Rabu, 11 Januari 2012

ERNESTO “CHE” GUEVARA, ERNESTO LACLAU DAN KEBANGKITAN GERAKAN KIRI DI AMERIKA LATIN[1]


oleh George Junus Aditjondro[2]

… mencari ilmu boleh sampai ke Tiongkok.
Tetapi, untuk demokrasi partisipatif,
belajarlah ke Amerika Latin.
(Disadur dari M. Fadjroel Rachman (2006)

PENGANTAR

ARUS PASANG gerakan kiri yang kini melanda Amerika Latin, dirintis oleh para gerilyawan di Pegunungan Sierra Maestra di Kuba, di bawah pimpinan Fidel Castro dan Ernesto “Che” Guevara. Setelah dua tahun (1957-1958) bergerilya, pada tanggal 1 Januari 1959 para gerilyawan berhasil merebut ibukota Kuba, Havana, dan berdentanglah lonceng kematian bagi rezim Batista yang telah mengeruk kekayaan negeri Karibia itu untuk kepentingan AS. Lahirlah Republik Kuba baru, yang membangun sistem ekonomi sosialis pertama di benua Amerika (Rahardjo & Prabowo 2005: xiii-xiv).


Ernesto “Che” Guevara de la Serna, dokter kelahiran Rosario, Argentina, tanggal 14 Juni 1928, diangkat menjadi menjadi Gubernur Bank Nasional. Dua tahun kemudian ia diangkat menjadi Menteri Industri. Selama empat tahun kemudian ia  bepergian ke seluruh dunia sebagai seorang dutabesar Kuba, dan tahun 1965, ia meninggalkan Kuba untuk terlibat langsung dalam berbagai perjuangan pembebasan nasional, bahkan turut berperang melawan Belgia di Kongo, Afrika. Tahun 1966 ia kembali ke Amerika Latin untuk mengorganisasikan sejumlah kelompok gerilyawan untuk memunculkan “duapuluh Vietnam baru”, kemudian ia sendiri masuk ke Bolivia dengan menyamar. Tahun 1967, setelah beberapa bulan bertempur melawan tentara Bolivia, Che tertangkap pada tanggal 8 Oktober 1967 dan ditembak mati atas perintah Presiden Barrientos (Pareanom 2005: 7-10).

Kematian “Che” Guevara tertebus 38 tahun kemudian dengan terpilihnya presiden pertama Bolivia yang tidak hanya berdarah pribumi, tapi juga seorang sosialis. Di negeri Pegunungan Andes yang diapit oleh Brazil, Chile, dan Argentina, yang penduduk 70% pribumi dan terbagi dalam 36 suku – yang terbesar, Quechua dan Aymara --, hari Minggu, 22 Januari lalu telah dilantik Presiden pribumi pertama setelah negeri itu diperintah selama 180 tahun oleh minoritas kulit putih keturunan Spanyol.

Evo Morales, atau lengkapnya Juan Evo Morales Aima,  memperoleh lebih dari separuh suara dalam pemilu hari Minggu, 18 Desember tahun lalu, dengan menggunakan Movimiento al Socialismo  (MAS), Gerakan Menuju Sosialisme sebagai kendaraan politiknya.  Gerakan ini merupakan aliansi yang longgar antara serikat-serikat buruh kiri, serikat petani koka (cocaleros) yang merupakan basis politik awal Evo Morales, dan gerakan-gerakan sosial lain, temasuk gerakan bangsa-bangsa pribumi. Platform politik MAS cukup luas: penghapusan sistim ekonomi neo-liberal; partisipasi bangsa-bangsa pribumi yang lebih besar dalam sistem politik nasional; nasionalisasi industri; legalisasi daun koka; serta pembagian lebih adil sumber daya alam nasional (Langman 2005: 46; Economist,  17 Des. 2005: 35-7; Kompas, 22 Des. 2005 & 4 Jan. 2006; Seputar Indonesia,  21 Des. 2005).

Evo Morales, yang lahir tanggal 26 Oktober 1959 dari keluarga Aymara di Orinoca, terorbit karena komitmennya memperjuangkan kebangkitan bangsa-bangsa pribumi di Bolivia. Di kalangan orang Aymara dan Quechua, dia dikenal sebagai Apu Mallku, atau Pemimpin Besar. Dia mendapat mandat dari kedua bangsa pribumi Bolivia itu untuk membangkitkan kembali kedaulatan dewan-dewan adat di Pegunungan Andes, setelah Negara Bolivia modern gagal meningkatkan kesejahteraan kaum pribumi negeri itu (Langman 2005: 46; Kompas, 4 Jan. 2005).

Setelah berhasil merebut kursi kepresidenan, mantan petani koka itu merebut keseganan lawan serta simpati kawan, dengan politik penguasaan sumber daya alam terpenting negeri itu, yakni gas bumi. Bertolak belakang dengan politik rezim SBY-JK, yang begitu mudah menggadaikan sumber daya alam Indonesia kepada maskapai transnasional seperti ExxonMobil di Blok Cepu, Evo Morales mengejutkan AS, bekas penjajahnya (Spanyol), dan negara-negara tetangganya (Brazil dan Argentina), dengan menasionalisasi ladang-ladang gas alamnya.

SEJARAH KEBANGKITAN SOSIALISME DI AMERIKA LATIN, PASCA CHE GUEVARA

PERLAWANAN Kuba terhadap embargo ekonomi AS, walaupun sudah tidak lagi menikmati dukungan Uni Soviet setelah runtuhnya tembok Berlin, ikut mengilhami pemberontakan Sandinista di Nikaragua. Tanggal 19 Juli 1979 dikenang rakyat Nikaragua sebagai “proklamasi kemerdekaan mereka yang kedua”, tulis Andreas Iswinarto (2006). Pada hari itu, di negara kecil yang terletak di Amerika Tengah, di bawah kepemimpinan FSLN (Frente Sandinista de Liberacion Nacional), rakyat Nikaragua berhasil menjatuhkan rejim diktator Anastasio Somoza Debayle yang didukung pemerintah AS. Tahun 1979 kemudian dikenal sebagai tahun pembebasan. Namun rezim Sandinista, yang didukung oleh padri-padri Yesuit penganut teologi pembebasan, itu tidak bertahan lama, karena terus menerus dirongrong dari pedesaan oleh gerilyawan Kontra dukungan AS di masa pemerintahan Ronald Reagan, presiden yang merasa seluruh dunia hanyalah suatu adegan film koboi di mana dialah jagoannya. Roda pemerintahan akhirnya jatuh ke tangan Violeta Barrios de Chamorro, janda dari Pedro Joaquim Chamorros, pemimpin surat kabar La Prensa  yang anti Somoza tapi kemudian berkolaborasi dengan para kapitalis AS. Ia memerintah dari tahun 1990-1997.

Sesudah Sandinista tergusur dari pemerintahan, muncul gerakan Zapatista di hutan Lacandon, di pojok barat daya Mexico. Tanggal 1 Januari 1994, ketika negara itu resmi bergabung dengan AS dan Kanada dalam Kesepakatan Perdagangan Bebas Amerika Utara (North American Free Trade Association,  NAFTA), sejumlah petani suku Maya di negara bagian Chiapas melakukan pemberontakan bersenjata melalui gerakan Zapatista, yang dapat menguasai sejumlah kota di Chiapas selama berbulan-bulan, sebelum dipukul mundur oleh tentara Mexico ke hutan belantara Lacandon. Gerakan itu meminjam nama gerakan kemerdekaan Mexico dari Spanyol seabad sebelumnya, yang dipimpin oleh Emiliano Zapata. Sampai sekarang, gerakan itu serta komunike-komunike pemimpinnya, Sub-commandante Marcos, tetap punya gaung secara internasional. Seperti juga gerakan-gerakan perlawanan bersenjata yang lain, Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional  (EZLN), atau Tentara Pembebasan Nasional Zapatista punya ornop-ornop afiliasinya yang diakui oleh pemerintah (Gilbert dan Otero 2005; Fauzie 2005: 50-1).

Satu hal yang penting dicatat, tentang gerakan yang kini telah bangkit kembali dengan muhibah Sub-commandante Marcos bersama sejumlah anggota Zapatista ke 31 negara bagian dan ibukota Mexico, Januari lalu (Gatra,  14 Jan. 2006: 62-63): gerakan itu tetap berbasis pada sosialisme yang hidup di tengah-tengah penduduk asli bangsa Maya di Mexico. Seperti tulis Marcos sendiri:
“Itulah dulu asal muasal EZLN: sekelompok “kaum tercerahkan” yang datang dari kota untuk “membebaskan” kaum tertindas. Namun tatkla dihadapkan pada realistas komunitas adapt, mereka terlihat lebih mirip bohlam putus ketimbang “kaum tercerahkan”. Butuh berapa lama sampai kami sadar bahwa kami harus belajar mendengar, dan sesudahnya, bicara? Aku tidak begitu pasti, …. Tapi aku hitung-hitung sekitar dua tahun setidaknya. Berarti bahwa apa yang dulunya perang gerilya revolusioner klasik ditahun 1984 (pemberontakan massa bersenjata, merebut kekuasaan, pemberlakuan sosialisme dari atas, banyak patung dan nama para pahlawan serta martir di mana-mana …), pada tahun 1986 sudah menjadi kelompok bersenjata yang sebagian besarnya orang adapt, menyimak penuh perhatian dan mencelotehkan kata-kata pertamanya bersama seorang guru baru: penduduk Indian” (Agustinus 2005: xxv-xxvi).

Dalam hal itu, Subcommandante Marcos, yang dipercayai oleh pemerintah Mexico adalah ‘penjelmaan kembali’ dari Profesor Rafael Sebastian Guillen Vincente (Klein 2001: 25), sangat berbeda dari Ernesto “Che” Guevara, yang mencetuskan revolusi sosialisme lewat perjuangan bersenjata yang dipimpin oleh kelompok-kelompok elit, atau focismo  (Debray 1970: 39) untuk merebut kekuasaan negara dan melanjutkan transformasi sosial ‘dari atas’. Sehingga tidak tepatlah menyamakan mantan dosen dan ahli Marxisme itu sebagai seorang ‘Che Guevara baru’, seperti yang dilakukan oleh Naomi Klein (2001).

Label ‘subcommandante’ yang dipakai oleh Marcos menandakan subordinasi struktur militer yang dipimpinnya pada Komite Klandestin Revolusioner Pribumi (Comite Clandestino Revolucionario Indigena, atau CCRI). Komite ini adalah sekelompok perorangan yang dipilih oleh komunitas-komunitas bangsa Maya pendukung Zapatista (Agustinus 2005: xxvi-xxvii). Struktur demokrasi basis ini mempertimbangkan tradisi bangsa Maya, khususnya di Chiapas, yang sejak 1712 sudah berkali-kali melawan penjajahan rezim kolonial Spanyol, yang menggunakan militer dan gereja sebagai alat kontrol terhadap rakyat jajahan (Wasserstrom 1989).

Setelah gaung gelombang Zapatista pertama agak mereda, Brazil, negara terbesar di Amerika Selatan yang berpenduduk 135 juta jiwa, melanjutkan tongkat estafet gerakan kiri. Sejak Oktober 2002, Brazil dipimpin oleh Luiz Inacio “Lula” da Silva. “Lula” (= Gurita) – yang dipanggil sebagai “abangku” oleh Evo Morales -- tadinya ketua Partido Trabalhadores (PT), Partai Buruh Brazil yang didirikan tahun 1969. Orator berjenggot putih kelahiran tahun 1945 di kawasan Brazil Timur Laut yang miskin bermula sebagai bocah tukang semir sepatu, lalu kemudian menjadi buruh industri logam di Sao Paulo, dan sempat menjadi ketua serikat buruhnya. Walaupun didirikan oleh aktivis buruh pabrik di Sao Paulo, tapi dengan cepat PT berkembang menjadi kendaraan politik bagi gerakan buruh tani, buruh industri di kota, cendekiawan dan rohaniwan. Lula sendiri aktif bermuhibah ke pedesaan di kawasan hutan Amazon di awal 1980-an (Revkin 1990: 153).

Gerakan tani pendukung PT  adalah Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra  atau MST (Gerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah), organisasi kiri yang paling keras memperjuangkan reformasi agraria di Brazil (Rotella 1997; Wolford 2005). Sebelumnya, di kawasan Amazon cabang-cabang PT sudah merangkul para petani penyadap karet (seringalistas), termasuk tokoh penyadap karet (seringal ), Francisco “Chico” Alves Mendes Filho, yang akrab dipanggil Chico Mendes, yang ikut mendirikan cabang PT di Acre, kampung halamannya. Kesuksesannya memimpin gerakan penyadap karet, yang berkepentingan atas pelestarian hutan Amazon, membawa Chico Mendes ke pentas internasional, lewat muhibah-muhibah bersama para aktivis lingkungan ke pusat-pusat ekonomi dunia di Britania Raya dan AS. Di Washington, DC, ia memprotes pembangunan jalan raya dan proyek-proyek lain oleh pemerintah Brazil dengan hutang dari Bank Dunia. Ketenaran Chico Mendes sebagai “pahlawan pembela lingkungan Amazon” ini meningkatkan kebencian dan kemarahan para rancheiros,  pemilik-pemilik peternakan besar di kawasan Amazon kepadanya. Pada malam tanggal 22 Desember 1988, tiga hari sebelum Natal, Chico Mendes ditembak mati oleh pembunuh-pembunuh bayaran keluarga Darly Alves da Silva, tuan tanah dan raja ternak di daerah itu (Revkin 1990). Makanya, kemenangan Lula agak mengobati kesedihan  akibat kematian Chico Mendes dan banyak penyadap karet lain, serta 19 pekerja pedesaan yang dibunuh polisi militer Brazil tahun 1996 (Fauzi 2005: 34). 

Namun Lula kini dikecam oleh MST karena kurang serius memperjuangkan reforma agraria dan sering berkompromi dengan para investor asing. Para aktivis petani mengeluh atas lambatnya proses reforma agraria. Tahun 2005, popularitas Lula juga merosot karena kasus korupsi sebagian anggota parlemen dari PT, yang membeli suara dari rakyat, sampai Lula meminta maaf kepada rakyat Brazil lewat televisi (Landim 1993: 225; Fauzi 2005: 35; BBC News, 5  & 17 Nov. 2005). Makanya Lula maupun MST dikecam keras oleh James Petras, sosiolog ahli Amerika Latin terkemuka. Petras menunjukkan betapa ironisnya bahwa MST tetap setia mendukung Lula, walaupun jumlah kaum tergusur yang tinggal di tepi jalan raya, telah bertambah 40 ribu keluarga di samping 200 ribu keluarga (2005).

Kemenangan Lula di Brazil dibarengi naiknya Hugo Chavez, mantan anggota pasukan tentara payung Venezuela ke tampuk kekuasaan di Caracas. Ia mula-mula mencoba merebut kursi kepresidenan lewat kudeta di tahun 1998, gagal, dipenjara, namun kemudian terpilih secara demokratis lewat pemilu di tahun itu juga saking besarnya dukungan dari sebagian tentara dan kaum miskin di ranchitos, kampung-kampung miskin di kota Caracas. Begitu berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya, Chavez memperkuat posisi tawar PDVSA (Petroleos de Venezuela SA) menghadapi maskapai-maskapai migas asing, khususnya dari AS, yang beroperasi di Venezuela, setelah menempatkan orang kepercayaannya, Rafael Ramirez (42), menjadi Menteri Enerji merangkap Presiden Direktur PDVSA. Royalty  untuk setiap barel minyak yang diekspor dari Venezuela dinaikkan dari 1% menjadi hampir 17%, pajak atas laba yang sebelumnya hanya 34% dinaikkan menjadi 50%, dan juga mengajukan tagihan pajak yang belum dibayar (back-tax claims ) kepada maskapai-maskapai migas asing raksasa. Shell, misalnya, disodori tagihan pajak yang belum dibayar sebesar 132 juta dollar AS. Dengan keuntungan yang berlipat ganda dari sektor migas itu, Chavez mengalokasikan empat milyar dollar AS untuk program-program kesejahteraan sosial bagi kaum miskin yang meliputi 80% penduduk Venezuela, serta untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan raya dan rel kereta api (Schwartz 2005).

Karuan saja pemerintah AS, yang di bawah Bush Jr, Dick Cheney dan Condoleza Rice diketahui sangat dekat dengan maskapai-maskapai migas AS, kebakaran jenggot. Wakil-wakil Partai Republik dalam Kongres AS mengecam Chavez habis-habisan. Sampai-sampai ada yang mencapnya “Mussolini Venezuela”. Seorang pendeta beraliran ultra-konservatif, Pat Robertson malah mendorong pasukan khusus AS untuk menculik Chavez dari negerinya, seperti yang telah dijalankan oleh AS terhadap Presiden Panama, Manuel Noriega. Namun secara realistis, apalagi setelah taufan Katrina menghancurkan sejumlah kilang migas AS, ketergantungan AS pada minyak bumi Venezuela semakin besar. Dengan memasok lebih dari 1,6 juta barel minyak per hari ke AS, Venezuela telah menjadi pemasok minyak terbesar bagi AS, mengalahkan Kanada dan Arab Saudi. Makanya maskapai-maskapai AS dengan patuh mengikuti tuntutan setoran bagian keuntungan yang lebih besar kepada pemerintah Venezuela, melalui PDVSA (Schwartz 2005).

Minyak bumi merupakan senjata ekonomi dan politik Venezuela yang paling ampuh dalam menghadapi AS, sebab PDVSA  berjaya di dua front. Di front ekspor, PDVSA memasok lebih dari 1,6 juta barel minyak mentah ke AS setiap hari. Sedangkan di front domestik AS, perusahaan retail  milik PDVSA bernama CITGO, memasok BBM melalui 14 ribu SPBU yang tersebar di seluruh daratan  AS. CITGO juga memiliki delapan kilang di daratan AS yang menyuling minyak bumi dari PDVSA menjadi BBM. Keberadaan dan operasi bisnis CITGO itu kini sedang menjadi sorotan Caracas. Menurut Chavez, CITGO telah menjual minyak mentah ke AS dengan harga yang kelewat murah, yakni hanya 2 dollar AS per barel, berdasarkan kontrak sejak sebelum Hugo Chavez merebut kursi kepresidenan Venezuela. Berarti, PDVSA telah mengsubsidi anggaran belanja AS. Lalu, berdasarkan laporan keuangan CITGO bulan Desember 2004, dividen yang dibayar perusahaan itu kepada pemerintah Venezuela, yakni 400 juta dollar AS, hampir sama dengan jumlah pajak yang dibayar CITGO kepada pemerintah AS. Itu sebabnya, Rafael Ramirez bermaksud membekukan rencana pengembangan CIO (Schwartz 2005: 56; Intelijen,  9-22 Sept. 2005: 21).

Ketegangan antara Venezuela dan AS punya dampak regional, bahkan internasional. Kalau sikap bermusuhan Washington  terhadap Caracas terus dilanjutkan, harga minyak dunia diperkirakan bisa menembus level US$ 100 per barel. Hal itu karena Chavez menentang keras pendudukan Irak oleh AS, dan juga secara terbuka mendukung Fidel Castro, musuh bebuyutan AS. Chavez menopang ekonomi Kuba dengan memasok 100 ribu barel minyak ke Kuba setiap hari, dengan berbagai keringanan. Sebagai imbalannya, Kuba menempatkan 17 ribu orang dokter dan dokter gigi di Venezuela. Kuba juga telah mulai menopang program pendidikan di Venezuela, dengan mengirim sejumlah penasehat pendidikan dengan membawa materi baca tulis untuk ditularkan kepada pengajar lokal. Kuba memang siap untuk itu, sebab kampanye pencerdasan Kuba sendiri dirintis setelah revolusi 1959, dengan mengirimkan guru-guru muda ke pelosok negeri. Selain dengan Kuba, Venezuela juga telah membuka kerjasama dengan Iran, yang dituduh oleh Washington DC mendukung gerilyawan anti-AS di Irak. Pelatihan karyawan PDVSA telah dibuka di Iran, yang sudah berpengalaman puluhan tahun di bidang permigasan (Schwartz 2005; Jawa Pos, 1 Jan. 2005).

AS kini juga mengalami oposisi dari Bolivia, di bawah Presiden Evo Morales. Selain memuji Hugo Chavez secara terbuka, Morales secara terbuka juga memuji Fidel Castro, karena teladannya kepada bangsa-bangsa Amerika Latin untuk melawan dominasi ekonomi dan politik Amerika Serikat, khususnya embargo perdagangan AS. Kata tokoh perlawanan bangsa-bangsa asli Amerika Latin itu: “Saya berharap pemerintah AS suatu hari mencabut embargo itu. Saya ingin mengatakan kepada rakyat Kuba, pemerintah dan pemimpinnya, terima kasih untuk menunjukkan bagaimana mengelola Amerika Latin dan bagian dunia lain. Salam revolusioner untuk seluruh rakyat Kuba”. Sebagai bukti simpatinya pada Castro, Morales telah memenuhi undangan el commandante  -- panggilan akrab pemimpin Kuba yang sudah berumur 79 tahun itu – bertandang ke Havana di malam pergantian tahun. Dalam pertemuan dua generasi pejuang pembebasan bangsa masing-masing, Kuba sepakat untuk memberikan beasiswa bagi 5000 pelajar Bolivia setahun (Langman 2005: 49; Seputar Indonesia, 21 Des. 2005; Jawa Pos, 1 Jan. 2005).

Teladan  Venezuela untuk menantang hegemoni AS di bidang minyak bumi mengilhami Evo Morales untuk menaikkan royalty  gas alam di Bolivia menjadi 50%. Sebelum ia disumpah sebagai presiden, di bulan Mei 2005 parlemen Bolivia – di mana Morales duduk sebagai anggota parlemen waktu itu -- telah menaikkan royalty  terhadap ekspor gas alam dari negeri itu, sehingga menambah pemasukan devisa negara itu sebanyak 420 juta dollar AS setahun. Selain itu, konsesi-konsesi asing di bidang enerji akan dinasionalisasi, begitu janji Morales. Rencana itu sangat menggelisahkan maskapai kongsi Spanyol-Argentina, Repsol YPF, yang tadinya menguasai 26% produksi gas alam Bolivia, dan maskapai Petrobras  (Petroleo Brasileiro SA) dari Brazil, yang tadinya menguasai 43,2% produksi gas alam negeri itu. Selain itu, dalam jumlah yang lebih kecil, perusahaan Inggris, BG Group dan BP, perusahaan Perancis, Total SA, perusahaan AS, ExxonMobil, dan perusahaan kongsi Jerman-Peru, CLHB turut beroperasi di Bolivia (Langman 2005: 48-9; Economist, 17 Des. 2005: 36;  Seputar Indonesia, 21 Des. 2005, 7 Mei 2006; Kompas, 3 Mei 2006; Suara Merdeka, 4 Mei 2006).

Morales telah membuktikan bahwa ia tidak main-main. Bertepatan dengan Hari Buruh Sedunia, hari Senin, 1 Mei lalu, Presiden Bolivia itu mendekritkan nasionalisasi semua perusahaan migas di negaranya, dengan menempatkan semua kegiatan eksplorasi dan produksi gas alam asing di bawah perusahaan negara, YPFB (Yacimientos Petroliferos Fiscales Bolivianos). Ia juga memberikan waktu 180 hari kepada perusahaan-perusahaan asing untuk menyesuaikan operasi mereka dengan kontrak baru, yang menyangkut kenaikan pajak dan royalti. Dekrit nasionalisasi itu disampaikan Evo Morales dalam pidato menyambut Hari Buruh di ladang minyak San Alberto, negara bagian Tajira, di selatan negara itu. Untuk mengamankan dekrit itu, sang Presiden memerintahkan tentara mengawasi eksplorasi dan produksi gas di 56 lokasi di seluruh wilayah Bolivia. Sekitar seratus orang tentara dengan damai mengambil alih pengilangan minyak Palmasola di timur kota Santa Cruz (Kompas, 3-4 Mei 2006; Republika, 4 Mei 2006).

Dekrit nasionalisasi ladang-ladang migas Bolivia itu mengundang reaksi dari maskapai-maskapai migas yang beroperasi di negeri pegunungan Andes itu, dari Spanyol, dan dari negara-negara tetangga yang tergantung pasokan gas alamnya dari Bolivia. Soalnya, Brazil merupakan investor migas terbesar di Bolivia, dengan nilai investasi sekitar US$ 1,5 milyar. Selain itu, setengah dari kebutuhan gas alam Brazil didatangkan dari Bolivia. Sementara Argentina adalah konsumen migas Bolivia yang kedua terbesar. Kontan para pemimpin Brazil, Argentina, Bolivia, dan Venezuela mengadakan pertemuan darurat di Puerto Iguazu, sebuah kota di Argentina yang berbatasan dengan Brazil dan Bolivia, hari Kamis, 4 Mei lalu. Setelah pembicaraan selama lima jam, Presiden Brazil Luis Inacio Lula da Silva, Presiden Argentina Nestor Kirchner, dan Presiden Venezuela Hugo Chavez menyatakan dapat menerima keputusan Presiden Bolivia, dengan jaminan Evo Morales bahwa nasionalisasi industri migas di negerinya tidak akan mengganggu pasokan gas untuk ketiga negara Amerika Latin itu, sementara masalah harga baru gas alam Bolivia akan ditetapkan dalam pembicaraan sedemokratis mungkin. Sedangkan PDVSA, yang melalui para ahli hukum dan teknisinya telah membantu YPFB, akan membantu Bolivia membangun sebuah kilang ekstraksi gas alam, yang diformalisasi dalam kunjungan Chavez ke Bolivia, 18 Mei lalu  (Kompas, 4, 6 Mei 2006; The Economist,  6 Mei 2006).

Langkah nasionalisasi perusahaan-perusahaan migas asing di Bolivia itu memperkuat posisi Morales sebagai penandatangan perjanjian kawasan perdagangan alternatif, the Bolivarian Alternative for the Americas,  atau ALBA, yang berarti “fajar” dalam  bahasa Spanyol. Perjanjian perdagangan itu, yang merupakan tantangan terhadap FTAA (Free Trade Area of America), yang dipelopori oleh AS dengan memperluas cakupan NAFTA (North American Free Trade Agreement), yang hanya terdiri dari AS, Kanada dan Mexico (Ariane 2006). Perjanjian ALBA itu ditandatangani oleh Evo Morales di Havana bersama Cesar Chavez dan Fidel Castro, hanya beberapa jam sebelum dekrit nasionalisasi perusahaan migas asing di Bolivia. Perjanjian itu serta merta mendapat dukungan dari Ekuador, yang juga sangat menentang FTAA. Namun Morales juga harus berhadapan dengan ambisi Chavez, yang telah memasukkan Venezuela dalam pakta perdagangan Amerika Selatan, MERCOSUR, yang tadinya hanya meliputi Brazil, Argentina, Paraguay dan Uruguay. Seperti diketahui, Brazil di bawah Lula dan Argentina di bawah Kirchner, bersikap jauh lebih lunak terhadap AS dan badan-badan pengendali kapitalisme global, seperti Bank Dunia, IMF dan WTO, ketimbang Chavez dan Morales (The Economist,  16 Januari 2006: 42-43, 6 Mei 2006: 41-42; Seputar Indonesia, 7 Mei 2006).

Berbagai langkah Evo Morales mendapat sorotan pers dan para kolumnis di Indonesia, yang umumnya sangat positif. Praktis hanya kolumnis Suara Pembaruan, Christianto Wibisono,  menanggapi kemunculan trio Castro-Chavez-Morales dengan sangat sinis[3]. Yang juga tidak luput dari perhatian pers Indonesia adalah janji Morales untuk memangkas gaji presiden, seluruh anggota kabinet, dan 157 orang anggota parlemen dari MAS sebesar 50 persen. Berarti, gaji Presiden Bolivia yang sebelumnya 3600 dollar AS akan dipangkas menjadi 1800 dollar AS, atau sekitar Rp 18 juta saja. Selain itu, Morales mengancam anggota parlemen dari partainya, yang berhalangan menjalankan tugasnya, akan dipangkas gajinya hingga nol (Fajar. 29 Des. 2005).

Sementara rakyat Bolivia mengorbitkan Presiden pribumi pertama di Amerika Latin, rakyat Chile memilih Presiden perempuan pertamanya, hari Minggu, 15 Januari lalu: Michelle Bachelet (54), yang juga seorang Sosialis. Dia anak perempuan dari Alberto, seorang marsekal Angkatan Udara Chile yang ikut ditangkap oleh rezim Jenderal Augusto Pinochet, yang merampas kekuasaan dari Presiden Sosialis terpilih, Salvador Allende. Makanya, Michelle merupakan saksi mata dari kudeta Pinochet dan epilognya. Ayahnya, Alberto, disiksa dalam tahanan dan meninggal karena serangan jantung pada usia 50 tahun. Tahun 1975, Michelle, yang waktu itu baru berusia 23 tahun dan masih kuliah di fakultas kedokteran, juga ditangkap bersama ibunya dan dipukuli selama sebulan di tahanan rezim militer Pinochet. Untunglah ibu dan anak itu berhasil lolos. Setelah kembali ke Chile tahun 1979, Michelle yang telah menyaksikan bagaimana banyak temannya hilang, dipenjarakan atau disiksa bersumpah akan menegakkan kembali demokrasi yang telah dihancurkan oleh Pinochet (Langman & Contreras 2005:  54).

Itulah yang kini ingin dilakukan oleh dokter anak yang punya tiga orang anak, sudah cerai, seorang agnostic, pemimpin Partai Sosialis Chile dan sekarang Presiden Chile. Setelah Pinochet digeser dari kekuasaan mutlaknya di tahun 1990, Michelle menyiapkan diri untuk terjun ke politik. Ia memperdalam pengetahuannya tentang dunia kemiliteran dan hubungan sipil-militer di Inter-American Defense College di Washington, DC dan tahun 1998 diangkat menjadi penasehat Departemen Pertahanan Chile. Tahun 2002 ia malah diangkat menjadi Menteri Pertahanan perempuan pertama di Chile. Walaupun di lubuk hatinya ia membenci para perwira tinggi yang dulu mendukung rezim Pinochet, ia berhasil mencegah konflik langsung dengan mereka. Buktinya ia terpilih menjadi kandidat presiden dari Concertacion,  aliansi partai-partai Kiri dan Tengah yang memerintah Chile sejak tahun 1990 (Langman & Contreras 2005: 55).

Berbeda dengan Chavez dan Morales, Bachelet tidak mengumbar retorika anti neo-liberalisme atau anti-AS. “Pemerintah-pemerintah sebelumnya berhasil memacu laju pertumbuhan ekonomi [Chile]”, katanya kepada Newsweek  di akhir 2005, “sekarang rakyat biasa di Chile menginginkan suatu negeri yang lebih layak huni, dengan jaminan sosial yang lebih baik dan dengan sarana-sarana untuk melindungi golongan masyarakat yang paling rentan”. Itu sebabnya dalam platform kampanyenya, Michelle Bachelette menjanjikan akses penuh ke pendidikan, pelayanan kesehatan, dan gizi yang layak bagi anak-anak miskin di bawah umur sepuluh tahun. Tantangan yang dihadapinya sungguh berat, sebab tingkat pengangguran di Chile tahun lalu telah mencapai sepuluh persen, dan tingkat ketimpangan pendapatan di Chile termasuk sepuluh yang terburuk di dunia (idem).

DELAPAN BENANG MERAH

ADA delapan benang merah dari berbagai gerakan kiri di Amerika Latin itu. Pertama-tama, dengan perkecualian kampanye politik Michelle Bachelette, semangat anti neo-liberalisme AS sangat kentara dalam propaganda politik presiden-presiden yang terorbit oleh gelombang pasang gerakan kiri di Amerika Latin ini. Chavez dan Morales sangat menghargai Castro, dan sangat berhasrat membangun ALBA, blok ekonomi Amerika Latin bersama Kuba sebagai kubu pengimbang blok NAFTA AS. Sehingga trio Castro-Chavez-Morales dianggap penantang  hegemoni AS yang paling kuat di benua Amerika (Wibisono 2005; Seputar Indonesia,  21 Des. 2005).

Kedua, ‘modal’ Venezuela dan Bolivia untuk ‘menantang’ hegemoni AS di Amerika Latin disebabkan karena masing-masing negara itu memiliki komoditi yang sangat strategis: Venezuela memiliki cadangan minyak bumi terbesar di belahan bumi Barat, sedangkan Bolivia adalah pemasok kokain ketiga terbesar ke AS setelah Kolombia dan Peru (Kompas,  22 Des. 2005). Dengan cadangan minyak buminya, Venezuela menjadi produsen minyak bumi No. 6 di dunia dan pemasok minyak bumi terbesar bagi AS (Schwartz 2005: 56).

Makanya, AS cukup dipusingkan oleh sikap Evo Morales yang menolak larangan penanaman koka,[4] yang dipaksakan oleh AS dengan iming-iming kredit untuk pembangunan prasarana sebesar US$ 593 juta  (Economist,  17 Des. 2005: 36-7). Seperti ia kemukakan dalam wawancaranya dengan Newsweek,  12 Desember 2005, hal. 48:
I want an agreement or a partnership with the United States to reach zero drug trafficking. Not zero coca but, yes, zero trafficking, zero cocaine. Cocaine and narcotrafficking are not part of the Andean culture. But coca is. The World Health Organization has studies that show it is safe. Coca can be industrialized and put to safe uses (Langman 2005: 48).

Ketiga, semua gerakan kiri di Amerika Latin pada dasarnya merupakan konvergensi di antara berbagai gerakan kemasyarakatan (social movements), dengan platform politik yang cukup lebar, yang diperjuangkan secara konsisten dalam waktu yang cukup lama. MAS di Bolivia, misalnya, baru berhasil mengorbitkan Evo Morales ke kursi kepresidenan, setelah berjuang selama tujuh tahun, melalui tahap pengorbitan Morales ke kursi parlemen. Platformnya cukup lebar, dari hal yang sangat konkrit, seperti dekriminalisasi penanaman dan perdagangan daun koka, sampai hal yang lebih luas, yakni penghapusan semua bentuk penjajahan ekonomi yang dipaksakan oleh lembaga-lembaga pengatur ekonomi dunia, di bawah panji-panji pembongkaran sistem ekonomi neo-liberal. Seperti kata Comacho dan Gonzalez Casanova (1993: 54):
History does not give a single example in which the urban movement alone, or the religious movement on its own, or the workers’ movement without alliances succeeded in  changing fundamentally the existing system of domination. With the exception of the ecological movement (and this occurred outside the continent), none of  these movements on their own have even be able to launch an electoral political party.

Keempat, dalam semua gerakan kiri itu, kaum buruh tidak memainkan peranan yang dominan dalam transformasi politik yang diperjuangkan. Peranan agak dominan memang dimainkan oleh serikat-serikat buruh kiri yang merupakan anggota MAS di Bolivia, serta serikat-serikit buruh pendukung Partido Trabalhadores  di Brazil. Namun yang mengawali sejarah demokratisasi di Brazil adalah buruh penyadap karet (rubber tappers) di kawasan Amazonia, bukan buruh industri manufaktur di kota, yang lazimnya dalam literatur Marxisme klasik dianggap sebagai motor transformasi sosial, kaum proletar sejati. Selain itu, sebagian besar penyadap karet menyadap pohon-pohon karet tua di hutan Amazonia, yang sudah mereka anggap milik mereka sendiri. Jadi dalam pengertian Marxisme klasik, mereka adalah borjuis kecil, seperti petani pada umumnya, yang masih memiliki alat-alat produksi sendiri.[5]

Kelima, dua gerakan kiri yang telah dibahas, yakni Zapatista di Mexico dan MAS di Bolivia, bertulang punggung gerakan ‘bangsa-bangsa pribumi’ (indigenous peoples). Moda produksi mereka adalah moda produksi petani ladang, di mana praktis tidak ada pemisahan antara pemilik alat-alat produksi dan pemilik tenaga kerja. Dari kacamata Marxis klasik, mereka dapat dianggap sama seperti petani yang dianggap sebagai borjuis kecil yang tidak punya kesadaran kelas, tapi dari tradisi Marxis yang sama mereka dapat dianggap sebagai masyarakat komunis purba maupun masyarakat komunis di masa depan, yang lebih bersifat sama rata sama rasa, di mana tidak ada pertentangan kelas dan tidak ada pemisahan antara kerja otot dan kerja otak (manual and mental work).

Sub-commandante Marcos, yang terkenal komunike-komunike dan karya-karya sastranya, boleh dikata merupakan contoh dari masyarakat komunis, di mana orang dapat bertani di pagi hari, memancing ikan di siang hari, menggembala ternak sore harinya, dan melakukan kritik sastra di malam hari. Dengan kata lain, praxis  bangsa Maya, yang merupakan basis Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional,  EZLN), merupakan prototip masyarakat alternatif terhadap masyarakat pasar yang diperjuangkan para penganjur neo-liberalisme.

Kebangkitan bangsa-bangsa pribumi Amerika Latin bukan hanya gejala khas Bolivia, tapi mengubah petabumi politik sebagian besar negara hasil kolonisasi bangsa-bangsa Spanyol dan Portugis itu. Sejak tahun 2000, gerakan bangsa-bangsa pribumi telah mendorong tergulingnya empat orang presiden di Ekuador dan Bolivia, dua di antaranya dalam tahun 2004 saja. Di Ekuador, Konfederasi Bangsa-Bangsa Asli punya partai politik sendiri, Pachakutik (Kebangkitan, dalam bahasa Quechua), yang ikut mengorbitkan Presiden Lucio Gutierrez. Namun setelah Gutierrez menyetujui paket reformasi ekonomi neo-liberal dari IMF, Pachakutik ikut menjatuhkan Gutierrez di bulan April 2005. Sedangkan di Bolivia, Presiden Carlos Mesa dipaksa turun takhta oleh parlemen jalanan yang dipelopori bangsa-bangsa pribumi di bulan Juni 2005 (Langman 2005: 47-8).

Kebangkitan politik bangsa-bangsa pribumi yang lebih moderat terjadi di Kolombia, Venezuela dan Guatemala, di mana wajah-wajah berkulit coklat semakin mendominasi pemerintahan federal dan lokal, menggantikan wajah-wajah seputih salju Pegunungan Andes yang hampir 200 tahun bercokol di sana. Soalnya, partai-partai pribumi telah bermunculan di Bolivia, Kolombia, Venezuela, Peru, Argentina, Guyana, Mexico dan Nicaragua. Di Chile Selatan, lebih dari selusin kota sekarang dikuasai walikota-walikota dari suku Mapuche. Sedangkan di Kolombia dan Venezuela, walaupun hanya merupakan minoritas, penduduk pribumi telah memilih gubernur dan melengserkan anggota-anggota legislatif dari partai-partai tua. Hal ini dimungkinkan, karena masyarakat luas yang bukan penduduk asli pun melihat kandidat-kandidat partai-partai pribumi lebih committed  pada reformasi (idem).

Terpilihnya Alejandro Toledo, seorang mestizo (berdarah campuran pribumi dan Eropa) di Peru tahun 2001, tadinya disambut gembira oleh penduduk pribumi. Namun mereka kini merasa dikhianati. Berbagai perubahan yang dijanjikan Toledo, seperti penguatan hak-hak adat atas tanah, tidak diwujudkan. Saat ini hanya ada seorang wakil penduduk asli dalam parlemen Peru yang beranggotakan 120 orang. Makanya, mata penduduk asli Amerika Latin kini tertuju pada Bolivia, di mana baru setengah abad lalu, tepatnya pada tahun 1952, penduduk pribumi mendapatkan hak suara dan hak untuk mengenyam pendidikan dasar. Hal ini dimungkinkan karena di negara yang menjalankan semacam politik apartheid, satu kelompok cocaleros (penanam koka) dari suku Quechua dan Aymara di tahun 1995 bersepakat mengubah nasib mereka. Di bawah kepemimpinan Morales mereka dirikan MAS, yang dalam tujuh tahun berhasil memenangkan tiket ke kursi kepresidenan dengan 42 ribu suara. Dukungan di parlemen Bolivia juga sangat besar. Dari 154 kursi, 30 persen jatuh ke kandidat pribumi, yang masih mungkin naik sampai 40 persen (Langman 2005: 47-8).

Kunci sukses Morales, yang sekaligus merupakan duri dalam daging diplomasi regional AS, adalah pembelaan Morales terhadap hak penduduk asli Bolivia untuk terus menanam koka, daun suci dalam upacara-upacara keagamaan asli Bolivia sejak 3000 tahun Seb. Masehi. Tidak cuma buat penduduk pribumi Bolivia, juga buat suku-suku asli kawasan Pegunungan Andes yang lain, seperti di Kolombia dan Peru, yang sampai hari ini masih punya kebiasaan mengunyah daun koka untuk menahan rasa lapar atau untuk obat. Pembelaan terhadap hak penduduk asli untuk menanam dan memperdagangkan daun koka inilah yang menyebabkan AS menuduh Morales sebagai penyelundup dan teroris kokain (Langman 2005: 48; Kompas,  22 Des. 2005). 

Keenam, ada juga gerakan kiri di Amerika Latin yang ikut dipengaruhi oleh gerakan buruh, baik dalam arti positif maupun dalam arti negatif. Venezuela dan Chile merupakan contoh masyarakat Amerika Latin yang sudah lebih didominasi oleh kaum Ladino, yakni para keturunan migrant dari Eropa Selatan, terutama turunan Spanyol. Moda produksi kedua negara Amerika Selatan itu kapitalis industrialis, sehingga kaum buruhnya juga lebih dominan ketimbang di Bolivia. Makanya, gerakan buruh juga lebih dominan sebagai agen transformasi sosial dan demokratisasi, ketimbang gerakan-gerakan sosial lain. Konsekuensi logisnya, pemerintah-pemerintah yang berkuasa di Caracas dan Santiago sewaktu-waktu harus berhadapan dengan gerakan buruh, yang juga punya tuntutan sebagai buruh, yang dalam literatur Marxis-Leninis sering dicap sebagai welfare-ism, economism  atau trade unionism. Efek negatifnya terjadi di Venezuela dengan pemecatan 18 ribu karyawan PVDSA yang menentang favoritisme dagang untuk Kuba.

Ketujuh, pada umumnya, andil gerakan perempuan dalam mendorong transformasi ekonomi dan politik di Amerika Latin, tidak begitu tampak. Baru di Chile kita melihat munculnya kandidat presiden yang tidak hanya Sosialis, tapi juga perempuan. Ia terpilih karena dirinya sendiri, bukan karena mewarisi tampuk kepresidenan dari suami yang meninggal atau tidak mampu menjalankan tugasnya. Mungkin itu sebabnya, ia berusaha betul-betul memanfaatkan profil gendernya. Ia berjanji bahwa separuh dari jabatan di kabinetnya akan dialokasikan kepada perempuan. Selain itu, sebagai presiden ia mendorong keluarnya undang-undang yang akan mewajibkan partai-partai politik mengisi quota  tertentu bagi perempuan sebagai kandidat untuk pemilihan jabatan di berbagai jenjang (Langman & Contreras 2005: 55).

Kemunculan Bachelet ke pentas politik nasional tidak terlepas dari peranan gerakan perempuan di Chile, khususnya Gerakan Perempuan untuk Sosialisme (Movimiento Mulheres por el Socialismo, MMS), yang terbentuk tahun 1984, yang mulai memadukan analisis kelas dengan analisis gender  (lihat Chuchryk 2005: 203). Namun kita masih harus melihat, seberapa jauh korban kudeta Pinochet tanggal 11 September 1973 itu akan mengawinkan agenda pemberdayaan perempuan dengan agenda demiliterisasi dan pemberdayaan buruh Chile, di masa kepresidenannya.

Last but not least, gerakan kiri yang paling unik di Amerika Latin saat ini adalah Zapatista. Gerakan ini memadu cara perjuangan bersenjata dengan cara-cara perjuangan tak bersenjata. Dalam hal ini, Zapatista ada persamaan dengan gerakan penumbangan rezim Batista di Kuba, serta gerakan Sandinista di Nikaragua. Namun berbeda dengan revolusi Kuba dan Sandinista, Zapatista tidak (atau belum?) berusaha merebut tampuk kekuasaan negara, tapi lebih memperjuangkan demokrasi langsung atau demokrasi basis, khususnya bagi bangsa Maya, sambil memperluas ruang politik bagi kemunculan partai-partai oposisi baru di lingkup nasional.

IMPLIKASI TEORETIS

APA implikasi teoretis dari arus pasang gerakan kiri di Amerika Latin itu? Saya lihat, ada tiga bidang yang perlu pembahasan kritis lebih lanjut. Pertama, karakteristik gerakan-gerakan kiri tersebut sebagai gerakan kemasyarakatan (social movement). Kedua, karakteristik demokrasi yang ingin diwujudkan oleh gerakan-gerakan tersebut. Dan ketiga, apa yang dapat diharapkan dari masyarakat-masyarakat pasca-revolusi, setelah tokoh-tokoh pemimpin gerakan-gerakan tersebut berhasil merebut tampuk kekuasaan negara.

Seperti telah disinggung di atas, gerakan-gerakan kiri ini umumnya merupakan koalisi di antara berbagai gerakan kemasyarakatan (social movement), dengan karakteristik tambahan bahwa gerakan buruh, khususnya gerakan buruh industri manufaktur berbasis di kota, tidak memainkan peranan yang dominan atau menentukan dalam gerakan-gerakan kiri tersebut.

Realitas arus pasang gerakan kiri di Amerika Latin itu lebih mendekati teori ‘gerakan sosial baru’ (new social movements) dari Ernesto Laclau, yang seperti Ernesto “Che” Guevara, juga berasal dari Argentina, serta kekasih dan teman sepemikirannya, Chantal Mouffe, yang berasal dari Perancis. Konsep ‘gerakan sosial baru’ sebagai subyek revolusioner masa kini, merupakan ‘pemberontakan’ terhadap ajaran Marx yang melihat kaum buruh (proletariat) sebagai subyek revolusioner yang utama. Konsep ini merangkum berbagai gerakan atau perjuangan (struggle) yang tidak berbasis kelas dan bukan gerakan buruh, seperti gerakan urban, gerakan lingkungan, gerakan anti-otoriterisme, gerakan anti-institusi, gerakan feminis, gerakan anti-rasisme, gerakan etnis, gerakan regional, dan gerakan perdamaian (Laclau and Mouffe 1999: 159-60).

Walaupun disebut gerakan sosial ‘baru’, gerakan-gerakan  itu tercetus oleh proses yang mulai mengalami akselerasi di tahun 1940an, yakni Fordisme. Istilah ini dipopulerkan oleh Antonio Gramsci untuk sistem ban berjalan yang dirintis Henry Ford dalam pabrik mobilnya di Detroit (AS), yang ditiru oleh FIAT di Turino, Italia. Sistim ini, menurut Laclau dan Mouffe, merupakan “articulation between a labour process organized around the semi-automatic production line, and a mode of consumption characterized by the individual acquisition of commodities produced on a large scale for private consumption” (1999: 160). Sistem ini punya dampak luarbiasa, sebab “This penetration of capitalist relations of production, initiated at the beginning of the century and stepped up from the 1940s on, was to transform society into a vast market in which new ‘needs’ were ceaselessly created, and in which more and more of the products of human labour were turned into commodities. This commodification’ of social life destroyed previous social relations, replacing them with commodity relations through which the logic of capitalist accumulation penetrated into increasingly numerous spheres. Today it is not only as a seller of labour-power that the individual is subordinated to capital, but also through his or her incorporation into a multitude of other social relations: culture, free time, illness, education, sex and even death. There is practically no domain of individual or collective life which escapes capitalist relations” (Laclau & Mouffe 1999: 160-1).

Masyarakat konsumen ini, kata Laclau dan Mouffe, melahirkan berbagai bentuk perjuangan baru yang menunjukkan perlawanan terhadap bentuk-bentuk subordinasi baru, yang muncul dari jantung masyarakat baru ini. Aksi-aksi menentang pemborosan sumber-sumber daya alam, pencemaran dan perusakan lingkungan, akibat ideologi produksi demi produksi ini, melahirkan gerakan lingkungan. Aksi-aksi menentang hancurnya kawasan kota karena urbanisasi besar-besaran melahirkan gerakan untuk menuntut kehidupan kota yang lebih baik. Sedangkan produksi massal yang menurunkan kualitas barang dan jasa, melahirkan gerakan konsumen. Dari sinilah dapat kita lihat bagaimana habitat (lingkungan tempat tinggal), konsumsi, dan kebutuhan akan berbagai macam jasa, memicu gerakan-gerakan baru yang menentang ketidakadilan dan menuntut hak-hak baru (Laclau & Mouffe 1999: 161).

Walaupun menolak gagasan Marx terhadap peranan buruh sebagai subyek revolusioner, atau agen perubahan sosial utama menuju sosialisme, gagasan ‘gerakan sosial baru’ Laclau dan Mouffe tetap berakar di pemikiran Marx, baik secara langsung maupun melalui re-interpretasi pokok-pokok pikiran Marx oleh Gramsci. Dari Gramsci mereka secara khusus meminjam konsep hegemoninya, sebab tugas gerakan-gerakan sosial baru itu, menurut Laclau dan Mouffe, adalah menciptakan suatu hegemoni baru. Mereka tergerak oleh kritik Marx terhadap para filsuf, dalam tesis kesebelas tentang Feuerbach, yang dijabarkan oleh Gramsci menjadi perbedaan antara intelektual tradisional dan intelektual organik. Bahkan kepedulian Marx secara umum tentang berbagai bentuk alienasi (keterasingan), yang dituangkan dalam Naskah-Naskah Paris 1844 (Marx 1961), mengilhami ketidakterikatan mereka pada satu kelas atau kategori sosial saja. Akhirnya, mereka juga ‘berhutang’ kepada Gramsci, yang pertama kali berbicara tentang aliansi antara buruh dan petani (Gramsci 1995), dan menciptakan kategori “subaltern classes”, untuk menggambarkan kelompok-kelompok dan kelas-kelas yang tidak atau belum mencapai posisi hegemonik (Hoare & Smith 1998: xiv, 52-53; Sardar & Van Loon 1999: 79) yang dalam teori Laclau dan Moffe mengalir ke dalam konsep ‘gerakan sosial baru’.

Gagasan ‘gerakan sosial baru’ ini mulai mengilhami gerakan perempuan di Indonesia (Budianta 2003). Soalnya, gagasan ini berkaitan dengan gagasan demokrasi yang lebih radikal, tapi mengakui pluralitas gerakan. Seperti kata Chantal Mouffe:
Democratic discourse questions all forms of inequality and subordination. This is why I  propose to call those new social movements ‘new democratic struggles’ because they are extensions of the democratic revolution to new forms of subordination. Democracy is our most subversive idea because it interrupts all existing discourses and practices of subordination (dikutip dalam Budianta 2003: 149).

Selain pluralitas gerakan, atau “pluralism of subjects”, yang paling penad (relevan) dari teori Mouffe bagi gerakan perempuan, menurut Melani Budianta, adalah “solidaritas” di antara gerakan gerakan-gerakan demokratik itu. Kata Mouffe:
A new conception of democracy also requires that we transcend certain individualistic conception of rights and that we elaborate a central notion of solidarity. This can only be achieved if the rights of certain subjects are not defended to the detriment of the rights of other subjects (dikutip dalam Budianta 2003: 150).

Secara tidak langsung, kita sudah memasuki persoalan teoretis kedua yang dapat dijabarkan dari realitas empiris kebangkitan gerakan kiri di Amerika Latin ini, yakni demokrasi. Demokrasi macam apa yang diperjuangkan gerakan-gerakan kiri yang telah mengorbitkan preside baru di sejumlah negara Amerika Latin? Lalu, demokrasi macam apa yang diperjuangkan Zapatista, yang tidak – atau belum -- berusaha merebut kekuasaan negara? Yang jelas, yang diperjuangkan itu bukanlah demokrasi liberal yang hanya ditandai dengan pergantian kepemimpinan secara periodik dan damai, yang disalurkan lewat partai-partai politik, yang tetap meminggirkan mayoritas rakyat miskin, dan tidak dibarengi dengan demokratisasi alat-alat produksi (Whitehead 1994).
Berbeda dengan kaum kanan yang terlalu mengunggulkan demokrasi liberal, maupun kaum ‘kiri lama’ (baca: kaum Marxis-Leninis) yang mengunggulkan perebutan kekuasaan Negara oleh partai pelopor (vanguard party) yang mengatasnamakan kaum proletar, Laclau dan Mouffe melihat tugas gerakan-gerakan sosial baru adalah membangun “demokrasi radikal pluralis”, dalam konteks munculnya antagonisme-antagonisme sosial baru dalam masyarakat kapitalis maju.
Istilah “radikal” dalam konsep demokrasi plural ini, sebagaimana disarikan oleh Daniel Hutagalung (t.t.), bermakna sebagai berikut. Pertama, demokrasi haruslah pluralis-radikal dalam arti, pluralitas dari identitas-identitas yang berbeda tidaklah transenden dan tidak didasarkan pada dasar positif(is) apapun. Kedua, demokrasi radikal plural adalah di mana demokrasi plural dan perjuangan untuk kebebasan dan persamaan (freedom and equality) dihasilkan, haruslah diperdalam (deepened) dan diperluas ke seluruh wilayah kehidupan masyarakat. Ketiga, perjuangan demokrasi radikal plural akan melibatkan di dalamnya sosialisasi produksi, tetapi bukan berarti hanya buruh yang mengatur, tetapi partisipasi sepenuhnya dari semua subyek dalam pembuatan keputusan mengenai apa yang akan diproduksi, bagaimana diproduksi dan format bagaimana produk-produk akan didistribusikan. Keempat, tugas utama demokrasi radikal adalah memperdalam revolusi demokratik dan mengaitkan berbagai perjuangan demokratik yang beragam. Tugas seperti itu mensyaratkan penciptaan posisi-posisi subyek baru yang dapat menerima berbagai artikulasi yang sudah umum, seperti anti-rasisme, anti-seksisme dan anti-kapitalisme.

Akhirnya, menghadapi era baru di mana semakin banyak posisi politis di tingkat lokal dan nasional di Amerika Latin berhasil direbut oleh gerakan kiri, kita juga perlu membaca kembali wanti-wanti Samir Amin, Marxis Mesir yang meneruskan teladan Frantz Fanon untuk tetap bersikap kritis terhadap mantan kawan seperjuangan. Khususnya, bersikap kritis terhadap jebakan-jebakan yang sudah, atau dapat, dihadapi dalam era pasca-revolusi.

Menurut Samir Amin (1993), di banyak negara yang berhasil direbut kepemimpinan nasionalnya oleh partai-partai kiri, yang terjadi bukan transisi ke sosialisme, tapi rekonstruksi nasional demi mempertahankan popularitas rezim yang berkuasa. Ia menyebutnya recompradorization, atau ‘re-kompradorisasi’, yakni penguasaan kembali sektor-sektor ekonomi yang strategis oleh Negara atau kelas yang berkuasa, untuk diintegrasikan kembali ke dalam sistem ekonomi kapitalis global. Kedua gejala tersebut – rekonstruksi nasional populer dan re-kompradorisasi – saling berkaitan, dan sedang terjadi di Brazil di bawah Lula.



HIKMAH  BAGI GERAKAN PRO-DEMOKRASI DI NUSANTARA

WALAUPUN wilayah geografis Indonesia yang jauh lebih luas dari pada masing-masing negara Amerika Latin di atas, dan juga mengingat keragaman moda produksi dan budaya politik di kepulauan ini, ada beberapa hal yang dapat dipetik hikmahnya oleh gerakan pro-demokrasi di Nusantara. Pertama-tama, untuk mencapai tujuannya, gerakan-gerakan kiri di Amerika Latin berusaha memadu agenda reformasi dari berbagai gerakan sosial, sehingga menjadi platform bersama. Kedua, perjuangan bersama di antara berbagai gerakan sosial dipertahankan sampai cukup lama, lewat tahap-tahap antara di mana lembaga-lembaga pemerintahan lokal, eksekutif dan legislatif dapat dikuasai, kemudian parlemen nasional dikuasai, baru tampuk pemerintahan nasional dikuasai. Ketiga, walaupun platform gerakan kiri nasional cukup lebar, ketahanan perjuangan jangka panjang ditopang oleh satu gerakan sosial yang cukup solid,  yakni gerakan bangsa-bangsa pribumi, yang punya basis geografis yang kuat.

Kalau dibandingkan dengan gerakan-gerakan perlawanan di Nusantara, tampaknya keadaan di sini sangat bertolak belakang. Banyak gerakan perlawanan di Nusantara yang berjuang sendiri-sendiri, seperti misalnya gerakan anti-SUTET, yang kurang atau praktis tidak mendapat dukungan dari gerakan kelompok-kelompok basis yang lain. Juga, kecenderungan berbagai ornop nasional di Nusantara untuk membentuk partai politik atau sayap politiknya sendiri, dan bukannya bersinerji dalam satu gerakan nasional, seperti yang telah dilakukan oleh Evo Morales dan kawan-kawannya di Bolivia.

Memang, sudah ada gerakan kiri di Indonesia, namun gerakan inipun masih terpolarisasi antara mereka yang condong ke Marxisme-Leninisme, yang condong ke Sosial-Demokrasi, dan yang condong ke Maois minus perlawanan bersenjata. Sudah saatnya berbagai aliran kiri di Indonesia menggantikan perdebatan tentang kebenaran tafsiran mereka, dan memadu perjuangan mereka, bersama gerakan-gerakan kemasyarakatan yang lain, menghadapi musuh bersama, yakni neo-liberalisme, militerisme, dan intoleransi terhadap perbedaan-perbedaan ontologis, sesuai dengan anjuran Marx dalam tesis kesebelas terhadap Feuerbach: “Die Philosophen haben die Welt nur verschieden interpretiert. Es kommt aber darauf an, sie zu veranderen” (Para filsuf telah menafsirkan dunia hanya secara berbeda-beda. Namun yang terpenting adalah mengubah dunia itu).

Gerakan bangsa-bangsa pribumi yang sudah mencatat beberapa kemenangan dalam merebut kekuasaan eksekutif dan legislatif di berbagai negara di Amerika Latin, dapat menjadi ilham bagi gerakan masyarakat adat di Indonesia (Murray Li 2005; Fauzi 2005: 121-34). Tidak ada salahnya membentuk partai lokal yang berbasis etno-linguistik, serta mengawinkan strategi perjuangan parlementer dengan strategi aksi massa, bersama gerakan kemasyarakatan yang lain.

Selain itu, para aktivis kiri dari berbagai aliran perlu mempelajari sistem-sistem pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan dari berbagai bangsa pribumi, untuk melihat potensinya sebagai moda produksi yang sudah bercorak sosialistis, di mana tidak ada pemisahan antara pemilik alat-alat produksi dan pemilik tenaga kerja. Moda produksi begini saya sebut, sosialisme marga.

Gerakan pro-demokrasi di Nusantara juga perlu belajar dari pengalaman Zapatista, yang tidak (atau belum?) berupaya merebut tampuk kekuasaan nasional, dan sebaliknya menekankan pada demokrasi langsung (direct democracy). Menjadi kelompok tekan yang berfungsi memberikan pendidikan politik pada rakyat mungkin merupakan suatu strategi yang dapat dilakukan di Nusantara.
Yogyakarta, 14 Juni 2006,
di Hari Ulangtahun ke-78 Ernesto “Che” Guevara

KEPUSTAKAAN:
Agustinus, Ronny (2005). “Zapatista dan sejarah yang belum berakhir”. Kata Pengantar dalam Marcos, Atas dan bawah: Topeng keheningan.  Yogyakarta: Resist Book.
Amin, Samir (2005). “Social movements at the periphery”. Dalam Ponna Wignaraja (peny.). New social movements in the South: Empowering the people. London: Zed Books, hal. 76-100.
Ariane, Zely (2006). Dari Axis of Good ke sosialisme demokratik abad 21 Amerika Latin.  Makalah untuk diskusi “Che dan Another World is Possible”, dalam rangka 78 tahun kelahiran Ernesto “Che” Guevara yang diselenggarakan oleh Institute for Global Justice  (IGJ) di Jakarta, Rabu, 14 Januari.
Bottomore, T.B. & Maximilien Rubel (eds). (1973). Karl Marx: Selected writings in sociology and social philosophy. Hammondsworth, Middlesex: Penguin Books Ltd.
Budianta, Melani (2003). “The blessed tragedy: The making of women’s activism during the Reformasi  Years”. Dalam Ariel Heryanto and Sumit K. Mandal (eds). Challenging authoritarianism in Southeast Asia: Comparing Indonesia and Malaysia. London: Routledge Curzon, hal. 145-77.
Chuchryk, Patricia M. (2003). “Politik anti kediktatoran feminis: Peranan organisasi perempuan dalam masa transisi dari masa diktator sampai masa demokrasi di Cile”, dalam Jane S. Jacquette (peny.). Gerakan perempuan di Amerika Latin: Feminisme dan transisi menuju demokrasi. Jakarta: Kalyanamitra, hal. 175-222.
Comacho, Daniel and Pablo Gonzalez Casanova (1993). “Latin America: A society in motion”. Dalam Wigmaraja (peny.).op. cit., hal. 36-58.
Debray, Regis (1970). Strategy for revolution.  Penguin Books.
Fauzi, Noer (2005). Memahami gerakan-gerakan rakyat Dunia Ketiga. Yogyakarta: INSIST Press.
-------- (peny.) (2005). Gerakan-gerakan rakyat Dunia Ketiga. Yogyakarta: Resist Book.
Gilbert, Chris dan Gerardo Otero (2005). “Demokratisasi di Meksiko, pemberontakan Zapatista, dan masyarakat sipil”, dalam Fauzi (peny.), op. cit., ha. 27-52.
Gramsci, Antonio (1995). The southern question. Translated and Introduction by Pasquale Verdicchio. West Lafayette, Indiana: Bordighera Inc.
Hoare, Quintin & Geoffrey Nowell Smith (peny.) (1998). Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. London: Lawrence & Wishart.
Hutagalung, Daniel (2006). “Laclau dan Mouffe tentang “gerakan sosial baru” , Basis,  No. 1-2, Tahun ke-55, hal, 40-48.
----------------- (t.t.). Hegemoni, demokrasi radikal dan strategi baru sosialis: Teori gerakan sosial Laclau dan Mouffe.
Iswinarto, Andreas (2006). “Belajar dari Sandinista di Nikaragua (1)”. Sarekat Hijau, Februari, hal. 8.
Klein, Naomi (2001). “The new Che Guevara? How a masked Mexican revolutionary became an international pin-up,” Good Weekend,  7 April, hal. 22-28.
Laclau, Ernesto & Chantal Mouffe (1999). Hegemony & socialist strategy: Towards a radical democratic politics. London: Verso.
Landim, Leilah (1993). “Brazilian crossroads: People’s groups, walls and bridges.” Dalam Wignaraja (peny.).op. cit., hal. 218-29.
Langman, Jimmy (2005). “A native speaker”, Newsweek,  12 Des., hal. 46-9.
--------------- & Joseph Contreras (2005). “An unlikely pioneer”, Newsweek,  26 Des., hal. 54-5.
Marcos, Subcommandante (2003). Bayang tak berwajah: Dokumen perlawanan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista. Yogyakarta: INSIST Press.
Marx, Karl (1961). Economic and philosophic manuscripts of 1844. Moscow: Foreign Languages Publishing House.
Murray-Li, Tania (2005). “Masyarakat adat dan masalah pengakuan”, dalam Fauzi (peny.), op. cit.,  hal. 277-302.
Pareanom, Yusi Avianto (2005) (peny.). Catatan harian Che Guevara. Jakarta: Banana Publishers.
Petras, James (2005). “Lula’s ‘workers’ regime’ plummets in stew of corruption,” Counterpunch,  30 Juli.
Rachman, M. Fadjroel (2006). “Amerika Latin melawan neoliberalisme.” Kompas,  23 Februari.
Rahardjo, Toto & Hary Prabowo (2005). “Negeri penuh inspirasi”. Kata Pengantar untuk Peter Rosset & Medea Benyamin, Kuba melawan Revolusi Hijau.  Yogyakarta: INSIST Press, hal. xiii-xxv.
Revkin, Andrew (1990). The burning seasons: The murder of Chico Mendes and the fight for the Amazon rain forest. London: Collins.
Rotella, Sebastian (1997). “Brazil’s machete-and-sickle movement,” Sydney Morning Herald, 19 April.
Sardar, Ziauddin & Borin Van Loon (1999). Introducing Cultural Studies. Cambridge: Icon Books. 
Schwartz, Nelson D. (2005). “Oil’s New Mr. Big”, Fortune,  3 Okt., hal. 55-60.
Tucker, Robert C. (1978). The Marx-Engels Reader. Second Edition. New York: W.W. Norton & Company.
Wasserstrom, Robert (1989). “Indian uprisings under Spanish colonialism: Southern Mexico in 1712.” Dalam Robert P. Weller & Scott E. Guggenheim (peny.). Power and protest in the countryside: Studies of rural unrest in Asia, Europe, and Latin America.  Durham, NC: Duke University Press, hal. 42-56.
Whitehead, Laurence (1994). ”The alternatives to ‘liberal democracy’: A Latin American Perspective”, dalam David Held (peny.). Prospects for Democracy: North, South, East, West. Cambridge, UK: Polity Press, hal. 312-29.
Wolford, Wendi (2005). “Memproduksi komunitas: MST dan pemukiman-pemukiman land reform di Brazil”, dalam Fauzi (peny.), op. cit., hal. 1-26.


[1]) Makalah untuk Diskusi “Che dan Another World is Possible”, dalam rangka 78 tahun kelahiran Ernesto “Che” Guevara, yang diselenggarakan oleh Institute for Global Justice (IGJ) di Jakarta, Rabu, 14 Juni 2006.
[2] ) M.S. dan Ph.D. dari Cornell University, AS. Konsultan Penelitian dan Publikasi, Yayasan Tanah Merdeka, Palu; ikut mengampu matakuliah Marxisme, Gerakan Sosial Baru, dan Metodologi Penelitian pada Program Studi Ilmu, Religi, dan Budaya (IRB), Program Pasca Sarjana, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
[3] ) Christianto Wibisono, pengamat ekonomi dan salah seorang korban politik rezim Soeharto yang kini menetap di Washington, DC dan mengasuh rubrik ‘Wash Watch’ di Suara Pembaruan, menulis kolom di edisi 27 Desember 2005 koran itu dengan judul  “Seandainya Yesus Tidak Lahir” . Dalam kolom itu ia mempertentangkan buruknya reputasi HAM di Kuba dan Amerika Latin umumnya dibandingkan dengan di AS, dan dalam semangat sectarian yang sangat tidak ilmiah, mengaitkannya dengan Katolisisme di Amerika Latin dan Protestantisme di AS. Secara khusus ia menyerang ‘trio anti-AS’, Castro-Chavez-Morales. Sedikitpun ia tidak mengecam embargo perdagangan AS terhadap Kuba sejak 1959, yang nyaris menghancurkan sektor pertanian di Kuba. Juga ia menafikan keberhasilan Kuba membangun sistem pelayanan kesehatan yang tergolong terbaik di dunia, serta kesuksesan Kuba memberantas buta huruf di Kuba dalam waktu yang sangat singkat. Ironisnya, tulisan yang sangat tidak obyektif itu dibungkus dengan judul yang sangat religius, “Seandainya Yesus Tidak Lahir”.
[4] ) Boleh jadi, usaha pemerintah AS  melarang ekspansi penanaman koka di kawasan Pegunungan Andes ada hubungannya dengan proteksi bagi maskapai transnasional AS, Coca Cola, yang juga menggunakan daun koka untuk minumannya yang sudah mendapat pasaran di seluruh dunia. Liberalisasi penanaman koka di Pegunungan Andes, yang akan mendongkrak pendapatan penduduk asli di Bolivia, Peru, dan Kolombia, dapat menjatuhkan harga Coca Cola.
[5] ) Ketidakpercayaan Marx terhadap potensi revolusioner petani didorong oleh dua hal. Pertama, ia kecewa melihat mudahnya para petani di Perancis terbius oleh propaganda Napoleon, sehingga mendukung ambisi Napoleon untuk menjadi Kaisar Perancis, walaupun di atas punggung penderitaan mereka. Kedua, dalam pengamatannya terhadap perkembangan pertanian di Inggris, yang hanya merupakan perhatian sampingannya, sebab fokusnya adalah Revolusi Industri, ia menyaksikan munculnya agribisnis di sana. Dari situ ia mengekstrapolasi bahwa perkembangan pertanian (di seluruh dunia, sic!) akan mengikuti perkemangan industri, sehingga di masa mendatang yang tersisa hanyalah buruh tani dan buruh agribisnis. Ini dikemukakan Marx dalam karya-karyanya tentang Revolusi Perancis dan dalam Brumaire ke 18 dari Louis Bonaparte. Lihat Mitrany 1961; Tucker 1978: 615; serta Bottomore & Rubel 1973: 196.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar