Minggu, 17 Juli 2011

DARI BUDAYA PERANG KE BUDAYA PERDAMAIAN:

Mencari Model Polisi Pemelihara Perdamaian

oleh George Junus Aditjondro

PENGANTAR

            ORANG sering bertanya, apakah polisi yang bertugas di daerah konflik merupakan pemecah permasalahan, ataukah justru bagian dari permasalahan (are they the problem solvers, or are they part of the problem)?

Dari berbagai studi saya terhadap kerusuhan dan konflik di Maluku (2001), Papua Barat (2004b) dan Poso (2004a, 2004c, 2005, 2006), serta studi-studi yang dilakukan oleh peneliti lain di Poso (Sangaji 2005; Nadia 2005), Aceh (Hutabarat 2003; Ishak 2004) dan Maluku (Hutabarat 2003; Malik 2004; Pontoh 2004), kehadiran polisi tampaknya lebih merupakan bagian dari permasalahan, ketimbang pemecah masalah (problem solver).

Rabu, 13 Juli 2011

PRODUKSI PENGETAHUAN OLEH SIAPA

PRODUKSI PENGETAHUAN OLEH SIAPA,
UNTUK KEPENTINGAN SIAPA, DAN BERSAMA SIAPA?
Menuju Paradigma Penelitian Pembebasan
---------------------------------------------------------------------------------------
George Junus Aditjondro

Die Philosophen haben die Welt nur verschieden interpretiert.
Es kommt aber darauf an, sie zu verandern.
[Para filsuf telah menafsirkan dunia hanya secara berbeda-beda.
Namun yang terpenting adalah mengubah dunia itu].
Tesis ke-11 Marx tentang Feuerbach.



West Papua....Freedom...Independent

Krisis HAM di Papua

RELEVANSI HANCOCK BAGI KITA

oleh George Junus Aditjondro

MENGAPA sebuah buku yang ditulis oleh seorang jurnalis Inggris dan diterbitkan di London tahun 1989, masih diterjemahkan dan diterbitkan kembali di Indonesia, enam tahun kemudian? Jawabannya tidak sulit. Berbagai fenomena sosial yang digambarkan oleh Graham Hancock di buku ini, masih tetap penad (relevan) di masa sekarang. “Bantuan” asing bukanlah “bantuan”, yang betul-betul menguntungkan masyarakat negara yang “dibantu”. Bantuan asing lebih merupakan suatu mekanisme untuk mendaur ulang uang pajak rakyat di negara-negara kaya, sambil memperkaya elit negara-negara miskin.

Kamis, 07 Juli 2011

Mengenang Perempuan dan Anak-anak yang telah Dipersembahkan di Altar Kapitalisme: Relevansi Das Kapital bagi gerakan-gerakan kemasyarakatan (Social Movements) di Indonesia

Oleh George Junus Aditjondro

HARI ini, Senin, 18 September 2006, kita berkumpul di Gedung Serba Guna d kampus Unika Parahyangan, Bandung, untuk meluncurkan Buku II dari magnum opus Karl Marx, Das Kapital. Buku II ini telah selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Oey Hay Djoen dan diterbitkan oleh penerbit Hasta Mitra, penerbit buku-buku Pramudya Ananta Toer di Jakarta. Kita ingin melakukan refleksi, apa relevansi (kepenadan) sebuah buku, yang pertama kali diterbitkan dalam bahasa Jerman di tahun 1885, dua tahun setelah meninggalnya salah seorang pelopor gerakan Kiri, bagi kita, yang hidup di Indonesia, lebih dari seabad kemudian.