Senin, 19 Desember 2011

Papuan Voices on Human Rights Day

         “Tuhan, apakah aku salah karena kulitku hitam? Apakah aku salah karena rambutku keriting? Aku tak mau jadi bagian dari mereka, juga kalau aku harus mati. Tiap hari saudaraku mati, dibunuh. Aku hanya ingin kedamaian dan kebebasan....”

Ungkapan perih itu keluar dari bibir seorang perempuan Papua, yang memerankan tokoh ibu dalam fragmen “Papuan Voices”, racikan Kelompok Papuan Voices for Change.   Suara perempuan yang membalut tubuhnya dengan aksesoris tradisional Papua itu terdengar pedih, merintih, memberontak, tapi dengan sinisme yang amat pekat: “Aku tak mau jadi bagian dari mereka, juga kalau aku harus mati”. Wajah sang ibu (diperankan oleh Reny Keiya) ditengadahkan ke langit seakan ia sedang mencari Tuhan. Sementara di sampingnya tergeletak sosok mayat sang suami, yang telah terbunuh. Dalam putus asa menyayat, suara sang ibu memiriskan hati.

Lalu, Tuhan ada di mana ketika pembunuhan-pembunuhan itu terjadi? Di manakah pula negara yang selalu mengklaim “NKRI harga mati” itu berada? Sebuah nyanyian sunyi anak-anak Papua. Tiba-tiba perempuan itu berteriak lagi “Aku tak mau jadi bagian dari mereka”. Secara terang-benderang, kata-kata itu dilontarkan kepada Indonesia, Ibu Pertiwi, yang tak berhasil memberi rasa aman dan jaminan kehidupan kepada orang Papua.
Fragmen “Papuan Voices” mengangkat kisah derita anak Papua. Diawali dengan kisah kedatangan misionaris Eropa di Bumi Cenderawasih yang kala itu masih gelap-gulita, lalu mereka membangun interaksi dan komunikasi. Walau kesulitan bahasa, toh dengan bahasa tubuh (body language) komunikasi itu dapat berlangsung. 
Dalam kisah itu, misionaris berkulit putih berhasil menyatukan masyarakat Papua yang terpecah-pecah dalam suku dan klan, membangun sistem kampung, menyediakan pendidikan, kesehatan, dan memberi katekese agar memahami Kabar Gembira (Injil). Dan berhasil. 
Tetapi malapetaka segera datang ketika pemerintah “mencaplok” dan mulai mengeksploitasi kekayaan alam Papua. Peristiwa Pepera menjadi awal kisah-kisah derita tiada akhir orang Papua. Orang Papua terpinggirkan. Kemiskinan dan ketidakadilan serta kesengsaraan menjadi pemandangan sehari-hari kehidupan suku-suku yang mendiami pulau besar bernama Papua. Pembunuhan karakter warga Papua terjadi lewat stigma dan stereotipe, hingga terpekik pemberontakan dari batin perempuan yang terluka: “Salahkah aku karena rambutku keriting dan kulitku hitam?” Pertanyaan itu mengakhiri fragmen 30 menit itu.
Hari Hak-hak Azasi Manusia (HAM) menjadi momen yang tepat untuk merenungkan kemanusiaan, termasuk orang Papua. Ada pentas fragmen, musik reggae, diskusi, dan presentasi beberapa film dokumenter. Itulah konten refleksi warga dan simpatisan Papua di Hari HAM. Pelbagai orang datang, duduk, menonton, dan tergugah. Itulah suasana di Neo Journalism Club, Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jl. Antara No. 6, Pasar Baru, Jakarta, pada Sabtu (10/12) malam lalu. 
Anak-anak Papua, yang kebanyakan adalah mahasiswa dan aktivis, sudah berkumpul sejak sore. Mereka antusias ingin berefleksi. Mereka bersalaman dengan cara khas Papua, bercanda, melontarkan cerita-cerita mop, hingga mengeluarkan unek-unek ketidakpuasan terhadap situasi terakhir di Papua. 
Sejumlah tokoh dan aktivis kemanusiaan, yang datang dari pelbagai LSM, jurnalis, pengamat sosial dan politik, juga ikut bertandang pada acara yang bermaksud mempresentasikan beberapa film dokumenter soal pelanggaran HAM di Bumi Cenderawasih: “Surat”, “Mama Kasmira”, “Harapan Anak-anak Cendrawasih”, “Kelapa Berbuah Jerigen”, Awin Meke (My Mother)”, dan “Ironic Survival”. Inilah “Untold stories of the Papuan conflict”
Sekitar pukul 19.00 gelaran acara “Papuan Voices on Human Rights Day” dimulai. Yang punya hajatan adalah EngageMedia, JPIC MSC, dan SKP KC Fransiskan Papua, didukung Human Rights Watch, Yayasan Pantau, Honai Study Club, dan Galeri Jurnalistik Antara. The Comen Rasta Band, dengan personil anak Papua, malam itu, menghadirkan tembang-tembang reggae ikut menghangatkan tubuh-tubuh yang mulai disergap dingin akibat hujan yang turun sejak sore. Suara Gorby (vokalis) cukup apik melantunkan lagu-lagu bernuansa pembebasan itu. Ruang Neo Jurnalism Club penuh sesak, hingga orang harus duduk bersila di lantai. Sebuah antuasiasme yang menandai rasa ingin tahu bercampur kepedulian pada Papua.
Dalam sambutannya, Wempi Fatubun dari JPIC MSC, mengatakan, kalau selama ini orang (lain) membuat film tentang Papua maka Papuan Voices fo Change memproduksi film dari Papua. “Dibuat di Papua, oleh anak-anak Papua, dan tentang Papua,” ujar Wempi, koordinator acara pada malam itu. Sesungguhnya, film-film dokumenter ini memberi inspirasi untuk perubahan dunia.

Surat kepada sang prada 

Film dokumenter yang dipresentasikan terakhir berjudul “Surat kepada Sang Prada”. “Surat” berkisah tentang seorang perempuan Bupul, Merauke yang menjalin cinta dengan seorang tentara. Ia akhirnya mengalami diskriminasi dari komunitasnya ketika ia dihamili sang tentara asal Jawa yang ditugaskan di perbatasan Indonesia-PNG. Sang tentara, Prada Samsul, tanpa alasan yang jelas, meninggalkan Maria Goretty Mekiw (Etty) ketika buah hati mereka terlahir. 

Etty terpaksa menghadapi tuduhan dan kesulitan ekonomis seorang diri. Kepedihan dan rintihan hatinya terungkap dalam sepucuk surat yang dituliskannya kepada Prada Samsul sambil menggendong buah hati mereka, Anita Mariani (Yani). Walau Samsul sudah kembali ke Bandung, tapi Etty tetap menunggu, bahkan menunggu dengan tangan terbuka. Hari-hari berlalu dan Yani kian besar. Rasa rindu Etty terhadap Samsul diperlihatkan dalam adegan saat Etty melipat baju dinas Samsul, menciumnya dengan linangan air mata, dan menaruhnya pada sebuah almari kayu yang sudah terlihat lapuk dimakan rayap.

 “Surat” hasil jepretan anak-anak Papua ini sesungguhnya menghadirkan gambaran yang lebih kompleks tentang kehadiran militer di Tanah Papua. Berapa saja perempuan Papua yang telah dihamili dan ditinggalkan seiring dengan habisnya masa tugas di Papua. Berapa saja gadis-gadis Papua yang telah diperkosa di bawah ancaman senapan? Duka Etty dan kawan-kawan mengingatkan kita akan kebijakan pemerintah yang mengirimkan ribuan militer ke Papua dengan alasan menjaga keamanan.

Namun, pada sisi lain, dari bidikan kamera, kita mendapatkan pesan tentang cinta yang tulus dari Etty pada Samsul. Cinta inilah yang membuat ia menerima segala konsekwensi. Salahkah Etty mencintai Samsul? Salahkan seorang perempuan Papua jatuh cinta pada tentara dari suku non Papua? Cinta adalah sebuah hak, tetapi pengkhianatan adalah pelanggaran terhadap HAM.

Etty sendirian membesarkan Yani (3). Cinta yang tulus telah ia berikan kepada sang prada. Demi Yani, Etty tetap menunggu, walau dengan hati yang tetap perih. “Surat” adalah sebuah kisah nyata, dan dimainkan oleh perempuan sang korban itu sendiri. Menurut Wampi Fatubun dari JPIC MSC, tokoh utama “Surat” adalah perempuan yang mengalami sendiri kisah itu. Ketika ditanya apakah mereka mau menjadi pemeran utama, Wempi mengaku kesediaan itu terkait dengan keberanian mereka mengungkapkan diskriminasi dan ketidakadilan yang mereka alami. Juga ada kecenderungan dari korban-korban pemerkosaan untuk melaporkan perlakuan tidak manusiawi terhadap mereka. Gejala keberanian ini, pada sisi lain memperlihatkan berhasilnya pendampingan dan sosialisasi dan penyadaran terhadap para korban.

Kelapa berbuah jerigen

Elias Mouyend terperangah. Matanya ditengadahkan ke atas pohon kelapa. Apa yang membuat pria Papua ini tertegun? “Lihat, pohon-pohon kelapa kita sudah berbuah jerigen. Ada warna putih, merah, kuning. Sangat indah, tapi juga sangat sedih,” begitu Elias menuturkan kisah pilu yang dialami masyarakat suku Malind atau Marind, Merauke. Pada ranting-ranting pohon kelapa dipasang jerigen-jerigen guna menampung air kelapa yang akan dijadikan tuak (sopi, sagero). Jerigen-jerigen telah “mengganti” buah-buah kelapa. 

Sesungguhnya suku Malind bangga dengan tradisi ekologis mereka, setiap klan dalam suku-suku itu bertanggung jawab melindungi salah satu unsur alam. Klan Moiwend bertanggung jawab terhadap pohon kelapa. Namun, sekarang generasi muda Malind makin mengggunakan kelapa untuk pembuatan alkohol. Minuman produksi sendiri ini selain lebih murah juga sangat mudah dibuat. Generasi tua tak diam begitu saja. Mereka terus mengajak anak-anak muda untuk menaati hukum dan kebiasaan yang mengatur panen kelapa. Ada saat di mana masyarakat dilarang panen (sasi) kelapa. Sistem sasi sangat membantu kelestarian kelapa. Sayangnya, dengan masuknya perusahaan besar, lahan kelapa telah diubah menjadi area industri. 

Film berdurasi pendek ini cukup mengundang senyum dan tawa penonton saat kamera diarahkan ke deretan jerigen penuh air kelapa. Tak terlihat lagi buah-buah kelapa yang hijau. Sampai waktu yang telah ditentukan, sang pemilik akan menurunkan jerigen-jerigen itu dan menjual minuman yang sudah berubah bentuk itu. “Kelapa Berbuah Jerigen” tak hanya bertutur tentang pergeseran nilai, tetapi juga ekonomi berbasis kapital (komersil) telah menyusup hingga relung-relung ketidaksadaran rakyat kecil.

Film dokumenter ini, sekali lagi, mengangkat isu praktik ketidakadilan yang dilakukan perusahan-perusahan besar. Pantaslah bila Alex Mahuze dalam “Ironic Survival” yang mengangkat topik tentang sagu ini menolak kedatangan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). “Mereka datang tanpa permisi. Kami sama sekali tidak tahu-menahu. Mereka hanya bikin kami jadi susah,” ujar pria yang terpaksa menjadi kuli di tanahnya sendiri itu. Sorot kamera handycam kemudian diarahkan kepada kawasan pesisir pantai yang sudah ditimbuni tanah. Berhektar-hektar luasnya. Pohon-pohon kelapa  dan pohon sagu sudah ditebang dan lenyap dari pandangan mata. Kaum perempuan dan lelaki bekerja meratakan tanah yang akan dijadikan lokasi bangunan industri. Ironic Survival membidik perjuangan orang Papua yang kehilangan sumber matapencaharian.

Pemandangan mirip kita temukan dalam “Awin Meke” atau “Mamaku”. “Awin Meke” memotret seorang ibu Papua yang harus berjibaku dalam merebut tempat jualan. Semula ia menang, tapi kemudian dengan campur tangan aparat lokal ia tersingkir dari situ. Herannya, orang non Papua kemudian menempati lokasi itu dengan menjual bahan dagangan yang sama.  Pada “Mama Kasmira” sang sutradara mengangkat kasus Mama Kasmira, seorang petani kakao yang tinggal di perbatasan Indonesia-PNG. Ia dipaksa menjadi petani ladang akibat para tetua adat telah melakukan kesepakatan dengan salah satu perusahaan Rajawali Group untuk membeli tanahnya. Akibatnya, setiap hari ia harus bekerja keras di bawah terik matahari demi menghidupkan ketiga anaknya.

Pada “Harapan Anak-anak Cendrawasih” penonton dibuat tersenyum. Film yang dimainkan anak-anak Papua ini secara polos membidik perilaku sehari-hari mereka bila guru tak pernah hadir di kelas. Bahkan ada guru yang baru hadir setelah 6 bulan sosoknya tak muncul di kelas. Usai sekolah, anak-anak itu bekerja di ladang guna mendapatkan uang atau mengisi waktu senggang. Dialog-dialog yang ditampilkan sangat lucu dan membuat kita terpingkal-pingkal.

Semua video “Papuan Voices for Changes” bisa anda download free di www.engagemedia.org

Cukup memadai

Papuan Voices sungguh menghadirkan potongan-potongan realitas yang tertangkap kamera. Kisah-kisah pendek itu sungguh menggambarkan kenyataan yang ada, tanpa banyak direkayasa. Maka kejujuran dan kepolosan para pemeran di dokumenter-dokumenter ini sungguh menggugah.

Menurut jurnalis dan pelatih jurnalis Andreas Harsono, isu tentang Papua cenderung bermuara pada dua pendekatan ini: menyalahkan orang Papua atau menyalahkan pemerintah dan Freeport. “Mengapa tidak ada guru di sekolah-sekolah di pedalaman Papua, karena semua dana digunakan untuk pemekaran: membangun kantor baru, listrik, dan sebagainya. Banyak uang digunakan untuk membiayai pegawai negeri. Demikian halnya militerisasi juga ikut menghabiskan banyak dana. Maka saya melihat, di balik film-film ini ada persoalan yang begitu kompleks. Apa yang tertayang dalam televisi dan tersaji dalam media cetak masih jauh dari penggambaran realitas di Papua,” katanya.

Sementara Enrico Aditjondro dari EngageMedia, berpendapat, film-film ini sengaja ditampilkan untuk mendorong terjadinya perubahan sosial dan lingkungan. “Saya percaya bahwa media yang independen dan teknologi yang terbuka akan sangat membantu masyarakat untuk berubah. EngageMedia.org adalah sebuah situs tempat berbagi yang fokus pada isu keadilan sosial dan lingkungan hidup di kawasan Asia-Pasifik,” kata putra peneliti sosial George Aditjondro itu. EngageMedia telah lama memberi pelatihan kepada para aktivis video dan pelaku kampanye untuk menggunakan alat distribusi video yang efektif secara online dan offline.

Tak dimungkiri, penyadaran terhadap hak-hak azasi lewat media (cetak, digital) amat kuat berdampak pada perubahan paradigma dan penghapusan stigma serta stereotipe. Stigma dan stereotipe merupakan ideologi yang ditebarkan lewat media, maka perlu diluruskan lewat media pula. Apa yang dibuat oleh EngageMedia, JPIC MSC, SKP KC Fransiskan Papua memang bisa dibilang sebuah langkah maju dalam ikut mencerahkan masyarakat Indonesia terhadap martabat manusia. (Stef Tokan)





3 komentar:

  1. Narasi yang indah, enak dibaca. Menggambarkan benar apa yg telah saya saksikan saat acara pemtaran film dokumenter itu berlangsung.

    Berharap, bisa ada lagi kegiatan serupa dan lebih banyak lagi muda-mudi Papua yang berperan aktif.

    salam, YKM

    BalasHapus
  2. Bagaimana kami di Timor barat juga bisa mendapatkan film2 itu Bung Wens?

    Salam Hangat

    Olkes

    BalasHapus
  3. Sobatbisa lihat di ink www.engagemedia.org/papuan voices

    BalasHapus