“KETERLIBATAN
GEREJA DALAM MELESTARIKAN
KEUTUHAN CIPTAAN”
PENGANTAR
1. Nota
Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2012 berjudul:
KETERLIBATAN GEREJA DALAM MELESTARIKAN
KEUTUHAN CIPTAAN. Dengan memilih judul
tersebut, Gere-ja ingin mengajak seluruh umat Katolik untuk memberi
perhatian, meningkatkan kepedulian dan tindakan partisipatif dalam
menjaga, memperbaiki,
melindungi dan melestarikan ke-utuhan ciptaan dari berbagai macam
kerusakan. Nota Pastoral ini dimaksudkan
sebagai ba-han pembelajaran pribadi atau bersama bagi seluruh umat
dan siapapun yang mempunyai kepedulian
terhadap masalah-masalah lingkungan hidup dan usaha-usaha untuk
menjaga, memperbaiki,
melindungi dan
memulihkannya.
2. Nota
Pastoral ini merupakan hasil hari studi para uskup pada tanggal 5-7
November 2012 tentang ekopastoral. Para uskup menyadari pentingnya
lingkungan hidup untuk kelangsung-an hidup semua ciptaan namun juga
prihatin terhadap berbagai macam kerusakan alam dan akibat-akibat
yang ditimbulkannya. Di Indonesia, kerusakan alam terus terjadi dan
dari wak-tu ke waktu kian mengkhawatirkan. Oleh karena itu, para
uskup sepakat untuk meningkat-kan pelayanan karya pastoral di bidang
lingkungan hidup atau ekopastoral.
3. Nota
Pastoral ini secara berurutan akan mengupas masalah lingkungan hidup
dan keru-sakannya, dasar-dasar panggilan Gereja untuk melestarikan
keutuhan ciptaan Tuhan dan ha-rapan para uskup sehubungan dengan
pastoral lingkungan hidup yang bisa diupayakan oleh Gereja Katolik
di Indonesia sebagai persekutuan umat beriman.
LINGKUNGAN
HIDUP
4.
Lingkungan hidup merupakan segala sesuatu
yang ada di sekitar makhluk hidup, termasuk manusia, berupa benda,
daya dan keadaan yang mempengaruhi kelangsungan makhluk hi-dup, baik langsung maupun tidak langsung.1
Dalam lingkungan hidup terdapat ekosistem yaitu unsur-unsur
lingkungan hidup, baik yang hidup (biotik)
seperti manusia, tumbuhan, hewan, maupun yang tidak hidup (abiotik)
seperti tanah, air dan udara yang saling berhu-bungan dan saling
mempengaruhi.
5. Manusia
bersama dengan ciptaan yang lain merupakan bagian dari lingkungan
hidup dan keduanya mempunyai hubungan timbal balik yang amat erat.
Lingkungan
hidup menye-diakan berbagai kebutuhan manusia, menentukan dan
membentuk kepribadian, budaya, pola,
dan model kehidupan masyarakat.
Sedangkan manusia dengan segala
kemampuannya dapat
menentukan dan mempengaruhi perubahan-perubahan dalam lingkungan
hidup. Jika
manusia mampu hidup selaras dan seimbang dengan lingkungan hidup,
kehidupannya dan kehidupan makhluk lain pun akan berlangsung dengan
baik.
KONDISI
YANG MEMPRIHATINKAN
6. Pada
kenyataannya, manusia sering menempatkan diri sebagai yang berkuasa
terhadap alam ciptaan dan
pusat segala-galanya. Manusia
juga sering beranggapan bahwa
alam menyediakan berbagai
sumber daya yang tidak terbatas
dan mampu tercipta kembali se-cara cepat.
Alam dianggap
memiliki kemampuan sendiri
untuk mengatasi dampak-dampak
negatif dari eksploitasi dan
pencemaran. Pemahaman ini mendorong
manusia untuk sema-kin berperilaku rakus dan serakah.
7. Kerusakan
lingkungan memang tidak semata-mata disebabkan oleh ulah manusia.
Alam bisa rusak dan hancur karena faktor alam juga seperti gunung
meletus, gempa bumi, dan tsunami. Namun perilaku manusia yang
menempatkan dirinya sebagai subyek dan alam sebagai obyek untuk
dikuras kekayaannya dan dicemari
menjadi penyebab terbesar keru-sakan lingkungan hidup saat ini
8. Kerusakan
lingkungan hidup ditandai
dengan adanya perubahan langsung dan tidak langsung terhadap
ekosistem aslinya yang melampaui
ukuran batas kemampuan lingkungan hidup untuk dapat tetap berfungsi
dengan baik. Kerusakan lingkungan
yang saat ini terjadi lebih
disebabkan oleh aktivitas pengambilan sumber daya alam yang tidak
terkendali di berbagai bidang seperti:
8.1.
Pertambangan
Kegiatan
pertambangan,
khususnya yang bersifat terbuka semakin marak. Hingga tahun 2012
tercatat sebanyak 10.677 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang sudah
dikeluarkan oleh Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral. Dari jumlah IUP tersebut, Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA)
mencatat bahwa sejak tahun 2004 hingga 2012 terdapat 1.724 kasus
penambangan yang merusak kawasan
hutan secara ilegal. Pada tahun 2004, sebanyak 13 unit usaha tambang
beroperasi di kawasan hutan lindung dan membabat
areal hutan seluas 950.000
hektar.2
Di satu sisi, industri pertambangan memberikan manfaat terhadap
perekonomian domestik, membuka lapangan kerja secara nasional dan
regional, serta mengembangkan unit-unit ekonomi di sekitar kawasan
tam-bang. Di sisi lain, pembukaan
kawasan hutan yang dimulai dari penebangan hingga peng-galian dan
pembuangan limbah hasil tambang telah
mengubah lahan dan merusak ekosis-tem setempat. Reklamasi lahan
bekas tambang tidak akan mampu
mengembalikan keadaan semula.
Setidaknya
akan tetap tersisa wilayah dengan lobang bekas tambang.
Pengambilan
sumber daya alam yang tidak memperhatikan keberlanjutannya
mengakibat-kan sumber daya alam menipis.
Laju kecepatan pengambilan
lebih tinggi daripada laju kece-patan tumbuh. Sumber daya alam yang
awalnya dimanfaatkan sebagai modal pembangunan akan semakin habis dan
biaya perbaikan lingkungan semakin mahal. Di
samping itu, konflik dan kekerasan antar masyarakat atau masyarakat
dengan pemerintah akan semakin
me-ningkat seiring terbatasnya akses pada sumber daya alam dan lahan
untuk mendukung ke-hidupan. Masyarakat,
pengusaha, dan pemerintah akan
saling menyalahkan sebagai penye-bab
kerusakan lingkungan hidup.
Bagi
masyarakat sekitar tambang, ganti
rugi yang diterima sering
tidak memadai dibanding-kan dengan
penderitaan yang harus mereka alami karena kehilangan mata
pencarian dan akibat kerusakan lingkungan.
Selain itu, masyarakat juga
tidak lebih sejahtera karena
hasil tambang lebih banyak dinikmati
oleh pemilik
modal dan para pekerja yang sebagian besar berasal dari luar daerah
penambangan.
8.2.
Perkebunan
Usaha
perkebunan skala besar jauh lebih berkembang dibandingkan perkebunan
rakyat. Data Dirjen Perkebunan menunjukkan bahwa pertambahan luas
perkebunan kelapa sawit selama 10 tahun terakhir meningkat 88% yaitu
dari 4,15 juta hektar di tahun 2000 menjadi 7,8 juta hektar pada
tahun 2010. Sementara luas perkebunan karet relatif tetap dari 3,37
juta hektar pada tahun 2000 menjadi 3,44 juta hektar pada tahun
2010.3
Sektor perkebunan telah memberikan kontribusi yang besar dalam
penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat, memberikan nilai tambah
terhadap pendapatan daerah dan ikut menumbuhkan sektor jasa
transportasi. Meskipun begitu, pemberian
ijin kawasan untuk perkebunan seringkali menim-bulkan permasalahan
dengan masyarakat setempat karena mereka
tidak diakui keberadaan-nya
oleh pemerintah dan dianggap ilegal. Tidak adanya pengakuan atas hak
hidup masyara-kat adat maupun masyarakat lain yang sudah lebih dahulu
tinggal dan beraktivitas, mem-buat posisi
mereka sangat lemah dan mudah dipermainkan.
Kelompok masyarakat ini be-lum terwadahi
dalam peraturan pemerintah.
“Perasaan
terusir dari lingkungannya sendiri, ketidakmampuan untuk ikut
menikmati hasil bumi yang
dipijaknya, dampak ekonomi dan sosial yang tidak selalu positif,
semuanya menjadi dampak yang harus ditanggung oleh masyarakat.”4
Selain menimbulkan masalah
sosial, perkebunan skala besar juga menyisakan kerusakan lingkungan
yang harus diderita oleh alam dan manusia. Penggantian jenis tana-man
menjadi monokultur, penggunaan pupuk dan pestisida yang terus
menerus, pengambil-an air tanah untuk keperluan tanaman, menjadikan
masyarakat kecil sebagai korban
yang tidak berdaya.
8.3.
Kehutanan
Industri
kehutanan telah ikut meningkatkan pendapatan negara lewat ekspor kayu
tropis, dalam bentuk log, kayu gergajian, kayu lapis dan produk kayu
lainnya. Meskipun begitu, fungsi hutan yang sangat penting untuk
kehidupan saat ini sudah berkurang seiring dengan kerusakannya yang
semakin luas. Berdasarkan data
Ditjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial,
Kementerian Kehutanan, luas lahan kritis dan sangat kritis tahun 2011
telah mencapai 29,3 juta hektar.5
Kerusakan hutan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
“Penebangan kayu yang berlebihan, praktik illegal
logging, semakin
luas-nya areal penggunaan lain di mana hutan dapat dikonversi
untuk kepentingan di luar
sek-tor kehutanan seperti perkebunan,
pertambangan, dan permukiman.
Kerusakan tersebut tidak lepas dari peran
para pengambil kebijakan yang sering hanya mendasarkan kebijakan pada
pertimbangan keuntungan ekonomis semata.
Pengawasan terhadap pengelolaan hu-tan
yang lestari masih lemah,
sanksi hukum terhadap para pelanggar
peraturan tentang in-dustri kehutanan
juga masih rendah.6
Di samping
itu, kesadaran masyarakat akan penting-nya hutan untuk kehidupan
belum merata. Fungsi sumber
daya hutan masih tidak dipahami, sehingga kerusakan lingkungan dari
hulu hingga hilir suatu kawasan tidak dilihat sebagai permasalahan
sebab-akibat, melainkan permasalahan parsial termasuk penanganannya.
Kerusakan
hutan yang mengakibatkan bencana alam membuat biaya hidup masyarakat
ma-kin mahal. Biaya ekonomi,
sosial, dan lingkungan untuk mengatasi banjir,
tanah longsor, ke-keringan dan krisis air bersih,
perbaikan
fasilitas publik seperti jalan, bangunan sekolah dan pemerintahan,
serta terganggunya kegiatan ekonomi masyarakat,
akan semakin mening-kat. Masyarakat
akan menanggung biaya hidup yang semakin tinggi karena pemerintah
tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka.
8.4.
Pencemaran tanah
Pencemaran
tanah adalah keadaan di mana
bahan-bahan kimia buatan manusia masuk dan mengubah lingkungan tanah
alami. Tanah dimengerti sebagai permukaan bumi yang banyak dihuni
oleh makhluk hidup, terutama manusia, tumbuh-tumbuhan,
dan hewan. Pencemaran ini terjadi karena masuknya
limbah cair atau bahan kimia industri, limbah pertanian,
dan limbah rumah tangga ke
dalam tanah yang akan mengubah
metabolisme dan mikroorganis-me dalam tanah, memusnahkan spesies dan
mengganggu rantai makanan dalam tubuh
ma-nusia.
Bahan kimia akan meresap ke dalam air bawah tanah sehingga
mempengaruhi kuali-tas air tanah. Hal ini terjadi sebagai akibat
penggunaan pupuk, pestisida, dan limbah tidak terurai seperti
plastik, kaleng, limbah cair, dan air hujan yang tercampur dengan
senyawa kimia di udara. Pencemaran ini akan berdampak negatif
terhadap ekosistem yang hidup di dalam dan di atas tanah. Kualitas
hidup manusia juga akan mengalami penurunan sebagai akibat
rantai makanan yang tercemar dan
menurunnya fungsi tanah sebagai sumber
kehi-dupan
yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup.
8.5.
Pencemaran udara
Pencemaran
udara dapat disebabkan oleh kejadian alam seperti letusan gunung
berapi dan oleh kegiatan manusia di bidang transportasi, industri,
kegiatan rumah tangga, dan usaha-usaha komersial. Berbagai kegiatan
ini mengakibatkan terjadinya pencemaran udara. Pembakaran sampah
menyebabkan pencemaran udara dalam bentuk senyawa kimia termasuk
partikel logam berat. Alat pemantau udara otomatis yang dipasang di
43 stasiun pantau di 10 kota, menunjukkan bahwa terdapat partikel
dengan ukuran di bawah 10 mikrometer (PM10)
sehingga akan ikut terhirup dan masuk ke dalam pernafasan. Hal ini
akan mengganggu kesehatan dan dalam jangka panjang bersifat racun.7
Kota-kota di Jawa, Bali, Sumatera, dan beberapa kota di Kalimantan
yang memiliki kegiatan industri yang padat menunjukkan adanya
peningkatan konsentrasi pencemaran yang lebih tinggi dibandingkan
wilayah kota lainnya.
Sejak
tahun 1998, Indonesia telah dinyatakan sebagai negara dengan kondisi
pencemaran udara di perkotaan yang terburuk di mana tingkat
konsentrasi dari tiga jenis parameter yang dipantau yaitu kadar
timbal, nitrogen dioksida, dan total padatan tersuspensi melebihi
standar WHO8.
Kadar timbal di udara Jakarta
mencapai 29 mg/m3
sedangkan standar WHO hanya 0,5 mg/m3.
Penumpukan kadar timbal dalam darah sebesar 10 ug/dl akan menurun-kan
tingkat kecerdasan anak-anak. Dampak asap dari kebakaran hutan juga
dapat menim-bulkan sakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA),
asma, radang paru-paru, dan penyakit mata. Jumlah penderita ISPA di
wilayah kebakaran hutan lebih tinggi 1,8 hingga 3,8 kali dibanding
sebelum terkena asap. Hasil pembakaran bahan bakar untuk kegiatan
industri dan transportasi menghasilkan gas nitrogen di udara yang di
perkotaan lebih tinggi 0-100 kali dibandingkan dengan wilayah
pedesaan9.
Gas ini bersifat racun bagi paru-paru. Standar WHO untuk NO2
adalah 40 mg/m3
sedangkan Jakarta mencapai 250 mg/m3.
Dengan ber-tambahnya jumlah
penduduk dan meningkatnya aktivitas
masyarakat, dapat dipastikan bah-wa tingkat konsentrasi dari
masing-masing jenis parameter di atas meningkat.
8.6.
Pencemaran air
Indonesia
membutuhkan dana Rp 37 trilyun untuk penyediaan air bersih.
Kebutuhan air ber-sih di Indonesia belum memadai. Dari 380 PDAM yang
ada di Indonesia, baru sekitar 140 PDAM yang tercatat mampu
menyalurkan air yang sehat. Target pembangunan milenium tahun 2015
sebanyak 68% penduduk Indonesia terlayani air bersih belum mampu
dicapai karena saat ini yang tercapai baru 47%. Jumlah penderita
diare per tahun juga masih sangat tinggi yaitu 120 juta per tahun
akibat minimnya air bersih.
10
Kekurangan air bersih ini se-makin diperparah oleh pencemaran
air yang dapat
diartikan sebagai suatu perubahan kea-daan di suatu tempat
penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat
aktivitas manusia. Perubahan ini mengakibatkan menurunnya kualitas
air hingga ke tingkat yang membahayakan dan air tidak bisa digunakan
sesuai peruntukannya. Pusat
Sarana Pe-ngendalian Dampak Lingkungan mencatat bahwa pada tahun 2011
dari 51 sungai besar di Indonesia, 32 di antaranya tercemar berat.
Instalasi pengolah air limbah baru terdapat di 11 kota di Indonesia
dan hanya mampu melayani 2,5 juta jiwa.11
Limbah pemukiman, limbah pertanian dan
limbah industri
semakin merusak air,
baik air permukaan maupun air bawah tanah. Keadaan ini diperparah
oleh pemahaman bahwa alam merupakan tempat sampah raksasa yang dapat
mengolah limbahnya secara alami, baik limbah cair maupun limbah
pa-dat, dan sungai menjadi salah satu media tempat sampah yang paling
gampang dipakai. Akibatnya, manusia sendiri yang harus menanggung
dampaknya.
8.7.
Sampah
Direktur
Permukiman dan Perumahan Bappenas menyatakan bahwa sampah menjadi
permasalahan pelik khususnya hampir di setiap kota besar. Jumlah
sampah yang terangkut dan mengalami proses pengolahan masih sangat
rendah. Dari 1 juta meter kubik sampah, baru 42% yang dapat diolah
dengan baik, sedangkan sisanya menjadi permasalahan ling-kungan.12
Budaya bersih dan usaha mengurangi
jumlah sampah yang dihasilkan masih jauh dari harapan. Pemikiran
bahwa sampah merupakan urusan dan tanggung jawab pemerintah untuk
mengelolanya masih sangat kental. Padahal, sampah merupakan sumber
pencemar tanah, air, dan udara. Bau yang menyengat dan rembesan air
yang mengandung senyawa kimia yang berasal dari pembusukan sampah
akan mengganggu kesehatan masyarakat.
8.8.
Perubahan iklim
Dampak
perubahan iklim global juga dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Berdasarkan ha-sil kajian di tingkat nasional maupun internasional,
temperatur rata-rata tahunan Indonesia akan meningkat 0,30C,
dan secara keseluruhan kelembaban udara akan berkurang 2-3%, sehingga
akan berpengaruh pada curah hujan dan pola bulan basah – bulan
kering.13
Berkurangnya curah hujan akan berdampak
pada tingginya resiko kekeringan, ketidakpasti-an ketersediaan air.
Semuanya akan mengganggu kegiatan ekonomi dan kegiatan pertanian
sehingga mengancam ketahanan pangan. Di sisi lain, meningkatnya curah
hujan akan me-ningkatkan resiko banjir yang tentunya akan menimbulkan
kerugian yang sangat tinggi. Kerugian banjir Jakarta tahun 2007
diperkirakan Rp 4,1 trilyun.14
Perubahan iklim yang me-nyebabkan meningkatnya kejadian banjir dan
kekeringan otomatis juga akan menyebabkan terjadi penyebaran infeksi
dan bibit penyakit seperti malaria dan demam berdarah. Penye-baran
infeksi melalui air dapat berupa diare
dan kolera.
Kenaikan
suhu juga akan berdampak pada meningkatnya permukaan air laut. Saat
ini telah terjadi kenaikan permukaan laut rata-rata 1-3 mm per tahun
di wilayah perairan Asia15.
Padahal sekitar 60% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir.
Kegiatan ekonomi di sepanjang 81.000 km wilayah pesisir memberi
sumbangan sebesar 25% dari pendapatan nasional.16
Kenaikan permukaan air laut ini juga akan berdampak kepada banjir,
meningkat-nya salinitas atau masuknya air asin ke perairan darat.
Keduanya akan berdampak pada kegiatan pertanian dan rumah tangga.
Bahkan dalam cuaca ekstrim yang menyebabkan ke-naikan permukaan laut
setinggi satu meter akan mampu menggenangi 405.000 hektar wila-yah
pesisir terutama bagian utara Jawa, bagian timur Sumatera, dan bagian
utara Sulawesi.
Selain itu,
gejala penyimpangan suhu, atau yang dikenal dengan nama El
Nino akan ber-dampak pada kematian benih ikan
sehingga akan mengurangi ketersediaan ikan bagi manu-sia.
Penyimpangan suhu juga akan menyebabkan kebakaran hutan. Pada tahun
1997-1998 terjadi kebakaran hutan seluas 9,7 hektar, dan kebakaran
lahan gambut, yang selain dipicu oleh kenaikan suhu juga karena
pembukaan lahan seluas 2 juta hektar. Padahal lahan gam-but memiliki
kemampuan mengikat karbon 30 kali lebih tinggi daripada tutupan hutan
lain-nya.17
Oleh karena itu, Indonesia menjadi salah
satu penyumbang emisi keempat terbesar dunia
AMANAT
ILAHI
9. Allah
menciptakan manusia dan segala makhluk dengan kasih-Nya (bdk. Kej.1).
Keyakinan ini menyadarkan kita bahwa dunia dengan segala isinya
sungguh dikehendaki oleh Allah, baik adanya. Allah adalah Sang
Pencipta. Dialah ‘’awal dan akhir, asal dan tujuan seluruh alam
ciptaan.”18
Semua makhluk, dengan segala keanekaragaman dan keunikannya,
meng-gambarkan keagungan dan kemahakuasaan Allah (bdk. Mzm. 104: 14).
10. Di
antara segala ciptaan, manusia adalah satu-satunya makhluk yang
secitra dengan Allah (bdk. Kej.1:27). Sebagai citra Allah, manusia
mempunyai martabat sebagai pribadi
yang mampu mengenali dirinya sendiri,
menyadari kebersamaan dirinya dengan orang lain,
dan bertanggung
jawab
atas makhluk ciptaan yang lain. Manusia adalah rekan kerja Allah
dalam menata, menjaga, memelihara dan mengembangkan seluruh alam
semesta ini. Allah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk
memelihara dan mengolah dengan bijak-sana alam semesta ini serta
berupaya menciptakan hubungan yang harmonis di antara se-mua ciptaan
(bdk. Kej.2:15). Oleh karena itu, manusia harus mengelola bumi dengan
segala isinya ini dalam kesucian dan keadilan. Manusia tidak berhak
memboroskan dan merusak alam serta sumber-sumbernya dengan alasan
apapun.
11.
Kehadiran Allah di dunia dalam diri Yesus Kristus ingin menyatakan
bahwa kasih-Nya amat besar terhadap manusia dan semua ciptaan. Allah
tidak hanya mencipta, tetapi juga melindungi dan memelihara. Allah
adalah Kasih (bdk. 1Yoh.4:16) dan kasih itu tidak hanya ditujukan
kepada manusia tetapi kepada semua makhluk yang telah Ia ciptakan.
Solidaritas dan kepedulian Allah terhadap ciptaan-Nya dalam peristiwa
penjelmaan menjadi pegangan manusia untuk memperlakukan ciptaan yang
lain secara baik. Sehubungan dengan hal itu, manusia harus
melepaskan diri dari berbagai kelekatan seperti kekayaan dan
kekuasaan (bdk. Mat.6:19-21), yang sering dicapai dengan mengorbankan
sesamanya atau makhluk ciptaan Tuhan yang lain.
12.
Karya penebusan Allah dalam diri Yesus Kristus juga ingin menjangkau
semua ciptaan. Dengan darah salib Kristus, segala sesuatu di bumi
dan di surga diperdamaikan oleh Allah (bdk. Kol.1:19-20). Rasul
Paulus dengan tegas menyatakan bahwa karya penyelamatan Allah tidak
hanya untuk manusia yang berdosa tetapi meliputi segala makhluk dan
seluruh alam semesta. Oleh karena itu, sikap pemberian diri yang
disertai dengan kerendahan hati manu-sia terhadap yang lain
sebagaimana telah dilakukan oleh Yesus kristus (bdk. Flp.2:1-11)
di-perluas untuk semua makhluk ciptaan.
GEREJA
YANG PEDULI
13. Gereja
sebagai sakramen keselamatan telah menaruh kepedulian yang mendalam
terha-dap masalah lingkungan hidup. Kepedulian Gereja tersebut tampak
dalam pemikiran dan pandangan para Bapa Gereja. Konsili Vatikan II
dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes
No. 69 menyatakan “Allah menghendaki, supaya bumi beserta segala
isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa, sehingga
harta–benda yang tercipta dengan cara yang wajar harus mencapai
semua orang, berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cinta kasih”.
Para Bapa Konsili meyakini bahwa Allah telah menganugerahkan bumi
dengan segala kekayaannya sebagai rumah bersama semua manusia dan
semua makhluk. Semua manusia, tanpa kecuali, berhak menikmati dan
mendapatkan sumber penghidupan dari kekayaan alam semesta ini.
14. Gereja
selalu terbuka, menghormati dan mendukung berbagai macam perkembangan
dan kemajuan jaman, termasuk di bidang ekonomi, sejauh kemajuan
tersebut membawa kesejahteraan bagi manusia dan mahkluk hidup yang
lain. Kemajuan zaman harus tetap menjaga dan melindungi hak hidup
masyarakat, khususnya orang-orang yang kecil, lemah, miskin dan
tersingkir. Sehubungan dengan hal itu, Paus Paulus VI dalam Ensiklik
Populorum Progressio
No.34 menekankan pentingnya Gereja mendampingi dan memajukan
masyarakat untuk ikut serta memanfaatkan sumber daya alam. Mereka
perlu dilindungi dari penindasan dan keserakahan orang-orang yang
ingin mendapatkan keuntungan ekonomis sebesar-besarnya dari kekayaan
alam yang ada di sekitar mereka.
15. Paus
Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Sollicitudo
Rei Socialis No.34 menegaskan bahwa manusia
tidak dibenarkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
mengorbankan hewan, tumbuhan dan unsur-unsur alam yang lain. Sumber
daya alam yang ada juga ter-batas sehingga pemanfaatannya harus
memperhatikan tuntutan-tuntutan moral. Sang Pen-cipta sudah
mengungkapan secara simbolis agar manusia tidak “makan buah
terlarang” (bdk. Kej.2:16-17). Maksudnya alam tidak hanya berada di
bawah hukum biologis, tetapi juga hukum-hukum moral. Alam adalah
anugerah Allah untuk semua orang sehingga harus dikelola secara
bertanggung untuk kesejahteraan bersama pula.
16.
Keprihatinan dan kepedulian Gereja Katolik Indonesia terhadap masalah
lingkungan hidup sebenarnya sudah ada sejak lama. Surat Gembala KWI
pada bulan Februari 1989 se-cara khusus telah membahas lingkungan
hidup. Para Waligereja mengajak seluruh umat Ka-tolik untuk
mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab terhadap lingkungan hidup
de-mi terwujudnya kenyamanan dan kesejahteraan hidup manusia.
Komitmen untuk mewujud-kan keadilan dan melestarikan keutuhan ciptaan
merupakan dua dimensi panggilan kristiani dalam upaya menghadirkan
Kerajaan Allah.
17. Sidang
Tahunan KWI tanggal 1-11 November 2004 dengan tema Keadaban
Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa menampilkan
Gereja Indonesia yang peduli dengan berbagai persoalan bangsa, di
antaranya kerusakan lingkungan hidup. Pemerintah, pelaku usaha dan
masyarakat warga merupakan pihak-pihak yang harus bertanggungjawab
untuk memulihkan keadaban publik yang telah rusak tersebut. Salah
satu caranya adalah dengan membangun budaya baru. Budaya baru
dimengerti sebagai cara pandang dan kebiasaan sosial yang men-jadi
tandingan dari cara pandang dan kebiasaan sosial umum dalam
masyarakat, termasuk sikap hidup yang kurang menghargai lingkungan
hidup.
18. Sidang
Agung Gereja Katolik Indonesia tanggal 16-20 November 2005 dengan
tema Bangkit dan Bergeraklah
secara tegas mengajak Gereja untuk lebih terlibat dalam mengatasi
berbagai macam ketidakadaban publik, di antaranya yang berhubungan
dengan kerusakan lingkungan hidup. Berkaitan dengan masalah
lingkungan hidup, para Waligereja Indonesia kembali menekankan
pentingnya upaya memberdayakan kearifan lokal dan menghormati
masyarakat adat serta usaha-usaha lainnya seperti mengatasi polusi
air, udara dan tanah.
19.
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia tanggal 1-5 November 2010
dengan tema Ia Datang supaya Semua Memperoleh
hidup dalam Kelimpahan, mendorong Gereja
untuk lebih berkomitmen dalam mewujudkan aksi solidaritas. Dalam
salah satu butir Pernyataan Akhir dan Rekomendasi, para Waligereja
menekankan pentingnya pelayanan pastoral untuk para petani, nelayan,
buruh, kelompok yang terabaikan dan terpinggirkan serta upaya
pemeliharaan lingkungan hidup.
20. Gereja
Katolik Indonesia telah melakukan berbagai upaya nyata untuk menjaga
keles-tarian lingkungan hidup. Upaya-upaya itu antara lain edukasi
yaitu menyadarkan umat akan pentingnya lingkungan hidup untuk
keberlangsungan hidup semua ciptaan termasuk ma-nusia; advokasi yaitu
membantu dan mendampingi para korban kerusakan lingkungan hidup agar
mendapatkan kembali hak hidupnya secara utuh; negosiasi yaitu
menjadi penghubung antara masyarakat dengan pemerintah dan pelaku
usaha, menyangkut kebijakan dan pe-manfaatan sumber daya alam agar
tidak memiskinkan masyarakat. Gereja telah berusaha melakukan
berbagai gerakan di lingkup keuskupan, paroki, sekolah, biara,
komunitas basis, kelompok kategorial dan bersama dengan masyarakat
umum lainnya. Namun kerusakan lingkungan hidup terus saja terjadi,
bahkan dari waktu ke waktu semakin meningkat.
GEREJA
MENINGKATKAN KEPEDULIAN
21.
Kepedulian Gereja terhadap usaha-usaha untuk melestarikan keutuhan
ciptaan perlu di-tingkatkan. Salah satu hal penting dan mendesak
untuk dilakukan adalah membangun dan mengembangkan pertobatan
ekologis demi terwujudnya rekonsiliasi atau pendamaian anta-ra
manusia dengan seluruh ciptaan. Pertobatan ini tidak hanya berhenti
pada lahirnya kesa-daran baru, bahwa lingkungan hidup penting untuk
kehidupan manusia, melainkan adanya perubahan positif yang signifikan
dalam memandang dan memperlakukan alam semesta.
22.
Kehidupan seluruh ciptaan menjadi pusat dari segala kegiatan manusia.
Dengan kata lain perlu peralihan dari cara pandang egosentris ke
cara pandang biosentris. Eksploitasi sumber daya alam yang didasari
keinginan tak terbatas diubah menjadi pemanfaatan sumber daya alam
yang arif-bijaksana didasarkan pada kebutuhan hidup yang
berkelanjutan. Konsep pembangunan tidak lagi hanya mengacu pada
pertumbuhan ekonomi tetapi juga pada pem-bangunan yang berwawasan
lingkungan. Alam kembali ditempatkan dalam perannya seba-gai mitra
kehidupan manusia dan rumah bagi semua mahkluk.
23. Pastoral
ekologi atau ekopastoral hendaknya dilakukan secara menyeluruh dan
berkesi-nambungan. Menyeluruh artinya melibatkan semua orang yang
berkehendak baik untuk menjaga dan memulihkan lingkungan hidup serta
mencakup pihak-pihak yang terkait de-ngan kerusakan lingkungan hidup
itu sendiri. Berkesinambungan berarti pastoral lingkungan hidup
menjadi gerakan Gereja yang teratur, terarah,
dan terus menerus yang
diperkaya de-ngan informasi, pengetahuan, dan cara bertindak yang
benar berkaitan dengan lingkungan
hidup.
24.1. Kepada
saudara-saudari yang berada di posisi pengambil kebijakan.
24.1.1.
Kebijakan pemanfaatan sumber daya alam hendaknya memperhatikan
keseimbang-an antara kepentingan manusia dan lingkungan hidup. Oleh
karena itu, kebijakan pem-bangunan dengan memanfaatkan sumber daya
alam yang cenderung eksploitatif (hanya menekankan pertumbuhan dengan
mengeruk sumber daya alam tetapi kurang memperhati-kan segi
keseimbangan eskosistem) dan destruktif (mencemari lingkungan hidup
dengan aneka ragam limbah) harus ditinjau ulang atau jika perlu
dihentikan.
24.1.2.
Kebijakan Penataan Ruang
melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
hendaknya memperhatikan kepentingan masyarakat kecil. Tujuannya agar
mereka tidak tergusur secara semena-mena, tidak kehilangan ruang
publik yang bisa dipakai untuk bermain anak-anak mereka, tidak
khawatir
akan datangnya banjir saat musim hujan. Dengan demikian, resapan air
tetap terjaga, kesegaran dan kenyaman hidup terjamin karena masih
luasnya kawasan hijau.
24.1.3. Izin
usaha yang berdasarkan pertimbangan yuridis dan analisis
akademis dari berba-gai disiplin ilmu akan
berdampak pada kerusakan lingkungan hidup, tidak boleh dikeluar-kan.
Di samping itu, bagi mereka yang telah terbukti melanggar ketentuan
usaha yang ra-mah lingkungan dan menjadi penyebab kerusakan
lingkungan hidup hendaknya diberi sanksi yang semestinya.
24.1.4.
Kebijakan hendaknya dilandaskan pada prinsip keadilan, artinya
kebijakan itu meng-hormati martabat manusia dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar. Hal ini perlu diperhatikan baik
dalam membuat kebijakan ekonomi nasional maupun setempat. Masyarakat
lokal yang tinggal di kawasan hutan
adalah kelompok pertama yang harus men-dapat manfaat dari potensi
alam sekitarnya.
Kebijakan ini juga disertai dengan usaha-usaha penyadaran yang
intensif agar masyarakat berlaku hemat dan bijaksana dalam
memanfaat-kan sumber daya alam yang ada.
24.2. Kepada
saudara-saudari yang bergerak di dunia usaha
24.2.1.
Kemajuan usaha industri tidak dapat mengorbankan lingkungan hidup.
“Setiap
ke-giatan ekonomi yang mendayagunakan sumber-sumber daya alam mesti
juga peduli untuk melindungi lingkungan hidup.”19
Oleh karena itu, pengembangan dan pembangunan ekono-mi hendaknya
diikuti juga dengan upaya-upaya pemulihan lingkungan hidup sehingga
tidak membawa dampak negatif terhadap kehidupan.
24.2.2.
Sumber daya alam tidak boleh hanya dimanfaatkan untuk mengejar
keuntungan ekonomis semata, tetapi harus memberikan manfaat sosial
yaitu kesejahteraan bersama (bonum commune).
Masyarakat harus diberi kesempatan untuk ikut menikmati sumber daya
alam di sekitar mereka dan dihindarkan dari berbagai dampak negatif
proses industri. “Makna-tujuan yang paling inti dari
produksi bukanlah semata-mata bertambahnya
hasil produksi, bukan pula keuntungan atau kekuasaan, melainkan
pelayanan kepada manusia, yakni manusia seutuhnya.”20
Kelompok masyarakat kecil dan terpinggirkan seperti masyara-kat
adat, para petani,
dan nelayan yang sering kena dampak
negatif kerusakan lingkungan dan perubahan iklim hendaknya juga
diperhatikan secara khusus.
24.3. Kepada
seluruh umat Kristiani yang terkasih
24.3.1.
Krisis ekologis sebagai akibat dari perilaku manusia, harus
mendorong kita
untuk menata ulang hubungan kita dengan ciptaan yang lain. Penataan
ulang ini dimaksudkan un-tuk membangkitkan kesadaran akan tanggung
jawab atas kepentingan bersama semua ma-nusia dan semua ciptaan.21
Penataan itu dapat dimulai dengan menyadari bahwa lingkungan hidup
mempunyai peran yang amat penting bagi semua kehidupan sehingga
harus dilin-dungi dari berbagai pencemaran dan perusakan. Dengan
demikian, tindakan pastoral ling-kungan hidup tidak hanya menyangkut
masalah teknis,
tetapi juga menyangkut proses pe-nanaman nilai melalui
pendidikan. Pendidikan nilai
untuk membangun kesadaran agar ma-nusia
menghargai alam harus menjadi prioritas utama dalam usaha mencegah
dan memu-lihkan lingkungan hidup dari kerusakan
akibat ulah manusia maupun karena bencana alam.22
24.3.2. Umat
Kristiani hendaknya dengan setia menjalankan kegiatan-kegiatan yang
meng-arah pada pemulihan hak hidup masyarakat dan gerakan cinta
lingkungan. Gerakan ini
ber-tujuan untuk membela sesama yang
menjadi korban kerusakan lingkungan dan lingkungan
yang dikorbankan secara semena-mena untuk
kepentingan segelintir orang. Kegiatan terse-but misalnya,
mendampingi dan membantu masyarakat korban kerusakan
lingkungan serta
korban pengusahaan hutan,
perkebunan,
dan pertambangan, melakukan
pengelolaan sam-pah yang baik, melakukan
penanaman pohon,
pengembangan usaha pertanian organik,
membersihkan sungai,
dan selokan dari tumpukan sampah.
24.3.3.
Masalah lingkungan hidup merupakan masalah bersama. Oleh karena itu,
umat Kristiani hendaknya membangun kerjasama dengan siapapun yang
mempunyai kepedulian terhadap kerusakan lingkungan ini. Kerjasama ini
dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, misalnya menggelar seminar
publik, diskusi, atau gerakan-gerakan nyata lainnya dengan melibatkan
saudara-saudari yang beragama dan berkeyakinan lain, lembaga-lembaga
peme-rintah maupun non pemerintah. Dengan kerjasama ini diharapkan
kekuatan akan semakin besar, jangkauan akan semakin luas, dan semakin
banyak orang yang terlibat dan peduli.
24.3.4.
Keterlibatan umat Kristiani dalam memulihkan dan melestarikan
keutuhan ciptaan bukan semata-mata didorong oleh adanya kerusakan
lingkungan hidup, tetapi merupakan perwujudan iman akan Allah Sang
Pencipta dan Pemelihara kehidupan. Iman yang hidup dan penuh kasih
menjadi dasar spiritualitas segala upaya untuk mendatangkan
keselamatan bagi semua ciptaan. Oleh karena itu, berbagai bentuk
kegiatan pastoral lingkungan hidup hendaknya selalu bersumber pada
kasih Allah yang mencipta, memelihara dan menjaga seluruh alam
semesta ini.
PENUTUP
25.
Dalam terang iman akan Yesus Kristus
hendaklah kita selalu menyadari dan merenung-kan kesatuan kita
dengan seluruh ciptaan yang lain. Kita dipanggil untuk menjadi rekan
kerja Allah dalam karya penyelamatan-Nya di dunia ini. Oleh karena
itu, mari kita tingkatkan usa-ha-usaha baik yang telah kita mulai
untuk menjaga dan melestarikan keutuhan ciptaan Tuhan dari berbagai
ancaman kerusakan demi semakin tegaknya Kerajaan Allah.
26. Akhirnya
kepada para akademisi, pengamat, praktisi dan aktivis lingkungan
hidup, di-ucapkan banyak terima kasih atas berbagai sumbangan berupa
pemikiran, pandangan dan gerakan dalam rangka menyelamatkan bumi dan
segala isinya dari jurang kehancuran yang lebih dalam. Semoga segala
usaha baik yang telah dimulai ini dari waktu ke waktu kian
ber-kembang dan senantiasa dalam lindungan Tuhan.
Jakarta,
April 2013
P R E S I D I U M
KONFERENSI
WALIGEREJA INDONESIA,
Mgr.
Ignatius Suharyo
K e t u a
|
Mgr.
Johannes Pujasumarta
Sekretaris Jenderal
|
1
Bdk. UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
2
JATAM, Catatan Akhir
Tahun 2012, Sektor Pertambangan
Indonesia Kejahatan terhadap Keselamatan Rakyat, 28 Desember 2012.
4
Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau KWI,
Animasi keadilan dan Perdamaian, Jakarta 2008, hlm.35.
5
Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia No. P. 114/Menhut II/2012
tentang Pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun
2012.
6
Bdk. J.Milburn Thompson, Keadilan dan perdamaian, Jakarta,
PT BPK Gunung Mulia, 2009hlm.89
7
Status Lingkungan Hidup
Indonesia 2010, KLH, hal. 48
8
Budi P.Resosudarmo, Indonesia’s
Clean Air Program,
Economics and
Environment Network Working Paper EEN0209,
Australian
National University.
10
Sustaining
Partnership, Media
Informasi Kerjasama Pemerintahan Swasta,
Edisi Desember 2011, Ironi Air di Indonesia, Menyikapi Potensi
Perang Air, Belajar tentang Air dari Swedia.
12
Suara
Pembaruan, Setahun Volume Sampah Indonesia Setara dengan 122 Gelora
Bung Karno, 26 Juni 2012.
13
Boer, R., A. Buono, A.
Rakhman.2008. Analysis
of Historical Change of Indonesian Climate Change,
Technical reports for the 2nd
National
Communication Ministry of Environment,
Republic of
Indonesia, Jakarta.
14
WHO, 2007, Emergency
and Humanitarian Action News Update,
February and March,
WHO Office for South-East Asia.
15
Cruz, R.V,et.al., 2007: Asia
Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and
Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change,
M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutiko
f, P.J. van der Linden and C.E. Hanson, Eds.,
Cambridge University Press, Cambridge, UK, 469-506.
16
Michael Case, et.al., WWF
Report on Climate Change in Indonesia
Implications for Humans and Nature,
assets.wwf.org.uk
17
IFPRI,
Discussion
Paper 01148,
December 2011,
The Impact of
Global Climate Change on
the
Indonesian
Economy
18
Berthold.A. Pareira, O.Carm, Guido Tisera, SVD, Martin Harun, OFM,
Keadilan, Perdamaian &Keutuhan Ciptaan, Jakarta, Lembaga
BIblika Indonesia 2007, hlm.136.
19
Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran
Sosial Gereja, Maumere, Penerbit Ledalero, 2009, hlm. 322.
20
Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, art.
64, hlm. 595.
21
Dr. Robert P.Borrong, Etika Bumi Baru, Jakarta, PT BPK Gunung
Mulia 2009, hlm.285.
22
Bdk. Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar