Konflik laten antara masyarakat Papua dan aparat Negara Kesatuan Republik Indonesia, secara historis dilatarbelakangi hasrat masyarakat Papua untuk menentukan nasib mereka sendiri sebagai bangsa dan negara Papua Barat, setelah dijanjikan oleh penguasa kolonial, Kerajaan Belanda, setengah abad yang lalu. Untuk memperkuat cita-cita kemerdekaan itu, diciptakanlah lagu kebangsaan, Hai Tanahku Papua, serta bendera Bintang Kejora. Berpuluh-puluh tahun kemudian, Sang Bintang Kejora tetap dikibarkan dalam setiap aksi pro-kemerdekaan Papua Barat, walaupun dengan pertaruhan nyawa.
Selama puluhan tahun, kemerdekaan suatu ‘Republik Papua Barat’ tetap menjadi cita-cita perjuangan berbagai kelompok, yang bergerak seperti spiral dari Utara ke Selatan, dari kepulauan dan pantai ke pegunungan, dan dari kelompok-kelompok berpendidikan rendah ke kaum terpelajar, terutama lulusan perguruan-perguruan tinggi di Tanah Papua, serta segelintir lulusan perguruan tinggi di luar negeri.
Ada dua hal, mengapa cita-cita kemerdekaan ‘Papua Barat’ tetap awet. Pertama, bayangan kemerdekaan ‘Papua Barat’ merupakan muara dari ketidakpuasan-ketidakpuasan masyarakat Papua, karena merasa bahwa kebudayaan mereka, aspirasi politik mereka, dan kesejahteraan ekonomi mereka tidak dihargai oleh aparatur Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk yang berdarah Papua. Ketidakpuasan itu meledak di saat-saat tokoh-tokoh Papua yang memperjuangkan identitas dan kemerdekaan Papua Barat lewat jalan damai, seperti Arnold Clemens Ap dan Theys Hiyo Eluay, meninggal di tangan aparat militer Indonesia, masing-masing pada tanggal 26 April 1984 dan 10 November 2001. Kedua, sikap pemerintah Indonesia serta sebagian besar kaum pebisnis, bahkan rohaniwan terhadap penduduk asli di Tanah Papua tidak terlepas dari rasa superioritas, bahkan rasialisme, sehingga masyarakat Papua tidak merasa diperlakukan sebagai sesama manusia dan sesama warga Indonesia, di mana hanya tanah mereka dianggap berharga bagi pemerintah, para investor, dan para pebisnis, sementara manusia Papua dianggap tidak berguna, dan perlu sebanyak mungkin digantikan oleh transmigran, migran spontan, dan tenaga kerja trampil dari luar Tanah Papua.
Indikator tebalnya rasialisme ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa sementara semakin banyak sumber daya alam dari Tanah Papua mengalir ke luar pulau, semakin banyak penduduk asli Papua menjadi korban dari penyakit-penyakit bawaan para migran, mulai dari penyakit-penyakit kelamin yang masih lebih mudah diobati, sampai dengan epidemi HIV dan AIDS yang semakin tak terkendali, yang mengancam kelestarian suku-suku kecil di Papua bagian Selatan, mulai dari kabupaten Mimika sampai kabupaten Mappi, khususnya karena barter antara gaharu dan jasa seks (Rimbayana 2007; Aditjondro 2004; Selangkah, Edisi XI, Agustus – Okt. 2007).
Ironisnya, eksploitasi sumber-sumber daya alam di Tanah Papua oleh investor-investor dari Jakarta dan luar Indonesia, seringkali difasilitasi oleh orang-orang asli Papua yang berhasil menjadi Kepala Daerah, dibantu oleh birokrat-birokrat dan pebisnis-pebisnis asal luar Papua yang bersedia menalangi biaya kampanye pilkada. Peranan wakil-wakil bupati asal luar Papua ini semakin meningkat, setelah pemekaran kabupaten-kabupaten baru di provinsi Papua dan Papua Barat. Sehingga, masyarakat (lapisan bawah) punya cukup alasan untuk mengeluh bahwa tidak ada kemajuan, pelayanan kesehatan minimal, mutu pendidikan rendah. Pembangunan sangat menonjol namun bersifat fisik dan kurang sentuh hak hidup orang Asli Papua yang mengharapkan peningkatan kesejahteraan. Ramainya pemekaran selama 10 tahun tidak membantu dalam hal ini, sebaliknya telah mengurangi pelayanan serta perawatan infrastruktur, dan meruncingkan perpecahan antar suku dan fam karena perebutan kursi dan akses pada peluang-peluang yang baru.
Pemekaran kabupaten ini memang gila-gilaan. Sebelum Papua dimekarkan menjadi dua propinsi – Papua dan Papua Barat -- , provinsi itu ‘hanya’ punya 21 kabupaten. Kini, kedua provinsi di Tanah Papua telah memiliki 40 kabupaten dan kota. Provinsi induk, provinsi Papua terdiri dari 27 kabupaten dan kota, dan dua kabupaten yang baru saja dimekarkan dari kabupaten Paniai, yakni Deyai dan Intan Jaya. Sedangkan provinsi Papua Barat yang tadinya terdiri dari sembilan kabupaten dan kota, telah dimekarkan dengan dua kabupaten baru, yakni Tamrau dan Meybrat.
Kabupaten yang kini dipimpin oleh wakil bupati asal Toraja, adalah Asmat, Yahukimo, dan Tolikara. Sedangkan kabupaten Mimika hasil pemekaran dari Kabupaten Fakfak, dipimpin oleh bupati asal Bugis, dengan Kabag Keuangan dan bagian keuangan dinas-dinas asal Toraja. Mereka itu, serta sejumlah sekretaris daerah di kabupaten-kabupaten baru serta para bupati dan kepala dinas asal Toraja, dewasa ini sedang menghambur-hamburkan kekayaan hasil bumi Papua di kampung halaman mereka sendiri di Tana Toraja.
Ironisnya, dua orang wakil bupati berdarah Toraja di Tanah Papua sedang bersiap-siap mengikuti pilkada untuk merebut jabatan bupati di Toraja Utara, hasil pemekaran dari kabupaten Tana Toraja. Berarti, untuk sekian kalinya, Tanah Papua sekedar ‘batu loncatan’ bagi karier di bidang birokrasi, buat birokrat dan aparatur negara lain dari luar Tanah Papua.
Namun kepala daerah yang putra daerah, tidak selalu berkiblat pada kesejahteraan rakyatnya sendiri. Barangkali, Kepala Daerah yang paling ‘gila investor’ adalah mantan Bupati Merauke, John Gluba Gebze, yang menjadi ‘idola’ dunia bisnis Indonesia, khususnya dunia agribisnis, dengan mendatangkan investor-investor besar dari Jakarta, seperti kelompok Artha Graha yang dipimpin Tomy Winata, Medco Group milik Arifin Panigoro, PT Bangun Cipta Sarana milik Siswono Yudhohusodo, PT Digul Agro Lestari, bagian dari kelompok Astra Agro Lestari, dan PT Comexindo milik Hasyim Djojohadikusumo, serta kelompok Bin Laden dari Arab Saudi (lihat Bisnis International, No. 63/Vol. iX, 2000, hal. 30-40; Agrina, No. 100, Vol. 4, 1-14 April 2009; GlobeAsia, Sept. 2008, hal. 62).
Bupati berdarah Marind ini, terkenal sangat tidak toleran terhadap kritik dari lembaga-lembaga gereja Katolik serta Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malind Anim di sana. Untuk itu, sang bupati tidak segan-segan mengerahkan tim Musamus (= rumah semut, dalam bahasa Marind) serta tim Ohan (= berburu, dalam bahasa Marind), suatu tim ‘pemukul’, yang beranggotakan anggota TNI, Polri, dan BIN, untuk mengintimidasi lawan-lawan politiknya . Sedangkan tim Musamus merupakan tim intelligence pribadi sang Bupati. Tidak jelas siapa pimpinan kedua tim itu, yang bekerja secara tertutup. Seringkali instruksi datang dari John Gluba Gebze sendiri, tapi kadang-kadang dari Serka Stan Gebze, anggota Kopassus dan adik kandung sang Bupati, tanpa koordinasi dengan abangnya.
Selain itu, Bupati juga pernah lewat telepon mengancam Uskup Agung Merauke, bahwa bantuan Pemkab Merauke untuk sekolah-sekolah Katolik akan dihentikan, apabila Uskup tidak menutup Sekretariat Keadilan & Perdamaian (SKP) Keuskupan Agung Merauke, karena Bupati sangat terganggu oleh kritik-kritik SKP terhadap kebijaksanaan (policy) sang Bupati.
Kesannya, pemekaran propinsi dan kabupaten di tanah Papua hanya untuk kepentingan kekuasaan para elite, bukan untuk ‘memajukan kehidupan bermasyarakat’. Kenyataan ini juga terlihat dalam cara pelaksanaan Pemilu Kepala-Kepala Daerah (money politics menentukan, bukan bakat kepemimpinannya). Kepercayaan kepada pihak pemerintah serta lembaga-lembaganya sudah turun sampai Nol. Di tanah Papua terjadi perubahan susunan kependudukan; bangsa Papua de facto sudah menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri (2011: Papua asli 47% - Non-Asli 53% - dari 3.600.000 penduduk); secara kwantitatif agak baru kenyataan demikian, secara ‘kuasa’ sudah lama sebenarnya. Menurut prediksi kedepan bangsa Papua masih lebih ‘celaka’ lagi, yakni pada 2030 jumlah orang Papua asli adalah 15% saja sedangkan orang Non-Papua 85%. Ini akibat dari pesatnya pertumbuhan tahunan yang untuk orang Papua asli adalah 1,67% sedangkan untuk non-Papua 10, 5%.
Bertalian dengan pergeseran demografis akan terjadi pergeseran dalam dominannya agama. Sudah tentu bahwa sebutan “Papua Pulau Kristen” makin tidak dapat didukung kenyataannya. Selanjutnya konflik antar agama dengan dilatarbelakangi konflik ekonomis sangat mungkin akan terjadi. Apalagi kalau dikaitkan dengan isyu-isyu politik dan etnis.
Sementara suara-suara kritis terhadap pelanggaran HAM ekososbud mengalami berbagai ancaman, kelompok-kelompok terpelajar yang masih menuntut hak bangsa Papua untuk menentukan nasib mereka sendiri (the right to self-determination), mengalami tekanan yang lebih berat. Setelah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dilengserkan oleh koalisi Megawati Soekarnoputri, tentara, dan faksi-faksi ultra-nasionalis di Jakarta, represi terhadap semua kelompok Papua yang berindikasi “M” (baca: merdeka), semakin menjadi-jadi. Titik baliknya adalah pembunuhan Theys Hiyo Eluay, sepulang menghadiri peringatan hari pahlawan di kompleks Kopassus di Sentani, tgl 10 November 2001.
Eskalasi kehadiran angkatan bersenjata NKRI – tentara maupun polisi, khususnya satuan-satuan Brimob, Kostrad dan Kopasus – di Tanah Papua, punya fungsi ganda. Selain menekan kebangkitan kembali perjuangan kemerdekaan Papua dengan jalan damai, eskalasi kehadiran satuan-satuan bersenjata NKRI itu juga menjaga kepentingan investor-investor pertambangan, perkebunan, dan kehutanan yang sangat lapar lahan. Fungsi ganda itu terutama diwujudkan di kawasan perbatasan, di mana pasukan-pasukan bersenjata itu bertugas menjaga kepentingan perkebunan kelapa sawit, PT Korindo (Fatubun 2009), sekaligus “menyambut” para pelintas batas yang balik dari kamp-kamp pengungsian mereka di Papua Niugini (PNG).
Tampaknya perbatasan selatan dijaga lebih ketat ketimbang perbatasan utara dengan PNG. Di sepanjang perbatasan Selatan, terdapat 80 pos antara Merauke & Waropko, dalam jarak antar pos sekitar 5 Km; dengan 12-19 orang di tiap pos biasa; dan sekitar 30 orang di tiap pos induk. Sedangkan penjagaan perbatasan sebelah utara, dipercayakan kepada sepuluh Polres yang membawahi 124 Polres, dibantu oleh dua Batalyon Brimob.
Ada macam-macam dampak kehadiran “pagar betis” bersenjata sepanjang tapal batas RI-PNG (lihat Fatubun 2007b). Teror dari aparat penjaga pos-pos tersebut terhadap orang kampung tidak juga berhenti. Misalnya, di bulan Oktober 2008, Permensius Gwamerjay, asal Kampung Kweel, Distrik Eligobel, Kabupaten Merauke, diteror oleh Dewa, seorang anggota Kopassus di Pos Kweel. Akibatnya, Permensius dan keluarganya lari ke PNG, dan baru pada tanggal 24 Desember 2008 Permensius kembali ke Kweel. Ia dipaksa mengambil senjata dari gerilyawan OPM.
Namun yang paling sukar dan paling jarang diungkapkan, adalah pelecehan seksual terhadap perempuan di kampung-kampung, mulai dari pelecehan seksual sampai dengan perkosaan yang mengakibatkan lahirnya anak-anak di luar pernikahan (lihat Fatubun 2010). Sementara itu, ornop lokal semakin ketat diawasi oleh aparat bersenjata, khususnya petugas militer, seperti yang dialami pimpinan, staf, dan kelompok dampingan SKP Keuskupan Agung Merauke di Kabupaten Merauke. Setiap kegiatan penghubung SKP di kampung-kampung selalu diinterogasi oleh anggota Kopassus, atau anggota TNI lain, di pos-pos perbatasan. Hari Sabtu, 2 Mei lalu, Makmur Pakalesy, Kepala Polmas, didesak oleh seorang anggota Kopassus untuk mencek kegiatan SKP di Kampung Wendu, Distrik Semangga. Selanjutnya, hari Minggu, 7 Juni lalu, dua orang anggota Korem Animti Waninggap menemui seorang pimpinan SKP Merauke di rumahnya, dengan alasan mau berkoordinasi sehubungan dengan rencana kunjungan Presiden SBY ke Merauke. Belum puas dengan kunjungan itu, pada hari Kamis, 18 Juni lalu, seorang anggota Batalyon Infanteri 755 Yalet datang ke kantor SKP, meminta buku tentang Otsus Papua terbitan SKP KAM.
Pengawasan serupa, juga dialami oleh para aktivis mahasiswa Papua di Jayapura, Manado, dan Yogyakarta. Petugas-petugas berbaju sipil dan berambut cepak, sering sekali mendatangi mahasiswa Papua di asrama-asrama mereka, setiap kali ada gejolak kerusuhan di Tanah Papua, atau setiap kali para mahasiswa melakukan pertemuan yang diikuti oleh sejumlah orang, misalnya, musyawarah nasional. Infiltrasi aparat intelligence ke dalam organisasi-organisasi mahasiswa Papua, sudah menuai perpecahan dan konflik-konflik horizontal di antara berbagai faksi gerakan mahasiswa Papua.
Jangankan bersuara untuk menuntut hak hidup orang asli Papua untuk menentukan nasib mereka, sesuai dengan Kovenan PBB tahun 1966 tentang Hak-hak Sipil dan Politik, suara ‘orang kampung’ (rakyat pedesaan) membela hak ulayat atas tanah, perairan, serta fauna dan flora mereka sudah dapat mengundang tindakan kekerasan dari aparat bersenjata yang ditempatkan di sana. Padahal tindakan kekerasan dari aparat terhadap penduduk setempat, seringkali merupakan pelicin jalan untuk mengambil sumber daya alam setempat, misalnya kulit buaya, sebagai “oleh-oleh” di saat pulang ke tempat asalnya (lihat Fatubun 2007b).
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuat sebuah “Road Map” untuk mengatasi masalah di Papua. Dr. Neles Tebai, seorang rohaniwan Gereja Katolik dan intelektual Papua terlibat dalam suatu usaha untuk memprakarsai serta mengembangan kerangka dialog. Sementara suatu kekompakan antar faksi perjuangan Papua sedang bertumbuh (pembentukan Sekretariat Bangsa Papua – SEBAPA). Namun akhir-akhir ini Pemerintah Pusat menilai bahwa ‘keinginan dialog’ ini berbau politik dan malahan membahayakan eksistensi Negara sendiri. ‘Dialog’ mau digantikan dengan “komunikasi konstruktif” yang kesannya lebih berfokus pada evaluasi Otsus serta audit penggunaan uang Otsus.Tanggapan demikian dapat sangat disesali karena dengan demikian suatu initisiatip yang sangat konstruktif ditolak dan pintu terbuka lebih lebar lagi demi radikalisasi, maka tidak mengherankan bahwa akhir-akhir ini lebih terdengar ‘suara referendum’ daripada ‘suara dialog’ Sementara waktu suara dari ‘komunitas sipil’ (LSM, Gereja dsbnya) selama ini sangat kurang terdengar. Gerakan yang bertema “Papua Tanah Damai” yang pada awalnya disambut sangat baik oleh gabungan pimpinan agama kelihatan kehilangan dinamikanya, dan lebih menjadi semacam ‘slogan’ yang seenak-enaknya dipakai oleh pihak manapun guna menutupi konflik. Bdk. Protes Tokoh-Tokoh Gereja Kristen tanah Papua dan Tokoh-Tokoh lintas agama di tingkat nasional baru-baru ini.
Sementara waktu suara dari ‘komunitas sipil’ (LSM, Gereja dsbnya) selama ini sangat kurang terdengar. Gerakan yang bertema “Papua Tanah Damai” yang pada awalnya disambut sangat baik oleh gabungan pimpinan agama kelihatan kehilangan dinamikanya, dan lebih menjadi semacam ‘slogan’ yang seenak-enaknya dipakai oleh pihak manapun guna menutupi konflik.
Akibatnya, semakin beratnya permasalahan yang dihadapi orang asli Papua dan ornop-ornop pendukung mereka, seperti Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) di bawah ke-enam keuskupan di Tanah Papua. Misalnya, intervensi pihak kepolisian terhadap para staf SKP se-Papua dan mitranya, ketika melaksanakan Raker SKP se Tanah Papua di biara OFM di Sentani, 2 Maret 2009.
Itu sebabnya, lembaga-lembaga lokal di Tanah Papua, yang bergerak dalam advokasi budget maupun advokasi HAM, sering membangun kerjasama dengan ornop-ornop nasional di Jakarta. Misalnya, dengan ICW, dalam menelisik korupsi APBD Kabupaten Merauke, atau dengan Kontras dan lembaga-lembaga advokasi HAM yang lain di Jakarta.
Ada satu kelompok ornop lokal, yang kurang mendapat perhatian dari berbagai organisasi pemerhati pelestarian lingkungan, advokasi budget, dan advokasi HAM. Yang saya maksud adalah organisasi para migran, seperti KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan), atau, kalau ada, himpunan para migran asal Toraja, yang kini banyak mengisi jabatan-jabatan bupati, wakil bupati, sekretaris kabupaten, dan kepala-kepala dinas di sejumlah kabupaten baru, yang telah berlipat ganda dua kali lipat.
Menghalalkan akumulasi kekayaan sebesar-besarnya dan secepat-cepatnya oleh para birokrat non-pribumi di Tanah Papua, untuk ditanamkan di kampung asal mereka, dapat menjadi benih konflik-konflik horizontal di Tanah Papua. Itu sebabnya, orientasi mengakumulasi kekayaan sebesar-besarnya dan secepat-cepatnya, perlu diganti dengan orientasi untuk mengsejahterakan penduduk pribumi setempat.
Sementara itu, berbagai organisasi mahasiswa Papua selalu diperlakukan oleh aparat intelligence di Tanah Papua maupun di Manado dan Yogyakarta, dengan kecurigaan bahwa mereka secara a priori ingin melakukan makar. Aparat intelligence bahkan melakukan infiltrasi dan penggalangan terhadap sejumlah aktivis mahasiswa Papua, yang berbuntut pada perpecahan di antara berbagai kelompok mahasiswa tersebut (lihat Laporan Harian dan Agen Kopasus di Papua, 2006-2009).
Dalam keadaan demikian orang Asli Papua makin hari makin kehilangan pegangannya, makin kehilangan identitasnya, dan makin binggung. Siapa masih memperhatikan hidup saya? Perasaan ini masih hidup dan diperkuat dengan pengalaman bahwa hidup di Papua didominasi pendekatan keamanan serta pengelompokan (stigmatisasi) dalam yang pro- dan kontra NKR. Kebenaran tidak dicari lagi, namun semua diminta mempercaya kebenaran yang dirumuskan pihak yang berkuasa, sebagai satu satunya yang benar. Perasaannya bahwa tidak dapat dilawan. Perasaan jengkel pelahan-pelahan terubah menjadi perasaan kelumpuhan dan tak berdaya. Yang dianggap wajar oleh masyarakat dinilai pihak berkuasa yang tidak wajar, dan sebaliknya. Frustrasi demikian terungkap dengan jelas melalui peristiwa “gerekan MRP” selama bulan Juni-Juli lalu. MRP menjadi sarana saja dan banyak masyarakat mengakui bahwa memang benar ‘sebaiknya Otsus dikembalikan’ sebagai tanda simbolis ungkapan kekecewaan, ketidakpercayaan pada pemerintah tingkat mana pun.
Harapannya, ornop-ornop lokal dapat memelihara keseimbangan dalam memperhatikan pelanggaran HAM sipil & politik, maupun pelanggaran HAM ekososbud. Perhatian yang seimbang terhadap kedua bidang HAM itu, akan lebih mencuatkan dialektika di antara kedua jenis HAM itu. Pembelahan HAM dan pemberdayaan HAM harus berjalan seiringan. Perhatian almarhum Arnold Clemens Ap terhadap soal-soal perusakan lingkungan serta pelestarian kebudayaan berbagai kelompok etno-linguistik di Tanah Papua, akhirnya mengundang ketakutan yang berlebihan dari aparat bersenjata, sehingga ia ditahan, dijebak untuk lari, kemudian dibunuh sewaktu ia bersiap-siap untuk lari ke PNG pada tahun 1984.
Dan, dialektika antara pelanggaran HAM ekososbud dan HAM sipil & politik, perlu lebih menjadi perhatian dari organisasi masyarakat sipil, pemuda/mahasiswa, orang asli Papua di Tanah Papua.
Organisasi-organisasi perempuan Papua, menghadapi tantangan yang sangat berat, dalam menyuarakan kekerasan terhadap perempuan oleh aparat-aparat bersenjata, terutama yang menjaga tapal batas RI-PNG. Namun mereka masih kurang mendapat dukungan dari saudari-saudari mereka dalam ornop-ornop nasional.
Last but certainly not least, organisasi-organisasi mahasiswa sebaiknya juga mempertajam kemampuan penelitian dan penulisan laporan, supaya kegiatan advokasi mereka lebih tajam.
Dokumentasi terhadap pelanggaran HAM di kedua bidang – sipil & politik, serta ekososbud -- sudah dilakukan oleh ornop-ornop lokal, tetapi masih tidak seimbang. Misalnya, Memoria Pasionis terbitan SKP Keuskupan Jayapura, sudah berjalan selama lima tahun, dengan kualitas yang sangat baik, namun kualitas yang sama belum tersebar di empat SKP Keuskupan yang lain (Sorong, Mimika, Asmat, Merauke).
Jayapura, sebagai ibukota provinsi induk, juga merupakan tempat kedudukan berbagai ornop lokal, yang bergerak dalam bidang advokasi lingkungan, advokasi budget, dan advokasi HAM.
Kemampuan kelompok-kelompok mahasiswa Papua, baik yang merupakan bagian dari organisasi-organisasi nasional, seperti PMKRI, maupun yang merupakan organisasi lokal, untuk melakukan penelitian sosial yang bermutu dan gerakan advokasi, masih kurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar