Di Merauke (11/2/2011), para pimpinan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian se-Papua (SKP se-Papua) bersama Promotor JPIC MSC menegaskan hak hidup orang asli Papua sedang terancam.
“Ada lima masalah utama hak hidup orang asli Papua, yang menjadi keprihatian bersama pimpinan SKP se-Papua, yakni kerusakan dan kehancuran lingkungan hidup (masalah ekologi dan investasi), gagalnya implementasi OTSUS, militerisme dan kekerasan aparat, dialog Papua (internal antar orang Papua sendiri) dan Jakarta – Papua dan pendidikan dan Kesehatan yang terus menerus problematik”, ungkap koordinator SKP se-Papua, Br. Rudolf Kambayong, OFM.
Persoalan-persoalan ini menjadi pelanggaran di bidang hukum dan HAM di tanah Papua, karena perangkat hukum dan kebijakan publik yang ada sesungguhnya masih berorientasi pada langgengnya kekuasaan, jabatan dan kepentingan pihak penguasa beserta kroni dan kelompok dekatnya ketimbang memihak pada kepentingan Orang Asli Papua di tanah Papua.
Pdt. Drs. Elly D. Doirebo, M.Si., Pdt. Dr. Benny Giay, Pdt. Socratez Sofyan Yoman selaku Pimpinan Gereja-Gereja Kristen di tanah Papua, dalam tulisan “Deklarasi teologi gereja-geraja Papua tentang gagalnya pemerintah Indonesia memerintah dan membangun orang asli Papua”, juga menegaskan hal yang senada.
“Bangsa Papua telah menjalani suatu ‘sejarah sunyi’ yang mengarah kepada genosida. Wacana genosida telah lama disuarakan oleh berbagai pihak yang begitu prihatin dengan keberlangsungan hidup Bangsa Papua. Mungkin genosida menurut rumusan PBB dan Indonesia atau negara bangsa lainnya tidak memenuhi rumusan-rumusan tersebut. Tetapi genosida dari sudut pandang umat kami sebagai korban memang sedang terjadi melalui pengkondisian yang dilakukan oleh Jakarta berwujud ideologi dan kebijakan pembangunan yang tidak berpihak kepada orang asli Papua. Kebijakan trasmigrasi, operasi militer dan pro kapital yang tidak berujung merupakan siasat pengkondisian agar lama-kelamaan Orang Asli Papua punah. Orang Asli Papua telah diposisikan sebagai “yang lain” yang harus diawasi, dikendalikan dan dibina, bukan sebagai warga Negara Indonesia yang setara. Kalangan pengamat Jakarta menyebutkan perlakukan demikian sebagai penjajahan internal dan perbudakan terselubung terhadap Papua”, tulis para pemimpin gereja itu.
“Ada yang lain”
“Orang asli Papua tidak sendiri mengalami sejarah sunyi. Masyarakat adat Kalimantan telah dan sedang mengalami 'sejarah sunyi' ini juga,” ungkap Maurinus Nuwa, utusan dari Komisi Keadilan & Perdamaian Regio Kalimantan, di selah-selah rapat kerja SKP se-Papua pada 6-11 Februari 2011 di rumah bina St. Fransiskus Xaverius, Kalapa Lima, Merauke.
Pada tiga dekade terakhir ini, masyarakat adat Kalimantan telah terkoyak dan terampas hak hidup oleh para pengusaha raksasa yang dilindungi pemerintah, seperti pembabatan hutan, penambangan emas, penanaman monokulturasasi kelapa sawit, dan penggunaan secara overdosis zat-zata kimia, sehingga basis dan jaminan kehidupan bagi masyarakat adat dan generasi mendatang terancam hak hidupnya. Masyarakat adat Kalimantan seolah-olah menjadi penonton. Tak berdaya! Sementara itu, para pimpinan maupun lembaga kuat seperti Gereja, kendati sudah banyak usaha-usaha perlawanan pribadi dan kelembagaan, namun dari antara mereka masih ada yang diam berpangku tangan, tidak melihat urgensi persoalan. Orang menjadi biasa tanpa terketuk nuraninya, bahkan hanya demi kolekte dan sumbangan pembangunan gedung gereja, para pemimpin gereja cenderung lebih suka bekerjasama dengan para pengusaha dan penguhasa.
Sikap kita
Menyikapi soal ini, maka pimpinan SKP se-Papua dan KKP Regio Kalimantan bersama Promotor JPIC MSC Indonesia dan KKP-PMP KWI menyatakan bahwa pemerintah sebagai pengambil kebijakan segera mengubah paradigma dalam merancang pembangunan, dengan pemulihan hak hidup Orang Asli Papua sebagai acuan bersama dalam kebijakan-kebijakan pembangunan, menolak dan mengutuk setiap bentuk kekerasan apapun yang dilakukan baik oleh warga sipil maupun aparat pemerintah dan keamanan terhadap setiap usaha untuk mempertahankan hak hidup Orang Asli Papua, mengutamakan dialog dan musyawarah dalam setiap penyelesaian sengketa, dan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi di tanah Papua ini agar meninjau kembali sejumlah kebijakan dan rencana pembangunan yang kurang berorientasi pada pengembangan ekonomi kerakyatan, karena lebih mengutamakan kepentingan perusahan besar dan pasar di luar tanah Papua, serta kepada perusahan yang ada agar mempertimbangkan keberadaan warga local dalam setiap perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan usaha di Papua dan kepada segenap warga Papua, khususnya masyarakat adat, agar terus menerus mengembangkan diri dan potensi yang ada di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan politik secara arif dan bijaksana tanpa kehilangan identitas diri dan budaya demi menyiapkan ketersediaan sumber daya manusia yang handal, mandiri dan siap bersaing dalam segala hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar