Senin, 20 Januari 2020

Teologi Politik J.B. Metz & Gerakan Pembebasan


a. Biografia

Metz lahir pada 5 Agustus 1928 di Auerbach in der Oberpfalz dan dibesarkan di sana. Sebagai seorang remaja, Metz direkrut menjadi militer Jerman pada tahun 1944, menjelang akhir Perang Dunia Kedua. Enam bulan sebelum berakhirnya perang, dia ditangkap oleh Amerika dan dikirim ke tahanan kamp perang di Maryland dan kemudian Virginia. Setelah perang, ia pindah kembali ke Jerman. Ia belajar teologi dan filsafat dari tahun 1948, pertama di Bamberg, kemudian di Munich dan di Universitas Innsbruck. Ia menyelesaikan disertasinya tentang pemikiran filsafat Martin Heidegger pada tahun 1951. Metz ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1954, bekerja dalam pelayanan dari tahun 1958 hingga 1961. Dia kemudian dipromosikan Ph.D., dengan sebuah karya pada teologi Thomas Aquinas di bawah bimbingan Karl Rahner. Pengalamannya dalam perang cocok dengan teolog Calvinis Jerman Jürgen Moltmann yang akan terus menulis dengan Metz tentang teologi politik dengan latar belakang konfrontasi langsung dengan Nazisme. Pada tahun 1962-1963, ia diberikan beasiswa dari Deutsche Forschungsgemeinschaft.

Ia adalah profesor Teologi Fundamental di Universitas Münster dari tahun 1963 hingga 1993, di mana ia mengembangkan Teologi setelah Auschwitz (teologi Holocaust). Dia memperkenalkan ide-ide filosofis dan politik tahun 1968, oleh Ernst Bloch dan Sekolah Frankfurt Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, dalam teologi, yang diterima dengan oposisi. Konsep- konsepnya diterapkan oleh teologi pembebasan di Amerika Latin. Dia berpartisipasi dalam pendirian Universitas Bielefeld, dan merupakan anggota terkemuka Paulus-Gesellschaft internasional yang didedikasikan untuk dialog Kristen dan Marxisme. Setelah Konsili Vatikan II, ia adalah seorang konsultan dari sekretariat kepausan untuk noncredentibus dari tahun 1968 hingga 1973. Metz adalah seorang konsultan Sinode Würzburg dari keuskupan Jerman dari tahun 1971 hingga 1975, dan merupakan penulis utama dari dokumennya "Unsere Hoffnung" (Harapan kami) yang menjadi dokumen kunci untuk penerimaan Dewan Vatikan Kedua di Jerman. Metz tinggal di Münster hingga kematiannya pada 2 Desember 2019.

b. Karya
Metz, Johann Baptist (1969). Theology of the World, trans. William Glen-Doepel. New
York: Seabury.
Metz, Johann Baptist (1980). Faith in History and Society: Toward a Practical Fundamental Theology. New York: Seabury.
1
Metz, Johann Baptist (1998). Poverty in Spirit. New York: Paulist Press.

c. Konteks Berteologi Politik J.B. Metz

Realitas masyarakat dan masalah penderitaan dan ketidakadilan yang melanda manusia mendorong Johann Baptist Metz melahirkan hasil karyanya ini. Melalui teologi politiknya mendorong Gereja dan umat Kristen agar berani menanggapi dan membantu menyelesaikan berbagai problem yang terjadi di tengah-tengah dunia . Teologi politik Metz memfokuskan diri pada manusia sebagai “subyek " utama, dan kebajikan solidaritas sebagai undangan kepada orang-orang Kristen agar mewujudnyatakan imannya melalui tindakan dan perbuatan nyata di dalam kehidupan sosial.

Dengan teologi politik ini mendorong orang Kristen agar berani menanggapi berbagai masalah yang melanda masyarakat dunia saat ini sehingga membawa suatu transformasi bagi kehidupan seluruh umat manusia. Relevansi teologi politik ini adalah sebuah kritik bagi teologi terutama teologi transendental dan teologi yang bersifat ideologis, dan juga kritik kepada Gereja dan teolog agar menyadari misinya dan mengembangkan teologi yang tidak hanya mengarah kepada aspek eskatologis semata, dan juga tidak hanya melahirkan teologi yang lebih bersifat mempertahankan (apologetik) iman dalam arti sempit, tetapi juga teologi yang mampu menanggapi masalah manusia dalam kehidupannya yang nyata, bukan ideologi atau spiritualitas abstrak.

Sebagai seorang mahasiswa yang dibimbing oleh Karl Rahner, Metz memutuskan hubungan dengan teologi transendental Rahner pada gilirannya menjadi teologi yang berakar pada praksis. Metz fokus pada pengembangan pemikiran teologi politik yang sangat memengaruhi teologi pembebasan. Ia dianggap sebagai salah satu teolog Jerman pasca-Vatikan II yang paling berpengaruh. Pikirannya mengalihkan perhatian mendasar pada penderitaan orang lain. Topik- topik kunci dari teologinya adalah ingatan, solidaritas, dan narasi. Karya-karya dalam bahasa Inggris meliputi: Gereja, Iman dalam Sejarah dan Masyarakat, Kemiskinan dalam Roh, dan Harapan. Artikel-artikel yang terkumpul dapat ditemukan dalam A Passion for God: Dimensi Mistik-Politik Kristen, diterjemahkan oleh Matthew Ashley dan dalam John K. Downey, ed., Strategi Cinta: Teologi Politik Johann Baptist Metz.

Dasar dari karya Metz adalah konsep "ingatan penderitaan", yang berhubungan dengan ‘anamnesis’ dalam Perjanjian Baru Yunani, sebuah istilah yang merupakan pusat teologi Ekaristi. Metz berbicara berbagai “ingatan penderitaan Yesus Kristus”, “ingatan kebebasan (dalam Yesus Kristus)”, “ingatan penderitaan”, dll. Salah satu faktor pendorong untuk kategori ini adalah tekad Metz, sebagai Teolog Katolik dari Jerman, untuk mengolah kembali seluruh teologi Katolik dari bawah ke atas mengingat pengalaman yang pahit dari Holocaust. Kebutuhan ini menjelaskan

sebagian perpisahannya dengan Rahner, yang metode transendentalnya menarik bagi historisitas tetapi tidak sampai pada kesepakatan dengan sejarah aktual. Metz berdialog dengan Marxisme progresif, terutama Walter Benjamin dan penulis Sekolah Frankfurt. Dia melontarkan kritik keras tentang apa yang disebutnya Kristen borjuis dan percaya bahwa Injil Kristen menjadi kurang kredibel karena telah menjadi terjerat dengan agama borjuis. Karyanya Iman dalam Sejarah dan Masyarakat mengembangkan apologetika, atau teologi mendasar, dari perspektif ini.
Motif utama dari teologinya adalah belas kasih, sebagai kepekaan terhadap penderitaan orang lain, belas kasih Tuhan, dan juga hasrat akan Tuhan ("Leidempfindlichkeit für andere, die Mitleidenschaft Gottes, auch die Leidenschaft für Gott").

2. TEOLOGI POLITIK J.B. METZ

Beberapa pokok teologi politik J.B. Metz

2.1. Konteks: Iman Dalam Sejarah dan Masyarakat

Apa titik awal dari sebuah teologi fundamental? Menurut Metz, titik awalnya adalah kesadaran akan kebutuhan dan kekhasan realitas sejarah, yaitu manusia yang hidup dalam situasi sosial, ekonomi dan politik. Dari kenyataan ini melahirkan kemampuan merumuskan teologi fundamental daripada apologetika atau mempertahankan iman dalam arti sempit.

Proses perumusan teologi fundamental sejarah berbasis praktik, terutama di dunia Eropa (Perancis, Jerman), yang berusaha untuk menciptakan dasar apologetika yang melahirkan teologi klasik. Ada berbagai ideologi yang turut mempengaruhi teologi seperti Pencerahan, Marxisme, eksistensialisme, sekularisme yang mengkritik agama Kritikan sebagai sebuah ideologi. Teologi politik juga mengritik dogma Gereja sebagai rumusan doktrin Kristen atau Katolik yang kaku dan tidak relevan dalam konteks sekarang.
  • Kritik kepada teologi yang berfokus pada diri sendiri terutama teologi yang lebih berpusat pada masalah pribadi atau individu. Kritik ini ditujukan kepada teologi yang lebih mendukung agama Borguis (agama kaum penguasa). Agama yang memperkuat kekuasaan politik dan ekonomi para penguasa, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah Eropa pada abad pertengahan. Karena itu, Metz menegaskan: ”Saya melihat suatu keniscayaan dalam kenyataan bahwa wawasan dan penemuan dalam bentuk sejarah segera ditafsirkan dalam kategori eksistensialisme dan personalisme teologis". Menurut Metz, cara formulasi teologi yang bersifat eksistensialisme dan personalisme dapat menciptakan pola pikir yang mempertahankan status quo.
  • Teologi politik adalah teologi praktis (praksis). Menurut Metz setiap teologi Kristen, apapun teologinya, harus berlandaskan pada prakisis. Menurutnya, idea Kristen tentang Allah pada dasarnya merupakan idea praktis. Jadi menurutnya setiap pikiran atau refleksi Kristologis- teologis harus berawal dari keutamaan praktek, bukan bermula dari pemikiran abstrak, metafisis (logis semata). Demikian juga dengan teori hermeneutika, tidak hanya hermeneutika abstrak tetapi hermenutika yang riil, bertitiktolak dari dasar yaitu realitas hidup manusia. Jadi sintesis Metz adalah bahwa iman Kristen bukanlah iman dalam pemikiran abstrak atau lahir dari edea tapi iman yang lahir dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia dan terkait dengan realitas sosial, politik dan ekonomi. Jadi, bab empat ini merupakan solusi atas kritiknya pada bab tiga.
2.2. Lantasan, Fokus dan Tema Teologi Politik

Tugas teologi yaitu 'pendekatan atas pengalaman manusia dalam situasi konkretnya, terkait dengan situasi sosial, politik dan ekonomi. Dasar teologi politik adalah memoria passionis kematian dan kebangkitan Yesus Kristus (memoria passionis, mortis et resurrectionis Jesu Christi). Kisah ingatan atas Sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus adalah landasan utama teologi politik Metz. Karena pengalaman penderitaan Yesus adalah pengalaman yang sama, yang juga dialami oleh manusia dalam hidupnya, terutama orang-orang yang menderita rasa sakit dan kekerasan, karena politik, ekonomi, ideologi dan agama. Cakrawala atau tujuan utama dari formulasi teologi politik ini adalah sebagai upaya pembebasan manusia dari segala penindasan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama berlandaskan pada visi eskatologis.

Arti memoria passionis (Kenangan atas penderitaan). Memoria (kenangan) ini adalah memoria atas realitas atau pengalaman nyata, dan hidup dari Metz sendiri yaitu peristiwa di Auschwitz dan peristiwa perang dunia kedua. Memoria ini adalah memoria (kenangan) yang menyakitkan, memoria (kenangan) yang mengerikan, memoria (kenangan) yang tak terlupakan oleh umat manusia. Memoria ini hendaknya harus selalu dikenang oleh Gereja dan oleh umat Kristen khususnya dan umat manusia umunya agar peristiwa pahit ini jangan terulang lagi. Dengan pengalaman di Auschwitz dan perang dunia kedua menjadi pelajaran kemanusiaan berharga yang harus direfleksikan oleh Gereja, umat Kristen, para pemimpin bangsa agar jangan terulang lagi. Ini adalah tragedi kemanusiaan yang harus terus dingat atau dikenang secara bersama-sama sebagai umat manusia (kenangan kolektif). Memoria Sengsara , wafat dan kebangkitan Yesus adalah pusat (centrum) memoria yang bersifat universal untuk umat manusia. Dalam karyanya Metz menekankan pentingnya refleksi atau studi tentang Allah. Dia menulis, "bicara tentang Allah sama dengan bicara tentang orang-orang yang berseru mohon diselamatkan, khususnya bagi mereka yang menderita secara tidak adil, bagi para korban, yang tersingkir, terbaikan dalam sejarah umat manusia. Bagi Metz, bicara tentang Allah berarti bicara tentang visi dan janji keadilan serta pembebasan sejati bagi semua umat manusia, baik yang telah tiada, yang ada sekarang maupun yang akan datang”.
  • Jadi menurut Metz, memoria selalu berkaitan dengan sejarah sebagai tempat (locus) utama di mana Tuhan berbicara dan berkomunikasi dengan manusia, khususnya cerita-cerita yang menyerikan: cerita tentang sejarah penindasan, cerita tentang sejarah kekerasan, dan sejarah kemiskinan. Dalam arti Allah sebagai subyek cerita eskatologis masalah manusia yang telah, sedang dan akan terjadi dalam sejarah manusia.
  • Pokoknya penebusan dan emansipasi. Sikap atau kebajikan yang berasal dari teologi politik adalah penebusan atau pembebasan dan emansipasi terhadap orang lain. Penebusan adalah aspek spiritual, pembebasan dan emansipasi adalah aspek tindakan nyata manusia dalam proses politik. Tindakan embebasan dan emansipasi adalah tindakan universal yang harus diwujudkan melalui bidang sosial, politik, dan ekonomi.
  • Peran Gereja di dunia ini, terutama kepada orang-orang yang terlibat dalam dunia politik dan ekonomi. Gereja (secara institusi) dan orang Kristen secara pribadi maupun bersama harus mengambil inisiatif untuk membantu orang-orang yang sedang dililit masalah. Gereja dan orang Kristen harus melakukan tindakan efektif dalam mengupayakan pembebasan bagi sesama yang hidup dalam penderitaan politik, ekonomi, sosial - budaya. Karena tindakan tersebut merupakan implementasi dari iman. Visi Metz tentang Gereja yaitu bahwa Gereja secara hakiki adalah Gereja yang tidak hanya mencakup wilayah (teritorial) dan kebangsaan (etnis) tetapi Gereja universal yaitu sebagai umat Allah yang baru, di mana dapat terjalin solidarietas dan rasa kebersamaan untuk saling membantu meringankan beban penderitaan sesama.
  • Krisis identitas keristenan dalam realitas sejarah evolusi manusia dan teologinya. Metz mau menegaskan bahwa krisis identitas sebagai pengikut Kristus telah terjadi dalam sejarah Gereja, karena akibat dari krisis formulasi teologi yang tidak bersumber dari sejarah dan persoalan hidup manusia. Pengalaman ini akan terus terjadi bila para teolog mengembangkan teologinya demi mempertahankan status quo dan kekuasaan para elete serta demi suatu ideologi tertentu.
    Refleksi eskatoligis dalam dua cara yaitu yang dikembangkan oleh Ernst Bloch, yaitu berlalunya waktu eskatologis dan eskatologis di saat terakhir atau waktu yang dibutuhkan. Eskatologi melewati waktu dekat atau imanen, eskatologi yang terakhir adalah eskatologi transendensi. Ide eskatologi mengungkapkan makna harapan Gereja, terutama pengalaman orang-orang yang tinggal dalam krisis sejarahnya. Menurut Ernst Bloch esakatologia ini adalah "kebijaksanaan apokaliptik”. Konsep ini juga mengungkapkan proses evolusi manusia dan semua makhluknya. Menurut Ernst Bloch eskatologi yang waktunya sudah dekat adalah eskatologi realitas sejarah manusia yang mendorongnya untuk melihat ke depan atas dasar waktu yang tak terbatas (ruang dan waktu) atau waktu akhir. Waktu transcendental dan imanen menurut, Metz adalah "hari Tuhan" yang sudah di mulai di zaman kita saat ini.

2.3. Kategori
  • Konsep tentang memoria sebagai kategori dasar alasan-kritis praktis. Memoria memiliki dua tradisi yaitu pemikiran (ratio) dan sejarah. Metz membuat perbedaan antara ingatan (Remember) dan kenangan (memoria). Ingatan adalah seperti organ bersejarah yang ada dalam realitas sejarah. Kenangan adalah aspek psikologis yang berhubungan dengan perasaan dan emosi (afeksi) yang ada atau tersimpan di dalam ingatan. Jadi ingatan berhubungan dengan ratio di mana melihat realitas sejarah dalam kehidupan nyata manusia, sehingga mendorong lahirnya kenangan (memoria) yang didasarkan pada pengalaman sejarah yang ada di dalam ingatan. Kenangan (memoria) di Auschwitz mendorong ingantan Metz, sehingga membuahkan refleksi Kristologis-teologis setelah peristiwa di Auschwitz. Ada dua tradisi kecerdasan ingatan, yaitu refleksi filosofis dan teologis yang mengali makna melalui metode hermeneutika sebagai hermeneutika eksistensial-ontologis. Ingatan menyebabkan pikiran subjektif dari orang tersebut dan dihubungkan dengan kenangan sehingga mendorong sebuah refleksi dengan penalaran analitis, kritis dan obyektif. Jadi dapat disimpulkan bahwa ingatan (remember) adalah bagian dari intelektuel - rational, sedangkan kenangan(memoria) adalah bagian dari aspek psikologis dan spiritual-iman yang lebih dalam dan misteri.
  • Metz menegaskan bahwa dogma sebagai suatu ingatan (remember) berisiko tidak bermakna, jika dogma tidak direinterpretasi atau re-hermenutika. Iman adalah prinsip kenangan (memoria) yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang terus-menerus muncul dalam pikiran manusia tentang janji Tuhan akan zaman akhir (parusia) yang "sudah" dan "belum" terjadi di dalam terang iman (fides), harapan (spes) dan kasih (amor). Ketika dogma tidak memiliki kemampuan untuk mereinterpretasi atau membangun hermenutika yang baru atas makna iman dalam hidup manusia, yang harus merespon realitas pengalaman konkret manusia, maka dogma menjadi suatu ajaran hampa yang tak berarti dan menjadi ideologi belaka.
  • Tentang kisah (cerita) yang merupakan cerita dari pengalaman iman. Cerita ini membawa ingatan dan kenangan seperti yang dikatakan oleh Metz. Kemudian ketika kita berbicara tentang cerita atau narasi berarti kita berbicara tentang cerita atau narasi yang membawa harapan kepada orang lain. Narasi atau cerita tentang pengalaman iman yang terjadi dalam sejarah (di tempat tertentu) di antara narator (pencerita) dan pendengar. Melalui narasi pencerita atau narator mengkomunikasikan pengalaman imanya dengan pendengar, sehingga membawa suatu transformasi bagi kehidupan si pendengar. Ketika membandingkan kisah tentang Yesus historis dan kisah tentang Yesus setelah bangkit yaitu Kristus bukanlah sutau kisah yang sama, melainkan kisah yang berbeda. Maka kisah atau cerita (narasi) antara "Yesus sejarah" dan "Kristus kerygmatis" tetap merupakan suatu dilema. Maka kedua kisah ini meninggalkan banyak pertanyaan yang tak dapat dijawab secara tuntas, namun memberikan makna iman yang mendalam kepada para pendengar (audience).
  • Metz melihat teologi sebagai biografi. Menurut Metz, di dunia saat ini (dunia modern) tampaknya jauh, karena ada perpecahan mendalam antara sistem teologis dan pengalaman religius, antara doxography dan biografi, antara dogmatis dan mistis. Menurut Metz tesis teologi saat ini selalu menggunakan konsep subjektif–personalistik dari pengalaman pribadinya, sehingga teologi yang diformlasinya tidak dapat menjawab persoalan hidup manusia. Jadi menurut Metz teologi biografi adalah teologi yang mengambil sikap kritis terhadap orientasi teologis yang lebih transendental dan berkonsentrasi pada subjek diri
  • Solidaritas sebagai kategori untuk membantu sesama yang sedang mengalami penderitaan, dan sebagai dukungan yang diberikan, dan sebagai aksi bersama yang dapat membawa transformasi kehidupan bagi manusia di dunia ini. Solidaritas ini menurut Metz didasarkan pada cerita yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini untuk menuju ke masa depan yang lebih baik. Solidaritas ini adalah solidaritas dalam kenangan dengan orang-orang yang disalibkan, dibunuh, dianiaya dan ditindas dalam sejarah dunia ini, saat/masa lalu dan ini. Melalui solidaritas ini membawa kenangan bersama dan kisah bersama yang direalisasikan dalam kehidupan nyata atau tindakan nyata dalam kehidupan manusia; Bagi Metz ini adalah kisah kemanusiaan yang harus ditanggung bersama, terutama orang Kristen.

3. MEMBACA TEOLOGI POLITIK J.B. METZ UNTUK GERAKAN PEMBEBASAN

Pertanyaan kunci: Bagaimana sumbangan pemikiran teologi politik J.B. Metz untuk gerakan pembebasan? Mari berdiskusi!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar