by wensislaus fatubun
Epidemi HIV/AIDS di kota Merauke sudah berlangsung selama kurang lebih 18 tahun (dari tahun 1992-2010) dan diduga kuat masih akan berkepanjangan karena masih terdapatnya faktor-faktor yang memudahkan penularan penyakit ini.
Dua modus penularan infeksi HIV/AIDS saat ini adalah melalui hubungan seks yang tidak aman dan pelayanan kesehatan yang minim.
Dalam sepuluh tahun mendatang, penyakit ini mungkin belum dapat ditanggulangi sehingga masih mengancam kesehatan masyarakat dan mempunyai implikasi sosial-ekonomi yang luas di kota Merauke.
Penderitaan bukan saja dialami oleh orang yang tertular HIV/AIDS tetapi juga akan dirasakan oleh keluarga dan masyarakat. Inilah yang dialami oleh Ibu Ina dan keluarganya.
Ibu Ina, seorang ibu rumah tangga. Umurnya, 42 tahun. Pada tanggal 25 Januari 2004, suaminya meninggal karena terinveksi HIV/AIDS. Sejak saat itu, ia mengetahui tubuhnya terinveksi HIV. Inilah awal pergumulannya, apalagi harus menghidupi kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah menegnah pertama. “Saya mengetahui dari suami saya, setelah dia meninggal 25 januari 2004 dan saya putuskan untuk tes darah dan hasilnya positif, saya pun tertular dari hubungan seks. Semuanya ini karena suami saya hidung belang dan tidak pernah ada keterbukaan, kejujuran dari suami saya. Setelah saya mengetahui bahwa saya sudah terinveksi saya merasa putus asa, merasa minder, kurang percayah diri, saya menangis terus menerus. Saya belum bisa menerima semuanya ini. Saya merasa pergumulan yang paling berat dalam hidup saya adalah bagaimana mengatakan kepada kedua anak saya bahwa saya terinveksi HIV, tetapi saya coba untuk kuat dengan cara pendekatan diri kepada Tuhan”, begitu ungkapannya ketika bertemu saya pada tanggal 15 Mei 2010 di RSUD Merauke.
Sehingga, hampir di setiap sudut kota Merauke dipasang pelbagai tulisan kampanye mencegah HIV, misalnya pada tembok biara MSC Merauke terdapat hasil karya dari siswa-siswi SMU se Kta Merauke dalam berbagai gambar dan tulisan tentang tidak boleh melakukan hubungan seks sebelum menikah.
Bukan hanya tulisan, iklan di Radio Republik Indonesia Merauke gencar memberitakan soal ini.
Tapi, seiring dengan genjarnya kampanye pemberantas HIV, genjar pula bisnis prostitusi yang meramba perkampungan warga di kampung-kampung pedalaman, yang menyebabkan HIV pun mengancam masyarakat kehidupan kampung. Inilah dilema!
Menurut Ibu Ina, suaminya tertular virus mematikan ini, sejak bertugas sebagai seorang guru di salah satu kampung di Kabupaten Asma. Di tempat tugas suaminya, ada tempat pelacuran dengan beberapa orang pekerja seks komersial. Para pekerja seks komersial itu berasal dari Surabaya dan Makasar. Pada umumnya, umur mereka di atas 35 tahun.
Kehadiran para pekerja seks komersial di beberapa kampung pedalaman di Kabupaten Asmat ini seiring dengan bisnis kayu gaharu. Hal yang sama juga di beberapa kampung di Kabupaten Mappi. Hal ini menyebabkan, keberadaan bisnis prostitusi, dan masalah HIV/AIDS harus ditempatkan dalam issue buruknya pengelolahan kekayaan sumber daya alam di Papua. Artinya, tidak ada sistem mangement yang jelas dan kebijakan pemerintah yang jelas dengan keberpihakan pada kesejaterahan rakyat di tanah Papua. Sehingga, misalnya, pengamatan saya di Distrik Assue, Kabupaten Mappi, terdapat oknum TNI dan Polisi serta beberapa pegawai negeri sipil bekerja sama dengan para pebisnis untuk membangun tempat prostitusi dan mendatangkan puluhan PSK.
Hal ini semakin parah dan warga Papua di kampung-kampung terancam punah seiring dengan buruknya pelayanan pendidikan dan kesehatan. Ibu Ina, yang hidup di Kota Merauke, sangat mengalami kesulitan, apalagi dengan warga kampung yang terinveksi HIV.
“Saya mau diberi HRV tetapi saya belum siap. Saya melihat kenyataan bahwa banyak yang gagal minum HRV, pelayanannya bagus, tetapi saya kesal pada waktu pengambilan darah (tes darah) tidak sesuai dengan aturan. Seharusnya 6 bulan. Saya Belum sampai 6 bulan, sudah mau diperiksa darah lagi, saya melakukan tes darah lagi. Saya melakukan tes darah juga mengeluarkan biaya yang cukup besar, serta ambil obat semuanya serba bayar dan dalam hati saya bertanya apakah kami perlu mengeluarkan uang atau tidak? Karena setahu saya dana untuk penyakit ini ada dan cukup besar. Saya punya seorang pendamping, yaitu seorang pendeta. Dia memberikan saya surat untuk setiap bulan mendapat bantuan berupa susu, beras, kacang hijau, pokoknya bahan makanan yang bergizi. Setelah saya tandatangan bantuan yang dijanjikan itu tidak pernah datang kepada saya, entah berupa kacang hijau atau susu tidak pernah dan saya merasa ditipuh dan diperalat untuk kepentingan pribadi mereka, saya kecewa sekali dan saya melaporkan pendeta itu kepada klasis dan diberikan beberapa pilihan dan pendeta memilih untuk pindah. Saya mau buat statu tulisan dan pendeta mau membantu saya, tetapi awalnya sudah tidak Jujur saya tidak mau. Saya percayah Tuhan pasti memberikan saya jalan dan pasti ada yang mau memberikan bantuan dalam penulisan ini,” ungkap Ibu Ina.
Lebih lanjut ibu Ina menegaskan:
“Saya belum bisa memberitahu kepada mereka tentang penyakit saya. Saya takut mereka menjadikan hal ini sebagai beban pikiran dan pasti mereka tidak bisa menerima hal ini. Saya takut mereka mereka akan sedih dan saya akan mencari waktu yang tepat kalau itu sudah waktunya, maka saya akan kasi duduk mereka berdua dan saya akan memberitahukan kepada mereka tentang penyakit ini. Jujur saja saya sedih sekali tetapi saya selalu berdoa dan terus berdoa minta kekuatan dari Tuhan. Pokja meminta saya untuk berangkat ke Jayapura tetapi tidak memberikan uang saku kepada saya. Saya putuskan untuk tidak berangkat lagi kalau ada permintaan. Hidup saya bukan untuk Pokja tetapi untuk anak-anak saya dan saya punya satu motivasi ”saya hidup untuk kedua anak saya”. Karena saya ingin membagikan suka maupun duka bersama kedua anak saya. Susah maupun senang, melihat tawa dan tangis mereka walaupun itu cuma sekedar.”
Ini sangat menyedikan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar