Pada tahun 2010, ketika belajar di Bangkok, saya mendengar cerita soal gerakan terorisme di Thailand Selatan. Beberapa kawan saya menyebutkan gerakan terorisme itu dengan sebuatan "Gerakan Patani". Saking penasaran dengan cerita dari kawan-kawan di kota Bangkok, saya memutuskan untuk pergi ke Propinsi Pattani di Thailand Selatan. Saya tinggal di sana selama seminggu. Saya tidak punya teman orang lokal disana. Saya tinggal di penginapan murah, dan berdiskusi dengan tukang petugas hotel, juga dengan ibu-ibu yang berjualan dekat penginapan. Saya bisa komunikasi, karena mereka bisa bahasa Melayu. Saya paham mereka ketika bicara. Mereka bicara soal sejatah Bangsa Patani dan persoalan yang dihadapi oleh mereka. Dari pengalaman ini, saya pun mengerti bahwa isu terorisme adalah isu yang diproduksi oleh fihak kerajaan Thailand untuk mengkriminalkan perjuangan hak-hak Bangsa Melayu Patani di 4 propinsi di wilayah Thailand Selatan. Politik Siamifikasi pemerintah Kerajaan Thailand, yang memaksa Bangsa Patani memakai bahasa dan tulisan Thai, dan berusaha menutup sekolah-sekolah pengajian yang berbasis agama Islam dengan tulisan “Melayu” (tulisan Arab tanpa tanda-tanda baca, alias Arab gundul), serta larangan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah di wilayah Selatan; = penempatan pejabat-pejabat Thai-Buddhis yang tidak berusaha memahami budaya orang Melayu-Muslim, mengepalai birokrasi provinsi-provinsi di Selatan; = pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat bersenjata (tentara dan polisi) Thai. Ini semua dilakukan oleh pihak kerajaan Thailand demi menjaga persatuan dan kesatuan Kerajaan Thailand.
Saya juga merefleksikan Papua.
Pada tahun 2010, sebelum ke Bangkok. Saya dan kawan-kawan membuat penelitihan soal "Kopasus menyiksa anak-anak Papua di Rumah 41A, Kelapa Lima, Merauke, karena mabok" (link ceritanya: http://iampapua. blogspot.com/2010/09/rumah- 41a.html). Setelah hasilnya ada dan dilaporkan kepada pihak petinggi TNI dengan sebuah kesimpulan bahwa ada indikasi pelanggaran HAM, saya pun dicari-cari, dikerja dan bahkan diteror via SMS. Saya dianggap melawan Negara. Kawan saya, seorang wartawan, yang mengantar saya untuk dokumentasi kasus ini mati tenggelam di Sungai Maro. Ia diduga mati tenggelam, tapi hasil visum versi Jakarta mengindikasikan bahwa ia mati terbunuh. Sebelum ia meninggal, kawan-kawan wartawan mendapat sms dari nomor tak dikenal. SMS itu berisi "Jangan main api dengan kami. Karena kamu akan dibakar dengan api itu". Kurang lebih itu bunyi smsnya. peristiwa kematian kawan saya ini terjadi setelah 3 hari saya tinggal di Bangkok.
Pengalaman ini membuat saya bertanya, mengapa kami dianggap melawan negara ketika kami memperjuangkan martabat manusia? Bukankah manusia diwajibkan untuk tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah? Aparat Kopassus ada untuk siapa?
Pertanyaan ini belum selesai saya temukan jawabannya, saya dihadapkan pada pertanyaan, mengapa TNI begitu muda meletupkan senjatah untuk membunuh orang Papua yang baru mendapat tujuan separatis? Mengapa ketua adat ini tidak mampu menegur tentara yang memetik buah rambutan di halaman rumahnya tanpa permisi? Mengapa 2 angota TNI dari Pos Kali Maro itu mengembalikan sepeda motor warga Kampung Bupul yang telah dirusak tanpa merasa bersalah? Mengapa TNI yang perkosa adik-adik Perempuan di perbatasan tidak disidangkan?
Pertanyaan-pertanyaan itu sulit dijawab dengan baik, karena ada argumentasi dominan bahwa mereka, TNI, yang bertugas di Papua itu sedang menjalankan tugas negara untuk menjaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2 minggu lalu, ketika ada diskusi soal Eksistensi Mahasiswa Papua dalam Nasionalisme di Kampus UKI Tomohon. Beberapa mahasiswa Papua diajak untuk hadir dalam diskusi ini. Penyelenggaranya dari fihak LNMD dan Forum Peduli Nusantara. Diskusi sempat tertunda selama 2 jam, karena fihak penyelenggara menunggu peserta diskusi yang telah diundang. Fihak penyelenggara menginginkan untuk banyak mahasiswa Papua hadir dalam diskusi ini. Tapi, hanya ada 5 mahasiswa Papua yang hadiri. Itu pun, karena dipaksa-paksa oleh fihak penyelenggara. Kegiatan semacam ini sudah perna dilakukan di Universitas Sam Ratulangi dan UNIMA. Lain hal dengan diskusi di UKIT, di UNIMA dan USTRAT, ada lebih banyak mahasiswa Papua yang hadir. Tapi, ada hal yang sama dari diskusi di 3 tempat ini, yakni ungkapan dalam nada yang sama dari mahasiswa Papua: "torang ta colo no", artinya mereka terjebak. Saya diskusi dengan mereka, dan terungkap bahwa mereka sampai merasakan terjebak, karena diskusi ini bukan bagian dari mereka dan agendanya dirasa semacam agenda untuk menggiring pada sebuah klaim dari fihak penyelenggara bahwa mahasiswa Papua juga memiliki rasa yang mendalam soal nasionalisme Indonesia. Mayoritas aorang Papua lebih merasa sebagai Papua daripada sebagai Indonesia. Saya pun merasakan semacam ini, meskipun saya non Papua yang lahir Papua. Mengapa demikian?
Memang begitu. Situasi kekerasan yang dilakukan terhadap rakyat Papua oleh TNI dan kebijakan pembangunan yang tidak pro rakyat yang membuat kami seperti itu. Hal ini menjadi semakin merasuki hati kami, dan membentu semacam nasionalisme Papua, karena kami mulai sadar soal sejarah manipulasi TNI ketika Pepera 1969, juga pertanyaan kami soal PT. Freeport yang telah bikin tanda tangan kontrak dengan pemerintah Indonesia di tahun 1967 ketika Papua belum resmi bagian dari NKRI. Singkapnya, kami lahir dari rahim ibu tidak perna berpikir untuk memiliki nasionalisme Papua, tapi situasi dan sejarah hidup ini yang membuat kami harus seperti ini. Saya sendiri terkadang mempertanyakan soal mengapa Tuhan menghendaki saya lahir di tanah Papua, mengapa saya tidak lahir di Manado saja. Seandainya, saya lahir di Manado, saya yakin, saya tidak akan berpikir seperti sekarang. Saya pasti tidak bekerja seperti sekarang.
Saya tak mau mempersalahkan, apalagi mempersoalankan, sejarah hidup saya. Ini rahmat. Tuhan punya rencana atas hidup saya. Mari melawan sejarah hidup yang menindas dengan mengubahnya dalam semangat tanpa kekerasan. Sejarah penindasan di tanah Papua harus ditinggalkan. Nasionalisme yang berwajah hegemoni itu harus dihapus. Tak boleh ada yang menjajah dan dijajah.
Ini perjuangan bersama! Panggilan bersama!
Saya akan belajar dan akan memperjuangkan hak kalaian papua.. Tunggulah saat nya aku akan datang ke papua untuk membangkitkan tali persaudaran dan kesatuan demi kemajuan kalian papau.. Saya org sumatra merasa simpati.. Aku akan belajar untuk menjadikan papau menjadi daerah yg modrn
BalasHapus