“ istilah ''ko gunung , ko pantai , ko pesisir , ko rawa - rawa '' masih ada di orasi - orasi aktivis Papua. coba kawan - kawan dari pantai ada yang mo orasi ka..
hal ini menjadi pengamatan bagi sa, kalau tong masih pake istilah primodial. persatuan di antara orang asli Papua yang tong bicara dari 40 tahun yang lalu tidak akan pernah nyata. Persatuan hanya menjadi SLOGAN SEMU”, cerita Cyntia dalam Fbnya.
Realitas yang ditampilkan oleh Cyntia memperlihatkan adanya pengingkaran terhadap indentitas (baca: kebudayaan atau jatih diri) kita. Kehidupan anda dan saya terjebak pada sesutau yang dibuat, direkayasa dan illusikan atau disimulasi atau istilah saya sebagai realitas illusi atau realitas simulasi. Sehingga identitas saya dan anda tidak lagi ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendiri, tapi ditentukan oleh kaum peninda yang bermuka tiga “M” (militer, milisi dan modal). Yang tumbuh subur adalah perpecahan, seperti muncul banyak faksi-faksi dalam gerakan pembebasan, walaupun memperjuangkan hal yang sama. Inilah cermin dari identitas kita kini yang lebih ditentukan oleh kontruksi tanda, citra dan kode yang diproduksi oleh kaum penindas.
Dan satu kesalahan besar yang terus dibuat oleh kita atas keberadaan hidup kini adalah pengabaian dan penampikan terhadap peran nalar dan pilihan sadar, yang muncul dari pengakuan akan kekhasan identitas yang telah mengalami trasformasi. Karena adanya sebuah illusi tentang identitas tunggal yang ditampilkan dalam dunia buatan kaum penindas, yakni kita satu bangsa, bangsa Indonesia. Hal ini membenarkan pendapat Jean-Francois Lyotard (1924-1998), seorang filsuf Prancis dan penggagas postmodernisme. Sekarang kita sudah tidak lagi percaya pada kesatuan sebagai dasar hidup bersama. Kesatuan justru digantikan dengan keadaan terpecah-belah. Zaman ini lebih banyak ditandai fragmentasi dan hilangnya kesatuan, seperti orang gunung dan orang pantai, atau aktivis kiri dan aktivis kanan, dll.
Media masa sebagai alat propaganda kaum penindas adalah sarana untuk memperburuk krisis, bukan untuk menguranginya. Sehingga perhatihan kita tertujuh pada pertanyaan atas pergumulan hidup bukan lagi apakah hal itu benar? Apakah hal itu adil? Apakah hal itu secara moral penting? Tapi diganti dengan pertanyaan-pertanyaan, apakah hal itu dapat menguntungkan? Apakah hal itu efisien?
Akhirnya, rasa percayah diri akan memiliki suatu identitas (jatih diri dan kearifan local) yang menjadi sumber lahirnya kebanggaan dan kebahagian, serta sumber tumbuhnya kekuatan kaum tertindas untuk hidup digantikan dengan sikap kurang percaya diri atau lupah jatih diri. Lupah budaya atau lupah bahwa kita berbudaya Bangsa Papua Barat.
Kaum penindas, sudah tentu, selalu menuduh kita sebagai kaum jelata, orang-orang buta, miskin, pendengki, atau orang-orang liar atau pribumi atau kaum pemberontak atau separatis, atau buas, biadap, jahat, buas, jika kita menentang kekejaman para penindas.
Kalau keadaannya seperti ini, maka penyakit kronis yang hidup adalah setiap individu yang berupaya untuk keluar dari realitas penindasan dengan cara menindas sesama kaum tertindas dan ada rasa takut kaum penindas akan kehilangan “kekebasan” untuk menindas. Yang satu manusia bebas, dengan sifat intinya adalah mengada untuk dirinya sendiri, sementara yang lain manusia tergantung, dan hakekatnya adalah kehidupan atau keberadaannya untuk orang lain. Hal ini akan terus dan terus berulang. Pada titik ini terjadi proses marginalisasi, dlll sebagai bentuk kongkret dari realitas penindasan. Kita akan terpuruk dan terus terpuruk menujuh kematian dalam gulita yang ngeri.
Kita harus merdeka. Kita harus bebas. Tindakan pembebasan senantiasa melibatkan suatu momentum kesadaran dan kemauan bertindak. Tindakan ini mendahului dan mengikuti momentum tersebut, pertama ia berperan sebagai prolog dan sesudah itu berfungsi untuk mempengaruhi dan hidup di dalam sejarah. Tindakan dominasi, sebaliknya, tidak senantiasa memiliki dimensi ini, karena struktur dominasi dikaitkan dengan fungsionalitas mekanis bawah sadar tersendiri.
Saya ingin menegaskan dari penegasan bahwa manusia sebagai makhluk praksis, berbeda dengan binatang, yang merupakan makhluk sekedar berbuat. Binatang tidak memikirkan dunia, mereka tenggelam di dalamnya. Sebaliknya, manusia muncul dari dunia, mengenalinya, dan dengan cara itu dapat memahami dunia dan mengubahnya dalam karya mereka.
Sehingga kita harus menghendaki sebuah teori tindakan pembebasan (revolusi). Teori itu harus lahir demi gerakan pembebasan rakyat dari ketertindasannya. Revolusi harus menjadi cermin yang dilandasi oleh aksi budaya. Para elite gerakan pembebasan tidak boleh memperlakukan rakyatnya hanya sebagai pelaku yang tidak diberi kesempatan untuk berefleksi serta dibiarkan dalam illusi bertindak. Kalau hal ini sampai terjadi, maka rakyat tetap menjadi korban dari sebuah manipulasi.
Praksis revolusi harus berhadapan dengan praksis elite penguhasa, oleh karena itu dengan sendirinya mereka merupakan antitesis. Praksis revolusi tidak dapat mentolerir dikotomi absurd dimana rakyat hanya sekedar pelaksana keputusan-keputusan para pemimpin. Manipulasi, pembuatan slogan, usaha “menabung”, mengolong-golongkan dan pemberian resep tidak boleh menjadi unsur-unsur praksis revolusi.
Pemimpin revolusi harus mengembangkan dialog pembebasan dengan rakyat. Dialog dengan rakyat amat sangat diperlukan bagi setiap revolusi sejatih dan membedakan dengan kudeta militer. Karena, kita sebagai manusia memiliki kebuhan mendasar, yakni komunikasi. Kita, makhluk komunikatif. Dalam hal ini, tindakan dan refleksi adalah dua hal yang berjalan beriringan. Tak ada satu yang melebih yang lain.
Dialog dengan rakyat bukanlah merupakan suatu konsensi atau hadiah, apalagi suatu taktik yang dimanfaatkan untuk mendominasi, seperti yang diungkap oleh para penelitih LIPI dan Romo Nelles Tebay. Dialog sebagai perjumpaan antar manusia untuk “menamai” dunia, merupakan pra syarat dasar bagi humanisasi sejatih. Kemudian, dialog sebagai jembatan untuk memperhadapkan kontradiksi-kontradiksi dalam sebuah meja kebersamaan, supaya anda dan saya kritis-reflekstif menujuh tujuan kita, yakni melepaskan diri dari kaum penindas dengan hidup merdeka, bebas..sekali lagi, merdeka...merdeka secara politik, ekonomi dan budaya.
Tapi, kita akan merdeka, kalau anda dan saya ada solidaritas. Artinya, harus ada solidaritas diantara pemimpin gerakan revolusi dan rakyat. Ini mengharuskan semangat cinta kasih, kerendahan hati dan kesederhanaan.
Artikelx inspiratif, maju kena mundur kena.. maju aja.. agar tak sia-sia. silahkan mampir http://ikhsanfirdaus.blogspot.com/
BalasHapus