Tulisan untuk Sinar Harapan
Mencegah Geger Ma'kale Terulang di Rantepao
---------------------------------------------------------------------
Oleh George Junus Aditjondro
PILKADA di Rantepao, tinggalsebulan lagi. Masyarakat Toraja Utara (Torut) yang cinta damai tapi juga cinta demokrasi berharap-harap cemas, jangan sampai geger pilkada di Ma'kale, 23 Juni lalu, yang sempat merenggut enam nyawa, jangan terulang kembali. Soalnya, potensi ketidakpuasan terhadap hasil pilkada di Torut cukup besar, seiring dengan polarisasi di antara para pendukung calon Bupati kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Tana Toraja yang beribukota di Ma'kale.
Polarisasi itu bukan hanya karena banyaknya kandidat yang akan ikut bertarung, Kamis, 11 November mendatang. Apalagi jumlah pasangan akan bertanding sudah turun dari sembilan menjadi enam.
Masalahnya bukan cuma soal jumlah kompetitor, melainkan soal perasaan dipecundangi dengan cara-cara yang tidak fair, bahkan melanggar hukum. Dilihat dari berbagai kerusuhan pasca-pilkada di Nusantara, ketidakpuasan itu sering menggerakkan kelompok yang merasa dikalahkan dengan cara-cara yang tidak adil untuk angkat suara, bahkan angkat parang.
Dari berbagai wawancara yang penulis lakukan selama dua bulan terakhir, ada berbagai bentuk aktivitas para kandidat dan tim sukses mereka, yang menjadi sumber ketidakpuasan.
Pertama, ada perasaan tidak puas bahwa Y.S. Dalipang, yang selama 17 bulan menjabat sebagai PLT Bupati Torut, ditengarai telah membuat berbagai keputusan untuk mendongkrak suara bagi dirinya. Seperti, melantik kepala-kepala dinas, camat-camat, guru-guru honorer, dan sejumlah fungsionaris lain yang pro-Dalipang. Termasuk Kepala Dinas P & P, Gagak Sumule, yang masih kerabat Dalipang.
Orang kepercayaan Dalipang di KPUD Torut ditengarai telah menggelembungkan Daftar Pemilih Tetap (DTP) sampai melonjak 25 ribu suara melebihi DPT waktu pilpres tahun lalu. Walhasil, Selasa, 5 Oktober lalu, massa pendukung enam kandidat beramai-ramai berdemonstrasi ke KPUD, setelah berorasi di art centre Rantepao. Mereka menuntut Pilkada Torut ditunda sampai penggelembungan DPT itu dipecahkan.
Kedua, tim sukses dari beberapa orang kandidat telah membagi-bagi uang dari Rp 50 ribu sampai Rp 400 ribu per orang, supaya para penerima itu mau memberikan suara kepada kandidat-kandidat tertentu. Salah seorang kandidat yang notabene masih Wakil Bupati Asmat di Papua, Frederik Batti Sorring, malah juga membagi-bagi uang kepada mahasiswa dan masyarakat asal Toraja di Yogyakarta.
Pembagian itu dilakukan dalam dua tahap. Dalam tahap pertama, Sorring memberikan Rp 10 juta kepada Kerukunan Keluarga Toraja (KTJ) dan Rp 10 juta kepada Ikatan Mahasiswa Toraja di Yogyakarta (Ikatmaja). Alasannya, untuk meminta dukungan moral untuk maju ke pemilihan Bupati Toraja Utara. Yogyakarta dipilih oleh kandidat yang dikenal dengan singkatan FBS, karena ia alumnus Fakultas Filsafat UGM tahun 1986, sedangkan isterinya berasal dari Wonosari, Gunung Kidul, DIY.
Dalam tahap kedua, uang dimasukkan ke dalam amplop-amplop yang hanya diberikan kepada beberapa tokoh mahasiswa dan masyarakat Toraja di rumah pribadi Sorring di kawasan Casablanca, di tepi ring road Selatan, Yogyakarta. Rumah bernilai antara Rp 1 s/d 2 milyar itu dibeli untuk anak perempuan dan keponakan Sorring yang kuliah di Yogya. Rumah mewah itu dilengkapi mobil dan supir merangkap penjaga rumah.
Pemberian uang kepada para calon pemilih ada yang disamarkan melalui berbagai cara. Mulai dari undangan makan di restoran, janji pemberian honor saksi yang tinggi, penyediaan fasilitas sepeda motor, pembayaran ojek sampai dengan Rp 95 ribu, serta penyediaan sewa motor dan mobil rental mulai dari Rp 300 ribu s/d Rp 1 juta. Ada juga seorang kandidat yang membentuk tim 30 di setiap KPS, sehingga dengan membiayai regu-regu 30 orang itu dengan dana yang cukup tinggi, kesan money politics berusaha dihindari.
Ketiga, ada cara pemberian “bantuan” yang lebih ‘berbudaya’. Sebagian kandidat sibuk berjalan keliling Torut, mencari di mana upacara duka (rambu solo’) atau upacara syukuran (rambu tuka’) sedang berlangsung, lalu memberikan sumbangan babi atau kerbau, walaupun tidak ada hubungan darah dengan yang punya hajat.
Makanya kandidat-kandidat ini dijuluki to patiro rambu, atau “orang-orang pengamat asap (rambu)”, sebab upacara duka diibaratkan asap yang turun (rambu solo’) sedangkan upacara syukuran diibaratkan asap yang naik (rambu tuka’).
Betapapun modus operandi nya, rupanya para kandidat itu belum membaca Peraturan Pemerintah R.I. No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Ayat (1) dari Pasal 64 PP itu melarang pasangan calon dan/atau tim kampanyenya “menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih”.
Sedangkan ayat (2) mengatakan bahwa calon dan/atau tim kampanye yang “terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD”.
Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, itulah kata kuncinya. Kalau KPUD sudah bisa dikuasai, begitu juga Bawaslu, Pengadilan, dan DPRD, maka kecil kemungkinan berbagai tindakan pembelian suara (vote buying) itu dapat dicegah.
Repotnya, kalau rakyat tidak dapat memperoleh keadilan dari lembaga-lembaga itu, bagaimana usaha rakyat memperoleh keadilan lewat aksi-aksi massa yang keras dan dapat berdarah-darah, dapat dicegah?
Makanya, untuk mencegah berulangnya geger pasca-pilkada seperti di Ma’kale, sudah saatnya gereja dan lembaga-lembaga agama lain angkat suara, menentang praktek-praktek pembelian suara yang sudah mewabah dari Toraja ke Yogyakarta.
Barangkali sudah saatnya para rohaniwan dan rohaniwati memelopori gerakan pengembalian uang, babi, dan kerbau pemberian dari para kandidat.
George Junus Aditjondro, pengarang buku Pragmatisme Menjadi To Sugi dan To Kapua di Toraja, Penerbit Gunung Sopai, Yogyakarta, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar