Sebuah
upaya kontekstualisasikan nilai Injilih dalam konteks ingatan,
kenangan, narasi dan solidaritas kehidupan orang Dayak di Kalimantan
oleh
Fr.
Frans Sani Lake, SVD dan Wensi Fatubun
Nama
resmi gerakan ini adalah Dayak Voices
for Changes, sebuah gerakan
keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan menuju perubahan berbasis
nilai kultural dan kemanusiaan. Bentuk kegiatannya adalah
mendokumentasikan ingatan dan narasi dengan memanfaatkan media untuk
membangun ingatan kolektif (solidaritas) komunitas dalam rangka
menghadapi tantangan penghancuran identitas kultural, nilai-nilai
kemanusiaan, ekologi dan pelanggaran hak asasi manusia terutama
pengabaian terhadap sumber-sumber kehidupan masyarakat adat Dayak,
Kalimantan, Indonesia.
Proses
mengingat dan mengenang
Dayak
Voices berawal dari sebuah ide yang lahir dari refleksi atas
pengalaman hidup dalam komunitas adat Dayak di Kalimantan, sehingga
menjadi sebuah pilihan sadar yang harus diperjuangkan bersama antara
Gereja dan masyarakat Kalimantan.
Berawal
dari diskusi dan refleksi di Jakarta sejak akhir tahun 2010 dengan
saudara Wempi Fatubun, pendiri PapuanVoices (www.papuanvoices.net),
dan beberapa kawan lain. Ternyata ada kesamaan tertentu antara
persoalan Papua dan Kalimantan dalam forum Keadilan, Perdamaian dan
keutuhan Ciptaan Papua-Kalimantan. Kami masih mematangkan gagasan ini
dalam diskusi-diskusi dari ruang kerja P. Frans Lake, SVD sampai di
salah satu warung kopi di kota Palangka Raya. Kawan-kawan jaringan
JPIC SVD Kalimantan dilibatkan dalam mendiskusikan gagasan ini.
Diskusi terfokus bersama putra-putri Dayak, kawan-kawan NGO’s dan
masyarakat kampung di Kalimantan Tengah menjadi pendekatan awal kami
untuk mengkritisi dan mematangkan berbagai macam gagasan yang muncul
tentang Dayak Voices. (bdk. F. Budi Hardiman, “Melampaui
Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Problem
Modernitas”. Kanisius 2013, hal 185). Inilah langkah awal dari
sebuah proses mengingat.
Ingatan
ini adalah ingatan atas realitas atau pengalaman nyata, dan hidup
dari manusia sendiri yaitu ingatan yang menyakitkan, ingatan
yang mengerikan, ingatan yang tak terlupakan oleh manusia Dayak
sebagai subyek yang bereksistensi. Ingatan ini hendaknya harus selalu
dikenang oleh pribadi dan komunitas agar peristiwa ketertindasan
yang dialami jangan terulang lagi. Memoria sebagai
kategori dasar alasan-kritis praktis. Ingatan memiliki dua
tradisi yaitu pemikiran (ratio) dan sejarah. Ingatan adalah
seperti organ bersejarah yang ada dalam realitas sejarah, dan berbeda
dengan kenangan adalah aspek psikologis yang berhubungan dengan
perasaan dan emosi (afeksi) yang ada atau tersimpan di dalam
ingatan. Jadi ingatan berhubungan dengan ratio di mana melihat
realitas sejarah dalam kehidupan nyata manusia, sehingga mendorong
lahirnya kenangan yang didasarkan pada pengalaman sejarah yang ada di
dalam ingatan. Kenangan di komunitas Dayak harus mendorong ingantan
orang Dayak sehingga membuahkan refleksi bersama utnuk membebaskan
diri dari situasi ketertindasan setelah mengalami peristiwa ini. Ada
dua tradisi kecerdasan ingatan, yaitu refleksi filosofis dan teologis
yang mengali makna melalui metode hermeneutika sebagai hermeneutika
eksistensial-ontologis. Ingatan menyebabkan pikiran subjektif dari
orang tersebut dan dihubungkan dengan kenangan sehingga mendorong
sebuah refleksi dengan penalaran analitis, kritis dan obyektif. Jadi
dapat disimpulkan bahwa ingatan adalah bagian dari intelektul -
rational, sedangkan kenangan adalah bagian dari aspek psikologis dan
spiritual-iman yang lebih dalam dan misteri.
Hal
utama yang muncul dalam proses penemuan dan pematangan gagasan ini
adalah pengalaman komunitas Dayak akan adanya krisis identitas budaya
khusus pada generasi Dayak sekarang. Krisis ini menjadi sebuah titik
lemah di Kalimantan ketika masuknya investasi ekstraktif yang
melumpuhkan kehidupan baik di bidang ekologi dan kemanusiaan. Dan
masyarakat Dayak sendiri secara budaya tidak siap menghadapinya.
Refleksi lebih tajam kemudian menemukan, bahwa 1) dalam konteks
masyarakat Dayak, adanya masalah dibalik krisis ekologi yang paling
serius dihadapi yaitu masalah manusia yang tak bermoral dan krisis
nilai kemanusiaan. 2) dan keyakinan sebuah nilai akan kehidupan suatu
komunitas atau daerah yang sejahtera, adil dan makmur, pertama-tama
dan terutama harus diselenggarakan menurut keutamaan-keutamaan moral,
dan bukannya hukum positif atau hukum negara. Maka Pendidikan adalah
sarana proses mengingat yang tepat untuk menghasilkan warga negara
yang memiliki keutamaan-keutamaan moral. Dan tak pelak lagi bila
keutamaan moral kristiani – iman, harap, kasih - menjadi rujukan
utama sebagai roh penggerak yang diterjemahkan dalam konteks kearifan
local. (Lihat: Dr Jojo Fung SJ, “An Asian
Liberation Theology of Sacred Sustainability: A Local Theology In
Dialogue with Indigenous Shamans,” Asian Horizon Vol. 4, no.
2, (December, 2010), 401-415).
Disinilah kami ini menjadikan Dayak Voices sebagai locus untuk
mengkontekstualisasikan nilai-nilai Injili.
Ini
hanyalah sebuah gagasan yang lahir dari diskusi dan refleksi bersama,
tapi mendesak kita untuk bertindak dalam keseharian hidup.
Sehingga
Dayak Voices adalah sebuah proses mengingat masyarakat
Dayak untuk membangun sebuah memoria
passionis (lihat:
Johann Baptist Metz: Faith in History and Society: Toward a Practical
Fundamental Theology; A New Translation by J. Matthew Ashley.
November 2007)
dan
melihat hubungan dialektis
antara kekuasaan dan pengetahuan yang menciptakan situasi
ketertindasan.
Memoria
passionis merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari sejarah penindasan dari kekuasaan
yang terartikulasi ke dalam pengetahuan, dan sebaliknya pengetahuan
terartikulasi ke dalam kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan tak
hanya punya “relasi” dengan pengetahuan, melainkan kekuasaan
“terdiri atas” pengetahuan , sebagaimana halnya pengetahuan juga
“terdiri atas” kekuasaan. Jadi, tidak ada pengetahuan yang bebas
nilai, yang bebas dari kepentingan kekuasaan. Karena
itu, tugas Gereja dan komunitas adat Dayak adalah membantu
membangkitkan “pengetahuan-pengetahuan yang tertindas” (lihat:
Gordon,
C. (peny.) (1977). Power/knowledge:
Selected interviews and other writings 1972-1977 by Michel Foucault.
New York: Pantheon Books). Pertanyaan,
bagaimana masyarakat Dayak memiliki memoria
passionis sebagai
upaya untuk membangkitkan pengetahuan-pengetahuan komunitas Dayak
yang tertindas?
Pendekatan Dayak Voices adalah 'pendekatan atas pengalaman hidup
manusia Dayak dalam situasi konkretnya, terkait dengan situasi
sosial, politik dan ekonomi dengan berdasarkan pada memoria
passionis
yang dialami dalam hidupnya, terutama orang-orang yang menderita rasa
sakit dan kekerasan, karena politik, ekonomi, ideologi dan agama.
Tujuan utama dari formulasi gerakan Dayak Voices adalah sebagai upaya
pembebasan manusia dari segala penindasan, baik politik, ekonomi,
sosial, budaya dan agama berlandaskan pada visi eskatologis, sehingga
pengalaman kemanusiaan yang harus terus dingat
atau dikenang secara bersama-sama sebagai komunitas. Kami yakin
mengingat dan mengenang bersama-sama sebagai komunitas yang
tertindas adalah bentuk dari solidaritas (baca: ingatan kolektif).
Dalam buku “Faith in History and Society”, Johann Baptist Metz
menegaskan memoria sengsara , wafat dan kebangkitan
Yesus adalah pusat (centrum) memoria yang bersifat universal
untuk umat manusia. Dalam karyanya Metz menekankan pentingnya
refleksi atau studi tentang Allah. Johann Baptist Metz menulis,
"...bicara
tentang Allah sama dengan bicara tentang orang-orang yang berseru
mohon diselamatkan, khususnya bagi mereka yang menderita secara tidak
adil, bagi para korban, yang tersingkir, terbaikan dalam sejarah umat
manusia”.
Bagi Metz, bicara
tentang Allah berarti bicara tentang visi dan janji keadilan serta
pembebasan sejati bagi semua umat manusia, baik yang telah tiada,
yang ada sekarang maupun yang akan datang. Jadi menurut Metz,
memoria selalu berkaitan dengan sejarah sebagai tempat (locus)
utama di mana Tuhan berbicara dan berkomunikasi dengan manusia,
khususnya cerita-cerita yang mengerikan:
cerita tentang sejarah penindasan, cerita tentang sejarah kekerasan,
dan sejarah kemiskinan. Dalam arti Allah sebagai subyek cerita
eskatologis masalah manusia yang telah, sedang dan akan terjadi dalam
sejarah manusia. Sikap
atau kebajikan yang berasal dari teologi Metz adalah penebusan atau
pembebasan dan emansipasi terhadap orang lain. Penebusan adalah aspek
spiritual, pembebasan dan emansipasi adalah aspek tindakan nyata
manusia dalam proses politik. Tindakan pembebasan dan emansipasi
adalah tindakan universal yang harus diwujudkan melalui bidang
sosial, politik, dan ekonomi. Peran Gereja di dunia ini, terutama
kepada orang-orang yang terlibat dalam dunia politik dan ekonomi.
Gereja (secara institusi) dan orang Kristen secara pribadi maupun
bersama harus mengambil inisiatif untuk membantu orang-orang yang
sedang dililit masalah. Gereja dan
orang Kristen harus melakukan tindakan efektif dalam mengupayakan
pembebasan bagi sesama yang hidup dalam penderitaan politik,
ekonomi, sosial - budaya. Karena tindakan tersebut merupakan
implementasi dari iman. Visi Metz tentang Gereja yaitu bahwa
Gereja secara hakiki adalah Gereja yang tidak hanya mencakup
wilayah (teritorial) dan kebangsaan (etnis) tetapi Gereja universal
yaitu sebagai umat Allah yang baru, di mana dapat terjalin
solidaritas dan rasa kebersamaan untuk saling membantu meringankan
beban penderitaan sesama. Kemudian Metz menegaskan bahwa dogma
sebagai suatu ingatan (ricordo) berisiko tidak bermakna, jika
dogma tidak direinterpretasi atau re-hermenutika. Iman
adalah prinsip kenangan yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang
terus-menerus muncul dalam pikiran manusia tentang janji Tuhan akan
zaman akhir (parusia) yang "sudah" dan "belum"
terjadi di dalam terang iman, harapan dan kasih. Ketika
dogma tidak memiliki kemampuan untuk mereinterpretasi atau membangun
hermenutika yang baru atas makna iman dalam hidup manusia, yang
harus merespon realitas pengalaman konkret manusia, maka dogma
menjadi suatu ajaran hampa yang tak berarti dan menjadi ideologi
belaka.
Narasi:
Sebuah upaya bersama untuk kebudayaan dan kemanusiaan
Dari
proses menemukan dan mematangkan gagasan Dayak Voices sebagai proses
mengingat dan mengenang, kami akhirnya sepakat bahwa Dayak Voices
adalah upaya bersama untuk kebudayaan, kemanusiaan dan keutuhan
ciptaan, di mana, putra-putri Dayak bercerita tentang dirinya dan
komunitasnya kepada dunia, dan mencoba mengubah dunia dari perspektif
Dayak. Dayak, baik itu persoalan maupun solusinya, harus “dilihat”
dari “mata” orang Dayak.
Narasi
adalah model pendekatan yang kami pilih untuk mengungkapkan identitas
kebudayaan, nilai-nilai kemanusiaan, pengalaman dan pengetahuan dari
komunitas Dayak yang selama ini dibungkam, bahkan diabaikan, sebagai
dampak dari dominasi dan kekuasaan pengetahuan dari kaum berkuasa
(penindas) dan intruksi kebudayaan lain yang dianggap lebih unggul.
Berbicara
tentang narasi yang merupakan narasi dari pengalaman kemanusiaan
komunitas Dayak. Narasi Dayak ini menghadirkan ingatan dan kenangan
yang hidup dan dihidupi oleh komunitas Dayak sehingga harapan kepada
orang lain. Narasi tentang pengalaman kemanusiaan yang terjadi dalam
sejarah (di tempat tertentu) di antara narator (pencerita) dan
pendengar. Melalui narasi pencerita atau narator mengkomunikasikan
pengalaman kemanusiaannya dengan pendengar, sehingga membawa suatu
transformasi bagi kehidupan si pendengar. Misalnya, ketika
membandingkan kisah tentang Yesus historis dan kisah tentang Yesus
setelah bangkit yaitu Kristus bukanlah sutau kisah yang sama,
melainkan kisah yang berbeda. Maka kisah atau cerita (narasi) antara
"Yesus sejarah" dan "Kristus kerygmatis" tetap
merupakan suatu dilema. Maka kedua kisah ini meninggalkan banyak
pertanyaan yang tak dapat dijawab secara tuntas, namun memberikan
makna iman yang mendalam kepada para pendengar (audience).
Dayak
Voices dalam gerak langkahnya mengutamakan nilai kemanusiaan. Karena
kemanusiaan itu sendiri adalah sebuah proses menjadi, ibarat sebuah
perjalanan yang tak punya sampai, sebagaimana sudah dirujukkan oleh
Yesus Kristus sendiri dalam perintah akan hukum cinta kasih.
Kemanusiaan tidak lahir dari ketiadaan.
Dalam ketika, setiap kita mau masuk ke dalam kemanusiaan. Kemanusiaan
itu bukan lahir seiring dengan kelahiran seorang anak manusia.
Kemanusiaan itu adalah sebuah proses menjadi. Lahir dari perjumpahan
proses kehidupan.
Selain
kemanusiaan, nilai kebudayaan juga menjadi landasan beraktivitas
dalam Dayak Voices. Kebudayaan yang diangkat adalah nilai kearifan
local yang sudah ada dan hidup dalam masyarakat asal/asli/adat Dayak
khususnya. Yang hemat kami adalah benih-benih injil yang memanggil
setiap orang untuk menemukannya kembali dan menghidupkan serta
memberdayakannya sebagai roh dalam perjuangn pemulihan hak hidup dan
menjaga keutuhan ciptaan. Nilai-nilai itu ditemukan bersama grass-rot
dalam refleksi bersama dan kelompok diskusi terfokus di kampung,
lokakarya penguatan hukum adat dan pendidikan hukum rakyat.
Konsep
“upaya
Dayak untuk Kemanusiaan dan kebudayaan”
ini sebagai ruang
bagi orang Dayak untuk merancang sendiri proses pembelajaran mereka,
proses advokasi mereka, untuk menjadi pemimpin komunitas lokal dimana
mereka hidup atau berasal dan sekaligus menjadi wirausaha yang
berwawasan lingkungan (green
entrepreneur)
serta berbagai ide lain. Keterpaduan antara tangan, hati, otak, dan
rumah adalah inti dari proses pendidikan, advokasi dan aktivitas
mereka yang terdefinisi dalam nilai-nilai kebudayaan Dayak.
Pertama-tama,
upaya ini dirintis
sebagai bagian dari upaya orang Dayak untuk membebaskan
diri dari keterjajahan (dekolonisasi) ilmu pengetahuan yang
“jakartasentris”, dengan mengharapkan suatu kehidupan masa depan
berlandaskan budaya dan ekologi berkelanjutan, sekaligus memperkuat
kemampuan daya-pulih (resilience)
orang Dayak. Hal yang paling penting adalah bahwa keseluruhan proses
dalam program ini adalah sebuah proses pembelajaran mereka sepenuhnya
yang merupakan proses penemuan sendiri (self-discovery),
proses 'tidak belajar' (unlearning),
proses belajar bersama (co-learning),
dan berdasarkan dorongan dari dalam diri sendiri(intrinsic
motivation)
(lihat: Freire,
Paulo (1981). Education
for critical consciousness.
New York: Continuum. Fuentes, Marta & Andre).
Menyentuh semesta pedalaman batin setiap anggota komunitas adalah
hakiki untuk menemukan pilihan-pilihan yang lebih memiliki kekuatan
dan dampak besar dalam jangka-panjang ke masa depan orang Dayak.
Kemanusiaan
dan kebudayaan Dayak dalam pergerakan Dayak Voices adalah upaya kami
untuk mengkontekstualisasikan nilai-nilai injilih.
Solidaritas:
Ingatan kolektif, proses penemuan diri dan tindakan
Disini
kami juga ingin membangun kemanusiaan dari sisi produksi wacana dan
persepsi. Ini sebagai ide dan upaya untuk penemuan diri, sehingga
kesatuan pengetahuan dan pengalaman itu penting.
Bagaimana
pun wacana selalu bisa merupakan awal yang baik untuk suatu tindakan
yang efektif. Hal yang mungkin perlu kami pertimbangkan dalam
pengembangan program Dayak Voices ialah upaya agar kita tidak
berhenti pada semacam "pencitraan" saja. Artinya, usaha
kita mesti lebih mengakar, dari wacana menuju tindakan efektif untuk
memulihkan martabat dan kebudayaan orang Dayak yang selama ini
terpinggirkan, bahkan dibungkam. Dari segi ilmiah, perlu juga dijaga
aspek epistemologi pengetahuan orang-orang yang berwacana tentang
Dayak. Pengetahuan yang bersumber dari pengalaman langsung selalu
berbeda secara substantif dan empatik dibandingkan dengan pengetahuan
yang bersumber dari tulisan orang lain atau dari apa "kata
orang".
Hal
lain yang kami pikirkan selama ini, ialah bagaimana agar orang Dayak
tidak mengalami nasib buruk seperti warga lain di Indonesia. Waktu
zaman kemerdekaan, tokoh-tokoh kemerdekaan melakukan lobby ke
mana-mana sehingga mendapat simpati segala bangsa sehingga merdeka.
Tetapi setelah merdeka, ternyata warga Indonesia sendiri saling
menindas dan menghancurkan sesamanya sampai sekarang ini. Ini
menunjukkan bahwa suatu kemerdekaan ataupun konsistensi perjuangan
martabat, orang Dayak mesti membangun diri dari dalam. Pemberdayaan
orang Dayak sendiri mesti digenjot habis-habisan. Sehingga suara
orang luar tentang Dayak itu penting, tetapi jauh lebih penting lagi
bagaimana orang Dayak memiliki self
image
yang positif dan memberdayakan diri untuk mengembangkan martabatnya.
Media
film sebagai ruang untuk ingatan, kenangan, narasi dan solidaritas
Skema
Proses aktivitas DAYAK VOICES
Proses
menjahit
+
Ingatan/
Kenangan -----------------------------Narasi
------------------------------------Solidaritas
Media
film sebagai ruang dalam produksi dan distribusi ingatan,
kenangan, narasi dan solidaritas!
Mengapa film menjadi mediumnya? Saat ini, media audio visual adalah
alat yang sangat efektif untuk bernarasi tentang kemanusiaan dan
kebudayaan Dayak, dan efektif juga dalam membangkitkan
pengetahuan-pengetahuan komunitas Dayak sebagai kaum tertindas (bdk:
Heriyanto,
Ariel (2003). ‘Public intellectuals, media and democratization:
cultural politics of the middle classes in Indonesia,’ dalam Ariel
Heriyanto & Sumit K. Mandal (peny.). Challenging
Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing Indonesia and Malaysia.
New York: RoutledgeCurzon, hal. 24-59).
Produksi
berita dan pesan melalui media lokal dan nasional tentang Dayak di
Indonesia pada umumnya memang ada, tetapi seringkali itu mengabaikan
nilai-nilai hidup dan berharga yang ada dan hidup dalam masyarakat
akar rumput yang sebenarnya ramah pada lingkungan dan berwajah damai
kepada manusia (lih: Antony Easthope & Kate McGowan (eds). A
Critical and Cultural Theory Reader. Buckingham: Open University
Press, hal. 21-30). Media kurang memberikan ruang pemberitaan kepada
perspektif Dayak, bahkan produksi pesannya sangat diskriminatif dan
mengandung rasialisme terhadap orang Dayak. Kami yakin bahwa
terikatnya teks pada ideologi
tertentu bukan pada apa yang dikatakannya, tapi justru pada apa yang
tidak dikatakannya. Suatu teks mengandung kebungkaman-kebungkaman
(silences) tertentu, gaps tertentu dan absences tertentu, sehingga
Dayak Voices menjadi sebuah media alternative dengan menggunakan film
sebagai pilihan yang mudah dan terjangkau oleh publik untuk
penyebaran nilai-nilai kemanusian dan kebudayaan, serta membuat
kebungkaman-kebungkaman itu ’berbicara (lihat: Eagleton, Terry
(2002). Marxism and Literary Criticism. London: Routledge).
Meski
untuk kepentingan tersebut, anak-anak muda dalam pergerakan Dayak
Voices harus dipersiapkan. Mereka diberi bekal, khususnya bagaimana
membangun metode refleksi, life in di komunitas Dayak, belajar
story-telling, strategi distribusi dan teknik mengorganisir pesan/
kampanye, istribution Strategy
yg benar, belajar bikin film dokumenter,
teknik art-film, reporting in a Conflict
Area, video distribution mechanism, ccreening and publication of
Dayak Voices. Ini hanya modul yang kami harapkan menjadi pra kondisi
untuk anak-anak muda Dayak mampu memperjuangkan kemanusiaan dan
kebudayaan Dayak.
Akhirnya,
kami menyadari bahwa Dayak Voices adalah bagian yang tak terpisahkan
dari misi kita bersama “Go For Borneo
Program” dari SVD Provinsi Jawa dikumandangkan sejak 2009 di
Tenggarong, Kalimantan Timur. Sesungguhnya itu adalah awal dari
sebuah gerakan ‘datang ada bersama’ masyarakat Dayak, menemukan
bersama cerita/kisahnya dan nilai hidup di balik kisahnya (God-Talk)
dan bersamanya bergerak bercerita kepada dunia (God-Walk) bagaimana
mengubah dunia dari perspektif Dayak secara adil dan damai dengan
tanpa merusak keutuhan ciptaan yang ada.
Referensi:
Eagleton,
Terry (2002). Marxism and Literary Criticism. London: Routledge
Gordon,
C. (peny.) (1977). Power/knowledge:
Selected interviews and other writings 1972-1977 by Michel Foucault.
New York: Pantheon Books
Dr
Jojo Fung SJ, “An Asian Liberation
Theology of Sacred Sustainability: A Local Theology In Dialogue with
Indigenous Shamans,” Asian Horizon
Vol. 4, no. 2, (December, 2010)
Heriyanto,
Ariel (2003). ‘Public intellectuals, media and democratization:
cultural politics of the middle classes in Indonesia,’ dalam Ariel
Heriyanto & Sumit K. Mandal (peny.). Challenging
Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing Indonesia and Malaysia.
New York: RoutledgeCurzon.
Freire,
Paulo (1981). Education
for critical consciousness.
New York: Continuum. Fuentes, Marta & Andre
Antony
Easthope & Kate McGowan (eds). A Critical and Cultural Theory
Reader. Buckingham: Open University Press.