalam dalam setiap orang. Allah yang adalah Roh telah menjadi daging, menjadi manusia yang bersifat rohani dan jasmani, supaya diselamatkannya. Manusia memang bersifat ‘human’, manusiawi, namun tidak cukup diperlakukan menurut humanisme melulu.
TEOLOGI
INKARNASI
- Untuk mengenal spiritualitas sosial dibutuhkan pengertian tentang teologi inkarnasi, yakni kenyataan bahwa dalam Putera-Nya, Yesus Kristus, Allah menjadi manusia. Kenyataan dan konsekuensi rahasia inkarnasi itu belum atau kurang dipahami umat, masing-masing dalam kehidupan dan tugas panggilannya.
Apa
yang disebut rohani atau spiritual, dilihat dalam tiga perbandingan
ini: materiil
dibandingkan dengan imateriil;
apa yang berubah dengan yang tidak berubah; yang temporil
atau sementara dengan yang non-temporil,
abadi atau menetap. Apa akibat pandangan yang mendua itu?
Keprihatinan, kepedulian terhadap hal-hal materiil yang berubah,
darurat atau sementara itu dianggap sebagai mentalitas duniawi atau
keduniaan belaka, sedangkan hal-hal yang tidak materiil, tidak
berubah dan abadi menggambarkan keadaan rohani atau spirituil. Yang
satu menggambarkan apa yang profan, duniawi, keduniaan, sedangkan
yang lain apa yang suci, surgawi. Karena itu keterlibatan diri dalam
hal-hal dunia ini tidak dianggap sebagai perutusan dan kegiatan
Gereja
yang sebenarnya atau wajar, itulah dualisme
dalam spiritualitas kristiani
yang bertentangan dengan perawatan Kerajaan Allah yang dilaksanakan
oleh Yesus Kristus sendiri.
- Inkarnasi justru menggabungkan dua realitas rohani dan jasmani, spirituil dan materiil menjadi satu. Yesus sebagai Allah yang menjadi manusia membuktikan sendiri bahwa keselamatan manusia bukan hanya bersifat rohani dan baru kelak, melainkan juga jasmani dan sekarang ini juga. Allah menjadi manusia dan menghendaki keselamatan seutuhnya, bukan baru kelak melainkan kini sudah.
Pengertian
kita tentang hidup kristiani belum dikaitkan dengan hubungannya yang
erat dengan dunia yang sudah ditebus oleh Kristus dengan memasukinya
sendiri. Iman yang dipupuk dalam pewartaan kerapkali tanpa disadari
terlalu dispiritualisasikan, diarahkan vertikal melulu dan bersifat
akusentris, yakni demi kepentingan penyelamatan pribadi. Banyak orang
memiliki kesadaran yang mendua, yakni yang satu berhubungan dengan
kenyataan-kenyataan riil duniawi, yang lain dengan
kenyataan-kenyataan rohani, dan seolah-olah keduanya itu terpisah
sama sekali.
- Sesuai dengan Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” kerohanian otentik Gereja tidak mengenal dualisme antara hal materiil dan tidak materiil. Yang hakiki ialah hubungan dengan Allah dan sesama manusia. Hidup ataskodrati atau antikodrati memang menunjuk kepada hidup Allah. Tetapi spiritualitas adalah partisipasi kita dalam hidup Allah melalui hubungan cinta kepada Allah dan sesama secara tak terpisahkan. Karena itu sungguh bertentangan dengan spiritualitas otentik kristiani yang dianut orang kristen, yang acuh tak acuh terhadap sesama, yang tidak tergerak oleh kekurangan dan kemiskinan orang lain, yang tidak mengampuni musuhnya. Sebaliknya yang disebut ‘duniawi’ ialah orang kering kasihnya, tuli hatinya terhadap suara Allah, yang berbicara lewat jeritan sesamanya. Maka spiritualitas kristiani yang tepat dalam melayani orang miskin, yaitu dengan mengadakan dan meneguhkan hubungan-hubungan sosial, ialah berusaha secara tekun menghayati kasih dengan sesama, yang harus timbul dan berakar dalam hubungan kasih bersama dalam, melalui dan dengan Allah. Hubungan-hubungan sosial serupa itulah yang disebut hubungan keadilan dan perdamaian.
- Spiritualitas kristiani pada dasarnya adalah pembentukan hubungan murni kita dengan Allah dan sesama. Pada hakikatnya hubungan itu adalah hubungan kasih, yang meliputi semua bentuk hubungan manusiawi, baik perorangan, antar pribadi maupun sosial. Spiritualitas sosial mengarahkan dan mendorong kita kepada dinamika transformasi, yang menjadikan kita murid Kristus sejati dalam konteks sosial. Bila dinamika transformasi dalam spiritualitas sosial itu sungguh berlangsung, maka keprihatinan terhadap nasib orang lain akan timbul. Kemiskinan, ketidakadilan, tindasan, kelaparan orang banyak misalnya akan makin berkembang dan dirasakan sebagai problema spiritual, sebagai masalah rohani kita sendiri. Rasa acuh tak acuh tidak akan mungkin lagi. Apa yang dialami sesama kita dalam keadaan, sistem atau struktur sosial mereka yang tidak adil, menjadi keprihatinan kita sebagai orang beriman dan sebagai komunitas iman yang sadar. Keadaan tidak adil itu menimpa rasa kasih sesama. Allah sendirilah yang berbicara dalam umat-Nya di dalam dan melalui keadaan sosial mereka.
- Kita umat beriman sebagai komunitas iman secara kolektif harus dapat ikut merasakan keadaan sesama kita sebagai pengalaman sosial bersama mereka. Selanjutnya dalam ibadat sabda dan sakramen, dimensi hidup keagamaan dan kerohanian yang dimiliki bersama sebagai murid Kristus secara kolektif harus terungkap juga. Kesadaran dan penghayatan keberadaan kita sebagai orang yang telah dibaptis akan selalu mengingatkan kita akan perlunya suatu pertobatan sosial. Kealpaan akan kesadaran itu dapat membawa kita kepada ‘dosa’ sosial. Kita, umat Allah, membutuhkan dan harus memupuk kepekaan dan pembedaan sosial (social discernment). Artinya kita harus mampu membaca dan menafsirkan keadaan sosial masyarakat dengan terang Injil. Mampukah kita menemukan dan memahami situasi yang digambarkan dalam Injil menurut Mat 25:31-46 dalam lingkungan hidup masyarakat di mana kita berada? Dalam menghadapi masalah ketidakadilan yang menimbulkan kemiskinan cukuplah kita menyerahkan saja kepada penyelenggaraan ilahi, ataukah harus mencari jalanuntuk menyerahkan saja kepada penyelenggaraan ilahi, ataukah harus mencari jalan untuk membebaskan orang-orang miskin itu. Beranikah gereja menyampaikan suara kenabiannya kepada pihak Penguasa yang memerintah? Beranikah Gereja mengingatkan rasa tanggung jawab kelompok pemegang roda ekonomi negara dan bangsa? Sejauh manakah kesadaran sosial Gereja sungguh menentukan arah tugas pewartaan dan pelaksanaannya? Keuskupan kita akan diarahkan ke mana dalam keberadaan dan pelaksanaan perutusannya?
Penafsiran
dan penilaian situasi sosial memang tidak sama, sangat tergantung
dari pemahaman dan sikap pribadi orang masing-masing, namun juga dari
masyarakat sendiri. Bagaimana pun juga, sumber kesadaran dan kegiatan
sosial kita harus kita peroleh dalam kontemplasi. Inspirasi pendorong
karya sosial tidak dapat diharapkan dan diperoleh dari ideologi
apapun, sebab sumber
kekuatan dan pendorong yang dimaklumkan Gereja adalah seorang
pribadi, yaitu Yesus Kristus, Putera Allah yang menjadi manusia,
menderita wafat dan bangkit untuk mendirikan Kerajaan-Nya.
- Pelayanan sosial harus sungguh katolik, artinya universal. Solidaritas bersumber pada kasih kepada semua orang tanpa perbedaan. Terhadap tuntutan Injil perbedaan menjadi relatif. Maka spiritualitas sosial pada hakikatnya adalah kolegial, komunal dan parsipatif, baik dalam proses pembedaan (discernment) maupun dalam pelaksanaan hasil putusannya. Hanya dalam kebersamaan dan dialog itulah komunitas iman dapat menemukan dan menyadari kekurangannya sendiri. Sambil melaksanakannya pelayanan sosial kita dapat mengenal diri kita sendiri, dan juga dan terutama mendengarkan suara hati. Ciri khas spiritualitas sosial Gereja harus tetap sama, yakni cinta yang mendalam dan sepenuhnya terhadap Gereja seperti adanya. Cinta yang dewasa dan matang terhadap Gereja dengan segala kekuranganya, juga termasuk dosa sosial, tidak pernah akan menentang Gereja. Justru sebaliknya, cinta kepada Gereja mendorong kita untuk ikut mengingatkan dan mengusahakan pembaharuan dalam struktur-strukturnya sendiri dan dalam masyarakat. Cinta dewasa kepada Gereja mampu bersikap jujur dan iklas terhadap kekurangan dan kesalahan Gereja. Cinta akan Gereja itu tidak akan berkurang, sebaliknya akan bertambah, agar Gereja yang dicintainya makin mampu menciptakan keadilan dan perdamaian.
Bersatu
dalam iman, setiap orang, kelompok atau komunitas iman hendaknya
mencari dan menemukan identitasnya, jatidirinya yang sejati, dalam
praksis sosial. Komunitas iman hendaknya mampu membaca dan
manafsirkan tanda-tanda zaman di medan pelayanan sosial.
Apa yang dialami masyarakat harus merupakan keprihatinan dan
kepedulian kita. Spiritualitas sosial sejati tentu peka terhadap
keadilan dan martabat manusia. Pengalaman
sosial harus kita lihat dalam rangka inkarnasi kasih Allah dalam
Kerajaan-Nya.
Spiritualitas sosial sejati tidak akan tinggal dalam ‘status quo’
menghadapi keadaan yang dikuasai ketidakadilan sosial. Seandainya
demikian, spiritualitas
sosial itu berubah menjadi a-sosial, yang berarti menolak dan
bertentangan dengan inkarnasi Sabda Allah.
- Doa dan kontemplasi mutlak diperlukan. Kenabian spiritualits sosial harus berakar pada doa. Seorang nabi tidak berbicara atas namanya sendiri, melainkan menyampaikan sabda Allah. Ia bukan hanya menegur atau menyampaikan kritik, melaikan sekaligus mengajak pendengar bertobat, dan menunjukan jalan Tuhan yang harus ditempuh selanjutnya.
Pada
tanggal 1 Mei 1991 Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan ensiklik
“Centesimus
annus” (CA)
untuk memperingati 100 tahun dikeluarkannya ensiklik “Rerum
Novarum”
(RN, 15 Mei 1891)
oleh Paus Leo XIII. Dalam CA itu Yohanes Paulus II mengajak kita
membaca
ulang
untuk menilik kembali ensiklik RN, agar dapat ditemukan kembali harta
kekayaan asas-asas dasar yang dibutuhkanuntuk memecahkan soal kondisi
para pekerja. Sekaligus kita diajak untuk ‘melihat kanan-kiri’
untuk mengamati ‘hal-hal baru’ di sekitar kita. Namun juga
‘memandang ke depan’, menghadapi millenium ketiga era kristiani
penuh ketidakpastian, seperti yang kini kita hadapi.
- Kita segenap umat: para imam, diakon, petugas pastoral, biarawan-biarawati dan seluruh awam harus mengenal dan memahami ajaran sosial Gereja, yang harus merupakan sikap dasar hidup dan tugas gerejawi kita. Sikap sosial adalah tuntutan iman kepercayaan kita kepada Yesus Kristus. Kita harus memiliki spiritualitas sosial. Paus Yohanes Paulus II berkata: “Ketidakpastian maupun janji-janji itu menantang akal budi dan daya cipta kita, serta membangkitkan tanggung jawab kita sebagai murid-murid Kristus, satu-satunya Guru kita (bdk. Mat 23:8), untuk menunjukan jalan, menyatakan kebenaran dan mewartakan kehidupan, yakni Kristus sendiri (Bdk. Yoh 14:6)” (CA 3). Sebagai manusia dan orang beriman kristiani, kita tak berbeda dari sesama umat. Namun panggilan hidup dan tugas kita masing-masing sebagai petugas pastoral, diakon, imam, biarawan-biarawati selalu mengajak kita untuk terus menerus memperdalam, meneguhkan dan menghayati iman kita yang utuh. Iman kita baru sungguh utuh dan otentik, apabila kita sebagai orang beriman sungguh hidup berjiwa sosial, memiliki spiritualitas sosial. Kita hidup dan berbuat sosial apabila kita adil. Identitas kita, sesuai dengan panggilan dan tugas kita masing-masing harus terungkap dalam kepedulian sosial kita. Orang yang sungguh beriman adalah orang yang sungguh peduli terhadap nasib sesama.
PENUTUP
- Lebih dari seabad telah lewat sejak Paus Leo XIII membangkitkan kesadaran sosial Gereja dalam melaksanakan panggilannya. Gereja kini masih dalam perjalanan sebagai musafir bersama dengan segenap umat manusia sebagai rekan, partner senasib. Apakah sudah ada perubahan dalam gaya pikir dan sikap dalam usaha dan karya pastoral kita, atau dalam perencanaan dan arah reksa pastoral kita? Apakah di Keuskupan, di paroki dan di semua lembaganya Gereja kita sudah tampil bukan melulu sebagai kawanan yang direksa dengan penerimaan sakramen, atau hanya sebagai instansi moral, tetapi belum sebagai umat Allah yang hidup dan tugasnya ada pewartaan dan perwujudan nilai-nilai Injil ke masyarakat dalam situasi dan kondisinya yang nyata? Pintu manakah yang telah atau akan kita buka, agar penderitaan dan perjuangan hidup rakyat, yang merupakan bagian terbesar dari penduduk daerah medan kerja kita di Keuskupan, di paroki, dapat masuk ke dalam Gereja kita? Sudahkah Kristus sungguh menjadi pusat dan sumber hidup umat-Nya, di mana solidaritas segenap warganya tanpa kekecualian dan tanpa batas merupakan sumbangan khas jemaat kristiani kepada masyarakat?
“Dalam
situasi kita dewasa ini sebagai Gereja, Gereja tidak mengenal dirinya
di antara orang miskin, Gereja mungkin mengenal kemiskinan sebagai
suatu bagian dunia yang amat penting, tetapi gereja tidak mengenal
dirinya dalam kemiskinan, dan orang miskin tidak mengenal Kristus di
dalam Gereja. Keadaan ini menggambarkan kehilangan identitas atau
pengasingan diri bagi Gereja lagi. Gereja yang tidak merupakan Gereja
orang miskin sangat terancam ciri khas kegerejaannya” (Benoit
Dumas).
Benarkah
ucapan Benoit Dumas ini? Gereja diutus meneruskan karya penyelamatan
Kristus. Maka
Kristus yang berinkarnasi harus menjadi model dan teladan dalam
melaksanakan perutusannya itu.
Karya misioner Gereja harus menempun jalan Yesus.
“Karena
misi ini meneruskan dan dalam perjalanan sejarah menyingkapkan misi
Kristus, yang diutus untuk mewartakan Kabar Gembira kepada kaum
miskin, maka Gereja, di bawah dorongan Roh Kristus, harus menempuh
jalan yang ditempuh Kristus sendiri, yakni jalan kemiskinan dan
ketaatan, jalan pelayanan dan pengorbanan diri sampai pada maut, dari
mana Ia bangkit sebagai pemenang” (AG 5).
Seperti
Kristus, begitu juga Gereja...!