Sabtu, 07 Januari 2012

HILANGNYA RASA AMAN (Situasi Militer dan EkoSoB Perbatasan RI-PNG di Kab. Merauke)


KATA PENGANTAR
            Laporan yang sedang anda pegang ini adalah laporan hasil monitoring potret militer dan situasi ekonomi, sosial, budaya (EKOSOB) di wilayah perbatasan Kabupaten Merauke (Negara Republik Indonesia) dan Papua New Guinea. Laporan monitoring ini dibuat oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian-Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAM) selama 3 (tiga) tahun (mulai dari 2004 sampai 2006). Fokus dari monitoring ini adalah persoalan keamanan dan kaitanya dengan kehadiran militer dan kondisi ekonomi, sosial, budaya masyarakat.
            Laporan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa ada begitu banyak orang, khususnya penduduk asli papua di perbatasan Kabupaten Merauke (RI) dan PNG yang mengalami pelbagai penderitaan fisik dan mental maupun pembiaran yang mengakibatkan ketidakberdayaan penduduk asli papua. Hal ini adalah cerminan dari tindakan, kebijakan dan kelalaian negara terhadap warga negaranya.
            Hasil monitoring kami memperlihatkan betapa sekarang ini penduduk asli papua telah kehilangan rasa aman untuk hidup di tanah leluhurnya. Negara, terkesan seakan-akan telah kehilangan tanggung jawabnya untuk memberikan rasa aman bagi setiap orang, khususnya untuk penduduk asli Papua. Setiap penduduk asli papua tidak bebas lagi, hal ini sangat jelas terlihat dari perlakuan aparat keamanan terhadap penduduk asli papua. Pelbagai teror, intimidasi dan kekerasan fisik selalu dialami oleh penduduk. Perempuan dan anak-anak yang seharusnya dilindungi, justru diperlakukan tidak adil. Martabat kaum perempuan selalu dilecekan dengan pelbagai tindakan pelecehan seksual.
            Pelbagai kebijakan pembanguan di wilayah perbatasan coba diterapkan dengan memasukan

Minggu, 01 Januari 2012

PESAN PAUS BENEDIKTUS XVI DALAM RANGKA PERAYAAN HARI PERDAMAIAN SEDUNIAI JANUARI 2012

MENDIDIK KAWULA MUDA DENGAN KEADILAN DAN DAMAI.


1. Permulaan sebuah tahun baru, yang adalah pemberian Tuhan pada kemanusiaan, mendorongku untuk menyebarkan pada semua, hasrat hatiku yang baik dengan penuh keyakinan dan perasaan. Masa yang ada di hadapan kita sekarang ini mungkin ditandai dengan keadilan dan damai secara kongkrit.Dengan sikap yang bagaimanakah kita menyongsong tahun baru itu? Kita menemukan sebuah gambaran yang indah dalam kitab Mazmur 130. Pemazmur mengatakan bahwa orang yang beriman menunggu Tuhan “lebih dari penjaga menantikan fajar” (ayat 6). Mereka menunggunya dengan harapan yang teguh karena mereka tahu bahwa dia akan membawa cahaya, belas kasih, dan keselamatan
.

Senin, 19 Desember 2011

Papuan Voices on Human Rights Day

         “Tuhan, apakah aku salah karena kulitku hitam? Apakah aku salah karena rambutku keriting? Aku tak mau jadi bagian dari mereka, juga kalau aku harus mati. Tiap hari saudaraku mati, dibunuh. Aku hanya ingin kedamaian dan kebebasan....”

Ungkapan perih itu keluar dari bibir seorang perempuan Papua, yang memerankan tokoh ibu dalam fragmen “Papuan Voices”, racikan Kelompok Papuan Voices for Change.   Suara perempuan yang membalut tubuhnya dengan aksesoris tradisional Papua itu terdengar pedih, merintih, memberontak, tapi dengan sinisme yang amat pekat: “Aku tak mau jadi bagian dari mereka, juga kalau aku harus mati”. Wajah sang ibu (diperankan oleh Reny Keiya) ditengadahkan ke langit seakan ia sedang mencari Tuhan. Sementara di sampingnya tergeletak sosok mayat sang suami, yang telah terbunuh. Dalam putus asa menyayat, suara sang ibu memiriskan hati.

Minggu, 18 Desember 2011

Hutan Dirusak Demi Ekonomi, Siapa Korbannya?

(Sebuah Refleksi Analitis) 

Oleh Wensi Fatubun


REALITAS krisis ekologi menyerang kita dari banyak aspek. Skala dan kompleksitas permasalahan-permasalahan dan kerumitan pemecahan-pemecahan jangka panjang yang diketengahkan oleh media massa kepada kita telah menjadi semakin sulit diabaikan. 
Kini negara-negara yang memiliki hutan luas seperti Brazil, Papua Nugini dan Costa Rica mengusulkan konsep yang berfokus pada fungsi hutan sebagai penyerap dan pelepas karbon. Skema baru ini bernama REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation). Skema ini mulai dibicarakan pada COP (Conference of the Parties) 12 di Nairobi-Kenya, yang kemudian dimatangkan pada KTT Perubahan Iklim di Bali lalu. REDD menawarkan skema retaining atau menahan karbon keluar. 

Sabtu, 17 Desember 2011

The anti-plebiscite campaigns in West Papua

by Pieter Drooglever
 
For reasons of opportunity and principle, the decolonisation-policies of the Netherlands since 1945 went under the aegis of self-determination. At the transfer of sovereignty in 1949 to the newly created Federal Republic of Indonesia, the Dutch refused to hand over the residency of New Guinea as well.  According to them, the Papuan population as a whole was not developed up to the point where it could determine for itself as yet, and there were plenty of indications that the leading layers of Papua society did agree with the argument. So the operation of self-determination had to be postponed for an as yet undeterminated period.

West Papua and the changing nature of self-determination

by Akihisa Matsuno, OSIPP, Osaka University

Self-determination beyond decolonisation

Self-determination has legal and political dimensions. The right to self-determination is cited in the UN Charter and the two Covenants of Human Rights, but basically the international community failed to consistently apply this right beyond the cases of decolonisation. The newly born states have been mostly hostile to the notion of self-determination of a population under their sovereignty, the world powers feared further instability if colonial boundaries were not respected, and there was a technical difficulty in defining ‘a people’.

Senin, 03 Oktober 2011

Advokasi dan Penyadaran

DATA YANG TERKUMPUL MAU DIAPAKAN?
Laporan riset lapangan, untuk bekal penelitian lebih lanjut, advokasi dan penyadaran

Oleh George Junus Aditjondro


            SETUMPUK data[1]  di belasan buku notes, pita kaset, foto dan film, serta dokumen-dokumen, serta sampel (cuplikan) air, tetumbuhan dan batu-batuan yang diduga tercemar bahan organik dan anorganik yang berbahaya[2], mau diapakan sepulang dari lapangan? Tentu saja data itu harus disistematisasi, diolah, dikaji, dan ditulis menjadi laporan penelitian lapangan yang terinci, dengan berbagai lampiran yang penad (relevan).