(Sebuah Refleksi Analitis)
Oleh Wensi Fatubun
REALITAS krisis ekologi menyerang kita dari banyak aspek. Skala dan kompleksitas permasalahan-permasalahan dan kerumitan pemecahan-pemecahan jangka panjang yang diketengahkan oleh media massa kepada kita telah menjadi semakin sulit diabaikan.
Kini negara-negara yang memiliki hutan luas seperti Brazil, Papua Nugini dan Costa Rica mengusulkan konsep yang berfokus pada fungsi hutan sebagai penyerap dan pelepas karbon. Skema baru ini bernama REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation). Skema ini mulai dibicarakan pada COP (Conference of the Parties) 12 di Nairobi-Kenya, yang kemudian dimatangkan pada KTT Perubahan Iklim di Bali lalu. REDD menawarkan skema retaining atau menahan karbon keluar.
Negara berkembang akan menawarkan ‘’jasanya’’ untuk mengurangi penggundulan hutannya, ataupun menjual kemampuan serap karbon yang dimiliki hutannya kepada negara maju, seperti Amerika dan Jepang. Harapannya, emisi dari deforestasi hutan hujan tropis menyumbang 20 persen total emisi karbon di atmosfer berkurang. Dengan kata lain, REDD diharapkan menjembatani CDM (Clean Development Mechanism) dan penanganan deforestasi. Apa bahayanya? REDD mempersempit fungsi hutan dari hutan sebagai kawasan tangkapan air, ataupun keragaman hayati, apalagi sebagai wilayah kelolah warga, identitas masyarakat adat, tempat tinggal para leluhur atau sumber kehidupan masyarakat adat kepada fungsi hutan sebagai penyerap karbon. Kebijakan REDD menawarkan negara-negara yang memiliki hutan untuk menjaga, bahkan lebih jauh mengunci kawasan hutannya (land locking) dengan imbalan ‘’dana santunan’’.
Tawaran ini berisiko membatasi akses masyarakat adat terhadap hutan, karena hutan berubah kepemilikannya dari milik masyarakat adat kepada hutan yang dimiliki secara global. Atau, konflik hak ulayat atau kepemilikan hutan di antara masyarakat adat akan terabaikan penyelesaian konfliknya. Walaupun ada bahaya yang ditimbulkan oleh REDD, Indonesia tetap mengusung skema ini. Hal ini ditegaskan oleh Emil Salim sebagai ketua tim Indonesia untuk KTT Perubahan Iklim di Bali lalu, bahwa Indonesia mengusung REDD. Tetapi hal ini tidak diikuti dengan sikap yang konsisten dari pemerintah, yakni di kala menyampaikan komitmennya terhadap hutan Indonesia lewat skema REDD ini, di saat yang sama pemerintah mempermudah pengusaha tambang untuk membuka hutan lindung menjadi kawasan pertambangan, misalnya pada akhir November 2007 lalu, Menteri Kehutanan menyampaikan kemungkinan mengganti kompensasi izin pinjam pakai hutan, dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga mempermudah alih fungsi kawasan hutan lindung menjadi kawasan pertambangan. Hanya dengan alasan banyaknya investasi tambang yang akan masuk, pemerintah sepakat mengabaikan fungsi hutan lindung, dan membuka kawasan hutan lebar-lebar untuk tambang. Hal ini tercermin dalam rencana pemerintah mengganti kompensasi izin pinjam pakai hutan, dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Realitas ini telah menimbulkan reaksi publik dengan memperkarakan UU No 19 tahun 2004 yang mengamandemen pasal 38 UU No 41/1999 ke Mahkamah Konstitusi. Publik meminta UU tersebut dibatalkan. Karena UU tersebut memungkinkan sejuta hektar hutan lindung diubah menjadi kawasan pertambangan. Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) tidak membatalkan UU tersebut, tapi reaksi publik ini memberikan syarat bahwa tak boleh lagi ada tambang di hutan lindung. Sayangnya, Menteri Kehutanan menjanjikan kemudahan dalam mengalih fungsi hutan lindung menjadi kawasan pertambangan. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi 7 Juli 2005 itu, juga memandatkan dibuatnya peraturan lebih ketat, untuk memastikan pertambangan terbuka tidak menimbulkan dampak besar bagi lingkungan dan rakyat. Sekali lagi, sayangnya, setelah ditekan dan dilobi pelaku tambang dan sejawatnya di kabinet, sang menteri melunak. Kebijakan tukar guling kawasan hutan lindung yang akan ditambang dengan lahan pengganti dua kali lipat, akan diganti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Yang lebih parah, Presiden kita pura-pura lupa hutan Indonesia dalam kondisi kritis, dengan angka deforestasi tertinggi di dunia, 2 juta ha pertahun. Menteri hingga para bupatinya, dibiarkan mengeluarkan ratusan perizinan baru tentang tambang batubara dan mineral. Banyak dari perizinan tersebut tumpang tumpang-tindih dengan hutan lindung. Di saat yang sama, Indonesia berkomitmen mendukung berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim, lewat pengurangan emisi dari perusakan dan degradasi hutan. Ironisnya, komitmen tersebut tak bergigi jika berhadapan dengan perusahaan tambang. Padahal, hanya dari 13 perusahaan tambang yang lolos lewat UU No 19 tahun 2004 saja, berpotensi melepas karbon sebesar 185 – 251 juta ton. Bayangkan berapa tambahan emisi karbon ke atmosfir, jika persyaratan mengubah hutan lindung diperlunak. Hingga tahun 2001, ada 158 izin pertambangan skala besar yang berpotensi membuka 11,4 juta ha hutan lindung dari 32 juta ha hutan lindung tersisa. Tak hanya kontribusinya terhadap degradasi lahan hutan produksi.
Kenyataan ini berdampak pada peralihan fungsi dari hutan lindung dan konservasi sebagai penyangga kehidupan diubah fungsinya menjadi kawasan pertambangan. Sikap dan komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi karbon ke atmosfer semestinya dijalankan konsisten, misalnya dengan menghentikan alih fungsi lahan hutan tanpa pandang bulu. Sektor pertambangan adalah sektor yang juga berkontribusi besar terhadap hilangnya hutan dan lepasnya emisi karbon. Tanpa menunjukkan sikap yang tegas terhadap penghentian pertambangan di hutan lindung, Indonesia akan semakin kehilangan muka di mata dunia. Indonesia akan dipandang sebagai negeri mata duitan yang hanya mementingkan aliran dana tanpa kejelasan komitmen melestarikan lingkungan hidup. Padahal pertambangan berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim. Baik tambang migas dan non migas adalah industri yang membongkar simpanan karbon dalam perut bumi, mengolahnya hingga bisa dikonsumsi sebagai bahan bakar dan melepas emisi karbonnya ke atmosfir. Industri tambang adalah media sekaligus pengguna bahan bakar energi fosil. Sekitar 10 persen energi dunia dipakai oleh industri pertambangan dan mengakibatkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). GRK dari industri tambang dimulai dari kegiatan alih fungsi dan degradasi lahan, akibat penggalian bahan tambang dan pembangunan fasilitas pabrik, penggunaan bahan bakar dalam proses penambangan, pembakaran energi saat proses penambangan, seperti gas flare. Sementara dari kegiatan hilir, emisi GRK dimulai dari distribusi hasil tambang dan konsumsinya sebagai energi, baik minyak, gas dan batubara. Penggunaan bahan bakar untuk transportasi dan industri penyumbang emisi GRK tertinggi. Walaupun masalahnya telah terlihat di hadapan kita, proyek-proyek pengerukan bahan tambang dan bahan bakar fosil ini tetap saja disponsori oleh badan-badan keuangan dunia melalui skema utang. Utang ini melibatkan badan-badan pembangunan internasional, macam Bank Dunia dan ADB, yang diberikan untuk membiayai proyek-proyek skala besar energi dan tambang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi negara berkembang, termasuk Indonesia. Laporan International Financial Corporation (IFC) 2007, menyebutkan Bank Dunia memberi utang sektor swasta lebih dari 645 juta dolar kepada perusahaan minyak dan gas bumi, meningkat 60 persen dibanding tahun sebelumnya. Komitmen Bank Dunia membiayai perusahaan swasta sektor energi juga meningkat dari 2,8 menjadi 4,4 miliar. Porsi terbesar diberikan untuk migas dan pembangkit listrik, sementara energi terbaru menempati porsi terkecil. Inilah ironisnya. Bank Dunia terus membiayai pengerukan hidro karbon, melalui perusahaan tambang batubara dan migas. Tetapi di lain pihak mengakui bahaya pertambangan terhadap perubahan iklim, dimana sebagain besar dipicu oleh emisi GRK akibat penggunaan bahan bakar energi fosil. Aneh sekali!Hal ini mencerminkan bahwa dunia sebenarnya tak pernah serius mengurus risiko perubahan iklim. Negara kaya bahan tambang, Indonesia misalnya, terus meningkatkan produksi batubaranya, khususnya melalui perusahaan–perusahaan tambang asing yang mendapatkan kemudahan perizinan, atau bahkan dengan pilihan sadar memberikan izin kepada perusahan asing untuk membuka tambangnya di kawasan hutan. Indonesia meningkatkan devisanya, sejak empat dekade lalu melakukan pengerukan besar-besaran bahan tambangnya, seperti emas, nikel, juga migas dan batubara. Pengerukan ini sebagian besar melayani kebutuhan negara-negara maju. Tambang batubara di Kalimantan selatan misalnya, sejumlah 70 persen dari produksi batubara yang mencapai 100 juta ton pertahun, diekspor melayani 14 negara. Sementara 29 persennya digunakan untuk kebutuhan domestik Jawa dan Sumatera. Hanya 1 persen yang digunakan untuk dua pembangkit listrik di Kalimantan Selatan. Kawasan-kawasan keruk di Indonesia, serupa Kalimantan Selatan, mengalami masalah serius perusakan lingkungan, konflik sosial bahkan peningkatan angka kemiskinan. Warga kehilangan lahan, hingga mengalami gangguan kesehatan akibat lingkungan yang tercemar. Dan kini, mereka harus berhadapan dengan musim yang tidak menentu, baik untuk menanam padi di sawah atau pun menangkap ikan di laut. Warga-warga korban sekitar pertambangan inilah, yang akan menjadi salah satu korban paling rentan dampak perubahan iklim. Seperti warga korban pembangunan lainnya. Di samping itu, akibat eksploitasi dan ekspor besar-besaran minyak, gas dan batubara sejak 4 dekade ini telah memicu krisis energi. Kontrak-kontrak jangka panjang ekspor migas dan batubara yang dibuat Indonesia dengan negara lain membuat pemerintah negeri ini tak berkutik, saat kebutuhan energi domestik naik dan harga minyak dunia meroket angka APBN mengalami defisit. Pemerintah akhirnya memilih memangkas subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), dengan menaikkan harga minyak hingga dua kali pada dua tahun lalu. Apa akibatnya? Saat ini terjadi indikasi kuat pemiskinan masif yang dialami oleh rakyat di berbagai pelosok Indonesia. Di antaranya, tutupnya 140 dari 220 usaha kecil menengah (UKM) di Majalaya, Jawa Barat, juga pabrik-pabrik keramik di Gresik yang merumahkan karyawannya, hingga 77 perusahaan tekstil dan produk tekstil berhenti operasi di Jawa dan Bali mengakibatkan 20.000 orang kehilangan pekerjaan. Apa yang Berubah dan Siapa yang Menjadi Korban? //Sub Tak disangkal lagi, tanda-tanda perubahan iklim telah dirasakan di pelbagai tempat. Korban yang paling rentan pastilah kelompok-kelompok miskin, minoritas dan terpinggirkan. Mereka sulit mengakses sumber kekayaan alam, maupun fasilitas publik. Sedih sekali kelompok ini seolah jauh dari hiruk-pikuk pembicaraan perubahan iklim. Dan tak ada pengakuan global bahwa perubahan iklim adalah potret gagalnya model pembangunan global yang menekankan pada percepatan pertumbuhan ekonomi semata dan kurang humanis. Itulah mengapa dalam urusan penanganan iklim, tak pernah memasukkan isu restrukturisasi utang. Bagaimana Indonesia bisa mengurus dampak perubahan iklim, jika 20 –30 persen dana APBN-snya dipakai untuk membayar bunga utang setiap tahunnya. Lebih jauh, jawaban-jawaban terhadap permasalahan perubahan iklim amat jauh dari yang diharapkan. Pelbagai kegiatan pelestarian hutan hanya sebatas slogan kosong dan formalitas saja. Ekstraksi bahan tambang, khususnya bakar fosil meningkat, energi fosil untuk transportasi dan industri, emisi karbon naik. Sementara, kewajiban penurunan emisi bergeser menjadi transaksi bisnis karbon. Sungguh menyedihkan!Sekadar Refleksi //SubIklim berubah, perilaku pejabat negara atau penguasa tidak. Bagaimana Anda? Apakah manusia boleh terus-menerus menggunduli hutan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan sosial-ekonominya? Apakah kita harus memelihara kelestarian lingkungan hidup demi kepentingan generasi yang akan datang? Apakah binatang mempunyai hak untuk tidak disakiti dan dibunuh? Mengapa sungai, danau dan laut tetap harus dijaga kebersihannya? Dan pelbagai pertanyaan lain dapat kita ungkapkan lagi.Sekadar bahan refleksi untuk kita atas pertanyaan di atas, yakni pertama: tidak ada satupun unsur dari alam semesta yang dapat dipahami secara terisolasi. Manusia selalu berada dalam jaringan relasi saling tergantung dengan sesamanya, tetapi juga dengan air, udara, tanah, hutan, laut, hewan dan sebagainya. Masing-masing unsur itu tidak dapat tidak berada dalam jaringan yang sama. Kedua: walaupun pohon harus bertumbuh dan berkembang sendiri, namun ia membutuhkan tanah, air, dan udara yang bersih dan sehat serta sinar matahari yang cukup. Begitu pula dengan ikan di danau dan laut, serta manusia di atas bumi.
Awas, ketika kita membunuh satu mahkluk hidup. Kita telah, sedang dan akan membunuh kehidupan kita!#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar